Senin, 07 Oktober 2013

EPILOG KOMUNITAS PERSI



BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Oleh : Imam J. Larat

Menjadi penulis sama halnya dengan menjadi pemimpi yang sadar akan keharusannya berbagi cerita. Puisi lebih leluasa mewujudkannya
(Jorge luis Borges)
            Kodratnya seorang penulis memang adalah untuk bercerita kepada orang lain atau menyampaikan pesan kepada orang lain agar apa-apa yang menjadi keluh kesah, tujuan kita bisa tersampaikan. Maka puisi memang sangat setrategis dalam mengaplikasikan segala keluh kesah kita. Sebab, secara sederhananya saja puisi adalah karya yang simple secara tekstual. Berbeda dengan cerpen, novel dsb. Namun apakah pesan kita dapat dimengerti oleh orang lain, atau kebanyakan orang sudah apatis dan tidak mau tahu dengan pesan kita?. Seorang penulis puisi harus bisa mewujudkan dan mengkomunikasikannya dengan baik. Melalui apa?. :tentu dengan estetika menulis dan diksi yang bagus. ISER sangat tegas berpendapat bahwasanya karya sastra terdiri atas 2 kutub, yaitu artistic dan estetik. Kutub artistik mengacu pada teks ciptaan pengarangnya. Sedangkan estetik pada konkritisasi atas teks tersebut oleh pembaca.
            Menulis butuh kebiasaan yang di ulang-ulang. Jika kita sudah terbiasa dengan menulis maka kita akan mengontrol kekurangan-kekurangan kita selain dikontrol oleh orang lain. Apabila kebiasaan itu sudah menjadi tradisi, maka yang jelas untuk meninggalkan rutinitas itu akan sangat sulit dan berat rasanya. Karena aktivitas dalam menulis sudah menyatu dengan jiwa kita. Seperti halnya dengan sepasang kekasih yang sama-sama mencintai dan saling mengerti, menghargai dan saling melengkapi. Sebuah kasus Romeo dan Juliet terbukti dengan jelas. Lebih baik mati bersama dari pada dipisahkan dengan seseorang yang kita cintai.

Budaya dan puisi
Perlu diketahui bersama oleh siapapun, antara budaya dengan tradisi. Kelihatannya kita selalu tertipu dengan dua kata tersebut. Sangat mirip memang keduanya, namun ada sisi yang berbeda dengan tekhnesi di lapangan. Bagaikan orang yang kembar dari rahim yang sama. Mestinya meskipun mirip tapi tidak sama dari segala hal. Entah dari tingkah lakunya yang berbeda, hatinya yang berbeda, hidungnya sedikit berbeda, dan keperibadiaannya yang berbeda pula.
Budaya merupakan hasil karya cipta karsa orang lain yang diwariskan dari generasi kegenerasi dan tidak dapat diubah. Meskipun budaya di daur  ulang oleh generasi selanjutnya namun tidak akan merubah segalanya dan tidak pernah kenal dengan perubahan zaman. Budaya tidak serta meta mengikuti arus zaman. Jika masa berbeda maka budaya akan juga menyesuaikannya. Bukan itu yang dinamakan budaya. Intinya, budaya tidak serta merta dengan kondisi zaman. Kerapan Sapi dimadura atau Reog di Ponorogo, dia tidak pernah berubah  meski zaman mulai berkembang dengan pesat, yang namanya Kerapan Sapi dan Reog Ponorogo tetap seperti-seperti itu meskipun ada penambahan-penambahan dari segi aksesoris di dalamnya.
Sedangkan tradisi itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi zaman. Korea terkenal dengan life stayelnya sampai saat sekarang ini. Banyak orang yang mencontohnya. Memang tradisi di korea menggunakan pakaian-pakaian yang seperti itu. Akan tetapi ditahun berikutnya life stayel seprti itu orang-orang sudah bosan untuk mencontohnya dan menggunakannya kembali. Sehingga untuk memenuhi tuntutan zaman yang seperti itu, maka korea harus dapat merubahnya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Bisa saja berubah seluruhnya, bisa saja juga hanya mendaur ulang yang sudah ada.
Maka seorang penulis puisi jangan sampai tertipu dengan dua kata tersebut. Jika kita salah dalam mengartikannya maka dampaknya kepada yang kita tulis. Dan Alhamdulillah para penulis PERSI tidak terjebak dengan semua itu, meskipun banyak penyelewengan puisi di dalmnya. Temanya Budaya namun ada yang menulis religi dsb.
Dari 11 puisi yang dikirimkan oleh anak-anak PERSI kelihatannya masih sangat dangkal dalam penggarapan dan pembahasan isinya. Persepsi saya : Nampaknya para penulis PERSI kurang mengetahui secara utuh terkait dengan yang ditulis. Namun tidak jadi masalah bagi anak PERSI. Sebab memang mulai dari dulu sangat sulit memang untuk berpindah kelain hati. Yakni dari puisi-puisi romantik ke puisi-puisi Budaya. Sangat disadari memang itu merupakan hal yang sulit bagi orang yang memang sudah terbiasa menulis puisi romantik. Lambat laun kita menjadi terbiasa juga dengan kondisi yang seperti ini. Sebenarnya jika kita membaca dan mengkajinya, maka kita tidak akan sulit berpindah  dari satu sisi ke sisi yang lain. Kita hanya butuh penyesuaian diri dari lingkungan yang baru kita tempati.
Dari ke 11 puisi anak-anak PERSI hanya satu puisinya Ayu Ana Widiastutik (Petti’ Laut) yang saya suka gaya penyampaiannya dan juga totalitas dalam memahami sejarah Budaya Petti’ Laut dalam tema Budaya yang seperti ini. Bukan maksud yang lainnya tidak suka, namun puisi Budaya itu memang harus tahu persis terkait dengan sejarahn dan aplikasinya di lapangan meskipun dalam tanda kutip kita tidak tahu yang sebenarnya tekhnik di lapangan dan kita juga tidak pernah ikut andil dalam ritual-ritual tersebut. Dengan membaca ulang sejarah itu kita akan paham dengan sendirinya.

Di laut, suara debur ombak  memencah keheningan
Merapati bibir pantai pada lambaian pohon cemara
Sedang upacara digelar diterik matahari
Memanggil bayang-bayang yang terdampar di babatuan

Dalam desiran angin yang berhembus
Para dewa menyaksikan ritual pemujaan
Sedang perahu-perahu berlabuh ketengah samudera
Mengantar sesajen para nenek moyang
Agar riak gelombang tak mendatangkan malapetaka

Tiba-tibalaut sunyi tak bergelora
Angin perlahan menerpa
Dan sebatang ilalang bergoyang-goyang
Melambaikan pohon-pohon penghuni sunyi
Mengantarkan cuaca sejuk menusuk kulit

Sandoruarae ghur cak-cak
Sandoruarae ghur  jhem

Oh… tubuhku bergetar
Mengeja nada yang mengalunkan lirik pemujaan
Memanggil suara debur ombak jauh diperbatasan

Sejenak ku  diam
Menatap kelangit
Lalu kembali
mengeja ritual pemujaan

secara penggarapannya ayu ana widiastutik cukup memahi pada Budaya Petti’ Laut yang pernah terjadi di budaya lokal Madura. Sehingga dalam penyampaiannya seakan dia tahu betul pada budaya tersebut. Diksinyapun sudah cukup lumayan bagi saya.
Yang harus menjadi catatan bagi ayu: Bahwa pettti’ laut bukan hanya terjadi pada siang hari. Di malam haripun petti’ laut ada yang menggelarnya. dan ada juga yang menggelar petti’ laut dari siang sampai malam. Maka dari itu kita harus benar-benar memperhatikan Budaya dengan beberapa versi yang berbeda. Agar kita dapat membanding-bandingkannya dengan realita yang terjadi di lapangan.
                       
            Budaya Indonesia sangat beragam sekali dan sangat kompleks. Namun kebiasaan anak pesantren khususnya anak PERSI jika bertema tentang budaya maka kita hanya membahas budaya lokal yang ada di Madura saja. Padahal Budaya di Indonesia sangat banyak untuk kita ungkap. Tapi nilai positifnya dengan mengangkat budaya lokal di Madura di samping kita mempromosikan budaya yang ada di Madura kita juga bisa meredam konflik perebutan budaya dan tidak mungkin terjadi seperti kasus di ponorogo. Malaysia sudah cukup banyak mengambil budaya kita. Menjadi perhatian khusus bagi masyarakat kita agar kita dapat melestarikan Budaya kita dengan semaksimal mungkin, sehingga kecaman-kecaman “maling sia” tidak terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya.
 
  
Yang terakhir :
Dalam posisi kegumaman dan ketakjuban, seorang penyair menuliskan puisi mengenai realitas secara imajinatif. Ada juga puisi yang sederhana, namun mengandung filosofi yang dalam. Yang oleh “Abdul Wachid Bs” dikatakan sebagai “kesederhanaan yang menipu ” (Deceptive Simplicity). Karya puisi bergantung pada kreativitas dan imajinasi dalam mengisi ruang-ruang kosong di dalamnya.


            Untuk anak PERSI : semoga kalian masih tetap berperoses dan eksis sepanjang masa. Dan mohon maaf jika ada yang tidak berkenan dengan tulisan ini.

Malang, 06 Oktober 2013