Minggu, 16 Desember 2012

ASWAJA


ASWAJA: WHO ARE YOU, HONEY?

(Sebuah refleksi mengenal ASWAJA
sebagai faham yang benar-benar di benarkan oleh Allah SWT)

Madkhal……
            Rasulullah SAW dalam sebuah kesempatan pernah mensinyalir bahwa suatu saat umat islam akan terpecah-belah menjadi 72 firqoh (kelompok). Dari sekian kelompok tersebut, hanya satu yang akan selamat dengan menuai kenikmatan sorga kelak. Sedangkan sisanya terancam oleh panasnya api neraka. Ketika para sahabat bertanya kelompok apakah gerangan yang selamat itu?, rasulullah dengan tegas menjawab: ma ana alaihi wa ashhabi ([kelompok yang berpegangan pada] apa yang aku dan para sahabatku pegangi). Dalam riwayat lain, rasulullah menjawab: ahl as-sunnah wa al-jama’ah[1]
Ta’rif…..
            Secara terminologis, ahlussunnah wal-jama’ah, dapat diuarai sebagai berikut:
            Ahl, berarti keluarga, golongan, pengikut, penduduk. Adapun As-sunnah berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh rasulullah SAW. Sedangkan Al-jama’ah berarti apa yang telah menjadi kesepakatan di kalangan sahabat rasulullah pada masa al-khulafa’ ar-rasyidin[2]. Sementara ma ana alaihi wa ashhabi dapat diartikan dengan (kira-kira): ajaran (wahyu allah SWT) yang aku sampaikan kepada sahabatku dan aku amalkan bersama mereka[3].
            Jika uraian ini kita kaitkan dengan hadist-hadits di atas, dapat dipahami beberapa hal penting berikut ini:

konsep ma ana alaihi wa ashhabi/ ahl as-sunnah wa al-jama’ah
Adalah konsepsi ajaran islam yang paling murni, paling otentik, paling baku, paling standart. Dan tentu saja Rasulullah dan para sahabat beliau adalah ‘penganut’ ajaran ini, dan merekalah yang (pasti) akan selamat di akhirat. Dan kaum muslimin, pasca pereode rasulullah dan sahabat, adalah juga ahlussunnah wal-jama’ah selama menganut konsep ma ana alaihi wa ashhabi. Dan saat mereka di hadapkan pada persoalan-persoalan kekinian yang mungkin tidak ditemukan secara sharih dalam AL-Qur’an dan Al-hadits serta tidak ada pada masa rasulullah dan sahabat, maka mereka melakukan pengembangan atas konsep tersebut dengan melalui peruses dan prosedur pengembangan yang benar[4]. Selanjutnya syaikh abi al-fadl bin abdissyakur mendevinisikan ahlussunnah wal-jama’ah  dengan”orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah nabi SAW. Dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah ke agamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak hati”[5].
Ahlussunnah wal-jama’ah, bukanlah aliran baru yang muncul sebgai reaksi atas bermunculannya aliaran atau faham-faham yang menyimpang dari ajaran hakiki islam. Ia justru berposisi sebagai penjaga agama islam dari beberapa aliran yang mencerabut ajaran islam dari akar dan fondasinya semula. Saat aliran-aliran tersebut merajalela, maka ahlussunnah wal jama’ah dapat menjadi sebuah gerakan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni islam. Ia juga menjadi salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama islam agar sesuai denagan apa yang telah diajarkan oleh rasulullah SAW dan para sahabat beliau[6].
Mazaya…..
            Ada tiga (3) karakter dan perinsip utama paham ahlussunnah wal-jama’ah yang merupakan cirri utama ajaran islam, yaitu:
At-Tawassuth (sikap memilih di tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri), yang dilengkapi dengan:
At-Tawazun (sikap seimbang, balans)
Al-I’tidal (sikap ttegak lurus, konsekowen dan konsisten)
Tiga karakter ini bukanlah sikap selalu kompromi atau sikap mencampuradukkan semua unsure. bukan pula sikap mengucilkan diri (ekslusif) dan menolak pertemuan dengan segala unsur. Karakter tawassuth, misalnya, memang sudah menjadi ajaran islam bahwa kebaikan selalu berada di antara dua ujung tatorruf (ekstrimisme).
            Selanjutnya, ketiga karakter di atas telah mewarnai berbagai bidang kehidupan lahir-batin dalam ajaran ahlussunnah wal-jama’ah, di antaranya[7]:
Bidang Aqidah: sikap yang dianut adalah pertengahan dan keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan aqli; antara pendapat jabariyah dan qadariyah, dan sebagainya.
Bidang Fiqih: sikap yang dianut adalah pertengahan dan keseimbangan antara ijtihad sembrono (den-beden-madura, pen.) dan taqlid a’ma, denagn menggunakan cara bermadzhab; tegas dalam hal-hal yang bersifat qot’iyyat dan toleran dalam hal-hal yang bersifat dzanniyyat, dan sebagainya.
Bidang Akhlaq: menerapkan sikap syaja’ah (beranai) sebagai sikap ideal antara penakut dan ngawur, sikap tawadlu’ (rendah hati) sebagai sikap ideal antara takabbur dan tadzallul(rendah diri), dan sebagainya
Bidang Budaya: mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik (dengan memperlakukan konsep al-muhafadzah ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah); tidak begitu saja menolak dan menerima keduanya, dan sebagainya.
Khatimah……
Demikianlah sekedar tulisan yang lumayan (kocar-kacir wa cer-kalacer)ini. Yang diinginkan tulisan ini, tak kurang tak lebih, hnayalah bagaimana konsep aswaja benar-benar bias dipahami, walau begitu sederhana, dan selanjutnya dapat di aplikasikan dalam kehidupan kita, ma-satha’na. yakni bahwa konsep inilah yang paling baik dan paling benar untuk kita; tapi tidak perlu bersusah payah lirak-lirik kesana kemari untuk menyimpulkan bahwa kiatalah yang paling baik dan benar. Yakni bahwa mengamalkan aswaja secara ‘murni dan konsekwen’ akan menjamin kita –insyaallah- dapat masuk sorga; tapi tak perlu susah payah lirak-lirik kesana kemari untuk meneliti siapa kira-kira yang akan masuk neraka. Gitu aja ko’ repot?!
Malang 16 maret 2012


[1] Ada banyak hadits tentang ini, dengan redaksi yang berbeda-beda. Salah satu di antarnya riwayat at-tirmidzi dengan redaksi “” (lihat: Abu Isa Muhammad ibn surah at-timidzi, shahih at-tirmidzi [kairo: mashirah, 1931], X/hlm 109; dalam versi CD, nomor hadis 2565) dan riwayat at-thabrani dengan redaksi “…………” (lihat: kh. Siradjuddin Abbas, I’tikad ahlussunnah wal-jama’ah [Jakarta: pustaka tarbiah, 1977], hlm.21). seluruh hadits tersebut layak diberi setatus shahih. Karena mayoritas ulama menyatakan kelayakannya sebagai pegangan karena di riwayatkan oleh banyak sahabat nabi. Lihat misalnya dalam: abd al-qahir bin thahir al-isfira aini at-tamimi, al-farq bain al-firaq (Beirut: dar al-ma’rifah, tt.),hlm. 7-9 dan Muhammad bin abdurr’uf al-manawi, faid al-qadir (Beirut: dar al-ma’rifah, tt), II/hlm.21.
[2] Lihat: syaikh abdur qadir al-jailani, Al-Gunyah li thalibi thariq al-haq (Beirut: maktabah asy-syab’iyah,tt.), I/hlm. 80.
Lihat juag: kh. Muhyiddin abdusshomad, fiqih tradisionalis (jember pp. nurul islam, 2004), hlm. 01.

[3] Lihat: kh. Abdul muchit muzadi, apa dan bagaimana nahddlatul ulama (jember: PCNU jember, 2003), hlm. 42
[4] Lihat kh. Muchit muzadi, apa….., hlm. 42-43
[5] As-syaikh abi al-faadl bin abdissyakur bangilani, syarh al-kawakib al-lama’ah (Surabaya: maktabah al-hidayah, tt.), hlm. 8-9
[6] Lihat: kh. Achmad shiddiq, kitab nadhiyyah (Surabaya: balai buku, 1979). Hlm. 19-20.
[7] Lihat: kh. Abdul muchit muzadi, apa…., hlm. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar