BAB III
MASA
PERJUANGAN HIDUP PERGERAKAN
(
1968 - 1972 )
PMII
SETELAH KELAHIRAN ORDE BARU
A. Warisan Orde Lama
Warisan yang ditinggalkan
pemerintahan Orde Lama berupa kondisi sosial ekonomi dan politik yang tidak
menentu. Seputar awal kelahiran Orde Baru (1966) kondisi sosial ekonomi Indonesia
betul-betul parah. Salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini
adalah dengan mengadakan senering (pengguntingan nilai mata uang) dari nilai
Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1 rupiah, namun tidak mampu menolong keadaan
perekonomian yang memang diluar jangkauan pengelolaan pemerintah. Salah satu
sebab kebangkrutan perekonomian Indonesia
adalah kesalahan dalam menerapkan kebijaksanaan politik. Sperti kita ketahui
setelah pemerintahan Orde Lama gagal menerapkan faham demokrasi leberal, maka
Bung Karno yang waktu itu sangat dipuja sebagai pemimpin bangsa mencoba satu
sistem politik baru yang dikenal dengan sistem demokrasi terpimpin. Tetapi
karena sistem ini pada akhirnya menjurus pada kultus individu maka Bung Karno
tanpa kendali pemerintah negeri ini (sebagai bukti dengan diangkatnya para
ketua DPR dan MPR menjadi Menteri, yang itu artinya menjadi pembantu Presiden.
Sedang demokrasi yang bersumber dari UUD 1945, jelas hal itu tidak dapat
dibenarkan). Bung Karno yang memberlakukan politik sebagai panglima dengan
menghidupkan segala faham aliran dan golongan - yang tentu saja aliran dan
golongan yang berpihak kepadanya. Buktinya, Partai Masyumi, PSI dan Murbayang
mencoba mengembangkan diri sebagai oposan, toh akhirnya dibubarkan. Ternyata
kebijaksanaan politik itu menjadi bumerang pada diri Bung Karno sendiri. Ia
mencoba merangkul golongan/kelompok politik yang bertentangan itu dengan
mengumpulkan dalam satu wadah politik yang dikenal dengan istilah NASAKOM (Nasional,
golongan ini didominasi oleh PNI, disamping itu IPKI, suatu partai politik yang
didukung oleh purnawirawan ABRI, Golongan fungsional yang akhirnya menjelma
menjadi Golkar. Sedang golongan Agama, orang sering menyebut wakil dari
golongan ini adalah partai NU, disamping itu PSII, Perti, Muhammadiyah,
mengingat yang ini juga duduk dalam pemerintahan pada saat itu, sedang yang
Komunis diwakili oleh PKI yang didukung dengan seperangkat organisasi
onderbownya).
Bung Karno mencoba menempatkan diri
sebagai donamisator dan stabilisator kekuatan-kekuatan politik yang beraneka
ragam dan saling bertentangan itu baik secara ideologis maupun program. Ia
mencoba untuk menjadi pengayom rakyat Indonesia yang beraneka ragam baik
secara ideologis maupun aktualisasi program golongan masing-masing. Tetapi Bung
Karno lupa bahwa masing-masing golongan yang secara fundamental bertentangan
serta belum matangnya perilaku dan budaya politik yang dikembangkan, maka
proyek mahal ini akhirnya hanya menimbulkan kondisi yang rawan. Budaya
konsensus yang dicoba Bung Karno, ternyata karena kelicikan PKI digunakan
sebagai alat untuk membesarkan diri (partai) dengan menghantam golongan lain.
Akhirnya bukan budaya konsensus yang tumbuh, melainkan susasana konflik yang semakin
hari semakin tajam antara PKI dengan mereka yang dianggap sebagai lawan-lawan
politiknya (ada satu sintesa yang mengatakan : bahwa seandainya PKI tidak punya
ambisi politik yang berlebihan dan mengikuti aturan permainan, maka proyek
NASAKOM itu akan menjadi suatu proyek laboratorium politik yang terbesar di
dunia) di Indonesia kondisi politiknya amat berbeda dengan negara-negara lain.
Dalam sejarahnya PKI sangat berambisi merebut kekuasaan dan berkali-kali
berbuat makar yang berakibat fatal dan mahal bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia .
Seperti pemberontakan PKI melawan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1926
berakibat ribuan rakyat yang dituduh terlibat dibuang ke Digul Irian Barat,
juga pengkhianatan PKI yang dikenal dengan Maduin Affairnya, yang sebenarnya
merupakan perbuatan yang mengganggu jalannya revolusi Indonesia. Hanya karena
kebijaksanaan politik leberal saja PKI dapat hidup kembali.
Dengan dibukanya kesempatan untuk
hidup bebas lagi di Indonesia ,
PKI ternyata berhasil mengembangkan sayapnya, hampir seluruh instansi
pemerintah dan lembaga-lembaga kemasyarakatan berhasil disusupi. Setelah PKI
menganggap semuanya telah matang, maka seperti biasanya gerakan Komunis
melakukan perbuatan makar/kudeta dengan kekerasan, yang semua itu akhirnya
bermuara pada peristiwa G.30.S/PKI yang amat mengerikan itu.
Disamping itu kesalahan juga
ditimbulkan oleh Rezim Orde Lama sendiri dengan mencanangkan politik
konfrontasi terhadap Malaysia .
Bung Karno sangat anti imprialisme dan kapitaslisme (sebenarnya bisa dikatakan
: bahwa Bung Karno sangat anti Amerika dan Eropa Barat) rupanya berang setelah
melihat kelahiran Malaysia
yang di fasilitasi Amerika dan Inggris tersebut. Bahkan ketika PBB mengesahkan Malaysia
sebagai negara merdeka. Bung Karno lebih nekad lagi dengan keputusan bahwa Indonesia
menyatakan keluar dari badan dunia tersebut. Itulah sebenarnya awal dari segala
kebangkrutan eknomi Indonesia .
Dan kondisi ini nampaknya akan semakin fatal seandainya tidak ada
gerakan-gerakan mahasiswa yang turun kejalan-jalan berdemonstrasi sebagai
kekuatan korektif, yang pada akhirnya gerakan ini mempercepat proses tumbangnya
Orde Lama dan lahirnya Orde Baru.
Belajar dari pengalaman itulah,
pemerintah Orde di awal kebangkitannya mengeluarkan kebijakan politik yang
dikenal dengan strukturisasi ideologi
dan golongan. Yang dimaksud dengan Strukturisasi Ideologi dan Golongan
seperti yang dikemukakan oleh Ali Murtopo dalam bukunya “Strategi Politik
Nasional” :
1)
Menciptakan dan
kemantapan stabilitas politik
2)
Perobakan
struktur politik dengan pengakuan bagi Golkar
3)
Menciptakan
mekanisme dan infra-struktur politik yang dapat bekerjasama dengan pemerintah
dalam melansir usaha-usaha pembangunan
4)
Membangkitkan
kesadaran demokrasi rakyat banyak [1])
Salah satu wujud perombakan
struktur politik adalah dengan menyeimbangkan kekuatan golongan fungsional
(sekarang jadi golongan karya) dengan kekuatan-kekuatan partai politik yang
berperan dalam wadah parlemen. Wujudnya adalah menambah jumlah anggota DPR GR
pada posisi yang lebih menguntungkan kedudukan golongan fungsional, dengan satu
argumen demi menjamin kelangsungan hidup Orde Baru dan demokrasi Pancasila.
Sudah barang tentu tindakan pemerintah ini sangat merugikan partai politik.
Dalam keadaan seperti ini, PMII sebagai pendukung partai NU menanggapi masalah
ini dengan memberikan penjelasan kepada segenap pengurus wilayah dan cabang
PMII di seluruh Indonesia
:
Alhamdulillah
pada saat ini sudah terdapat kemajuan-kemajuan dimana partisipasi PMII dalam
partai NU terlihat mulai banyak. Antara lain mengenai persoalan rederessing
(perubahan komposisi keanggotaan dalam parlemen, dengan tujuan menyeimbangkan
kekuatan-kekuatan politik yang diharapkan dapat mendukung kemauan politik
pemerintah) DPR GR yang atas permintaan neven-neven NU, khususnya PP PMII,
telah diadakan sidang pleno PB NU yang membahas hal-hal penting yang berkenaan
dengan perkembangan politik. Keputusan sidang pleno itu antara lain bahwa
rederessing harus berdasarkan UU N0. 10 tahun 1966, dimana ditegaskan bahwa
penambahan anggota DPR tidak boleh merubah perimbangan antara golongan politik
dan golongan karya, seperti pada saat terjadi penambahan 108 orang pada tahun
1967 yang lalu. Jika menyimpang dari prinsip tersebutberarti tanggung jawab
dari pejabat Presiden itu sendiri, bukan hasil musyawarah dari partai ataupun
pimpinan DPR GR. Hal itu dimungkinkan dengan menggunakan ketetapan MPRS
N0.IX/MPRS/1966.
Untuk
memperjuangkan terlaksananya keputusan
sidang pleno tersebut, PB NU, mengirim delegasi - salah satu dari anggota
delegasi itu adalah Ketua Umum PP PMII. Sedang hasil pertemuan tersebut antara
lain, bahwa apabila terpaksa tidak disetujui oleh partai-partai politik,
menurut pejabat Presiden akan dilakukannya sendiri sebagai penambah Surat
Perintah Sebelas Maret. Dalam kesempatan tersebut sahabat Zamroni telah
memperingatkan kepada pejabat Presiden, bahwa apabila hal itu betul-betul
dilakukan akan dapat menimbulkan dua kesan dalam masyarakat :
Pertama
: Pejabat Preside kurang mempercayai kerjasama dengan kekuatan-kekuatan politik
yang ada sekarang, dan hal ini dapat mengganggu adanya saling mempercayai
antara partai-partai politik dan pejabat Presiden.
Kedua : Bahwa seolah-olah pemerintah tidak mau
meneri- ma koreksi dari DPR GR, sebab justru pemerintah sedang mengalami kesulitan-kesulitan dibidang
ekonomi. Kemudia lalu disusun DPR GR yang sesuai dengan pendapat pemerintah. [2])
Dalam perkembangan selanjutnya
pemerintah (baca = pejabat Presiden Soeharto) jalan terus dengan rencananya
untuk menambah jumlah anggota DPR GR bagi Fraksi golongan karya. Hal ini
dilakukan untuk mengamankan RUU bagi pengaturan pelaksanaan pemilu yang
direncanakan dilaksanakan 1968 (tetapi realisasi pelaksanaan pemilu terjadi
pada tahun 1971).
Sebagai akibat dari kebijakan
politik pemerintah yang antara lain melakukan rederessing DPR GR, maka kekuatan
politik waktu itu berpindah dengan makin besarnya golongan karya (saat itu
golongan karya belum manampakkan dirinya sebagai kekuatan politik yang utuh
seperti yang nampak belakangan, tetapi masih terbentuk wadah gabungan golongan
fungsional yang ditopang oleh PEPABRI, LVRI, SOKSI, MKGR, KOSGORO, dan beberapa organisasi profesi lain seperti
PGRI).
Keterlibatan PMII dalam kegiatan
politik praktis justru berakibat fatal. PMII justru melupakan dirinya sebagai
organisasi kemahasiswaan yang pada hakekatnya merupakan suatu gerakan belajar
(baca = PMII pada hakekatnya adalah gerakan intelektual dan gerakan moral,
bukan gerakan politik). Tetapi dengan terseretnya PMII dalam kegiatan politik
praktis maka PMII hanyut sehingga menjadi “bumper politik”.
Akibatnya PMII mengalami kemuduran,
baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Basis-basis PMII terutama di
perguruan tinggi umum mulai menipis, bahkan pada awal 1970 PMII benar-benar
sudah terlempar dari perguruan tinggi umum. Akibat yang lebih parah organisasi
ini mengalami kemandekan. Ini terjadi karena dalam tubuh pergerakan mengalami
homoginitas pemikiran akibat dari monoyonnya anggota PMII (hanya seputar
mahasiswa IAIN). PMII mu;ai jarang melakukan aktivitas pengkaderan, bahkan
beberapa cabang PMII mulai mengalami lesu darah, seakan-akan PMII yang dependen
pada partai NU waktu itu sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Jika di suatu
daerah NU meriah, maka meriah pula PMII. Tetapi sebaliknya jika NU di daerah
tertentu sedang mengalami lesu darah, maka PMII sebagai organisasi mahasiswa
yang seharusnya bergerak dinamis, juga mengalami lesu darah. Lebih fatal lagi
akbiat politikn rederessing yang dikenal dengan restrukturisasi politik dan
lembaga-lembaga politik. NU sebagai partai politik terbesar ketiga waktu itu
benar-benar terpukul. Dampak selanjutnya PMII mengalami kedaan yang serba
sulit. Ia dicurigai sebagai partai yang harus diawasi.
Dalam keadaan seperti itu PMII
sempat mengadakan aktivitas-aktivitas antara lain :
1.
Instruktur
Training atau latihan pelatih kader.
Peristiwa ini
pantas dicatat karena baru pertama kali PMII yang sudah berusia hampir sepuluh
tahun dan selalu menyebut dirinya sebagai organisasi kader, malakukan latihan
pelatih kader. Mengingat sebenarnya aktivitas PMII yang utama adalah
pengkaderan, bukan politik praktis seperti yang selama ini dilakukan. Latihan
ini dilakukan pada tanggal 20 - 27 Januari 1969 di Pacet Garut Jawa Barat.
Pesertanya diambil dari perwakilan-perwakilan pengurus wilayah, yang jyga
mewakili kekuatan-kekuatan pengurus cabang.
2.
Bersamaan dengan
pelaksanaan latihan instruktur itu juga dilaksanakan Muber PMII yang pertama,
sebagai usaha untuk menjabarkan hasil-hasil kongres III PMII di Malang tahun
1967 dan hasil-hasil Mukernas II PMII tahun 1967 di Semarang. Ada beberapa keputusan yang dihasilkan Mubes
I PMII itu, antara lain :
a)
Memindahkan
kepengurusan Korp PMII Puteri pusat dari tempat kedudukannyadi Jakarta ke
Surabaya, yang pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada pengurus wilayah PMII
Jawa Timur (Kopri lahir bersamaan dengan Mukernas II PMII di Semarang Jawa
Tengah tanggal 25 September 1967).
b)
Memindahkan
kepengurusan lembaga da’wah pusat yang semula berkedudukan di PMII Ciputat,
selanjutnya dipindahkan ke PMII Cabang malang, dengan pertimbangan bahwa PMII
cabang Malang dianggap lebih punya potensi untuk mengembangkan lembaga da’wah
tersebut.
B.
Kongres IV PMII
Salah satu Moment penting bagi PMII
setelah kelahiran Orde Bari
adalah pelaksanaan kongres IV PMII di Makasar (Ujungpandang), hal ini dianggap
penting karena beberapa hal :
1)
Kongres IV PMII
ini merupakan peletak dasar perjalanan PMII pada zaman Orde Baru, bersamaan
dengan dimulainya pencangan Repelita I pemerintah Orde Baru.
2)
Kongres IV PMII
ini adalah merupakan kongres yang pertama diadakan diluar Jawa, yaitu di
Makasar (Ujungpandang) hal ini untuk membuktikan bahwa PMII tidak hanya besar
di Pulau Jawa, tetapi juga mempunyai potensi dan basis yang kuat di luar Jawa,
Kongres ini dihadiri oleh sekitar 100 utusan cabang PMII.
3)
Bersamaan dengan
pelaksanaan kongres IV PMII ini juga
dilaksanakan Musyawarah Nasional yang pertama Korp PMII Puteri (kongres
IV PMII dilaksanakan pada tanggal 25 - 30 April 1970).
4)
Peristiwa menarik
dalam Kongres IV PMII di Makasar ini adalah perebutan posisi ketua Umum PP PMII
. Dalam forum pemilihan tersebut bersaing antara Drs . M. Zamroni yang berasal
dari Fak. Usuludin IAIN Ciputat Jakarta, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua
Umum PP PMII periode 1967 - 1970. Sedangkan saingan terkuatnya adalah sahabat
M. Hatta Musthofa SH, berasal dari Fak Hukum Universitas Indonesia , sebelumnya menjabat sebagai
Sekretaris Umum PMII cabang DKI Jakarta .
Kedua kandidat ini sama-sama sebagai anggota DPR GR hasil rederessing tahun
1968. Dalam sejarah kehidupan politik di Indonesia , kedua tokoh ini selalu
bersaing. M. Hatta Musthofa aktif sebagai anggota DPR RI dari
fraksi Golkar dan pernah duduk dalam kepengurusan DPP Golkar sebagai
koordinator departemen pengabdian masyarakat. Sedangkan Drs. Zamroni juga aktif
sebagai anggota DPR RI dari fraksi PPP, disamping pernah duduk
sebagai salah satu ketua DPP PPP. Kandidat lain yang juga ikut bersaing memperebutkan
posisi ketua Umum PMII adalah sahabat Abduh Paddare, yang sebelumnya menjabat
sebagai salah satu ketua di jajaran PP PMII periode 1967-1970. Namun akhirnya
peserta kongres memutuskan jabatan ketua umum PP PMII periode 1970 - 1973
kembali dipercayakan kepada sahabat Drs. Zamroni, bersaing ketat dengan sahabat
Abduh Paddare dengan selisih 17 suara. Sedangkan sekretaris jenderal dipercayakan kepada
sahabat Madjidi Syah. Dalam peristiwa terpilihnya sahabat Zamroni sebagai Ketua
Umum PMII yang kedua kalinya ini, Ia (Zamroni) mengungkapkan: “Mengapa
saya mau dipilih lagi sebagai ketua Umum PP PMII untuk yang kedua kalinya?
Karena yang ingin maju manjadi ketua
umum Abduh Paddare. Andaikata yang bersedia menjadi calon ketua umum itu Fahmi
Syaifudin atau Umar Basalim, saya akan mundur, dan saya rela diganti salah satu
dari dua orang ini” [3]) Adapun susunan kepengurusan PP PMII
selengkapnya adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PERSONALIA PP PMII
( Periode 1970 - 1973 )
Ketua Umum : Drs. M. Zamroni
Ketua : Moh Abduh Paddare
Ketua :
Drs. Mukaffi Makky
Ketua :
Drs. M. Adnan Harahap
Ketua : Dr.
Fahmi Ja’far
Ketua : Drs
Umar Basalim
Sekretaris Umum : M. Madjidi Syah
Sekretaris : R.H.
Sutanto
Sekretaris : Masykur
Djunaidi
Sekretaris : Drs.
Muzakir Djailani
Keuangan : A.
Fathoni
Wakil Keuangan : T.A. Munir
DEPARTEMEN-DEPARTEMEN :
Pendidikan dan
Pengajaran : Drs. Amat Sanawi
Penerangan dan
Humas : M. Hasyim Adnan, BA
Kesenian dan
Kebudayaan : Tatik Herawati
Luar Negeri : H. Zaini A. Syakur
Olah Raga : Djoko Mulyono
Keputrian : Enny
Suhaeni
SUSUNAN PERSONALIA PP KORP PMII PUTERI
PERIODE 1970 - 1973
Ketua Umum : Adibah Hamid
Ketua I : St.
Fatimah Bsc
Ketua II : Marjain AS ,
BA
Ketua III :
Musyarafah MS, BA
Sekretaris Umum : Aminah Asraf, BA
Sekretaris I : St. Rahayu,
Bsc
Sekretaris II : Fatimah
Aminah, BA
Sekretaris III : Faizah Ridwan,
BA
BIRO - BIRO :
Biro Kader : Munaijah,
BA
Penerangan dan
Da’wah : Zainatus Shalihah,
BA
:
Machsushah Tosari Wijaya
Kesejahteraan : Asiah Ghani
Olah Raga dan
Seni : Tjitjik
Mursyidah
Pembantu-pembantu : Ismi Marzain, BA
:
Djazilah Rahman, BA
:
Noor Endah NLC
Mengenai aktivitas PMII dalam
kehidupan politik praktis menjelang pemilihan umum 1971 dapat kita lihat pada
sub bab berikut ini :
PMII DALAM PEMILIHAN UMUM 1971
Pesta demokrasi
yang untuk pertama kalinya diadakan sejak kelahiran orde baru mempunyai arti
penting, tidak saja bagi pemerintah Indonesia , tetapi juga bagi perjalanan
PMII kelak dikemudian hari. Keterlibatan PMII dalam pemilu 1971 memang tidak
secara langsung, tetapi PMII aktif mensukseskan pemilu ini dibawah panji-panji
partai NU. Para tokoh-tokoh PMII yang terlibat aktif dalam lembaga pemenangan
pemilu NU (LAPUNU) antara lain : Drs. Abduh Paddare sebagai sekretaris LAPUNU,
Dr. Fahmi Ja’far sebagai wakil bendahara LAPUNU, dan sahabat Hasyim Adnan
tampil sebagai juru kampanye NU yang sangat terkenal karena keberaniannya,
sehingga praktis sumber daya dan tokoh-tokoh PMII tersedot untuk kepentingan
memenangkan NU pada pemilu 1971 tersebut. Aktivitas yang dilakukanpara aktivis
PP PMII ini juga menular pada para fungsionaris-fungsionaris di tingkat cabang
dan wilayah, seperti yang dilaporkan oleh Bulettin LAPUNU pusat nomor 3 April
1970 :
MAHASISWA KITA SIAP MEMBANTU PEMILU
Bertempat di
kantor IAIN Jl. Tamrin 42 Jakarta pada tanggal 22 Maret 1970 diadakan pertemuan
perkenalan dengan calon-calon mahasiswa. Kemudian yang bergabung dengan PMII
dimulai jam 08.00 sampai dengan jam 10.00, kemudian pada tanggal itu juga mulai
jam 11.00 sampai dengan jam 14.00 siang bertempat di rumah kediaman Almarhum
Bapak Zainal Arifin di Jl. Cikini, diadakan pertemuan antara pimpinan PMII
Jakarta Raya. Dalam pertemuan itu sahabat Marhum dari wakil sekretaris Umum
pusat memberikan penjelasan tentang masalah pemilihan umum, yang antara lain
dikatakan, bahwa pemilu itu untuk memperkokoh kedaulatan negara kita keluar dan
kedalam, dan bagi warga negara RI yang berumur 17 tahun atau yang sudah pernah
kawan, diberikan hak untuk memilih. Dan selanjutnya sahabat HM. Marhum
menganjurkan agar para mahasiswa membantu sepenuhnya atas kemenangan Nudalam
pemilu yang akan datang. [4])
Namun aktivitas PMII dalam pemilu
1971 ini berakibat fatal bagi kehidupan pergerakan selanjutnya. Seperti kita
ketahui, partai-partai politik mengalami kekalahan telak dari Golkar. Partai NU
sendiri hanya mampu menduduki 58 Kursi dari 360 kursi yang diperebutkan. Walau
sebenarnya jumlah suara yang berhasil diraih partai NU jauh lebih dari
partai-partai lainnya, namun itu tidak banyak mempunyai arti apa-apa, bahkan
berdampak negatif bagi partai NU dan ormas-ormas pendukungnya. Tentang hal ini
PB NU pernah melaporkan didepan peserta Muktamar NU tahun 1975 di Jakarta :
Sejak pemilu 1971
hingga kini terlihat jalas tanda-tanda sebagian orang merasa takut atau
sedikitnya segan dicap sebagai anggota partai yang sudah disatukan kegiatan
politiknya kedalam partai baru, termasuk didalamnya warga NU, sehingga langsung
ataupun tidak, keadaan ini menghambat jalannya roda Jam’iyah NU. Hal ini
ditambah dengan adanya perintah monoloyalitas pegawai negeri, perusahaan negara
dan pegawai daerah otonom serta pegawai-pegawai honorer. Padahal tidak sedikit
pemimpin-pemimpin NU tergolong kategori ini, terutama pegawai-pegawai dalam
lingkungan departemen agama. Dengan ini praktis roda NU di beberapa daerah
terhenti karena kehilangan tenaga-tenaga penggeraknya. Keadaan ini disementara
daerah masih ditambah dengan kesulitan-kesulitan adanya sementara ulama kita
yang karena rasa tanggung jawabnya akan kelanjutan pendidikan di Pesantrennya,
seolah-olah memutuskan hubungan dengan Jam’iyah NU, karena berbagai
pertimbangan yang didasarkan pada kepentingan Islam secara umum. [5])
Situasi tidak menguntungkan yang
menyelimuti partai NU, termasuk PMII itu, dapat disimak dari pidato ketua umum
PP PMII pada Lustrum III PMII :
Saat-saat sebelum
dan lebih-lebih setelah pemilu 1971 dimana situasi politik mempengaruhi
kehidupan generasi muda, menyebabkan kita tidak bisa melakukan pembinann secara
sungguh-sungguh. Pandangan dan langkah kita saat itu terseret oleh situasi
diluar kita. Keadaan ini melemahkan semangat dan vitalitas PMII sedemikian rupa
sehingga dalam beberapa saat terlena dalam situasi yang tidak menguntungkan
bagi pembinaan, perkembangan dan perjuangan PMII secara keseluruhan.
Itulah gambaran sepintas aktivitas
PMII menjelang dan sesudah pemilu 1971. Pada periode ini banyak aktivis PMII
yang akhirnya terjun secara total menjadi politisi, sehingga ada pameo yang
mengatakan bahwa apabila ada wakil ketua DPRD, apakah itu tingkat I ataupun
tingkat II dari fraksi PPP dan dia menyandang gelar sarjana, maka dapat
dipastikan dia itu alumni PMII.
Ditingkat nasional, warga
PMII yang aktif sebagai politisi dan menempuh melalui jalur partai NU, sebagian
besar tergabung dalam PPP, seperti H. Mahbub Junaidi (kini Almarhum) pernah
aktif sebagai wakil ketua majlis penasehat/dewan pertimbangan partai PPP, Drs.
Zamroni anggota DPR RI dan pernah aktif sebagai ketua I DPP PPP, Ruslan Kasmir,
Anggora MPR RI, Drs. Fahrurrozi AH, sebagai anggota DPR RI dan lain-lain, tidak
banyak bergabung dengan Golkar, seperti sahabat Chalid Mawardi, anggota DPR RI,
yang pernah bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Lebanon dan Siria, Drs. Slamet
Effendi Yusuf anggota DPR RI, kini sebagai ketua DPP Golkar, dan lain
sebagainya.
C. Musyawarah Besar ke II Murnajati dan
Deklarasi Independensi PMII
Dalam perjalanan
sejarah PMII banyak peristiwa dan momentum sejarah yang manjdai cermin
transformatif bagi gerakan-gerakan PMII di masa kini maupun dimasa mendatang.
Cermin bagi uji kualitas perjalanan yang panjang dan menantang.
Salah satu momentum sejarah
perjalanan PMII yang membawa pada perubahan secara mendasar pada perjalanan
PMII selanjutnya adalah dicetuskannya “Independensi
pmii” pada tanggal 14 Juli 1972 di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur, yang
kemudian kita kenal dengan “Deklarasi
Murnajati” . Lahirnya deklarasi ini berkenaan dengan situasi politik
nasional, ketika peran partai politik dikebiri - bahkan partisipasi dalam
pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi - dan mulai dihapuskan. Hal
mulai dirasakan oleh NU yang notabene merupakan partai politik. Hal inipun
dirasakan pula oleh organisasi dependennya, termasuk didalamnya PMII. Ditambah
lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando Back to Campus. Dalam
kondisi seperti itu, maka PMII mencari alternatif baru dengan tidak lagi
dependen kepada partai politik manapun. [6])
Keterlibatan PMII dalam dunia
politik praktis yang terlalu jauh pada pemilu 1971 itu akhirnya sangat
merugikan PMII sendiri sebagai organisasi mahasiswa. Akibatnya PMII banyak
mengalami kemunduran dalam segala aspek gerakannya. Hal ini juga berakibat
buruk pada beberapa cabang PMII di daerah.
Kondisi ini akhirnya menyadarkan PP
PMII untuk mengkaji ulang kiprahnya yang selama ini dilakukan, khususnya dalam
dunia politik praktis. Setelah melalui beberapa pertimbangan yang mendalam ,
maka pada Musyawarah Besar II tanggal 14 - 16 Juli 1972 PMII mencetuskan
deklarasi Independen PMII di Murnajati Lawang Malang Jawa Timur.[7])
Sebenarnya bukan pelaksanaan Mubes
itu yang penting, tetapi keputusan Mubes itulah yang terpenting dan sangat
menentukan PMII selanjutnya. Bahwa keterlibatan PMII yang sedemikian jauh dalam
dunia politik praktis ternyata sangat tidak menguntungkan
PMII sendiri. Dan lupa bahwa ia adalah gerakan mahasiswa yang sebenarnya jauh
dari nilai-nilai status. Ini sangat berbeda dengan tujuan partai politik yang
memang segala orientasi dan gerakannya mengarah pada “Power Oriented”.
Dengan latar belakang pemikiran dan
motivasi tersebut, maka pada tanggal 14 Juli 1972 secara formal PMII berpisah
secara struktural dengan NU. Hal-hal yang berkenaan dengan Independensi di atas
dapat dilihat dalam Dokumen historis PMII, antara lain :
Pertama : Bahwa komitmen independensi PMII
sebagaimana telah di deklarasikan di Murnajati merupakan manivestasi kesadaran
PMII yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan
berfikir, dan pembangunan kreativitas yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
Kedua :Bahwa
Independensi PMII merupakan manivestasi kesadaran organisasi dari tuntutan kemandirian,
kepeloporan, kebebasan berfikir dan berkreasi serta tanggung jawab sebagai
kader ummat dan negara.
Menurut Otong Abdurrahman yang
dikutip Moh. Fajrul Falakh (1988 : 11), bahwa motivasi Independensi PMII di
dorong oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Independensi PMII merupakan proses rekayasa sosial
PMII dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.
Mahasiswa sebagai insan akademis harus menentukan
sikap, ukurannya adalah obyektifitas dalam mengemukakan ilmu, cinta kebenaran
dan keadilan.
3.
PMII meraasa canggung dalam menghadapi
masalah-masalah nasional karena harus selalu melihat dan memperhatikan
kepentingan induknya.
4.
Untuk mengembangkan ideologinya, PMII mencoba
memperjuangkan sendiri, sebab dengan perubahan AD/ART yang tidak lagi dibatasi
secara formal oleh mazhab yang empat. Dengan demikian diharapkan PMII dapat
berkembang diperguruan tinggi-perguruan tinggi umum, terlebih-lebih di
perguruan tinggi agama.
5.
Sedangkan secara politis, sikap independen itu konon
ada bergaining antara tokoh PMII pada saat itu dengan pemerintah, dan ini
terbukti sejimlah tokoh PMII tersebut, seperti sahabat Zamroni, Abduh Paddare,
Hatta Musthofa, Said Budairi, tercatat sebagai orang yang melahirkan deklarasi
pemuda Indonesia yang kemudian menjadi KNPI (Komite Nasional Pemuda
Indonesia).
Sejak dikumandangkannya Deklarasi
Murnajati itulah PMII menjadi organisasi yang bebas menentukan kehendak dan
idealismenya, tanpa harus berkonsultasi dengan organisasi manapun, termasuk NU.
Akan tetapi keterpisahan secara struktural tidak membatasi ikatan emosional
antara kedua organisasi ini. Antara keduanya masih mempunyai benang merah
pemahaman ideologis, yaitu Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Untuk lebih memahami
deklarasi murnajati, dapat dilihat selengkapnya berikut ini :
DEKLARASI MURNAJATI
Bismillahirrahmanirrohiem
“Kamu sekalian
adalah sebaik-baik ummat yang dititahkan kepada manusia untuk memerintahkan
kebaikan dan mencegah perbuatan yang mungkar” (Al-Qor’an).
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), insyaf dan yakin serta tanggung jawab
terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan
dalam mengisi kemerdekaan Indonesia
dengan pembangunan material dan spiritual. Bertekad untuk mempersiapkan dan
mengambangkan diri dengan senaik-baiknya :
·
Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan
insan-insan Indonesia
yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta
bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya.
·
Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selaku genarasi muda Indonesia sadar
akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan
yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
·
Bahwa perjuangan Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan Deklarasi
Tawangmangu menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap
dan pembinaan rasa tanggung jawab.
·
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia serta dengan memohon rahmat Allah Swt, dengan ini
menyatakan diri sebagai “Organisasi Independen” yang tidak
terikat dalam sikap dan tindakannya kepada siapapun dan hanya komited dengan
perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan Nasional yang berlandaskan
Pancasila.
Musyawarah Besar II
Pergetrakan Mahasiswa Islam Indonesia
Di Murnajati
Lawang Malang
Jawa Timur 14
Juli 1972
TIM PERUMUS DEKLARASI
MURNAJATI
1.
Umar Basalim (
Bandung )
2.
Madjidi Syah ( Bandung )
3.
Slamet Effendy Yusuf (Yogjakarta)
4.
Man Muhammad Iskandar (
Bandung )
5.
Choirunnisa Yafizham ( Medan )
6.
Tatik Farikhah (
Surabaya )
7.
Rahman Idrus ( )
8.
Muis Kabri ( Malang )
LAGU DEKLARASI MURNAJATI
Deklarasi
Murnajati sebagai ketentuan
Kini PMII telah
menjadi Independen
Di Arena ini kita
pupuk persatuan
Demi cita-cita
perjuangan Nasional.
D. Pro-Kontra Tentang Independensi PMII
Chalid Mawardi, mantan Duta Besar
RI untuk Lebanon dan Siria, yang juga salah seorang sponsor pendiri PMII,
menulis tentang “PMII dan cita-cita NU” di Harian Kompas, sehubungan dengan
sikapnya tentang “Independensi PMII” sebagai berikut :
“………. Lahirnya
PMII sebagai wadah generasi muda NU yang berpredikat mahasiswa merupakan
indikator kuat bahwa sebenarnya telah tumbuh sebuah “ranting” baru pada “pohon”
Nahdlatul Ulama, yang terdiri dari generasi muda dengan latar belakang
pendidikan dan budaya yang sama sekali berbeda. Komitmen generasi muda dari
kalangan perguruan tinggi ini kepada Jema’ah Nahdliyin terbatas pada kebersamaan
akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan tradisi-tradisi ritual NU. Dibidang inipun,
keterikatan mereka sangat longgar, baik karena kurang paham, maupun karena
tidak begitu tertarik untuk memahami.
Dari tahun
ketahun “ranting” itu semakin tumbuh - dan sekarang sudah menjelma menjadi
sebuah cabang yang kokoh. Potensi generasi muda yang tadinya berpredikat
sebagai mahasiswa itu, semakin banyak yang berganti predikat menjadi sarjana.
Bukan mustahil cabang ini dikemudian hari akan lebih kuat dan memainkan peranan
yang lebih penting dalan jajaran Jam’iyah, serta akan mengalirkan
wawasan-wawasan NU yang rasional dalam semua bidang ………………………………………………..
………………………………………………………………..
Namun disisi
lain, kita juga harus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan negatif dari kian
menguatnya cabang baru dari pohaon Nahdlatul Ulama itu terhadap Jam’iyah
Nahdliyin maupun terhadap Jama’ah NU sendiri. Bahaya itu pasti akan timbul
apabila saya generasi berpendidikan univesrsitas, yang kelah tumbuh menjadi
kelompok intelektual di dalam NU itu, terjangkit “snobisme intelektual” atau
perasaan angkuh dikarenakan estimasi diri yang berlebihan, atau perasaan
seolah-olah dirinya lebih pintar ketimbang kebanyakan warga nahdliyin yang lain
………………………………………………………………..
Kecemasan
terhadap kemungkinan munculnya “snobisme intelektual” dalam masyarakat NU
kiranya bukan suatu hal yang tidak beralasan. Independensi PMII - yang oleh
pembela-pembelanya disebut secara apoligetik sebagai “hanya formal
organisatoris” dan tidak sungguh-sungguh substansial itu - mudah mudahan tidak
akan menjadi gejala awal dari sifat self alenating process para mahasiswa dan
kaum intelektual NU dari masyarakat Nahdliyin.
Sebab apabila
sikap mengasingkan diri dari lingkungan keluarga besar NU dilakukan generasi
muda Nahdliyin yang berpendidikan
tinggi, maka harapan-harapan besar, bagi peranan mereka untuk
memodernisir NU, sebagaimana dinyatakan pada waktu PMII dilahirkan, akan
tersia-siakan. Dan NU akan kehilangan Grip terhadap potensi pembaharuannya
sendiri. Dan akibatnya, NU akan terus tercekam oleh
tradisionalismenya……………………………
……………………………………………………………….
Disinilah
pentingnya khidmat kaum terpelajar, khususnya warga PMII, untuk memelihara
keberadaannya dalam lungkungan keluarga besar NU dan bersama-sama dengan ummat
nahdliyin yang lain. Kemampuan kaum intelekual NU akan sangat dibutuhkan untuk
meniupkan perubahan elan sejarah kedalam masyarakat nahdliyin, dengan pedoman
yang dipakai oleh NU sendiri :Memelihara yang lama, yang masih relevan, masih
produktif, dan masih diperlukan. Dan bersamaan dengan itu, mengubah,
memperbaiki dan mengganti yang lama dan usang, tidak efektif, serta anti
progres”. [8])
Sehubungan dengan Pro-Kontra
tentang Independensi PMII ini, Mahbub Junaidi menanggapi :
“…….Saya coba
yakinkan semua pihak mengenai apa yang sebetulnya berkembang di PMII. Betapa
sinisnya anak-anak muda kepada pimpinan NU, dan betapa tidak acuhnya pimpinan
itu kepada anak-anak muda yang mengecam mereka. Saya mengatakan bahwa
“Independensi” itu merupakan bukti dinamisnya anak yang mestinya diterima
sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah secara struktural, aia masih
terasa terikat dengan ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Sejak
“Independensi” 1973, masih saja jadi persoalan apa manfaatnya PMII melepaskan
diri dari NU dan apakah tidak lebih baik jika PMII kembali melepaskan
“Independensi-nya” pada saat NU tidak lagi berpolitik seperti sekarang ?.
Dengan meneliti
kehidupan PMII secara cermat, itulah kita bahwa masalah “Independensi”
merupakan kekuatan kokoh yang mustahil dibongkar lagi. Kehidupan anak-anak muda
sekarang sudah jauh lebih maju dibanding dengan mereka dalam satu dekade ini.
Kebiasaan hidup mandiri sudah merupakan hal yang sulit diubah lagi. [9])
Pndangan lain tentang “Independensi
PMII” adalah pendapat dari sahabat Zamroni, yang waktu itu menjabat sebagai
Ketua Umum PP PMII, beliau mengatakan :
“………Masa periode
kepemimpinan saya yang kedua, secara Intern PMII menghadapi keadaan yang kurang
enak dilihat dan dirasakan. NU sebagai tempat bernaung, terkena polusi yang
berfirqah-firqah. Ada
kelompok Idham Chalid, ada kubu Subhan ZE, dan ada golongan Syaichu.
Dalam situasi
yang demikian, saya berpikir keras ingin tetap menyelamatkan PMII, agar tidak
terjebak oleh kepentingan politik praktis dari kubu-kubu tertentu dalam tubuh
PB NU. Cara untuk keluar dari siklus itu, PMII harus Independen. Namun alasan
Independen PMII tidak sekedar itu, melainkan juga karena PMII makin besar dan
dewasa. Jadi harus bisa menentukan sikap dan masa depan sendiri. Gagasan
independen ini, sebelum dibawa ke Musyawarah Besar, terlebih dahulu saya
konsultasikan kesemua pihak. Diantaranya Bapak Idham Chalid, Mahbub Junaidi,
dan Subhan ZE. Pak Idham dan Mahbub setuju, hanya Subhan yang tidak setuju.
Padahal saat itu saya paling dekat dengan Subhan. Alasan Subhan, karena NU
tetap membutuhkan dukungan PMII. Sementara alasan dari mereka yang menyetujui,
konon karena PMII saat itu menjadi “anak mas” NU. Karena itu, apapun usulan dan
permintaan PMII, NU pasti menyetujui, paling tidak, NU sulit menolak secara
langsung……………………………………………………..
……………………………………………………………….
Tiba saatnya
Musyawarah Besar berlangsung di Murnajati Lawang Malang 1972, saat itu sikap Independen PMII
diproklamirkan. Pak Idham yang semula bersedia menutup acara Mubes, ternyata
tidak hadir. Ini bisa dimaklumi, karena kala itu PMII sedang mendapat kecaman
dari beberapa kalangan PB NU. Namun PMII ttap pada sikap dan pendiriannya :
Independen.
Salah satu diktum
independensi itu disebabkan bahwa perjuangan PMII hanya terikat pada Pancasila.
Padahal waktu itu, belum ada bau-bau azas tunggal Pancasila……….
……………………………………………………………….
Sikap
independensi PMII tetap berada pada konsistensi Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah
(asawaja). Di tengah warga nahdliyin, PMII-lah perumus konsep Aswaja secara
tertulis, . Para perumus itu diantaranya adalah Harun Al-Rasyid dan Chatibul
Umam (kini pengajar di MTIQ dan IAIN Jakarta), Nah sekarang biar PMII
Independen, tetapi tetap Aswaja, paradigma ini yang sama dengan NU. Rasanya
tanpa PMII, NU sulit bsa maju. Apalagi sebelum Gus Dur. Setiap pertemuan di NU,
PMII-lah yang mewarnai forum itu. [10])
Sedangkan Said Budairy (Sekretaris
Umum PP.PMII yang pertama) menanggapi “bahwa Indepndensi PMII sangat bisa
dimaklumi, karena itu merupakan suatu perkembangan yang dipengaruhi oleh
situasi politik pada saat itu. PMII ingin tetap eksis demi kiprahnya yang lebih
luas di dunia Kepemudaan dan Kemahasiswaan”.
Sikap moderat dalam menyikapi
“Independensi PMII”, adalah sikap seperti yang ditunjukkan oleh sahabat Abduh
Paddare :
“……… Saya
memimpin PMII sejak organisasi ini Independen, namun saya bukanlah salah satu
arsitek Independensi. Sebenarnya, saya tidak setuju dengan sikap itu. Artinya
Independen lepas dari NU secara total. Sebetulnya ada faktor luar sehubungan
dengan sikap Independensi PMII yang diremikan dalam kongres IV di Ciloto Jawa
Barat. Namun saya tidak usah cerita atau melihat dan menilai yang negatif. Saya
ingin mengatakan, kalau Independen itu dalam rangka untuk kepentingan bangsa
dan negra, saya kira bagus, kendati saat itu NU merasa sakit.
Rasa sakit NU
akbiat sikap PMII itu adalah sesuatu yang wajar. Pasalnya ketika itu NU sedang
jatuh, kalah bersaing dengan Sekber Golkar (Golkar) dalam pwmilu 1971. Ternyata
pada 1972, PMII sebagai anak mas-nya, menyatakan keluar dari lorang tuanya.
Apalagi dengan bermacam-macam dalih, ini berarti NU sudah jatuh, ketimpa tangga
pula.
Saya dengar, saat
itu Zamroni menghadap Pak Idham Chalid sebagai ketua umum PB NU, dan Pak Idham
merestui sikap Independensi PMII itu. Akan tetapi ketika saya datang ke Pak
Idham, “katanya beliau tidak setuju”. Dari sikap pimpinan NU ini, akhirnya saya
memutuskan tidak hadir di Musyawarah Besar PMII di Malang pada tahun 1972 itu.
Dalam kongres ke
V PMII di Ciloto Jawa Barat1973, sikap Independensi PMII itu dipertegas.
Kongres yang di ikuti 60 cabang dari 120 cabang seluruh Indonesia .
Karena cabang yang hadir hanya separoh dari jumlah yang ada, maka sebagian
utusan mengatakan kongres itu tidak sah. Karena kongres hanya dihadiri oleh
cabang-cabang besar. Cabang-cabang ini dinggap cukup mewakili cabang-cabang
kecil yang tidak bisa hadir. Kongres menghasilkan berbagai keputusan. Namun,
sampai kongres di tutup, ada satu hal yang belum diselesaikan, yaitu pemilihan
pengurus.
Akhirnya,
pemilihan pengurus ini dilanjutkan di wisma angkatan laut (di balakang Hotel
borobudur) selama dua malam. Itupun
tidak selesai juga. Akhirnya, acara itu dilanjutkan di kantor PB NU.
Saya dipilih sebagai ketua umum, setelah bersaing dengan sahabat AmdirThaher. [11])
E. Reaksi Cabang-Cabang Terhadap Independensi PMII
Sedangkan reaksi dari cabang-cabang PMII dalam menanggapi Keputusan
Independensi ini sangat bervariatif, hal ini dapat dilihat dari cabang dan
Koorcab yang ada, secara defacto dan dejure, ada laporan kegiatan dan mendapat
pengesahan dari PB.PMII. Cabang yang termasuk kriteria ini tinggal 47 cabang.
Sedangkan Cabang yang dianggap ada, tetapi tidak mau mengadakan penyesuaian
terhadap AD/ART yang baru (baca=tidak
setuju dengan Independensi PMII secara terang-terangan) tidak mendapat
pengesahan PB.PMII. Cabang yang termasuk klasifikasi ini sebanyak 15 cabang.[12]) Sedangkan
sisanya sebanyak kurang lebih 58 cabang dalam keadaan hanya sekedar “Papan
Nama”.[13]) Artinya keadaan
ini menunjukkan bahwa setelah PMII menyatakan dirinya Independen ternyata masih
menyisakan persoalan yang sangat serius di dalam tubuh PMII. Dari 120 cabang
PMII di seluruh Indonesia
(saat PMII masih Dependen) hanya tinggal
sekitar 47 cabang yang aktif (setelah PMII Independen) dan mendapat pengesahan
dari PB.PMII.
Sementara itu reaksi dari cabang-cabang PMII, antara lain dapat dilihat
dari sikap PMII cabang Yogjakarta, mereka menerima Independensi PMII sebab itu
merupakan proses dari rekayasa sosial PMII dimasa datang dalam menjawab
tantangan kehidupan pemuda dan Mahasiswa serta berbangsa di Indonesia . PMII
Yogjakarta mendukung penuh di putuskannya Independensi PMII itu, dengan
beberapa alasan. Pertama, Mahasiswa sebagai insan akademis harus bebas
menentukan sikap, ukurannya adalah obyektifitas dalam mengemukakan ilmu, cinta
kebenaran dan keadilan. Kedua, PMII merasa canggung dalam menghadapi masalah
nasional, karena harus selalu melihat dan mempertimbangkan NU sebagai induknya.
Dalam hal ini bagaimanapun juga antara NU dan PMII tidak bisa disamakan,
permasalahan yang dihadapinya berbeda. NU adalah partai politik sedangkan PMII
organisasi kader, organisasi mahasiswa yang tidak ada kaitan langsung dengan
kepentingan politik. Ketiga, Hubungan mahasiswa dengan lingkungan harus terbuka
dalam melihat permasalahan bangsa dan keindonesiaannya. Oleh karena itu sikap
PMII adalah benar.[14]) Dengan sikap
Independensi PMII itulah diharapkan menjadi organisasi mahasiswa yang terbuka
bagi semua mahasiswa Islam Indonesia ,
selama masih mengakui Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.[15]) Untuk
mengembangkan ideologi dan pemahamannya terhadap Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
, PMII mencoba memperjuangkan sendiri, sebab dengan perubahan AD/ART yang tidak
lagi dibatasi secara formal oleh Mazhab yang empat. Dengan demikian PMII
diharapkan dapat berkembang di perguruan- perguruan tinggi umum, terlebih-lebih
di perguruan tinggi agama.
Bahkan khusus mengenai eksistensi
dan hubungan PMII-NU (setelah NU Kembali ke khittah 1926) menjelang Muktamar ke
28 NU, masih banyak pihak mengharapkan PMII dapat mempertimbangkan kembali
sikap Independensi yang telah diputuskan sejak tahun 1q972. Terhadap masalah
ini, PB.PMII tetap mengambil sikap tegas untuk tetap menjadikan PMII sebagai
organisasi Independen, sesuai dengan “Deklarasi Murnajati” yang dikukuhkan dalam Kongres V PMII tahun
1973 di Ciloto Jawa Barat. Penegasan Sikap PB.PMII ini disebut “Penegasan Cibogo”, yang ditetapkan
dalam Rapat Pleno PB.PMII di Cibogo pada tanggal 8 Oktober 1989.
Penegasan Cibogo ini didasarkan
atas pertimbangan Bahwa Independensi
PMII merupakan manivestasi dari kesadaran organisasi terhadap tuntutan
kemandirian, kepeloporan, kebebasan berpikir, dan berkreasi, serta tanggung
jawab sebagai kader umat dan bangsa.
Bahwa Independensi PMII merupakan
upaya merespon pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung nilai etik
dan moral serta idealisme yang di jiwai oleh ajaran Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut PB. PMII menegaskan kembali bahwa
“Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
adalah organisasi Independen yang tidak terikat dalam sikap dan tindakannya
kepada siapapun dan hanya komited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita
perjuangan nasional yang berlandaskan Pncasila dan akan terus
mengaktualisasikan dalam kehidupan berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Jika diamati berbagai pendapat yang
berkembang seputar Independensi PMII, jelas bagi kita betapa banyak pandangan
dan langkah-langkah yang sudah dilakukan PMII Sejak ia dilahirkan. Sebagai
contoh pendapat dari sahabat Chalid mawardi di atas, bagaimana ia secara tegas
menghendaki agar PMII kembali “Dependen” pada NU. Sebab hanya dengan jalan itu
terjamin lancarnya usaha meniupkan elan yang masih berlaku : Mempertahankan yang
lama, yang labih baik, dan merubah serta memperbaiki sesuatu yang tidak baik.
[1] Ali Murtopo, Strategi
Politik Nasional, CSIS, Jakarta ,
1974, Halaman 59
[2] PP PMII, Penjelasan
Sekitar Rederessing DPR GR, Surat Edaran PP PMII kepada Pengurus Cabang
dan Pengurus Wilayah, Tanggal 20 Februari 1968, No. 206/PP-IV/II-68.
[3] ). A. Effendy Choiri dan Choirul Anam, Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi, Penerbit
Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Surabaya tahun 1991, Halaman 97
[4] LAPUNU Pusat, Bulettin
LAPUNU, Jakarta ,
No. 3 April 1970, Halaman 1
[5] Laporan PB NU, pada Muktamar NU tahun 1975, di Jakarta.
[6] Fauzan Alfas, Sejarah
Perjalanan PMII, Makalah pada MAPABA PMII, Malang , 1992.
[7]) Catatan : Musyawarah Besar PMII I dilaksanakan di Leles Garut Jawa
Barat pada tanggal 20-27 Januari 1969
[8] Chalid Mawardi, PMII dan
Cita-cita NU, dalam Pemikiran
PMII dalam berbagai visi dan persepsi, Effendy Choiri dan Choirul Anam,
Aula, Surabaya, 1991, Halaman 76 - 79
[9] Mahbub Junaidi, PMII
Belajar dan Berpolitik, dalam buku yang sama, Halaman 63 - 64
[10] Zamroni, PMII dan Proses
Orde Baru, Ibid, Halaman 98 - 99
[11] Abduh Paddare, PMII dan
Konsolidasi KNPI, Ibid, Halaman 102
[12]) Laporang Pertanggung Jawaban PB.PMII 1973-1977 pada Kongres VI
PMII di Wisma Tanah Air Jakarta
pada tanggal 8-12 Oktober 1977.
[13]) Secara kuantitas jumlah cabang PMII seluruh Indonesia pada
periode 1970- 1973 sebanyak 120 Cabang. Lihat LPJ PB.PMII 1973-1977
[14]) Otong Abdurrahman, PMII 1960-1985, Untukmu Satu Eanah Airku,
Untukmu Satu Keyakinanku, PB.PMII,
2005
[15]) Lihat Hasil-hasil Kongres V PMII di Ciloto Jawa Barat, tanggal
23-28 Desember 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar