BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Oleh : Imam J. Larat
Menjadi penulis sama halnya dengan
menjadi pemimpi yang sadar akan keharusannya berbagi cerita. Puisi lebih
leluasa mewujudkannya
(Jorge luis Borges)
Kodratnya
seorang penulis memang adalah untuk bercerita kepada orang lain atau
menyampaikan pesan kepada orang lain agar apa-apa yang menjadi keluh kesah,
tujuan kita bisa tersampaikan. Maka puisi memang sangat setrategis dalam
mengaplikasikan segala keluh kesah kita. Sebab, secara sederhananya saja puisi
adalah karya yang simple secara tekstual. Berbeda dengan cerpen, novel dsb. Namun
apakah pesan kita dapat dimengerti oleh orang lain, atau kebanyakan orang sudah
apatis dan tidak mau tahu dengan pesan kita?. Seorang penulis puisi harus bisa
mewujudkan dan mengkomunikasikannya dengan baik. Melalui apa?. :tentu dengan
estetika menulis dan diksi yang bagus. ISER
sangat tegas berpendapat bahwasanya karya sastra terdiri atas 2 kutub,
yaitu artistic dan estetik. Kutub artistik mengacu pada teks ciptaan
pengarangnya. Sedangkan estetik pada konkritisasi atas teks tersebut oleh
pembaca.
Menulis butuh kebiasaan yang di
ulang-ulang. Jika kita sudah terbiasa dengan menulis maka kita akan mengontrol
kekurangan-kekurangan kita selain dikontrol oleh orang lain. Apabila kebiasaan
itu sudah menjadi tradisi, maka yang jelas untuk meninggalkan rutinitas itu
akan sangat sulit dan berat rasanya. Karena aktivitas dalam menulis sudah
menyatu dengan jiwa kita. Seperti halnya dengan sepasang kekasih yang sama-sama
mencintai dan saling mengerti, menghargai dan saling melengkapi. Sebuah kasus Romeo
dan Juliet terbukti dengan jelas. Lebih baik mati bersama dari pada dipisahkan
dengan seseorang yang kita cintai.
Budaya
dan puisi
Perlu
diketahui bersama oleh siapapun, antara budaya dengan tradisi. Kelihatannya
kita selalu tertipu dengan dua kata tersebut. Sangat mirip memang keduanya,
namun ada sisi yang berbeda dengan tekhnesi di lapangan. Bagaikan orang yang
kembar dari rahim yang sama. Mestinya meskipun mirip tapi tidak sama dari
segala hal. Entah dari tingkah lakunya yang berbeda, hatinya yang berbeda,
hidungnya sedikit berbeda, dan keperibadiaannya yang berbeda pula.
Budaya
merupakan hasil karya cipta karsa orang lain yang diwariskan dari generasi
kegenerasi dan tidak dapat diubah. Meskipun budaya di daur ulang oleh generasi selanjutnya namun tidak
akan merubah segalanya dan tidak pernah kenal dengan perubahan zaman. Budaya
tidak serta meta mengikuti arus zaman. Jika masa berbeda maka budaya akan juga
menyesuaikannya. Bukan itu yang dinamakan budaya. Intinya, budaya tidak serta
merta dengan kondisi zaman. Kerapan Sapi dimadura atau Reog di Ponorogo, dia
tidak pernah berubah meski zaman mulai
berkembang dengan pesat, yang namanya Kerapan Sapi dan Reog Ponorogo tetap
seperti-seperti itu meskipun ada penambahan-penambahan dari segi aksesoris di
dalamnya.
Sedangkan
tradisi itu bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi zaman. Korea terkenal
dengan life stayelnya sampai saat sekarang ini. Banyak orang yang mencontohnya.
Memang tradisi di korea menggunakan pakaian-pakaian yang seperti itu. Akan
tetapi ditahun berikutnya life stayel seprti itu orang-orang sudah bosan untuk
mencontohnya dan menggunakannya kembali. Sehingga untuk memenuhi tuntutan zaman
yang seperti itu, maka korea harus dapat merubahnya sesuai dengan kebutuhan dan
tantangan zaman. Bisa saja berubah seluruhnya, bisa saja juga hanya mendaur
ulang yang sudah ada.
Maka
seorang penulis puisi jangan sampai tertipu dengan dua kata tersebut. Jika kita
salah dalam mengartikannya maka dampaknya kepada yang kita tulis. Dan
Alhamdulillah para penulis PERSI tidak terjebak dengan semua itu, meskipun
banyak penyelewengan puisi di dalmnya. Temanya Budaya namun ada yang menulis
religi dsb.
Dari
11 puisi yang dikirimkan oleh anak-anak PERSI kelihatannya masih sangat dangkal
dalam penggarapan dan pembahasan isinya. Persepsi saya : Nampaknya para penulis
PERSI kurang mengetahui secara utuh terkait dengan yang ditulis. Namun tidak
jadi masalah bagi anak PERSI. Sebab memang mulai dari dulu sangat sulit memang
untuk berpindah kelain hati. Yakni dari puisi-puisi romantik ke puisi-puisi Budaya.
Sangat disadari memang itu merupakan hal yang sulit bagi orang yang memang
sudah terbiasa menulis puisi romantik. Lambat laun kita menjadi terbiasa juga
dengan kondisi yang seperti ini. Sebenarnya jika kita membaca dan mengkajinya,
maka kita tidak akan sulit berpindah
dari satu sisi ke sisi yang lain. Kita hanya butuh penyesuaian diri dari
lingkungan yang baru kita tempati.
Dari
ke 11 puisi anak-anak PERSI hanya satu puisinya Ayu Ana Widiastutik (Petti’ Laut) yang saya suka gaya
penyampaiannya dan juga totalitas dalam memahami sejarah Budaya Petti’ Laut dalam
tema Budaya yang seperti ini. Bukan maksud yang lainnya tidak suka, namun puisi
Budaya itu memang harus tahu persis terkait dengan sejarahn dan aplikasinya di
lapangan meskipun dalam tanda kutip kita tidak tahu yang sebenarnya tekhnik di
lapangan dan kita juga tidak pernah ikut andil dalam ritual-ritual tersebut. Dengan
membaca ulang sejarah itu kita akan paham dengan sendirinya.
Di laut, suara debur ombak memencah keheningan
Merapati bibir pantai pada lambaian pohon cemara
Sedang upacara digelar diterik matahari
Memanggil bayang-bayang yang terdampar di babatuan
Dalam desiran angin yang berhembus
Para dewa menyaksikan ritual pemujaan
Sedang perahu-perahu berlabuh ketengah samudera
Mengantar sesajen para nenek moyang
Agar riak gelombang tak mendatangkan malapetaka
Tiba-tibalaut sunyi tak bergelora
Angin perlahan menerpa
Dan sebatang ilalang bergoyang-goyang
Melambaikan pohon-pohon penghuni sunyi
Mengantarkan cuaca sejuk menusuk kulit
Sandoruarae ghur cak-cak
Sandoruarae ghur jhem
Oh… tubuhku bergetar
Mengeja nada yang mengalunkan lirik pemujaan
Memanggil suara debur ombak jauh diperbatasan
Sejenak ku diam
Menatap kelangit
Lalu kembali
mengeja ritual pemujaan
secara penggarapannya ayu ana widiastutik cukup memahi pada Budaya
Petti’ Laut yang pernah terjadi di budaya lokal Madura. Sehingga dalam
penyampaiannya seakan dia tahu betul pada budaya tersebut. Diksinyapun sudah
cukup lumayan bagi saya.
Yang harus menjadi catatan bagi ayu: Bahwa
pettti’ laut bukan hanya terjadi pada siang hari. Di malam haripun petti’ laut
ada yang menggelarnya. dan ada juga yang menggelar petti’ laut dari siang
sampai malam. Maka dari itu kita harus benar-benar memperhatikan Budaya dengan beberapa
versi yang berbeda. Agar kita dapat membanding-bandingkannya dengan realita
yang terjadi di lapangan.
Budaya Indonesia sangat beragam
sekali dan sangat kompleks. Namun kebiasaan anak pesantren khususnya anak PERSI
jika bertema tentang budaya maka kita hanya membahas budaya lokal yang ada di
Madura saja. Padahal Budaya di Indonesia sangat banyak untuk kita ungkap. Tapi nilai
positifnya dengan mengangkat budaya lokal di Madura di samping kita
mempromosikan budaya yang ada di Madura kita juga bisa meredam konflik
perebutan budaya dan tidak mungkin terjadi seperti kasus di ponorogo. Malaysia
sudah cukup banyak mengambil budaya kita. Menjadi perhatian khusus bagi
masyarakat kita agar kita dapat melestarikan Budaya kita dengan semaksimal
mungkin, sehingga kecaman-kecaman “maling sia” tidak terjadi seperti
tahun-tahun sebelumnya.
Yang
terakhir :
Dalam
posisi kegumaman dan ketakjuban, seorang penyair menuliskan puisi mengenai
realitas secara imajinatif. Ada juga puisi yang sederhana, namun mengandung
filosofi yang dalam. Yang oleh “Abdul Wachid Bs” dikatakan sebagai
“kesederhanaan yang menipu ” (Deceptive Simplicity). Karya puisi bergantung
pada kreativitas dan imajinasi dalam mengisi ruang-ruang kosong di dalamnya.
Untuk anak PERSI : semoga kalian
masih tetap berperoses dan eksis sepanjang masa. Dan mohon maaf jika ada yang
tidak berkenan dengan tulisan ini.
Malang,
06 Oktober 2013