ASWAJA: WHO ARE YOU, HONEY?
(Sebuah refleksi
mengenal ASWAJA
sebagai faham
yang benar-benar di benarkan oleh Allah SWT)
Madkhal……
Rasulullah SAW dalam sebuah
kesempatan pernah mensinyalir bahwa suatu saat umat islam akan terpecah-belah
menjadi 72 firqoh (kelompok). Dari sekian kelompok tersebut, hanya satu
yang akan selamat dengan menuai kenikmatan sorga kelak. Sedangkan sisanya
terancam oleh panasnya api neraka. Ketika para sahabat bertanya kelompok apakah
gerangan yang selamat itu?, rasulullah dengan tegas menjawab: ma ana alaihi
wa ashhabi ([kelompok yang berpegangan pada] apa yang aku dan para
sahabatku pegangi). Dalam riwayat lain, rasulullah menjawab: ahl as-sunnah
wa al-jama’ah[1]
Ta’rif…..
Secara terminologis, ahlussunnah
wal-jama’ah, dapat diuarai sebagai berikut:
Ahl, berarti keluarga,
golongan, pengikut, penduduk. Adapun As-sunnah berarti segala
sesuatu yang telah diajarkan oleh rasulullah SAW. Sedangkan Al-jama’ah
berarti apa yang telah menjadi kesepakatan di kalangan sahabat rasulullah pada
masa al-khulafa’ ar-rasyidin[2]. Sementara
ma ana alaihi wa ashhabi dapat diartikan dengan (kira-kira):
ajaran (wahyu allah SWT) yang aku sampaikan kepada sahabatku dan aku amalkan
bersama mereka[3].
Jika
uraian ini kita kaitkan dengan hadist-hadits di atas, dapat dipahami beberapa
hal penting berikut ini:
konsep ma ana alaihi wa ashhabi/ ahl
as-sunnah wa al-jama’ah
Adalah konsepsi
ajaran islam yang paling murni, paling otentik, paling baku, paling standart.
Dan tentu saja Rasulullah dan para sahabat beliau adalah ‘penganut’ ajaran ini,
dan merekalah yang (pasti) akan selamat di akhirat. Dan kaum muslimin, pasca
pereode rasulullah dan sahabat, adalah juga ahlussunnah wal-jama’ah selama
menganut konsep ma ana alaihi wa ashhabi. Dan saat mereka di hadapkan
pada persoalan-persoalan kekinian yang mungkin tidak ditemukan secara sharih
dalam AL-Qur’an dan Al-hadits serta tidak ada pada masa rasulullah dan sahabat,
maka mereka melakukan pengembangan atas konsep tersebut dengan melalui peruses
dan prosedur pengembangan yang benar[4].
Selanjutnya syaikh abi al-fadl bin abdissyakur mendevinisikan ahlussunnah
wal-jama’ah dengan”orang-orang yang
selalu berpedoman pada sunnah nabi SAW. Dan jalan para sahabatnya dalam masalah
akidah ke agamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlak hati”[5].
Ahlussunnah wal-jama’ah, bukanlah
aliran baru yang muncul sebgai reaksi atas bermunculannya aliaran atau
faham-faham yang menyimpang dari ajaran hakiki islam. Ia justru berposisi
sebagai penjaga agama islam dari beberapa aliran yang mencerabut ajaran islam
dari akar dan fondasinya semula. Saat aliran-aliran tersebut merajalela, maka
ahlussunnah wal jama’ah dapat menjadi sebuah gerakan untuk mensosialisasikan
dan mengembangkan kembali ajaran murni islam. Ia juga menjadi salah satu jalan
untuk mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama islam agar sesuai
denagan apa yang telah diajarkan oleh rasulullah SAW dan para sahabat beliau[6].
Mazaya…..
Ada tiga (3) karakter dan perinsip
utama paham ahlussunnah wal-jama’ah yang merupakan cirri utama ajaran islam,
yaitu:
At-Tawassuth (sikap memilih di tengah, tidak ekstrim kanan dan
kiri), yang dilengkapi dengan:
At-Tawazun (sikap seimbang, balans)
Al-I’tidal (sikap ttegak lurus, konsekowen dan
konsisten)
Tiga karakter
ini bukanlah sikap selalu kompromi atau sikap mencampuradukkan semua unsure.
bukan pula sikap mengucilkan diri (ekslusif) dan menolak pertemuan dengan
segala unsur. Karakter tawassuth, misalnya, memang sudah menjadi ajaran
islam bahwa kebaikan selalu berada di antara dua ujung tatorruf (ekstrimisme).
Selanjutnya, ketiga karakter di atas telah mewarnai
berbagai bidang kehidupan lahir-batin dalam ajaran ahlussunnah wal-jama’ah, di
antaranya[7]:
Bidang Aqidah: sikap yang dianut adalah pertengahan dan
keseimbangan antara penggunaan dalil naqli dan aqli; antara
pendapat jabariyah dan qadariyah, dan sebagainya.
Bidang Fiqih: sikap yang dianut adalah pertengahan dan
keseimbangan antara ijtihad sembrono (den-beden-madura, pen.) dan taqlid
a’ma, denagn menggunakan cara bermadzhab; tegas dalam hal-hal yang bersifat
qot’iyyat dan toleran dalam hal-hal yang bersifat dzanniyyat, dan
sebagainya.
Bidang Akhlaq: menerapkan sikap syaja’ah (beranai)
sebagai sikap ideal antara penakut dan ngawur, sikap tawadlu’ (rendah hati)
sebagai sikap ideal antara takabbur dan tadzallul(rendah diri),
dan sebagainya
Bidang Budaya: mempertahankan budaya lama yang baik dan
menerima budaya baru yang lebih baik (dengan memperlakukan konsep al-muhafadzah
ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah); tidak begitu
saja menolak dan menerima keduanya, dan sebagainya.
Khatimah……
Demikianlah sekedar tulisan yang lumayan
(kocar-kacir wa cer-kalacer)ini. Yang diinginkan tulisan ini, tak kurang
tak lebih, hnayalah bagaimana konsep aswaja benar-benar bias dipahami,
walau begitu sederhana, dan selanjutnya dapat di aplikasikan dalam kehidupan
kita, ma-satha’na. yakni bahwa konsep inilah yang paling baik dan
paling benar untuk kita; tapi tidak perlu bersusah payah lirak-lirik kesana
kemari untuk menyimpulkan bahwa kiatalah yang paling baik dan benar. Yakni
bahwa mengamalkan aswaja secara ‘murni dan konsekwen’ akan menjamin kita
–insyaallah- dapat masuk sorga; tapi tak perlu susah payah lirak-lirik kesana
kemari untuk meneliti siapa kira-kira yang akan masuk neraka. Gitu
aja ko’ repot?!
Malang
16 maret 2012
[1] Ada banyak hadits tentang ini,
dengan redaksi yang berbeda-beda. Salah satu di antarnya riwayat at-tirmidzi
dengan redaksi “” (lihat: Abu Isa Muhammad ibn surah at-timidzi, shahih
at-tirmidzi [kairo: mashirah, 1931], X/hlm 109; dalam versi CD, nomor hadis
2565) dan riwayat at-thabrani dengan redaksi “…………” (lihat: kh. Siradjuddin
Abbas, I’tikad ahlussunnah wal-jama’ah [Jakarta: pustaka tarbiah,
1977], hlm.21). seluruh hadits tersebut layak diberi setatus shahih. Karena
mayoritas ulama menyatakan kelayakannya sebagai pegangan karena di riwayatkan
oleh banyak sahabat nabi. Lihat misalnya dalam: abd al-qahir bin thahir
al-isfira aini at-tamimi, al-farq bain al-firaq (Beirut: dar
al-ma’rifah, tt.),hlm. 7-9 dan Muhammad bin abdurr’uf al-manawi, faid
al-qadir (Beirut: dar al-ma’rifah, tt), II/hlm.21.
[2] Lihat: syaikh abdur qadir
al-jailani, Al-Gunyah li thalibi thariq al-haq (Beirut: maktabah
asy-syab’iyah,tt.), I/hlm. 80.
Lihat juag: kh. Muhyiddin abdusshomad, fiqih tradisionalis (jember
pp. nurul islam, 2004), hlm. 01.
[3] Lihat: kh. Abdul muchit muzadi, apa
dan bagaimana nahddlatul ulama (jember: PCNU jember, 2003), hlm. 42
[4] Lihat kh. Muchit muzadi, apa….., hlm.
42-43
[5] As-syaikh abi al-faadl bin abdissyakur bangilani,
syarh al-kawakib al-lama’ah (Surabaya: maktabah al-hidayah, tt.),
hlm. 8-9
[6] Lihat: kh. Achmad shiddiq, kitab nadhiyyah (Surabaya:
balai buku, 1979). Hlm. 19-20.
[7] Lihat: kh. Abdul
muchit muzadi, apa…., hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar