Minggu, 16 Desember 2012

SEJARAH PMII BAB IV


BAB  IV

UPAYA MEMBANGUN CITRA DIRI
( 1973 - 1981 )

A.    MANIVESTO INDEPENDEN

            Akibat dari perubahann drastis iklim politik pemerintahan Orde Baru, dimana kehidupan politik lebih menekankan pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk hidup jor-joran seperti  pada masa lalu, maka kehidupan organisasi mahasiswa, apalagi bagi organisasi mahasiswa yang dependen pada partai politik, dampaknya, pada suasana kehidupan berorganisasi terasa pengab.

            Kelahiran Orde Baru secara dramatis di tahun 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan akan adanya suatu perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi daan sosial budaya.

            Kekuatan militer dibawah pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari komunitas muda dan mahasiswa.

            Akan tetapi masa bulan madupenguasa baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradikdi persepsi mulai nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti dirasakan beringsut dari komitmen awal kelahirannya dan bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adalanya elite di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kesenderungan penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita orde baru. Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah seorang aspri Presiden Soeharto, Ali Murtopo, dengan potensi patnernya, melakukan manuver politik yang menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan protes mahasiswa pada tahun tujuh puluhan.

            Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan, yang secara teoritis dapat menggunakan dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan Polisi, atau penanaman ideologi. Karena tindakan represi selalu berarti penggunaan kekerasandan kekuatan fisik secara langsung untuk pengamanan dan pelanggengan dominasi kekuasaan. Sedangkan penanaman ideologi merupakan upaya untuk membangun legitimasi kekuasaan dan pengakuan atas hak memerintah dari suatu rezin. [1])

            Kesulitan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi pada beberapa negara, terutama pada negara berkembang, telah menyadarkan banyak komunitas kritis, dalam hal ini mahasiswa menjadi bagian dominan, bahwa kekuasaan bukanlah benda mati yang bebal dan tak terusik, erta dapat diterapkan terhadap semua problema. Pandangan ini menjadi semakin jelas bahwa tidak semua kekuasaan memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pembangunan.

            Ini berarti, pintu bagi adanya kontrol sosial dari mahasiswa, tetap signifikan. Dan gerakan moral yang digelar oleh mahasiswa Indonesia di sisa kekuatan yang ada di tahun 70-an, menjadi episode akhir yang secara kritis dapat menawarkan keinginan untuk mengontrol, di tengah mandulnya fungsi kontrol dari lembaga-lembaga kontrol yang dimiliki oleh negara.

            Persoalan mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana isi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia kini, sehingga dalam memainkan peran “balance of power”  untuk mewujudkan transformasi lembaga dan struktur politik yang lebih demokratis. Dan bagaimana peran mahasiswa dalam memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sisoal.

            Untuk menjawab persoalan mendasar tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikirann di bawah ini :

Pertama : Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemiki ran yang lebih kritis dan analitis dalammenghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat seperti nilai, kepentingan dan kekuasaan.

Kedua    : Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan kepe - dulian sosilanya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya.

Ketiga    : Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh para ak- tivis KAMI yang dulu memimpikan suatu hasil yang sukses dan konkrit dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin tipis, berhubung dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan back ground dari kekuatan-kekuatan pendukung Orde Baru. [2])


            Melihat lenyataan seperti itu, mendorong warga pegerakan untuk lebih memperluas wawasan dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang banyak menyediakan alternatif perjuangan dan rekrutmen anggota yang lebih terbuka. Maka dalam kongres V PMII di Ciloto Bandung Jawa Barat, PMII mempertegas keputusan Musyawarah Besar II tentang “Independen” di Murnajati lawang malang.

            Perlu diketahui, bahwa keputusan terpenting Musyawarah besar II PMII di Murnajati itu adalah “deklarasi PMII sebagai organisasi mahasiswa Independen” yang tidak lagi terikat baik secara struktural maupun politik dengan pihak manapun dan hanya komited peda pencapaian tujuan serta pengembangan faham Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Keputusan monomental inidikenal dengan nama “Manivesto Independen” seperti tercermin dalam pernyataan berikut :


MANIVETSTO INDEPENDENSI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrohiem

            Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin akan tanggung jawabnya terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengambangkan diri sebaik-baiknya.

            Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, Taqwa kepada Allah Swt, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, selaku generasi muda Indonesia, sadr akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

            Bahwa dasarnya pengisian kemerdekaanadalah kegiatan yang didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi dengan sosialisasi ilmu kedalam sikap kulturil guna mengangkat mertabat dan derajat bangsa.

            Bahwa pada hakekatnya Independensisebagaimana telah di deklarasikan di Murnajati adalah merupakan manivestasi kesadaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.

            Bahawa Independensi Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisir dan mengambangkan potensi kulturil yang bersumber dari penghayatan nilai-nilai ajaran Islan untuk terbentuknya pribadi mulism yang berbudi luhur dan bertaqwa keapda Allah, berilmu da cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya.

            Bahwa pengembangan sifat-sifat kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta di dorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

            Bahwa dengan Independensi Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cit-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Medan Kongres V PMII
Ciloto, 28 Desember 1973 [3])


            Disamping itu kongres V PMII juga menghasilkan keputusan-keputusan tentang :

1.     Pola Kepemimpinan

            Pola kepemimpinan organisasi Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia harus menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan organisasi dengan dijiwai oleh isi “deklarasi Murnajati”.

            Konsekwensi dari pendirian tersebut di atas menuntut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yanag bersifat kerakyatan dengan berorientasi kepada masalah-masalah kaemahasiswaan, kampus dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperluakn pimpinan-pimpinan organisasi yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti sifat dinamis, kreatif, reponsif dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.

            Demikian juga pemahaman sepenuhnya terhadap azas, sifat dan tujuan PMII serta kemampuan manajerial leadership menjadi tuntutan mutlak bagi kepemimpinan pergerakan mahasiswa Islam Indonesia.

            Maka oleh karenanya kepemimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang Independen harus menjauhkan seluruh kemungkinan yang akan mengurangi arti dari Indpendensi, seperti : Perangkapan jabatan pengurus PMII dengan pengurus Partai atau organisasi lain pada badan-badan legeslatif.


2.     Appeal - Ciloto

1)     Bahwa pada hakekatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang layak sebagai suatu bangsa yang merdeka, tidak terbelnggu oleh kultur yang diciptakan oleh Orde Lama.
2)     Bahwa untuk lepas dari belenggu keterbelakangan sebagai akibat kultur tersebut perlu tampilnya orde lain sebagai suatu alternatif.
3)     Bahwa menentukan altenatif sebagaimana dimaksud, merupakan suatu perjuangan yang meminta banyak pengorbanan.
4)     Sejarah mencatat bahwa perjuangan panjang demi tegaknya suatu orde adalah didukung oleh berbagai kekuatan.
5)     Bahwa peranan HM. Subhan ZE dalam proses perjuangan panjang dalam menentukan alternatif tersebut merupakan kenyataan sejarah pula.
6)     Bahwa penghormaatan kepada pendahulu yang telah meletakkan dasar-dasar suatu sistem yang lebih, adalah merupakan kepribadian nasional yang karakteristik.
7)     Maka oleh karenanya, Kongres V meng-appeal Presiden Republik Indonesia untuk menetapkan HM. Subhan ZE sebagai Pahlawan Nasional.


3.       Pokok-Pokok Pikiran Ciloto

            Sadar akan tanggung jawab PMII sebagai komponen generasi muda dalam memperjuangkan terciptanya kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik, maka kongres V PMII yang berlangsung tanggal 23 - 28 Desember 1973 di Ciloto Jawa Barat, mengemukakan pokok-pokok pikiran yang menyangkut bidang :

1.     Bidang Politik
2.     Bidang ekonomi
3.     Bidang sosial budaya
4.     Bidang pendidikan
5.     Bidang Hukum
6.     Bidang ketertiban dan keamanan masyarakat
            Dengan semangat Independen itulah PMII mulai menata kembali langkah pergerakan. Seperti disebutkan dimuka, bahwa akibat keterlibatan PMII yang terlalu jauh dalam urusan-urusan politik praktis, berakibat PMII mengalami kemunduran yang sangat memperihatinkan.

            Dalam kongres V ini pula , istilah-istilah untuk mesing-masing tingkatan organisasi dirubah.Misalnya, isltilah “Pucuk Pimpinan/Pimpinan pusat diganti dengan istilah “Pengurus Besar”, Pengurus Wilayah diganti dengan istilah “Pengurus Koordinator Cabang”.

            Sedangkan susunan Pengurus Besar PMII hasil kongres V di Ciloto Jawa Barat adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1973 - 1977 )

Ketua Umum                                    : Drs. Abduh Paddare
Ketua                                                : M. Madjidi Syah
Ketua                                                : Drs. TA. Munir
Ketua                                                : Drs. Muhaimin AG
Sekretaris Jenderral               : Ahmad Bagja
Sekbid Kader                        : A. Munir Sonhaji
Sekbid Penerangan               : Abd. Kadir Paddare
Sekbid Luar negeri               : Edy Suharmanto
SekbidOlah Raga/Kesenian  : H. Mutaqin Darmawan
Sekbid Keputerian                : Wus’ah Suralaga
Bendahara                             : Usman Tahir
Wakil Bendahara                  : Wahidudin Adam

Susunan Pengurus Besar PMII tersebut adalah hasil rapat formatur tanggal 10 - 15 Januari 1974 di Hotel Matruh Jakarta.

            Tugas utama kepengurusan PB PMII periode ini, melakukan konsolidasi organisasi secara menyeluruh. Hal ini mengingat PMII berada dalam situasi transisi, yakni keadaan yang sebelumnya merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi Independen yang lagi terikat baik secara struktural organisatoris maupun tindakan.

            Secara konsepsional PB PMII mengambil langkah-langkah konsolidasi, mengingat :

1)     Kepengurusan PB PMII karena berbagai hal perludimantapkan.
2)     Tahun 1874 - 1977 merupakan masa transisi bagi kehidupan PMIIDari keadaan dependen menjadi Independen (mandiri)
3)     Bidang kesekretariatan dalam keadaan memenuhi syarat minimum bagi kelancaran organisasi.
4)     Adanya cabang PMII yang hanya sekedar papn nama.
5)     Tidak adanya konsepsi yang tentang pola pembinaan PMII
6)     Perlu adanya pembinaan yang kontinyu bagi PMII dilingkungan IAIN (perguruan tinggi agama) dan pengembangan diluar IAIN (perguruan tinggi umum).
7)     Terhentinya kegiatan training-training di cabang-cabang.


            Langkah-langkah yang dilakukan oleh PB PMII pada periode ini dan tampaknya berhasil adalah :

1)     Cabang dan Koorcab yang ada, secara defacto dan de jure, ada laporan kegiatan dan mendapat pengesahan dari PB PMII. Cabang yang termasuk kreteria ini adalah sebanyak 47 Cabang.

2)     Cabang yang dianggap ada, tetapi tidak mau mengadakan penyesuaian terhadap AD/ART yang baru, tidak mendapat pengesahan PB PMII. Cabang yang termasuk klasifikasi ini sebanyak 15 Cabang. [4])

            Konsolidasi yang dilakukan PB PMII tidak hanya menyangkut rasionalisasi cabang-cabang, tetapi juga pembinaan dibidang pedoman adminstrasi dan kesekretariatan. Hal untuk menanggulangi banyaknya surat-surat dari daerah yang belum memenuhi peraturan keadministrasian yang berlaku. Khususnya tata adminstrasi yang berlaku dilingkungan PMII. Pedoman ini dibuat berdasarkan peraturan PP PMII Nomor 1 tahun 1968 tertanggal 28 Maret 1968.

            PB PMII juga melakukan konsolidasi terhadap cabang-cabang yang mengalami kevakuman, sambil mengadakan penyesuaian dan sosialisasi AD/ART yang baru.

            Pada periode ini PB PMII sempat menerbitkan Bulettin yang diberi nama “Generasi” dan mampu terbithingga nomor 25.

            Kegiatan konsolidasi yang lain adalah memindahkan kedudukan Korp PMII Puteri pusat dari Surabay ke Ibu Kota Jakarta (waktu itu yang menjabat sebagai ketua Kopri pusat adalah sahabati Choirunnisa Yafishsham) sesuai dengan hasil Musyawarah Besar I di Leles Garut Jawa Barat.


B.    MUSYAWARAH KERJA NASIONAL III DAN PERUMUSAN NDP PMII

            Musyawarah Nasional merupakan salah satu forum permusyawaratan dalam PMII sebagaimana di atur dalam AD/ART bab VI pasal 8 ayat 3. Sampai periode ini PB PMII telah melaksanakan mukernas sebanyak tiga kali. Yang pertama diadakan pada tanggal 21 - 26 Nopember 1967 di Jakarta, yang kedua diadakan  di Semarang jawa tengah, dan yang ketiga didadakah di Bandung Jawa Barat pada tanggal 1 - 5 Mei 1976. Forum Musyawarah Nasional III ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :

1)     Penyusunan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII.

Seperti kita ketahui bahwa PMII berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah (kini Pancasila) dalam setiap gerak langkahnya harus dimotivisir oleh nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. Tetapi nilai-nilai itu bagi warga pergerakan khususnya masih banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun tersimpan dalam benak para Ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal ini akan menyulitkan warga pergerakan yang masih awan terhadap nilai-nilai Aswaja, disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerjanya.

Adanya dilema ini, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi Independen, maka rekrutmen anggota tidak lagi melalui pendekatan ideologi maupun kultural historis, tetapi memakai pendekatan program. Konsekwensi dari pendekatan ini terjaringnya anggota PMII yang sama sekali belum, bahkan tidak berlatar belakang Aswaja. Pada gilirannya hal ini akan dapat membahayakan kederisasi dan fanatisme berorganisasi. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Musyawarah Nasional III PMII menyusun kerangka nilai-nilai Dasar Perjuangan NDP) PMII sebagai berikut :

a)     Urgensi NDP Bagi PMII
Sejalan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan PMII di masa kini dan Mendatang,terdapatnya penjabaran yang jelas dari azas organisasi PMII yaitu Islam yang berhaluan Aswaja dirasakan sebagai suatu kebutuhan yangsangat mendesak untuk segera dirumuskan. NDP PMII tersebut di butuhkan dalam kerangka memberi arah dan motivasi, memimpin tingkah laku warga pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai tujuan perjuangan sesuai dengan maksud di dirikannya organisasi ini.

b)    Posisi NDP PMII
Islam sebagai keyakinan mutlak bagi segenap warga PMII menempati posisi tertinggi di dalam memberikan tuntunan hidup dan kehidupan. Sementara itu, Aswaja segabau metode penghayatan/pemahamanajaran Islam tersebut, merupakan hasil penyerapan dari keduanya. NDP PMII adalah pilihan terbaik untuk keduanya, menuju perwujudan cita-cita pergerakan.

c)     Pengertian NDP PMII
Yang dimaksud dengan NDP PMII adalah suatu kebulatantekad, pandangan yang secara sistematis merupakan cermin dari keyakinan Islam yang berhaluan Aswaja untuk memberikan alas pijak dalam memberikan arah tingkah laku PMIIsebagai suatu kelompok sosial untuk mencapai cita-cita perjuangan.

d)    Kerangka Permasalahan NDP PMII
Dalam rangka keperluan perumusan NDP PMII, disusunlah kerangka permasalahan sebagai berikut :

1.     Mukaddimah
2.     Dimensi hubungan Manusia dengan Tuhan
3.     Dimensi hubungan Manusia dengan manusia
4.     Dimensi hubungan Manusia dengan Alam
5.     Dimensi masalah dengan Ilmu Pengetahuan
6.     Kesimpulan.

Selanjutnya penyusunan kerangka dasar NDP PMIIini diserahkan kepada tim yang bertanggung jawab kepada PB PMII, namun sayang, disebabkan kelemahan-kelemahan mekanisme kerja dan faktor-faktor lain, hingga kongres PMII ke VIII di Bandung Jawa Barat, penyusunan NDPPMII tersebut belum dapat diwujudkan.


2)     Penyusunan Pola Dasar Perjuangan PMII

Pola dasarperjuangan PMII merupakan landasan perjuangan atau dapatdikatakan sebagai GBHN-nya PMII. Bagi PMII sendiri tersusunnya PDM PMII merupakan hal yang baru, mengingat pada masa-masa sebelumnya PMII tidak memiliki landasan perjuangan yang bersifat baku dan operasional kecuali pokok-pokok pikiran yang lebih dekatpada nilai-nilaiteoritis filosofis. Secara garis besar Perjuangan PMII memuat:

a)      Pengertian
b)      Hakekat perjuangan
c)      Arah dan sasaran perjuangan PMII
d)     Ruang lingkup Perjuangan PMII
e)      Pola dasar operasional perjuangan PMII


3)     Rumusan Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi

Jika dalam pola dasar perjuangan PMII lebih menitik beratkan pada perjuangan PMII yang bersifat ekstern, atau dikenal dikenal dengan istilah partisipasi, maka garis-garis besar pembinaan orgainsasi ini lebih menekankan diri pada pijakan organisasi dalam rangka konsolidasi organisasi atau pengkaderan. Secara garis besar isi dari GBPO ini adalah sebagai berikut:

a.     Masalah Pengkaderan
Permasalahan ini menyangkut masalah pengkaderan, baik itu pernyataan yang berisi bahwa pengkaderan harus memperoleh prioritas dalam aktivitas programnya, pendekatan yang digunakan, maupun orientasi dari pengkaderan itu sendiri serta pedoman/petunjuk pelaksanaan pengkaderan yangdipergunakan.

b.     Masalah Kepemimpinan
Kepemimpinan yang diharapkan PMII adalah kepemimpinan yang harus mampu memnjiwai sifat pergerakan, yakni kekeluargaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan dan Independen. Sejalan dengan sifat-sifat organisasi tersebut kepemimpinan PMII dituntut untuk senantiasa responsif dan argumentatif serta dukehendaki pula adanya keterbukaan untuk regenerasi seluas-luasnya.

c.      Pembentukan Wadah Alumni
Untuk meningkatkan partisipasi aktif paraalumni, Mukernas III PMII memutuskan membentuk wadah Alumni yang dinamakan “Keluarga Alumni PMII”. Pembentukan wadah itu ternyata mengalami hambatan, sehingga sampai dengan pelaksanaan kongres PMII yangke VIII, wadah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Suatu analisa, bahwa hal itu dikarenakan adanya jurang pemisah antara alumni yang berorientasi ideologis dengan mereka status, sehingga diantara mereka masih terasa sulit untuk dijembatani, suatu pertautan kembali seperti ketika mereka hidup dalam satu wadah pergerakan.

d.     Langkah-langkah Rekrutmen Anggota Baru
Langkah inilebih mengarah pada rekrutmen anggota baru yang berlatar belakang keluarga santri intelektual disamping pada cara tradisional PMII, yang memang selalu bersumber pada keluarga santri pedesaan.
e.      Usaha Pencarian Sumber Dana
Musyawarah Nasional III berhasil merumuskan, baik secara komersial maupun secra tradisional yang dikaitkan dengan pengembangan pergerakan.


4)     Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemilu

Menghadapi pemilihan umum ketiga (1977, Musyawarah Nasional III berhasil memutuskan pokok-pokok pikiran  berkenaan dengan akan dilaksanakannya pemilu 1977. Pokok-pokok pikiran dimaksud, selengkapnya adalah sebagai berikut :

a)     Pemilihan umum bagi warga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan peristiwaa Penting dan dihormati, yang pelaksanaannya harus mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi rakyaatIndonesia.
b)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berpendapat bahwa pemilu adalah sarana untuk menciptakan suatu sistem kenegaraan dengan sebuah pemerintahan, ialah suatu negara hukum yang demokratis. Karena itu pwmilu 1977 harus maampu berdiri diatas prinsip-prinsip tersebut dengan melaksanakan aturan permainan yang telah disepakati.
c)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memandang bahwa fungsi pemilu harus betul-betul dihayati sebagai suatu keseimbangan antara sarana sosialisasi politik, sarana demokratisasi, dan sarana legitimasi. Sarana sosialisasi politik adalah menjadikan pemilu sebagai wadah pendidikan politik bagi warga negara Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya. Sarana demokratisasi, yakni sebagai wadah penyaluran kehendak yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Sedangkan sarana legitimasi adalah proses pemberian kekuasaan yamng sah bagi kekuatan yang memperoleh kemenangan dalam pemilu.
d)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia akan berpartisipasi dalam pemilu 1977 dengan mengutanakan tujuan-tujuan luhurnya daripada pencapaian kemenangan yang sifatnya praktis dan sementara serta mampu mewujudkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.


C.   PMII DALAM AKTIVITAS-AKTIVITAS EKSTERN

            Perjalanan dunia kemahasiswaan Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan  tersebut menuntut modifikasi format dan peran organisasi kemahasiswaan termasuk PMII dalam melaksanakan program-programnya.

            Dunia kemahasiswaan antara kurun waktu 1966 - 1970-an sangat diwarnai kegiatan-kegiatan yang sarat dengan muatan politik praktis. Kepeloporan mahasiswa dalam kurun waktu tersebut telah mampu memberikan kontribusi nyata baik dalam pembaharuan format politik dan kebangsaan maupun dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Peran kesejarahan mahasiswa seperti itu telah secara tepat menjawab kebutuhan zaman.

            Namun peran seperti itu tentu saja selalu relevan pada setiap waktu, situasi dan kondisi dunia kemahasiswaan pasca tahun 1970-an memiliki tuntutan yang berbeda dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi angkatan-angkatan sebelumnya. Meskipun pada dasarnya semangat, tujuan dan cita-cita tetap memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dunia kemahasiswaan pasca era 1970-an lebih dihadapkan pada tuntutan keilmuan secara lebih tegas. Bobot keilmuan dan keintelektualan dituntut lebih melekat pada peran kemahasiswaan era pasca 1970-an.

            Namun peran keilmuan secara lebih tegas seperti itu tidak begitu saja dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang singkat. Terjadi proses transisi yang cukup panjang. Dan PMII mengamati bahwa kurun waktu antara akhir tahun 1970-an hingga tahun 1980-an merupakan masa transisi baagi dunia kemahasiswaan, masa transisi dari pijakan peran yang lebih berbobot politik praktis menuju pada peran yang lebih berbobot keilmuan dan keintelektualan.

            Pada masa transisi seperti itu dunia kehamasiswaan memang seperti kehilangan elan dan semangat dalam melaksanakan progrm-programnya. Dan PMII sadar bahwa proses transisi seperti harus dapat dilampaui secepatnya secara lebih berhati-hati.

            Kini PMII melihat bahwa peran keilmuan dan keintelektualan bagi dunia kemahasiswaan sudah mulai tegas untuk segera dilaksanakan. PMII mengantisipasi bahwa era 1990-an bagi dunia kemahasiswaan adalah era yang mengartikulasikan secaratepat peran keilmuan dan keintelektualan. Oleh karena itu gerakan yang dilakukan PMII pada era 1990-an terfokus pada gerakan pemikiran, yang antara lain diwarnai dengan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan diberbagai disiplin keilmuan warganya. Setelah gerakan pemikiran dilampaui dengan baik, pada saatnya nanti PMII mencoba merumuskan gerakan kemandirian teknologi, meskipun mungkin baru dimulai pada tataran yang paling sederhana.

            Perubahan-perubahan yang terjadi di dunia kemahasiswaan seperti itu tentu terkait dengan perubahan yang terjadi pada situasi dan kondisi sosial ekonomim masyarakat secara keseluruhan. PMII mengamati bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai kehidupan yang sangat mendasar di dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat.

            Sejak era 1980-an nilai-nilai ekonomi telah begitu kuat meresap keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Orientasi dan kecendrungan masyarakat telah sangat diwarnai oleh nilai-nilai ekonomi. Hala ini wajar terjadi setelah selama kurang lebih 20 tahun pembangunan nasional ditekankan pada bidang ekonomi. Situasi globalisasi yang saat ini melanda diseluruh Indonesia telah membuat paradigma baru bahwa kekuatan dan ketahanan nasional suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan ketahanan ekonomi nasional dan masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu tampaknya akan terus menguat pada masa-masa mendatang. Atas kesadaran dan antisipasi seperti itu maka PMII pada era 1990-an kedepan memformulasikan dan mengaktualisasikan gerakan ekonomi dengan tahapan-tahapan tertentu.

            Bersamaan dengan perubahan-perubahan tersebut telah terjadi juga bahwa proses pembangunan tidak dapat bergantung semata-mata pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, tetapi justru sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya. Berdasarkan kesadaran seperti itu PMII mencoba untuk melakukan proses rekayasa sumber daya manusia secara lebih inten, sistematis dan idealis-pragmatis sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.

            Proses aktivitas dan gerakan seperti itu tentu saja tetap dilandasi, disemangati dan dimuarakan pada nilai-nilai Islam, yang merupakan landasan sekaligus sumber inspirasi bagi PMII dalam mengaplikasikan program-programnya. Bersamaan dengan itu PMII juga menyadari bahwa pemahaman dan gerakan keislaman yang bertanggung jawab di negara kita telah mengalami perubahan mendasar dari pemahaman yang bersifat formal menuju pemahaman dan gerakan yang lebih substansial. Oleh karena itu PMII terus melakukan gerakan pemahaman nilai-nilai Islam secara lebih substansial dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam lingkungan, bimbingan dan keberkahan Allah Swt.

            Sebagai organisasi pembinaan, pengembangan dan perjuangan, PMII juga dituntut aktifberpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa. Sesuai dengan predikatnya sebagai organisasi yang bersifat kemahasiswaan, kemasyarakatan, kekeluargaan dan independen, PMII harus aktif dalam kegiatan/persoalan-persoalan yang berdimensi kemahasiswaan, kemasyarakatan dan lain-lain. Adapun kegiatan yang dilakukan PB PMII selama periode 1974 - 1977 dan aktif di dalamnya adalah :

1)     PMII dan Kelompok Cipayung
Dalam sejarah perjuangan bangsa, peran mahasiswa cukup signifikan, bahkan sejarah membuktikan bahwa cikal bakal kebangkiatan nasional dimulai dengan tumbuhnya kesadaran mahasiswa untuk turut memikirkan nasib bangsanya. Pada tahun 1908 sekelompok mahasiswa yang menuntut ilmu pada sekolah kedokteran(stovia) tergrak membentuk wadah pergerakan yang kemudian dikenal dengan nama “Budi Utomo”. Wadah inilah yang merupakan cikal bakal dari kesadaran para mahasiswa dan pemuda untuk memikirkaan nasib bangsa dan negaranya. Bahkan setalah jaman kemerdekaan aktivitas mahasiswa dalam mengisi pembangunan bangsa semakin meningkat, dan karena mahasiswa paling potensial dalam menggerakkan organisasi, maka tidak aneh bila partai-partai politik dalam usaha mencapai tujuannya banyak menggunakan tenaga mahasiswa. Pada saat partai mengalami hidup subur itulah organisasi mahasiswa seakan mendapat angin segar untuk hidup penuh dengan kebebasan berorganisasi yang mendekati kehidupan berorganisasi yang paripurna. [5])  

Anak-anak muda Islam yang berhimpun dalam HMI (himpunan mahasiswa Islam), namun aspirasinya tidak tersalurkan melalui wadah ini, sehingga mereka tergerak untuk membentuk wadah-wadah perjuangan yang berlabel mahasiswa. Antara lain, misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tahun 1954, menyatakan diri sebagai onderbow Partai Nasional Indonesia (PNI). Tetapi dalam perkembangan selanjutnya GMNI menyatakan dirinya independen (1971). Kemudian PKI melahirkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Dikalangan kelompok Kristen juga lahir organisasi mahasiswa yaitu GMKI (gerakan mahasiswa Kristen Indonesia), begitu juga mahasiswa Katolik dengan PMKRI-nya (perhimpunan mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Disamping itu masih banyak organisasi-organisasi sejenis. Mahasiswa dari kalangan Islam-pun banyak tumbuh mengelompokkan diri sesuai dengan aspirasi politik yang mewarnainya. Tentu saja karena merasa aspirasinya belum tertampung melalui HMI. [6]) Organisasi itu antara lain, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) berdiri pada tanggal 2 April 1956. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada tanggal 17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri tahun 1964, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri 20 Januari 1962, Himpunan Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HMMAH) berdiri 8 Mei 1961. [7])

            Dari sekian banyak organisasi mahasiswa itu akhirnya membentuk wadah konfederatif organisasi mahasiswa ekstra universitas yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama PPMI (perserikatan perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang berdiri di Malang 8 Maret 1947. [8]) Sayang wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa Indonesia ini terlalu didominir oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang juga aktivis politik (baca = partai politik), sehingga dalam perkembangannya PPMI tidak bisa berjalan secara sehat. Bahkan PPMI menjadi ajang persaingan dan saling menjatuhkan antar sesama organisasi mahasiswa itu sendiri.

            Ketika iklim politik beruhan drastis, dimana rezim orde lama melakukan blunder dengan membiarkan PKI yang jelas-jelas melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa Indonesia dengan aksi G.30.S/PKI-nya. PPMI tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini bisa jadi, karena dalam perkembangannya PPMI didominasi oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang pro dengan Soekarno. Melihat kenyataan seperti ini aktivis organisasi mahasiswa yang masih berjiwa murni merasa tidak puas, menuntuit agar keadilan segera dapat ditegakkan, maka pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta mereka membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Walaupun harus diakui para pendiri KAMI juga para aktivis PPMI.

            KAMI bangkit menentang kelaliman rezin orde lama, dengan TRI-TURA-nya (tiga tuntutan Rakyat). KAMI turun kejalan-jalan berdemonstrasi, karena jalan konstitusional sudah tidak mungkin di lalui. Berkat KAMI inilah Orde Baru dapat didorong untuk mempercepat kelahirannya. Tetapi setelah Orde Baru lahir dengan mapan, justru KAMI kehilangan vitalitasnya untukhidup eksis. Banyak yang berteori tentang hal ini atau banyak yang mencari sebabnya kenapa KAMI lumpuh.

            Salah satu alasan yang nampaknya akurat adalah penyebab itu semua, bahwa KAMI tidak dapat hidup lestari karena memang organisasi ini lahir tidak berlandaskan pada konsepsi-konsepsi yang matang. Seakan-akan KAMI hanyal organisasi yang lahir dan timbul dari gagasan spontanitas, sehingga ia tidak berangkat dari pesrsepsi yang konsepsional. KAMI ibarat organisasi satuan tugas (satgas) yang hanyabersifat reaktif bila ada bahaya datang. Manakala bahaya itu hilang, maka satgas ini dengan sendirinya akan sirna pula. Akhirnya pada sidang terakhir rapat paripurna KAMI tahun 1969 para aktivis sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Mulai saat itulah KAMI telah tamat riwayatnya. Sebelumnya PPMI, justru organisasi ini lebih tragis membubarkan diri dalam kongres IV pada tanggal 29 desember 1965 di Jakarta. [9]) Dengan bubarnya wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa ekstra universitas ini, maka sepilah dunia mahasiswa Indonesia. Hal ini merupakan suatu yang ironis, mengapa hal ini justru terjadi dalam alam kehidupan Orde Baru yang menginginkan adanya suatu kehidupan yang senantiasa dalam kebersamaan.

            Hidup dalam suasana kebersamaan antar organisasi mahasiswa akhirnya lahir juga setelah melalui proses yang panjang. Pada tanggal 20 - 22 Januari 1972 di Alam pegunungan yang sejuk kelompok mahasiswa yang tergabung dalam wadah GMNI, GMKI, HMI, dan PMKRI menyatukan diri dalam wadah kebersamaan menuju cita-cita : Indonesia yang kita cita-citakan. Wadah itu akhirnya dikenal dengan nama  “KELOMPOK CIPAYUNG”. Patut dicatat, para pencetus lahirnya kelompok Cipayung ini adalah : Akbar Tanjung (ketua umum PB HMI), Kris Siner Key Timu (ketua persidium PP PMKRI), dan Binsar Sianipar (ketua umum PP GMKI).

            Pada awal kelahirannya kelompok ini berhasil mencetuskan pokok-pokok pikiran tentang :INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN. Kesepakatan ini didahului dengan suatu pernyataan “Kami generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan, belajar dari sejarah masa lampau, bahwasanya dis-orientasi yang terjadi dalam perjalanan bangsa , selalu akan menghambat kemajuan bangsa, oleh karenanya, kesatuan perjuangan generasi muda untuk membangun negeri ini merupakan tuntutan bangsa secara mutlak”. Kesepakatan itu mengemukakan butir-butir mengenai “Indonesia yang kita cita-citakan”, antara lain :
Indonesia yang kuat dan bersatu, cerdas dan modern, demokrasi dan adil hukum, sehat dan makmur, bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan. Indonesia dapat dibangun atas pikiran-pikiran dan tekad bersama yang erat dan terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan agama, suku, daerah dan golongan. Karena tekad pikiran yang demikian itulah yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru. [10])

            Berbeda dengan wadah berhimpun mahasiswa sebelumnya, Kelompok Cipayung ini dibentuk tidak bersifat struktural, sehingga tidak mengenal adanya susunan pengurus. Segala aktivitas dikerjakan dengan cara kerjasama mirip sistem arisan (mengambil tempatdan pembiayaan bergiliran antar anggota). Dalam perkembangannya ternyata kelompok ini cukup berperan dalam mengisi sejarah perjuangan bangsa.

            Bahwa Kelompok Cipayung ini, dibentuk oleh empat organisasi mahasiswa ekstra universitas yakni GMNI, GMKI, PMKRI dan HMI. Salah satu kesepakatannya yang tak tertulis adalah anggota kelmpok ini, bukan organisasi mahasiswa onderbow partai politik/golongan.

            Pada waktu itu, PMII masih merupakan onderbow partai NU, sehingga secara otomatis tidak mungkin menjadi anggota. Baru setelah Musyawarah Besar ke II yang diselenggarakan di Murnajati Lawang Malang pada tanggal 14 - 16 Juli 1972 dengan deklarasi Independennya. Dalam perkembangan selanjutnya PMII masih harus berjuang untuk diterima Independensinya oleh semua pihak. Sebab bagaimanapun kecurigaan tentang hal ini tetap ada. Keraguan tentang hal ini disebabkan antara lain :

1)     Hingga saat ini kantor sekretariat PMII baik di tingkat Pengurus Besar, Koordinator Cabang maupun cabang masih banyak yang bergabung dengan Kantor NU.

2)     Sebagian besar alumni PMII aktif dalam organisasi NU sebagai Jam’iyah maupun ketika NU masih aktif dalam dunia politik, melalui PPP. Tetapi sebenarnya dapat dilihat bahwa alumni atau aktivis PMII yang berperan dalam wadah selain NU maupun PPP, sebegai contoh misalnya, M. Hatta Musthafa, SH mantan sekretaris umum PMII DKI Jaya, pernah menduduki ketua umum DPP AMPI, pernah aktif dalam kepengurusan DPP Golkar. Dll.

Hanya karena rasa kekeluargaan antara PMII dan NU yang erat, membuat banyak pihak masih curiga terhadap Independen PMII. Tetapi berkat upaya dari seluruh jajaran PMII, perilaku dari warga pergerakan telah menunjukkan Independesinya.

            Satu tahun setalah kongresnya yang ke V di Ciloto Jawa Barat 1973, PB PMII di bawah kepemimpinan sahabat Abduh Paddare bergabung dengan kelompok Cipayung (Oktober 1974) dan dua tahun kemudia PB PMII dipercaya menyelenggarakan pertemuan kelompok cipayung yang ke 3 pada bulan Januari 1976. Pada saat itu, paling tidak ada dua alasan yang mendorong PB PMII memilih kerjasama dengan kelompk cipayung :

Pertama : Salah satu produk kongres PMII yang ke lima di Ciloto Jawa Barat adalah Manivest Independens PMII - sebuah pernyataan monomental dalam sejarah kehidupan PMII yang mendudukkan PMII pada posisi yang mandiri. Hal ini bukan suatu yang mudah dan mulus. Untuk memperkokoh stabilitas intern PMII, kerjasama dengan pihak-pihak luar, kalangan mahasiswa khususnya, mutlak diperlukan. Disatu sisi, diperlukan sebagai peneguh eksistensi PMII dalam posisinya yang baru (independen) dan di sisi lain, bergabung dalam kebersamaan dengan mahasiswa Indonesia lainnya merupakan perwujudan semangat kebangsaan untuk menjalin persatuan dan kesatuan.

Kedua   : Situasi waktu itu, kecendrungan untuk melikuida si ormas-ormas mahasiswa sangat kuat. Penggiringan ke arah wadah tunggal organisasi pemuda semakin intensif dan sistematis dilaksanakan. Dalam situasi seperti itu, kebersamaan dan solidaritas sangat diperlukan. Kehadiran PMII di tengah Kelompok Cipayung, buat kelompok cipayung sendiri, berarti menambah kekuatan.

Keterlibatan PMII dalam kelompok cipayung tidak lepas dari upaya perwujudan citra PMII yang meliputi, Citra Kemahasiswaan, Citra Keislaman, dan Citra Keindonesiaan.

            Citra Kemahasiswaan melahirkan wawasan keilmuan, dan dari sana muncul sifat keterbukaan, gandrung kepada kemajuan, berorientasi ke masa depan, dinamis dan tidak statis atau beku, serta tegas, jujur dan konsekwen (Gelora Megamendung 1965). Dalam pandangan PMII yang berwawasan keilmuan sebagai wujud citra kemahasiswaannya, kesarjanaan adalah penguasaan ilmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, eksakta dan sosial ekonomi. Kesarjanaan itu tidak dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai bilamana tidak disertai tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat (Deklarasi Tawangmangu 1961).

            Citra Keislaman melahirkan wawasan keagamaan dan daripadanya muncul sifat toleransi, keikhlasan, ukhuwah, dan tanpa pamrih. Sebagai angkatan baru, PMII sadar dan yakin sepenuhnya akan tanggung jawabnya terhadap agama Islam, negara dan bangsa, serta kesetiaan terhadap UUD 1945. Adalah tanggung jawab yang terpuji bertindak menurut ajaran Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati, dan berpihak pada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta membela mereka (Deklarasi Tawangmangu 1961).

            Wawasan ini dalam perwujudannya dengan kelompok cipayung, melahirkan pemahaman akan perlunya pemeliharaan nilai-nilai yang melatar belakangi kehadiran ornas mahasiswa. Dalam kesepakatan KC tahun 1978, terdapat pokok-pokok pikiran yang berbunyi : “Upaya pengembangan generasi muda Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai pegangan dasar dan peneguh kepribadian yang sangat berguna dalam menghadapi situasi masyarakat yang senantiasa berubah dan merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan nasional yang berlandaskan Pancasila”.

            Citra Keindonesiaan yang melahirkan wawasan kebangsaan dan selanjutnya dapat melahirkan sifat patriotisme, nasionalisme, kesediaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan tanah air. “Menjadi tanggung jawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imprealisme dan kolonialisme dan kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak azasi dan demokrasi yang luhur” (Deklarasi Tawangmangu 1961). Citra ini dalam perwujudannya dalam kelompok cipayung melahirkan banyak pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dari wawasan ini, lahir pemahaman bahwa kelahiran generasi muda dalam bentuknya yang sekarang merupakan pencerminan dari realitas sosial yang ada (Kesepakatan Cipayung 1974).

            Dalam kaitan ini pula, layak untuk dikutip penutup pernyataan kelompok cipayung tahun 1980 :

“Demikianlah seluruh pemikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah masa lampau, kenyataan hari ini, dan cita-cita di masa depan, sebagai salah satu sumbangsih yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, yang tulus ikhlas dan murni, sebagai persembahan kepada Ibu pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran bahwa hari-hari dibelakang adalah hari-hari perjuangan dan pengorbanan dalam pengabdian yang sulit. Namun yang telah dihadapi dan dilewati dengan penuh konsistensi, tanpa pamrih, tetapi yang adalah juga bagian dari kenyataan dan sejarah Republik ini”.

            Dengan menembus waktu dan membentuk sejarah, kelompok cipayung akan tetap hadir dalam kehidupan bangsa ini, sebagai bagian dari sejarah kemarin, hari ini dan masa depan bangsa. Dan dengan penuh optimisme serta suka cita, kita bersama-sama menatap hari esok dalam perjuangan, keyakinan dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik, yakni Indonesia yang kita cita-citakan, seperti yang dimaksud Pancasila dan UUD 1945. “Kami sudah coba memberikan yang terbaik untuk republik ini dan sejarahlah yang akan menentukan nilai”.

            Demikianlah beberapa landasan moral, etis dan normatif yang mendorong keterlibatan PMII dalam kelompok cipayung. Seyogjanya citra PMII yang demikian itu senantiasa dihayati dan diamalkan dalam rangka pengabdian PMII kepada agama, bangsa dan negara. Ketiga Citra itu, kemahasiswaan, Keislaman dan Keindonesiaan, harus sejalan, serasi dan seimbang - tidak saling menghambat dan meniadakan, tetapi justru saling melengkapi dan saling menumbuhkan.

            Adalah mengesankan ketika PMII memimpin delegasi kelompok cipayung ke pimpinan DPR untuk memprotes pemberlakuan SK. Menteri P dan K No. 028 yang sangat terkenal pada waktu itu. SK. Tersebut berisi pengaturan soal keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa meminta ijin Rektor terlebih dahulu. Atau tatkala kelompok cipayung mengadakan kunjungan ke Bandung, Yojakarta, Semarang dan Malang, di depan Pangkowilhan II Jawa - Madura, di Yogjakarta, PMII atas nama kelompok cipayung menjelaskan agar dalam memandang kelompok cipayung harus berpedoman pada “tiga jangan” :

Pertama : Kelompok Cipayung lahir dari pengalaman kese jarahan ormas mahasiswa yang tergabung di dalamnya, disertai kesadaran kultural, bahwa keragaman bukan penghalang untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan memandang kelompok cipayung sebagai usaha menggalang kekuatan.

Kedua    : Kelompok Cipayung   merupakan  forum  dialog generasi muda mahasiswa Indonesia dalam upaya meningkatkan peran sertanya dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, Jangan berpikiran kelompok cipayung akan dibentuk secara struktural dari pusat sampai daerah.

Ketiga    : Kelompok cipayung adalah forum yang di dalam nya berlangsung proses pergumulan, penghayatan dan pemahaman akan arti kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan dipertentangkan dengan KNPI. Kelompok cipayung dan KNPI adalah equal patner (mitra sejajar).

                Produk kelompok cipayung yang berupa pokok-pokok pikiran, lebih mencerminkan citra intelektual/pemikiran - dan memang, yang ditumbuhkan dalam kelompok cipayung adalah dialog intelktual. Pernyataan-pernayataan KC yang berupa pokok-pokok pikiran pada dasarnya merupakan gagasan intelektual muda putra bangsa yang ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab sejarahnya. Gagasan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan, yang meliputi bidang politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan generasi muda.

Pertemuan Kelompok Cipayung I, 22 Januari 1972, melahirkan “Indonesia yang kita Cita-citakan”,  yaitu Indonesia yang digambarkan dalam UUD 1945, berupa masyarakat adil dan makmur, mental spritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang bersatu, Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa hukum. Indonesia yang sehat dan makmur.

Pertemuan Kelompok Cipayung II, April 1974, melahirkan “perencanaan masyarakat dan tanggung jawab Generasi Muda” . Ini sebagai suatu pemahaman akan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam perencanaan masyarakat untuk menuju Indonesia yang di cita-citakan.

Pertemuan Kelompok Cipayung III, Januari 1976, melahirkan pemikiran mengenai “meningkatkan kebersamaanmenuju Indonesia yang di cita-citakan dan pembinaan Generasi Muda yang berkepribadian”. Pemikiran ini sebagai pemahaman dan ajakan mengenai perlunya diperluas keterlibatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

Pertemuan Kelompok Cipayung IV, September 1978, melahirkan pokok pikiran mengenai “Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda Dalam Rangka pembangunan Bangsa Seutuhnya”. Pokok pikiran ini mengungkapkan perlunya pembinaan generasi muda sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan ditujukan pada usaha menumbuhkan generasi muda yang secara sosio pedagogis mandiri. Pengembangan generasi muda harus menghindari pendekatan struktural yang mengarah kepada pewadahan tunggal, karena hal demikian bertentangan dengan fitrah generasi muda Indonesia dan nilai-nilai demokrasi.

Pertemuan Kelompok Cipayung V, Juni 1980, melahirkan pokok-pokok pikiran “Penataan Kembali sistem Sosial Guna Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab”. Demkian juga selanjutnya pokok-pokok pikiran KC yang lahir dalam evaluasi akhir tahun, peringatan Sumpah Pemuda, Peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan lain-lain peristiwa, pada dasarnya mencerminkan pemahaman akan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan serta kepemudaan dan kemahasiswaan. [11])


2)     PMII dan KNPI

            Tidak berbeda dengan mahasiswa, peran serta pemuda dalam perjuangan bangsa juga besar. Sengaja penulis disini membedakan antara organisasi pemuda dan organisasi mahasiswa. Perbedaan itu biasanya terletak pada aktivitas kesehariannya. Organisasi pemuda lebih terfokus pada bidang-bidang garapan yang langsung berkaitan dengan masyarakat banyak, dan aktivitas yang ditonjolkan biasanya dalam nuansa yang bersifat politis dalm artian praktis (dalam sejarahnya hampir sebagian besar organisasi pemuda selalu menjadi pendukung/anak kandung partai politik atau oragnisasi massa).

            Sejarah mencatat, bahwa kelahiran organisasi pemuda di bumi pertiwi ini adalah di dahului dengan lahirnya”TRI KORO DARMO”, seperti ditulis oleh Drs. Martono, dkk sebagai berikut :

“Gerakan pemuda dimulai dengan berdirinya organisasi pemuda pertama ialah “TRI KORO DARMO” yang berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta. Pendirinya adalah seorang mahasiswa sekolah kedokteran bernama Satiman Wiryo Sandjoyo. Tujuan dari TRO KORO DARMO adalah :

a.      Menggalang persatuan
b.     Memperluas pengetahuan
c.      Membangkitkan rasa cinta terhadap bahasa dan kebudayaan sendiri.

Oleh karena mempunyai tiga tujuan itulah, maka organisasi itu dinamakan TRI KORO DARMO, yang artinya “tiga tujuan mulia”. Kemudian pada tahun 1918 di ubah namanya menjadi “Jong Java”, artinya Jawa Muda. [12])


            Bersamaan dengan perubahan nama TRI KORO DARMO menjadi Jong Java, kemudian lahir organisasi-organisasi pemuda sejenis yang bersifat kesukuan, sperti Jong Sumatera Bond, Jong Colebes, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Sekar Rukun (Pasundan) [13])

            Bagi pemuda Islam ada satu masalah yang mengganjal pada waktu itu, para pemuda Islam yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan milik Belanda, tidak mendapatkan pendidikan agama (Islam) yang layak, bahkan guru-guru Belaanda sering bersikap sinis terhadap agama Islam> Gejala yang demikian ini menggugah pemikitan seorang pemuda Muslim yang aktif dalam oragnisasi kepemudaan, yaitu Raden Syamsurial. Karena pretasinya yang baik, dia terpilih menjadi ketua Jong Java. Ketika organisasi itu menyelenggarakan kongres yang ke 7 di Yogjakarta, R. Syamsurial mengusulkan gagasan agar Jong Java melaksanakan kegiatan membuka kusus agama lain bagi anggota yang beragama itu. Usul itu ditolak oleh kongres lewat suatu pemungutan suara. [14])

            Dengan penolakan itu rupanya menggugah R. Syamsurial untuk memikirkan, kiranya sudah waktunya pemuda Islam membentuk wadah sendiri, dapat mengurus nasibnya sendiri dan mampu memperjuangkan aspirasinya sendiri. Dengan dorongan dari intelektual Muslim ternamaH. Agus Salim, maka pada tanggal 1 Januari 1925 berhasil mendirikan Jong Islameten Bond (JIB), didirikan di Jakarta bersama-sama dengan Mr. Moh. Roem dan Mr. Kasman Singodimidjo. Organisasi ini merupakan organisasi Islam yang Pertama. [15])

            Dengan lahirnya Jong Islameten Bond (JIB), kini di tanah air ada dua kelompok oraganisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan atau kedaerahan, dan organisasi pemuda yang lahir berdasarkan aas keagamaan. Jejak ini kemudian disusul dengan lahirnya pemuda Muslimin yang berdiri pada Nopember 1928, Pemuda Ansor pada tahun 1933 dan pemuda Muhammdiyah pada 2 Mei 1932. [16])

            Dua tahun kemudian setelah lahirnya JIB di tanah air, lahir organisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan maupun dasar keagamaan yaitu, “Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia” yang didirikan oleh para mahasiswa di Jakarta pada tahun 1926, dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka. [17])

            Dapat dikataakan, bahwa PPPI ini merupakan organisasi mahasiswa pertama yang lahir dan bertujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka. PPPI inilah yang mensponsori kongres pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian mencetuskan ikrar keramat dan bersejarah yang dikenal dengan “SUMPAH PEMUDA”.

            Sisi lain dari kepputusan kongres pemuda II adalah dileburnya organisasi-organisasi pemuda (lokal) menjadi satu wadah yaitu “INDONESIA MUDA”. [18]) Pada akhirnya bahwa Indonesia muda menjadi organisasi/wadah tunggal pemuda Indonesia yang pertama.

            Hingga jaman kemerdekaan kita tidak menemui adanya suatu wadah/organisasi kerjasama antar pemuda. Hanya pada akhir tahun 1964 para pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam tergabung dalam wadah kerjasama, yang diberi nama generasi muda Islam (GEMUIS), sampai meletusnya pemberontakan PKI dengan G.30.S/PKI itu. Hal ini menggugah para pemuda Islam untuk bersama-sama menghancurkan PKI. Dikalangan Pemuda dengan KAPI-nya (kesatuan aksi pemuda Indonesia), Pelajar dengan KAPPI (kesatuan aksi pemuda pelajar Indonesia), Mahasiswa dengan KAMI-nya (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Organisasi inilah yang dengan gigih dan pantangbmenyerah melakukan aksi turun jalan merdemonstrasi menuntut agar PKI dibubarkan serta diturunkannya rezim orde lama. Tetapi wadah-wadah perjuangan tersebut tidak lama bertahan. Pada awal tahun 1968 satu persatuwadah itu mulai berguguran tetapi para mahasiswa Islam pada bulan Mei 1968 mendirikan wadah bersama yang kenal dengan nama “Pemuda, mahasiswa, pelajar Islam” (PMPI). Hanya ada tiga kegiatan yang tercatat sehubungan dengan eksistensi wadah ini, yaitu :

1)     Panitia aksi solidaritas terhadap penyerbuan Israel atas negara Arab pada bulan Juni 1967, yang dikenal dengan nama perang 6 hari.

2)     Gerakan protes terhadap kunjungan kaisar Halie Silasie dari Ethopia, seorang kepala negara Kristen yang menindas Ummat Islam, kunjungan itu direncanakan pada bulan Mei 1968.

3)     Protes keras terhadap seorang kolumnis (Mukhtar Lubis) yang lewat karyanya (cerpen) “Langit masih mendung”, menyinggung agama dan ummat Islam Indonesia.

            Selain itu, tidak ada lagi wadah-wadah kerjasama antar pemuda, baik dari kalangan pemuda Islam sendiri maupun dari kalangan pemuda Indonesia pada umumnya.

            Tidak adanya wadah perjuangan bersama, menurut Ali Murtopo (mantan Menteri penerangan RI pada kabinet pembangunan III) adalah karena adanya pertikaian ideologis, lebih lanjut dia mengatakan :

……….. Namun demikian setelah konflik nasional ini dapat diakhiri dan timbul kestabilan kembali, bersama itu pula mulai dirasakan keretakan-keretakan antara sesama generasi muda. Yang masing-masing secara sadar atau tidak, mengarah pada loyalitas primordial, yakni pada partai-partai politik. Kalaupun tidak secara langsung terdapat afiliasi dengan partai=partai politik, tetapi pertentangan ideologis dengan partai-partai politik tercemin dalam tatanan gerak mahasiswa.

            Nampaknya upaya mempersatukan pemuda berlanjut terus dan diusahakan secara intensif oleh pemerintah. Lebih lanjut Ali Murtopo mengemukakan :

………… Keadaan ini berlangsung secra berkepanjangan dan dirasakan sebagai suatu perkembangan yang semakin tidak sehat. Baru pada bulan Maret 1972 beberapa pimpinan organisasi massa pemuda dan mahasiswa ekstra universitas yang tergabung dalam panitian nasional pemuda untuk seminar-seminar keluarga berencana (PNPKB) mencapai kesepakatan untuk meningkatkan wadah dari suatu kepaniatiaan menjadi satu wadah tunggal pemuda Indonesia. Sejak saat itulah diselenggarakan beberapa pertemuan, dan pada bulan Mei 1973 sebagai hasil pembicaraan dari beberapa pimpinan pemuda Ansor, GPM, Pemuda Muslimin, GMKI, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah,, GPI, HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan koordinasi pemuda mahasiswa Golkar dibentuk suatu penitia persiapan komite nasional pemuda. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1973 dengan mengeluarkan satu “Deklarasi Pemuda Indonesia”  terbentuklah Komite Nasional Pemuda Indonesia, yang kemudian kita kenal dengan nama KNPI, dimana disebutkan bahwa KNPI adalah :

1)     Merupakan forum komunikasi riil antar generasi muda Indonesia.

2)     Menampilkan kegiatan-kegiatan generasi muda sebagai indikasi adanya komunikasi antar generasi muda.

3)     Berfungsi sebagai katalisator dan dan dinamisator generasi muda Indonesia.

4)     Tidak mengurangi peranan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada dan hidup dalam masyarakat. Selain itu dinyatakan pula bahwa masalah-masalah yang menyangkut fusi organisasi-oragnisasi pemuda maupun mahasiswa diserahkan kepada proses masing-masing organisasi. [19])

            Secara gamblang dinyatakan bahwa KNPI hanya akan berfungsi sebagai forum komunikasi atau stabilisator dan dinamisator generasi muda (artinya wadah ini tidak akan bekerja secara struktural dan fungsional kebawah)  namun dalam kenyataannya KNPI berubah arah menjadi organisasi pemuda yang tidak jauh beda dengan organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada. Bahkan dalam Sidang Umum MPR tahun 1978 KNPI secara resmi masuk dalam GBHN dan diakui sebagai satu-satunya wadah pembinaan generasi muda Indonesia. Hal ini sempat mengundang protes organisasi pemuda dan mahasiswa yang merasa terancam eksistensinya. Baru setelah pemerintah memberikan penjelasan panjang lebar tentang masih dijaminnya eksistensi organisasi pemuda dan mahasiswa diluar KNPI. Protes itu mulai mereda dan kecurigaan terhadap KNPI sebagai upaya me-nunggal-kan pemuda dan mahasiswa juga turut mereda.

            Dalam kaitan dengan proses kelahiran KNPI ini, PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa pendiri bersama-sama dengan organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Seorang aktifis PMII, M. Hatta Musthafa pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KNPI. Ketika kongres I KNPI pada Oktober 1974, PMII masuk dalam jajaran pengurus pusat, yang diwakili oleh sahabat Drs. Abduh Paddare, sebagai salah satu ketua DPP KNPI.
            Dalam rangka kongres KNPI I itu, PB PMII menginstruksikan kepada pengurus Koorcab dan Cabang di seluruh Indonesia untuk mensukseskan kongres tersebut. Surat PB PMII No. 73/PB-VI/III/74 dan surat PB PMII N0. 76/PB-VI/IX/74. Yang intinya PB PMII menginstruksikan supaya cabang-cabang PMII berpartisipasi datang ke forum kongres - melalui jalur KNPI setempat - dan berjuang mempertahankan KNPI tetap pada fitrahnya sebagaimana ide dasar KNPI di dirikan.

            Akhirnya forum kongres memutuskan, bahwa KNPI tetap pada jalus fitrahnya, yaitu tetap sebagai wadah komunikasi, bukan sebagai wadah tunggal generasi muda Indonesia. Organisasi pemuda Indonesia tetap bersifat majemuk sesuai dengan semboyan “Binneka Tunggal Ika” walau berbeda-beda suku, budaya, agama, daerah dan aspirasinya tetap satu jua. Kita tidak satu yang tunggal secara mutlak, tetapi kita tetap menghargai eksistensi masing-masing.



D.   MASA  KONSOLIDAASI  DAN  PENGEMBANGAN  (1977 - 1980)

1.     Konsolidasi Organisasi

            Periode kebangkitan PMII ditandai dengan tercetusnya “Deklarasi Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada hakekatnya merupakan titik kulminasi dari penemuan jati diri dan eksistensinya, sebagai organisasi mahasiswa yang berdimensi keagamaan dengan paradigma pemahaman keagamaan Aswaja.

            Pada prinsipnya deklarasi tersebutjuga pernyataan ke dunia luar khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia yang penih dengan hiruk pikuk perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan dan keterbelakangan.

            PMII melalui deklarasi Murnajati, menyatakan dirinya sebagai organisasi yang independen, yang tidak terikat pada organisasi apapun dan hanya mengikatkan diri pada azas dan tujuan organisasinya, serta hanya komited pada perjuangan bangsa Indonesia. Ini menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu golongan, tetapi menjadi asset bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya ummat Islam.

            Pernyataan Independensi PMII itu, akhirnya diteguhkan dengan lahirnya satu pernyataan penegas yang dikenal dengan “Manivesto Independen”. Pernyataan ini dicetuskan dalam kongres V yang diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.

            Deklarasi Murnajati maupun Manivesto Independen tidak akan punya arti apa-apa, jika hanya dinyatakan di atas kertas dan hanya terbatas pada tataran ide, tanpa di implementasikan dalam kehidupan organisasi secara nyata. Independensi suatu organisasi akan mempunyai arti, manakala mampu menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri. Mandiri dalam gerak pemikiran maupun dalam gerak operasional organisasi. Bagi PMII, upaya kearah itu merupakan beban berat, salah satu sebabnya adalah karena PMII sudah terbiasa hidup dengan fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU. Bagi pihak luar, PMII dianggap sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga PMII pun masih banyak yang ragu akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang secara mandiri. Tidak heran, setelah tercetusnya deklarasi independen ada sejumlah cabang yang terpaksa tidak/belum mampu hidup secara independen.

            Dalam rangka konsolidasi, PMII terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada Periode Drs. Abduh Paddare, PMII berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas pijak. Langkah itu dilanjutkan dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 - 12  Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta. Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai nilai strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil merumuskan arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun secara sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern, pola pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah wujud dari arah gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana pengembangan jangka panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMIImerinci dengan program kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII). P4-PMII serta penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu dapat lebih memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi yang lain.

            Sebagaimana lazimnya kongres, maka kongres PMII yang ke VI ini disamping membahas program-program kerja dam persoalan-persoalan aktual saat itu juga membahas pengurus yang akan memimpin organisasi pada periode berikutnya (1977 - 1981). Yang terpilih untuk memimpin PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin Arubusman, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua tokoh ini sudah berpengalaman dalam mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil rapat formatur mengenai kepengurusan PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )

Ketua Umum                                                : Ahmad Bagja
Ketua                                                            : Musthafa Zuhad
Ketua                                                            : Muhammad Rodja
Ketua                                                            : Abdul Kadir
Ketua                                                            : Yaya Sofiyah
Sekretaris Jenderal                            :Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                                     : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi                             : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan                           : M. Abdul Azis
Sekbid Olah Raga,Seni dan Budaya            : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                                : Fadhilah Suralaga    
Sekbid Alumni                                  : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan Pengabdian
Masyarakat                                       : Hidayat
Sekbid Organisasi Islam, Pemuda
dan Mahasiswa                                 : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar negeri dan Kerja
sama Internasional                            : Mudjahidin Ridwan
Bendahara                                         : Hasan Basri Saleh
Wakil Bendahara                              : Silvia. [20])

            Perjalanan organisasi dalam kepengurusan ini nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran agar dinamika organisasi bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu PB PMII mengadakan resufle kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan hasil sebagaimana tersebut dibawah ini :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )
Hasil Resuffle

Ketua Umum                                    : Ahmad Bagja
Ketua                                                : Musthafa Zuhad
Ketua                                                : Muhammad Rodja
Ketua                                                : Wahidudin Adam
Ketua                                                : Fadhilah Suralaga
Sekretaris Jenderal                : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                         : Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi                 : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan               : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga dan
Seni Budaya                         : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                    : Ida Farida
Sekbid Alumni                      : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian Masysrakat        : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi Islam
Mahasiswa dan Pemuda       : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar Negeri dan
Kerjasama Internasional       : Sri Mulyati
Bendahara                             : HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara                  : Lathifah  [21])


2.     Aktivitas Intern Organisasi

a.     pembinaan dan pengembangan koorcab, cabang dan anggota pmii.

Kehidupan PMII setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada anaknya. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai disitu, ketergantungan PMII pada NU tidak hanya sebatas finansial , tetapi sesungguhnya lebih dari itu.

Suatu contoh dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan tunggi milik NU ataupun setidaknya milik orang NU.

Setelah pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada tindakan apa-apa dari pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga menjadi persoalah tersendiri bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi independen.

Kesungguhan jajaran pengurus terutaama mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap memperjuangkan sikap independen itu, berusaha melampaui masa transisi itu dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad independennya, selama periode ini (1977 - 1981) sejumlah cabang PMII berhasil kembali berdiri, antara lain :


·         Cabang Sumenep
·         Cabang Luwu
·         Cabang Ambon
·         Cabang Surakarta
·         Cabang Darut
·         Cabang Cianjur
·         Cabang Samarinda
·         Cabang Balikpapan
·         Cabang Pontianak dan sebagainya  [22])

Disamping itu juga terbentuk cabang-cabang baru seperti :

·         Cabang Manado
·         Cabang Sibolga
·         Cabang Nias
·         Cabang Banda Aceh
·         Cabang Bima

( sebenarnya cabang-cabang ini pernah beridiri pada  masa periode 1967 - 1970) [23])

Usaha PB PMII dalam mengembangkan cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah. Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan betapa bergairahnya aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.

Kunjungan-kunjungan PB PMII ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti, Kegiatan masa penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan,  Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.


b.     Lokakarya penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Kader.

Sebagai organisasi mahasiswa sekaligus sebagai organisasi kader, bukaan sebagai organisaasi massa. Artinya rekrutmen sistem keanggotaan harus mengarah pada pembentukan pribadi anggota yang memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan dalam mengelola organisasi. PMII tidak hanya merekrut anggota sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang pengkaderan yang tersusun secara sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader yang berwawasan kemahasiswaan, kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan keindonesiaan.

Seorang mahasiswa yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal, yakni masa penerimaan anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai sistem keanggotaan stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus mengucapkan bai’at, yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta mentaati ketentuan organisasi.

Sistem pengkaderan yang ada di PMII, meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi dua jenjang, PKD dan PKL). Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan dari Latihan Kader Dasar (LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari Latihan Kader Menengah (LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan menelorkan kader Inti. Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon (lingkungan Fakultas) ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk LKD, sedang untuk LKM, bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk LKL, yang berwenang menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi dari masing-masing tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 haari). Perbedaan yang mendasar dari masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan tenaga instrukturnya.

Paada jenjang LKM, kader muda dilatih untuk dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang atau Koorcab. Sehingga lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang atau Koorcab. Sedangkan untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM yang diarahkan agar mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam penggodokannya diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan keorganisasian yang paripurna.

Sebenarnya PMII sudah memiliki semacam panduan pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil keputusan kongres PMII II di Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun 1966, panduan tersebut disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi memakai buku panduan tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena langkanya aktivitas pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.

Belajar dari pengalaman masa lalu itu, upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan terus diusahakan oleh PB PMII. Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman dilaksanakan pada tanggal 15 - 17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di ikuti oleh utusan dari PB PMII, lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel, Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel). Di undang pengurus-pengurus cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta, Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [24])

Dengan disusunnya buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan, yakni tidak singkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan organisasi yang berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat.


c.      Pelatihan Instruktur

Sebagai organisasi kader, PMII sangat membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab bagaimanapun baiknya suatu pedoman tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang mampu menterjemahkan isi pedoman tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan banyak artinya. Kalaupun itu dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan (target pelatihan).

Persoalan instruktur ini, PMII masih ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa lainnya. Dari catatan perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru menyelenggarakan latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat, sehingga dapat dibayangkan betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur yang benar-benar terlatih.

Kebutuhan akan tenaga pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada tanggal 4 - 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.

Dengan upaya itulah kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar tahun 1960-an.

Masa pembinaan dan pengkaderan PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak pengkaderan dan latihan instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII. Cabang-cabang PMII selama periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas pengkaderan yang mulai berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang berhasil dengan lembaga pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP, SMTA dan Akademi. Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan “Akademi Da’wah”. Sebuah lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat, dengan “SMP Diponegoro”.

Tidak hanya pelaatihan formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh subur di cabang DKI Jaya< Ciputat< Yogjakarta dan lain-lain.


d.     Pembenahan sekretariat dan penerbitan

Salah satu keputusan kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki kantor sekretariat permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti saat ini, maka pihak luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit dibuktikan. Ketika PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang mandiri walau belum permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP PMII periode pertam) padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.

Hal ini pernah disinggung oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah PMII independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor NU. Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan tetap minor.

Keadaan yang sebenarnya adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas milik NU, walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian organisasi ini. PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan cara berfikir yang tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar, Musyawarah Pimpinan, Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak akan ditemui pesan sponsor siapapun termasuk NU.

Tentang pandangan orang luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di Jl. Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal gerak operasional organisasi.

Kenyataan seperti itu tidak selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang, dilihat dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang memiliki puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat yang sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme yang membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang diberi nama bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari cabang-cabang di daerah dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh Indonesia.


3.     Aktivitas Ekstern Organisasi

a. PMII Dalam Forum Kemahasiswaan

Sebagai organisasi mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas kemahasiswaan/kampus. Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia kemahasiswaan waktu itu sedang mengalami masa suram.

Dunia kemahasiswaan sebagai pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara sesungguhnya telah terbukti dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu. Tepatnya  sedari Soetomo bersama mahasiswa STOVIA lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa mulai dari angkatan 1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis mahasiswa. Mereka memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam kepemimpinan bangsa ini berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar sampbil melibatkan diri dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut politik dan kemasyarakatan.

Pada jaman kemerdekaan, peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan, munculnya para pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah air yang dikenal dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran mahasiswa sebagai pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu organisasi-organisasi mahasiswa hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya hanya untuk memperkuat kedudukan partai-partai politik yang melindungi organisasi masing-masing.

Posisi yang demikian ini berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu mengkhianati Ibu Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap dibiarkan hidup oleh rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas, wakil-wakil rakyat yang duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Melihat kenyataan seperti ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa tampil sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa wakil rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam seribu bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya, sehingga saluran konstitusional menjadi macet.

Akhirnya mahasiswa tampil menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan berdemonstrasi membela rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya dibubarkan.

Setelah pemerintahan Orde Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas, karena kenyataannya telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan, kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu 1971 dan 1977. Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan nasional yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Lama. Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya, disamping aksi corat-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali kejalan semula. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.

Namun pemerintah beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan. Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir mahasiswa.

PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat terjadi pengadilan mahasiswa  (merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra universitas).

Sejak saat itulah kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.

Berdasarkan kepentingan akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan kehidupan kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK. Sekalipun mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui suatu usul interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah ditetapkan.


Birokratisasi Kampus

Dua langkah penting yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan kampus yang dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu stabilitas politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan intervensi yang bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang melibatkan unsur-unsur dan kehidupan kampus.

Dalam rangka tindakan kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan proses birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan sepenuhnya dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai kepada pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut. Bahkan dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta. Pengalokasian anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat pengarahan dan pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Laangkah politis pemerintah ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan lembaga kemahasiswaan (dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan kampusnya di dalam kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri (Korpri) di kampus, kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi kesempatan dosen untuk mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan hanya membolehkan profesor mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh Golkar melalui pimpinan unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan warga kampus.

Campur tangan birokrasi negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang  amat mendetail terhadap opersional universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa, penentuan dan penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian, dan penentuan pimpinan.

Disatu sisi, intervensi birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah dosen serta fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola pembangunan kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat kemandirian kampus, maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya intensitas campur tangan birokrasi tersebut, antara lain :

Pertama : Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus. Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif di dalam kampus.

Kedua    : Intervensi   birokrasi   yang   mencengram  itu   menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan personal meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen dalam penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta unit-unitnya.

Ketiga    : Tumbuhnya  gejala  apatisme  sebagai  akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada aktivitas mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa lebih memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [25])

Pada dasarnya PMII menolak diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur kehidupan kampus dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak dan frontal, padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi seluruh Indonesia sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat berakibat celaka.


b.     PMII Dalam Forum Kepemudaan

Organisasi mahasiswa pada hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya mahasiswa adalah juga pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang kepemudaan dengan dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi keterlibatannya dalam bidang kepemudaan.

Dalam dunia kepemudaan, seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi pemuda bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), berdasarkan deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan forum konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang dan berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.

Usaha mewujudkan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam GBHN. Hal itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan KNPI dalam GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah penekanan terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII terhadap keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun PMII sadar akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya KNPI, maka dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI tetap berjalan menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para pemuda Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru eksistensi dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan menempatkan dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi belaka. Disinilah KNPI mengalami dilema

Dalam majlis pertimbangan pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu PMII melalui utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali (Sekbid Organisasi PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung pihak-pihak yang selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal. Usaha itu bahkan berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang diselenggarakanpada tanggal 28 Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat membuat para aktivis organisasi mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan adanya pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam kongres ini muncul kembali issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah tunggal pemuda Indonesia. Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta mahasiswa kecuali KNPI dan AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II KNPI sebagai kongres pemuda.

Gejala ini sebenarnya merupakan produk dari “tiga bentuk kebijaksanaan” yang mengatur kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan pada tahun 1973 :

Pertama : Dengan  dibentuknya   KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun bertindak sebagai pengawas dan pembina.

Kedua    : Pembekuan   Dewan  Mahasiswa  oleh  aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21 Januari 1978, melumpuhkan organisasi mahasiswa tingkat universits dn nsionl. Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk melakukan kegiatan yang berskala besar, naik di kampus maupun secara nasional, maka tinggallah organisasi mahasiswa tingkat fakultas dengan segala kondisi yang ada.

Ketiga    : Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan oraganisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan dan bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari itu, kebijaksanaan tersebut jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai individu dan harus memasuki organisasi politik resmi. [26])


Berkenaan dengan kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang tumbuhnya faktor destabilitas nasional.

Tetapi sejak tahun 1970-an, setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat regenerasi kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai diwujudkan, maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinan semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan kembali peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran generasi muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi 1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.

Intervensi birokrasi tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut semakin intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa “Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan mahasiswa di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya bagi kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda. Dan melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi pemuda bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.

Bagi mereka yang berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut, justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa semakin takut dengan aktivitas yang bernuansa politik.

KNPI sebagai wadah generasi muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi yang berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata cara pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola konflik di dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat ditandai oleh spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri inovatif tidak mampu dikembangkan di dalam wadah ini.






         












































           


















































































































[1] Arbi Sanit, Mahasiswa Kekuasaan dan bangsa: Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran Studi Indonesia Dan Yayasan LBHI, Jakarta, 1989
[2] Surat Edaran PP PMII Nomor : 461/PP-IV/II-69, Tertanggal 28 Februari 1969.
[3] Keputusan Kongres V PMII di Ciloto Jawa Barat, 28 Desember 1973
[4] Laporan Pertanggung Jawaban PB PMII 1973 - 1977 pada kongres VI  di Wisma Tanah Air 8 - 12 Oktober 1977.
[5]   Ridwan Saidi, Islam Pembangunaan Politik dan Politik Pembangunan, Pustaka Pankimas, Jakarta, 1982, Halaman 52.
[6] Burhan D Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Ssitem Politik, Suatu Tinjauan, Prisma No. 12 Desember 1977.
[7] Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 39
[8] Op-Cit, Halaman 133
[9] Ibid, Halaman 133
[10] Ibid, Halaman 217
[11] Ahmad Bagja, PMII dab Kelompok Cipayung, Dalam Pemikiran PMII dalam Berbagai visi dan Persepsi, Aula, Surabaya, 1991.
[12]  Drs. Martono HS, Sejarah Untuk SMA, Tiga serangkai, Surakarta, 1984, Halaman 16.
[13] Loc-Cit, Halaman ……
[14] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 28
[15] Op-Cit, Halaman 29
[16] Op-Cit, Halaman 29
[17] Drs. Martono HS. Loc-Cit, Halaman 63
[18] Ibid,  Halaman 7
[19] Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974, Halaman 94
[20] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,  di Cibubur, jakarta, Halaman 11.
[21] Ibid, Halaman 12
[22] Ibid, Halaman lampiran
[23] Ibid, Halaman Lampiran
[24] Ibid, Halaman 15
[25] Arbi Sanit,  Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi Indonesia dan YLBHI, Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[26] Ibid, Halaman 91
BAB  IV

UPAYA MEMBANGUN CITRA DIRI
( 1973 - 1981 )

A.    MANIVESTO INDEPENDEN

            Akibat dari perubahann drastis iklim politik pemerintahan Orde Baru, dimana kehidupan politik lebih menekankan pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk hidup jor-joran seperti  pada masa lalu, maka kehidupan organisasi mahasiswa, apalagi bagi organisasi mahasiswa yang dependen pada partai politik, dampaknya, pada suasana kehidupan berorganisasi terasa pengab.

            Kelahiran Orde Baru secara dramatis di tahun 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan akan adanya suatu perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi daan sosial budaya.

            Kekuatan militer dibawah pimpinan Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan dari komunitas muda dan mahasiswa.

            Akan tetapi masa bulan madupenguasa baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradikdi persepsi mulai nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti dirasakan beringsut dari komitmen awal kelahirannya dan bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adalanya elite di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kesenderungan penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita orde baru. Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah seorang aspri Presiden Soeharto, Ali Murtopo, dengan potensi patnernya, melakukan manuver politik yang menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan protes mahasiswa pada tahun tujuh puluhan.

            Sadar akan besarnya potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa secara sistematis mulai melakukan kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan, yang secara teoritis dapat menggunakan dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan Polisi, atau penanaman ideologi. Karena tindakan represi selalu berarti penggunaan kekerasandan kekuatan fisik secara langsung untuk pengamanan dan pelanggengan dominasi kekuasaan. Sedangkan penanaman ideologi merupakan upaya untuk membangun legitimasi kekuasaan dan pengakuan atas hak memerintah dari suatu rezin. [1])

            Kesulitan dalam menggerakkan pembangunan ekonomi pada beberapa negara, terutama pada negara berkembang, telah menyadarkan banyak komunitas kritis, dalam hal ini mahasiswa menjadi bagian dominan, bahwa kekuasaan bukanlah benda mati yang bebal dan tak terusik, erta dapat diterapkan terhadap semua problema. Pandangan ini menjadi semakin jelas bahwa tidak semua kekuasaan memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pembangunan.

            Ini berarti, pintu bagi adanya kontrol sosial dari mahasiswa, tetap signifikan. Dan gerakan moral yang digelar oleh mahasiswa Indonesia di sisa kekuatan yang ada di tahun 70-an, menjadi episode akhir yang secara kritis dapat menawarkan keinginan untuk mengontrol, di tengah mandulnya fungsi kontrol dari lembaga-lembaga kontrol yang dimiliki oleh negara.

            Persoalan mendasar yang kemudian muncul adalah bagaimana isi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia kini, sehingga dalam memainkan peran “balance of power”  untuk mewujudkan transformasi lembaga dan struktur politik yang lebih demokratis. Dan bagaimana peran mahasiswa dalam memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sisoal.

            Untuk menjawab persoalan mendasar tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikirann di bawah ini :

Pertama : Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemiki ran yang lebih kritis dan analitis dalammenghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat seperti nilai, kepentingan dan kekuasaan.

Kedua    : Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan kepe - dulian sosilanya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya.

Ketiga    : Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh para ak- tivis KAMI yang dulu memimpikan suatu hasil yang sukses dan konkrit dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin tipis, berhubung dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan back ground dari kekuatan-kekuatan pendukung Orde Baru. [2])


            Melihat lenyataan seperti itu, mendorong warga pegerakan untuk lebih memperluas wawasan dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang banyak menyediakan alternatif perjuangan dan rekrutmen anggota yang lebih terbuka. Maka dalam kongres V PMII di Ciloto Bandung Jawa Barat, PMII mempertegas keputusan Musyawarah Besar II tentang “Independen” di Murnajati lawang malang.

            Perlu diketahui, bahwa keputusan terpenting Musyawarah besar II PMII di Murnajati itu adalah “deklarasi PMII sebagai organisasi mahasiswa Independen” yang tidak lagi terikat baik secara struktural maupun politik dengan pihak manapun dan hanya komited peda pencapaian tujuan serta pengembangan faham Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Keputusan monomental inidikenal dengan nama “Manivesto Independen” seperti tercermin dalam pernyataan berikut :


MANIVETSTO INDEPENDENSI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

Bismillahirrahmanirrohiem

            Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin akan tanggung jawabnya terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengambangkan diri sebaik-baiknya.

            Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak memerlukan insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, Taqwa kepada Allah Swt, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, selaku generasi muda Indonesia, sadr akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

            Bahwa dasarnya pengisian kemerdekaanadalah kegiatan yang didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi dengan sosialisasi ilmu kedalam sikap kulturil guna mengangkat mertabat dan derajat bangsa.

            Bahwa pada hakekatnya Independensisebagaimana telah di deklarasikan di Murnajati adalah merupakan manivestasi kesadaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.

            Bahawa Independensi Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisir dan mengambangkan potensi kulturil yang bersumber dari penghayatan nilai-nilai ajaran Islan untuk terbentuknya pribadi mulism yang berbudi luhur dan bertaqwa keapda Allah, berilmu da cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya.

            Bahwa pengembangan sifat-sifat kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta di dorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

            Bahwa dengan Independensi Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cit-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.

Medan Kongres V PMII
Ciloto, 28 Desember 1973 [3])


            Disamping itu kongres V PMII juga menghasilkan keputusan-keputusan tentang :

1.     Pola Kepemimpinan

            Pola kepemimpinan organisasi Pergerkan Mahasiswa Islam Indonesia harus menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan organisasi dengan dijiwai oleh isi “deklarasi Murnajati”.

            Konsekwensi dari pendirian tersebut di atas menuntut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yanag bersifat kerakyatan dengan berorientasi kepada masalah-masalah kaemahasiswaan, kampus dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperluakn pimpinan-pimpinan organisasi yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti sifat dinamis, kreatif, reponsif dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.

            Demikian juga pemahaman sepenuhnya terhadap azas, sifat dan tujuan PMII serta kemampuan manajerial leadership menjadi tuntutan mutlak bagi kepemimpinan pergerakan mahasiswa Islam Indonesia.

            Maka oleh karenanya kepemimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang Independen harus menjauhkan seluruh kemungkinan yang akan mengurangi arti dari Indpendensi, seperti : Perangkapan jabatan pengurus PMII dengan pengurus Partai atau organisasi lain pada badan-badan legeslatif.


2.     Appeal - Ciloto

1)     Bahwa pada hakekatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang layak sebagai suatu bangsa yang merdeka, tidak terbelnggu oleh kultur yang diciptakan oleh Orde Lama.
2)     Bahwa untuk lepas dari belenggu keterbelakangan sebagai akibat kultur tersebut perlu tampilnya orde lain sebagai suatu alternatif.
3)     Bahwa menentukan altenatif sebagaimana dimaksud, merupakan suatu perjuangan yang meminta banyak pengorbanan.
4)     Sejarah mencatat bahwa perjuangan panjang demi tegaknya suatu orde adalah didukung oleh berbagai kekuatan.
5)     Bahwa peranan HM. Subhan ZE dalam proses perjuangan panjang dalam menentukan alternatif tersebut merupakan kenyataan sejarah pula.
6)     Bahwa penghormaatan kepada pendahulu yang telah meletakkan dasar-dasar suatu sistem yang lebih, adalah merupakan kepribadian nasional yang karakteristik.
7)     Maka oleh karenanya, Kongres V meng-appeal Presiden Republik Indonesia untuk menetapkan HM. Subhan ZE sebagai Pahlawan Nasional.


3.       Pokok-Pokok Pikiran Ciloto

            Sadar akan tanggung jawab PMII sebagai komponen generasi muda dalam memperjuangkan terciptanya kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik, maka kongres V PMII yang berlangsung tanggal 23 - 28 Desember 1973 di Ciloto Jawa Barat, mengemukakan pokok-pokok pikiran yang menyangkut bidang :

1.     Bidang Politik
2.     Bidang ekonomi
3.     Bidang sosial budaya
4.     Bidang pendidikan
5.     Bidang Hukum
6.     Bidang ketertiban dan keamanan masyarakat
            Dengan semangat Independen itulah PMII mulai menata kembali langkah pergerakan. Seperti disebutkan dimuka, bahwa akibat keterlibatan PMII yang terlalu jauh dalam urusan-urusan politik praktis, berakibat PMII mengalami kemunduran yang sangat memperihatinkan.

            Dalam kongres V ini pula , istilah-istilah untuk mesing-masing tingkatan organisasi dirubah.Misalnya, isltilah “Pucuk Pimpinan/Pimpinan pusat diganti dengan istilah “Pengurus Besar”, Pengurus Wilayah diganti dengan istilah “Pengurus Koordinator Cabang”.

            Sedangkan susunan Pengurus Besar PMII hasil kongres V di Ciloto Jawa Barat adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1973 - 1977 )

Ketua Umum                                    : Drs. Abduh Paddare
Ketua                                                : M. Madjidi Syah
Ketua                                                : Drs. TA. Munir
Ketua                                                : Drs. Muhaimin AG
Sekretaris Jenderral               : Ahmad Bagja
Sekbid Kader                        : A. Munir Sonhaji
Sekbid Penerangan               : Abd. Kadir Paddare
Sekbid Luar negeri               : Edy Suharmanto
SekbidOlah Raga/Kesenian  : H. Mutaqin Darmawan
Sekbid Keputerian                : Wus’ah Suralaga
Bendahara                             : Usman Tahir
Wakil Bendahara                  : Wahidudin Adam

Susunan Pengurus Besar PMII tersebut adalah hasil rapat formatur tanggal 10 - 15 Januari 1974 di Hotel Matruh Jakarta.

            Tugas utama kepengurusan PB PMII periode ini, melakukan konsolidasi organisasi secara menyeluruh. Hal ini mengingat PMII berada dalam situasi transisi, yakni keadaan yang sebelumnya merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi Independen yang lagi terikat baik secara struktural organisatoris maupun tindakan.

            Secara konsepsional PB PMII mengambil langkah-langkah konsolidasi, mengingat :

1)     Kepengurusan PB PMII karena berbagai hal perludimantapkan.
2)     Tahun 1874 - 1977 merupakan masa transisi bagi kehidupan PMIIDari keadaan dependen menjadi Independen (mandiri)
3)     Bidang kesekretariatan dalam keadaan memenuhi syarat minimum bagi kelancaran organisasi.
4)     Adanya cabang PMII yang hanya sekedar papn nama.
5)     Tidak adanya konsepsi yang tentang pola pembinaan PMII
6)     Perlu adanya pembinaan yang kontinyu bagi PMII dilingkungan IAIN (perguruan tinggi agama) dan pengembangan diluar IAIN (perguruan tinggi umum).
7)     Terhentinya kegiatan training-training di cabang-cabang.


            Langkah-langkah yang dilakukan oleh PB PMII pada periode ini dan tampaknya berhasil adalah :

1)     Cabang dan Koorcab yang ada, secara defacto dan de jure, ada laporan kegiatan dan mendapat pengesahan dari PB PMII. Cabang yang termasuk kreteria ini adalah sebanyak 47 Cabang.

2)     Cabang yang dianggap ada, tetapi tidak mau mengadakan penyesuaian terhadap AD/ART yang baru, tidak mendapat pengesahan PB PMII. Cabang yang termasuk klasifikasi ini sebanyak 15 Cabang. [4])

            Konsolidasi yang dilakukan PB PMII tidak hanya menyangkut rasionalisasi cabang-cabang, tetapi juga pembinaan dibidang pedoman adminstrasi dan kesekretariatan. Hal untuk menanggulangi banyaknya surat-surat dari daerah yang belum memenuhi peraturan keadministrasian yang berlaku. Khususnya tata adminstrasi yang berlaku dilingkungan PMII. Pedoman ini dibuat berdasarkan peraturan PP PMII Nomor 1 tahun 1968 tertanggal 28 Maret 1968.

            PB PMII juga melakukan konsolidasi terhadap cabang-cabang yang mengalami kevakuman, sambil mengadakan penyesuaian dan sosialisasi AD/ART yang baru.

            Pada periode ini PB PMII sempat menerbitkan Bulettin yang diberi nama “Generasi” dan mampu terbithingga nomor 25.

            Kegiatan konsolidasi yang lain adalah memindahkan kedudukan Korp PMII Puteri pusat dari Surabay ke Ibu Kota Jakarta (waktu itu yang menjabat sebagai ketua Kopri pusat adalah sahabati Choirunnisa Yafishsham) sesuai dengan hasil Musyawarah Besar I di Leles Garut Jawa Barat.


B.    MUSYAWARAH KERJA NASIONAL III DAN PERUMUSAN NDP PMII

            Musyawarah Nasional merupakan salah satu forum permusyawaratan dalam PMII sebagaimana di atur dalam AD/ART bab VI pasal 8 ayat 3. Sampai periode ini PB PMII telah melaksanakan mukernas sebanyak tiga kali. Yang pertama diadakan pada tanggal 21 - 26 Nopember 1967 di Jakarta, yang kedua diadakan  di Semarang jawa tengah, dan yang ketiga didadakah di Bandung Jawa Barat pada tanggal 1 - 5 Mei 1976. Forum Musyawarah Nasional III ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :

1)     Penyusunan Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII.

Seperti kita ketahui bahwa PMII berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah (kini Pancasila) dalam setiap gerak langkahnya harus dimotivisir oleh nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. Tetapi nilai-nilai itu bagi warga pergerakan khususnya masih banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun tersimpan dalam benak para Ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal ini akan menyulitkan warga pergerakan yang masih awan terhadap nilai-nilai Aswaja, disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerjanya.

Adanya dilema ini, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi Independen, maka rekrutmen anggota tidak lagi melalui pendekatan ideologi maupun kultural historis, tetapi memakai pendekatan program. Konsekwensi dari pendekatan ini terjaringnya anggota PMII yang sama sekali belum, bahkan tidak berlatar belakang Aswaja. Pada gilirannya hal ini akan dapat membahayakan kederisasi dan fanatisme berorganisasi. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Musyawarah Nasional III PMII menyusun kerangka nilai-nilai Dasar Perjuangan NDP) PMII sebagai berikut :

a)     Urgensi NDP Bagi PMII
Sejalan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan PMII di masa kini dan Mendatang,terdapatnya penjabaran yang jelas dari azas organisasi PMII yaitu Islam yang berhaluan Aswaja dirasakan sebagai suatu kebutuhan yangsangat mendesak untuk segera dirumuskan. NDP PMII tersebut di butuhkan dalam kerangka memberi arah dan motivasi, memimpin tingkah laku warga pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai tujuan perjuangan sesuai dengan maksud di dirikannya organisasi ini.

b)    Posisi NDP PMII
Islam sebagai keyakinan mutlak bagi segenap warga PMII menempati posisi tertinggi di dalam memberikan tuntunan hidup dan kehidupan. Sementara itu, Aswaja segabau metode penghayatan/pemahamanajaran Islam tersebut, merupakan hasil penyerapan dari keduanya. NDP PMII adalah pilihan terbaik untuk keduanya, menuju perwujudan cita-cita pergerakan.

c)     Pengertian NDP PMII
Yang dimaksud dengan NDP PMII adalah suatu kebulatantekad, pandangan yang secara sistematis merupakan cermin dari keyakinan Islam yang berhaluan Aswaja untuk memberikan alas pijak dalam memberikan arah tingkah laku PMIIsebagai suatu kelompok sosial untuk mencapai cita-cita perjuangan.

d)    Kerangka Permasalahan NDP PMII
Dalam rangka keperluan perumusan NDP PMII, disusunlah kerangka permasalahan sebagai berikut :

1.     Mukaddimah
2.     Dimensi hubungan Manusia dengan Tuhan
3.     Dimensi hubungan Manusia dengan manusia
4.     Dimensi hubungan Manusia dengan Alam
5.     Dimensi masalah dengan Ilmu Pengetahuan
6.     Kesimpulan.

Selanjutnya penyusunan kerangka dasar NDP PMIIini diserahkan kepada tim yang bertanggung jawab kepada PB PMII, namun sayang, disebabkan kelemahan-kelemahan mekanisme kerja dan faktor-faktor lain, hingga kongres PMII ke VIII di Bandung Jawa Barat, penyusunan NDPPMII tersebut belum dapat diwujudkan.


2)     Penyusunan Pola Dasar Perjuangan PMII

Pola dasarperjuangan PMII merupakan landasan perjuangan atau dapatdikatakan sebagai GBHN-nya PMII. Bagi PMII sendiri tersusunnya PDM PMII merupakan hal yang baru, mengingat pada masa-masa sebelumnya PMII tidak memiliki landasan perjuangan yang bersifat baku dan operasional kecuali pokok-pokok pikiran yang lebih dekatpada nilai-nilaiteoritis filosofis. Secara garis besar Perjuangan PMII memuat:

a)      Pengertian
b)      Hakekat perjuangan
c)      Arah dan sasaran perjuangan PMII
d)     Ruang lingkup Perjuangan PMII
e)      Pola dasar operasional perjuangan PMII


3)     Rumusan Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi

Jika dalam pola dasar perjuangan PMII lebih menitik beratkan pada perjuangan PMII yang bersifat ekstern, atau dikenal dikenal dengan istilah partisipasi, maka garis-garis besar pembinaan orgainsasi ini lebih menekankan diri pada pijakan organisasi dalam rangka konsolidasi organisasi atau pengkaderan. Secara garis besar isi dari GBPO ini adalah sebagai berikut:

a.     Masalah Pengkaderan
Permasalahan ini menyangkut masalah pengkaderan, baik itu pernyataan yang berisi bahwa pengkaderan harus memperoleh prioritas dalam aktivitas programnya, pendekatan yang digunakan, maupun orientasi dari pengkaderan itu sendiri serta pedoman/petunjuk pelaksanaan pengkaderan yangdipergunakan.

b.     Masalah Kepemimpinan
Kepemimpinan yang diharapkan PMII adalah kepemimpinan yang harus mampu memnjiwai sifat pergerakan, yakni kekeluargaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan dan Independen. Sejalan dengan sifat-sifat organisasi tersebut kepemimpinan PMII dituntut untuk senantiasa responsif dan argumentatif serta dukehendaki pula adanya keterbukaan untuk regenerasi seluas-luasnya.

c.      Pembentukan Wadah Alumni
Untuk meningkatkan partisipasi aktif paraalumni, Mukernas III PMII memutuskan membentuk wadah Alumni yang dinamakan “Keluarga Alumni PMII”. Pembentukan wadah itu ternyata mengalami hambatan, sehingga sampai dengan pelaksanaan kongres PMII yangke VIII, wadah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Suatu analisa, bahwa hal itu dikarenakan adanya jurang pemisah antara alumni yang berorientasi ideologis dengan mereka status, sehingga diantara mereka masih terasa sulit untuk dijembatani, suatu pertautan kembali seperti ketika mereka hidup dalam satu wadah pergerakan.

d.     Langkah-langkah Rekrutmen Anggota Baru
Langkah inilebih mengarah pada rekrutmen anggota baru yang berlatar belakang keluarga santri intelektual disamping pada cara tradisional PMII, yang memang selalu bersumber pada keluarga santri pedesaan.
e.      Usaha Pencarian Sumber Dana
Musyawarah Nasional III berhasil merumuskan, baik secara komersial maupun secra tradisional yang dikaitkan dengan pengembangan pergerakan.


4)     Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pemilu

Menghadapi pemilihan umum ketiga (1977, Musyawarah Nasional III berhasil memutuskan pokok-pokok pikiran  berkenaan dengan akan dilaksanakannya pemilu 1977. Pokok-pokok pikiran dimaksud, selengkapnya adalah sebagai berikut :

a)     Pemilihan umum bagi warga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan peristiwaa Penting dan dihormati, yang pelaksanaannya harus mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi rakyaatIndonesia.
b)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berpendapat bahwa pemilu adalah sarana untuk menciptakan suatu sistem kenegaraan dengan sebuah pemerintahan, ialah suatu negara hukum yang demokratis. Karena itu pwmilu 1977 harus maampu berdiri diatas prinsip-prinsip tersebut dengan melaksanakan aturan permainan yang telah disepakati.
c)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memandang bahwa fungsi pemilu harus betul-betul dihayati sebagai suatu keseimbangan antara sarana sosialisasi politik, sarana demokratisasi, dan sarana legitimasi. Sarana sosialisasi politik adalah menjadikan pemilu sebagai wadah pendidikan politik bagi warga negara Indonesia, sehingga mereka mampu menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya. Sarana demokratisasi, yakni sebagai wadah penyaluran kehendak yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Sedangkan sarana legitimasi adalah proses pemberian kekuasaan yamng sah bagi kekuatan yang memperoleh kemenangan dalam pemilu.
d)     Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia akan berpartisipasi dalam pemilu 1977 dengan mengutanakan tujuan-tujuan luhurnya daripada pencapaian kemenangan yang sifatnya praktis dan sementara serta mampu mewujudkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.


C.   PMII DALAM AKTIVITAS-AKTIVITAS EKSTERN

            Perjalanan dunia kemahasiswaan Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan  tersebut menuntut modifikasi format dan peran organisasi kemahasiswaan termasuk PMII dalam melaksanakan program-programnya.

            Dunia kemahasiswaan antara kurun waktu 1966 - 1970-an sangat diwarnai kegiatan-kegiatan yang sarat dengan muatan politik praktis. Kepeloporan mahasiswa dalam kurun waktu tersebut telah mampu memberikan kontribusi nyata baik dalam pembaharuan format politik dan kebangsaan maupun dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Peran kesejarahan mahasiswa seperti itu telah secara tepat menjawab kebutuhan zaman.

            Namun peran seperti itu tentu saja selalu relevan pada setiap waktu, situasi dan kondisi dunia kemahasiswaan pasca tahun 1970-an memiliki tuntutan yang berbeda dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi angkatan-angkatan sebelumnya. Meskipun pada dasarnya semangat, tujuan dan cita-cita tetap memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dunia kemahasiswaan pasca era 1970-an lebih dihadapkan pada tuntutan keilmuan secara lebih tegas. Bobot keilmuan dan keintelektualan dituntut lebih melekat pada peran kemahasiswaan era pasca 1970-an.

            Namun peran keilmuan secara lebih tegas seperti itu tidak begitu saja dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang singkat. Terjadi proses transisi yang cukup panjang. Dan PMII mengamati bahwa kurun waktu antara akhir tahun 1970-an hingga tahun 1980-an merupakan masa transisi baagi dunia kemahasiswaan, masa transisi dari pijakan peran yang lebih berbobot politik praktis menuju pada peran yang lebih berbobot keilmuan dan keintelektualan.

            Pada masa transisi seperti itu dunia kehamasiswaan memang seperti kehilangan elan dan semangat dalam melaksanakan progrm-programnya. Dan PMII sadar bahwa proses transisi seperti harus dapat dilampaui secepatnya secara lebih berhati-hati.

            Kini PMII melihat bahwa peran keilmuan dan keintelektualan bagi dunia kemahasiswaan sudah mulai tegas untuk segera dilaksanakan. PMII mengantisipasi bahwa era 1990-an bagi dunia kemahasiswaan adalah era yang mengartikulasikan secaratepat peran keilmuan dan keintelektualan. Oleh karena itu gerakan yang dilakukan PMII pada era 1990-an terfokus pada gerakan pemikiran, yang antara lain diwarnai dengan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan diberbagai disiplin keilmuan warganya. Setelah gerakan pemikiran dilampaui dengan baik, pada saatnya nanti PMII mencoba merumuskan gerakan kemandirian teknologi, meskipun mungkin baru dimulai pada tataran yang paling sederhana.

            Perubahan-perubahan yang terjadi di dunia kemahasiswaan seperti itu tentu terkait dengan perubahan yang terjadi pada situasi dan kondisi sosial ekonomim masyarakat secara keseluruhan. PMII mengamati bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai kehidupan yang sangat mendasar di dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat.

            Sejak era 1980-an nilai-nilai ekonomi telah begitu kuat meresap keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Orientasi dan kecendrungan masyarakat telah sangat diwarnai oleh nilai-nilai ekonomi. Hala ini wajar terjadi setelah selama kurang lebih 20 tahun pembangunan nasional ditekankan pada bidang ekonomi. Situasi globalisasi yang saat ini melanda diseluruh Indonesia telah membuat paradigma baru bahwa kekuatan dan ketahanan nasional suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan ketahanan ekonomi nasional dan masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu tampaknya akan terus menguat pada masa-masa mendatang. Atas kesadaran dan antisipasi seperti itu maka PMII pada era 1990-an kedepan memformulasikan dan mengaktualisasikan gerakan ekonomi dengan tahapan-tahapan tertentu.

            Bersamaan dengan perubahan-perubahan tersebut telah terjadi juga bahwa proses pembangunan tidak dapat bergantung semata-mata pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya, tetapi justru sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang melaksanakannya. Berdasarkan kesadaran seperti itu PMII mencoba untuk melakukan proses rekayasa sumber daya manusia secara lebih inten, sistematis dan idealis-pragmatis sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.

            Proses aktivitas dan gerakan seperti itu tentu saja tetap dilandasi, disemangati dan dimuarakan pada nilai-nilai Islam, yang merupakan landasan sekaligus sumber inspirasi bagi PMII dalam mengaplikasikan program-programnya. Bersamaan dengan itu PMII juga menyadari bahwa pemahaman dan gerakan keislaman yang bertanggung jawab di negara kita telah mengalami perubahan mendasar dari pemahaman yang bersifat formal menuju pemahaman dan gerakan yang lebih substansial. Oleh karena itu PMII terus melakukan gerakan pemahaman nilai-nilai Islam secara lebih substansial dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam lingkungan, bimbingan dan keberkahan Allah Swt.

            Sebagai organisasi pembinaan, pengembangan dan perjuangan, PMII juga dituntut aktifberpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa. Sesuai dengan predikatnya sebagai organisasi yang bersifat kemahasiswaan, kemasyarakatan, kekeluargaan dan independen, PMII harus aktif dalam kegiatan/persoalan-persoalan yang berdimensi kemahasiswaan, kemasyarakatan dan lain-lain. Adapun kegiatan yang dilakukan PB PMII selama periode 1974 - 1977 dan aktif di dalamnya adalah :

1)     PMII dan Kelompok Cipayung
Dalam sejarah perjuangan bangsa, peran mahasiswa cukup signifikan, bahkan sejarah membuktikan bahwa cikal bakal kebangkiatan nasional dimulai dengan tumbuhnya kesadaran mahasiswa untuk turut memikirkan nasib bangsanya. Pada tahun 1908 sekelompok mahasiswa yang menuntut ilmu pada sekolah kedokteran(stovia) tergrak membentuk wadah pergerakan yang kemudian dikenal dengan nama “Budi Utomo”. Wadah inilah yang merupakan cikal bakal dari kesadaran para mahasiswa dan pemuda untuk memikirkaan nasib bangsa dan negaranya. Bahkan setalah jaman kemerdekaan aktivitas mahasiswa dalam mengisi pembangunan bangsa semakin meningkat, dan karena mahasiswa paling potensial dalam menggerakkan organisasi, maka tidak aneh bila partai-partai politik dalam usaha mencapai tujuannya banyak menggunakan tenaga mahasiswa. Pada saat partai mengalami hidup subur itulah organisasi mahasiswa seakan mendapat angin segar untuk hidup penuh dengan kebebasan berorganisasi yang mendekati kehidupan berorganisasi yang paripurna. [5])  

Anak-anak muda Islam yang berhimpun dalam HMI (himpunan mahasiswa Islam), namun aspirasinya tidak tersalurkan melalui wadah ini, sehingga mereka tergerak untuk membentuk wadah-wadah perjuangan yang berlabel mahasiswa. Antara lain, misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tahun 1954, menyatakan diri sebagai onderbow Partai Nasional Indonesia (PNI). Tetapi dalam perkembangan selanjutnya GMNI menyatakan dirinya independen (1971). Kemudian PKI melahirkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Dikalangan kelompok Kristen juga lahir organisasi mahasiswa yaitu GMKI (gerakan mahasiswa Kristen Indonesia), begitu juga mahasiswa Katolik dengan PMKRI-nya (perhimpunan mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Disamping itu masih banyak organisasi-organisasi sejenis. Mahasiswa dari kalangan Islam-pun banyak tumbuh mengelompokkan diri sesuai dengan aspirasi politik yang mewarnainya. Tentu saja karena merasa aspirasinya belum tertampung melalui HMI. [6]) Organisasi itu antara lain, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) berdiri pada tanggal 2 April 1956. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada tanggal 17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri tahun 1964, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri 20 Januari 1962, Himpunan Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HMMAH) berdiri 8 Mei 1961. [7])

            Dari sekian banyak organisasi mahasiswa itu akhirnya membentuk wadah konfederatif organisasi mahasiswa ekstra universitas yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama PPMI (perserikatan perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang berdiri di Malang 8 Maret 1947. [8]) Sayang wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa Indonesia ini terlalu didominir oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang juga aktivis politik (baca = partai politik), sehingga dalam perkembangannya PPMI tidak bisa berjalan secara sehat. Bahkan PPMI menjadi ajang persaingan dan saling menjatuhkan antar sesama organisasi mahasiswa itu sendiri.

            Ketika iklim politik beruhan drastis, dimana rezim orde lama melakukan blunder dengan membiarkan PKI yang jelas-jelas melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa Indonesia dengan aksi G.30.S/PKI-nya. PPMI tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini bisa jadi, karena dalam perkembangannya PPMI didominasi oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang pro dengan Soekarno. Melihat kenyataan seperti ini aktivis organisasi mahasiswa yang masih berjiwa murni merasa tidak puas, menuntuit agar keadilan segera dapat ditegakkan, maka pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta mereka membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Walaupun harus diakui para pendiri KAMI juga para aktivis PPMI.

            KAMI bangkit menentang kelaliman rezin orde lama, dengan TRI-TURA-nya (tiga tuntutan Rakyat). KAMI turun kejalan-jalan berdemonstrasi, karena jalan konstitusional sudah tidak mungkin di lalui. Berkat KAMI inilah Orde Baru dapat didorong untuk mempercepat kelahirannya. Tetapi setelah Orde Baru lahir dengan mapan, justru KAMI kehilangan vitalitasnya untukhidup eksis. Banyak yang berteori tentang hal ini atau banyak yang mencari sebabnya kenapa KAMI lumpuh.

            Salah satu alasan yang nampaknya akurat adalah penyebab itu semua, bahwa KAMI tidak dapat hidup lestari karena memang organisasi ini lahir tidak berlandaskan pada konsepsi-konsepsi yang matang. Seakan-akan KAMI hanyal organisasi yang lahir dan timbul dari gagasan spontanitas, sehingga ia tidak berangkat dari pesrsepsi yang konsepsional. KAMI ibarat organisasi satuan tugas (satgas) yang hanyabersifat reaktif bila ada bahaya datang. Manakala bahaya itu hilang, maka satgas ini dengan sendirinya akan sirna pula. Akhirnya pada sidang terakhir rapat paripurna KAMI tahun 1969 para aktivis sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Mulai saat itulah KAMI telah tamat riwayatnya. Sebelumnya PPMI, justru organisasi ini lebih tragis membubarkan diri dalam kongres IV pada tanggal 29 desember 1965 di Jakarta. [9]) Dengan bubarnya wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa ekstra universitas ini, maka sepilah dunia mahasiswa Indonesia. Hal ini merupakan suatu yang ironis, mengapa hal ini justru terjadi dalam alam kehidupan Orde Baru yang menginginkan adanya suatu kehidupan yang senantiasa dalam kebersamaan.

            Hidup dalam suasana kebersamaan antar organisasi mahasiswa akhirnya lahir juga setelah melalui proses yang panjang. Pada tanggal 20 - 22 Januari 1972 di Alam pegunungan yang sejuk kelompok mahasiswa yang tergabung dalam wadah GMNI, GMKI, HMI, dan PMKRI menyatukan diri dalam wadah kebersamaan menuju cita-cita : Indonesia yang kita cita-citakan. Wadah itu akhirnya dikenal dengan nama  “KELOMPOK CIPAYUNG”. Patut dicatat, para pencetus lahirnya kelompok Cipayung ini adalah : Akbar Tanjung (ketua umum PB HMI), Kris Siner Key Timu (ketua persidium PP PMKRI), dan Binsar Sianipar (ketua umum PP GMKI).

            Pada awal kelahirannya kelompok ini berhasil mencetuskan pokok-pokok pikiran tentang :INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN. Kesepakatan ini didahului dengan suatu pernyataan “Kami generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan, belajar dari sejarah masa lampau, bahwasanya dis-orientasi yang terjadi dalam perjalanan bangsa , selalu akan menghambat kemajuan bangsa, oleh karenanya, kesatuan perjuangan generasi muda untuk membangun negeri ini merupakan tuntutan bangsa secara mutlak”. Kesepakatan itu mengemukakan butir-butir mengenai “Indonesia yang kita cita-citakan”, antara lain :
Indonesia yang kuat dan bersatu, cerdas dan modern, demokrasi dan adil hukum, sehat dan makmur, bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan. Indonesia dapat dibangun atas pikiran-pikiran dan tekad bersama yang erat dan terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan agama, suku, daerah dan golongan. Karena tekad pikiran yang demikian itulah yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru. [10])

            Berbeda dengan wadah berhimpun mahasiswa sebelumnya, Kelompok Cipayung ini dibentuk tidak bersifat struktural, sehingga tidak mengenal adanya susunan pengurus. Segala aktivitas dikerjakan dengan cara kerjasama mirip sistem arisan (mengambil tempatdan pembiayaan bergiliran antar anggota). Dalam perkembangannya ternyata kelompok ini cukup berperan dalam mengisi sejarah perjuangan bangsa.

            Bahwa Kelompok Cipayung ini, dibentuk oleh empat organisasi mahasiswa ekstra universitas yakni GMNI, GMKI, PMKRI dan HMI. Salah satu kesepakatannya yang tak tertulis adalah anggota kelmpok ini, bukan organisasi mahasiswa onderbow partai politik/golongan.

            Pada waktu itu, PMII masih merupakan onderbow partai NU, sehingga secara otomatis tidak mungkin menjadi anggota. Baru setelah Musyawarah Besar ke II yang diselenggarakan di Murnajati Lawang Malang pada tanggal 14 - 16 Juli 1972 dengan deklarasi Independennya. Dalam perkembangan selanjutnya PMII masih harus berjuang untuk diterima Independensinya oleh semua pihak. Sebab bagaimanapun kecurigaan tentang hal ini tetap ada. Keraguan tentang hal ini disebabkan antara lain :

1)     Hingga saat ini kantor sekretariat PMII baik di tingkat Pengurus Besar, Koordinator Cabang maupun cabang masih banyak yang bergabung dengan Kantor NU.

2)     Sebagian besar alumni PMII aktif dalam organisasi NU sebagai Jam’iyah maupun ketika NU masih aktif dalam dunia politik, melalui PPP. Tetapi sebenarnya dapat dilihat bahwa alumni atau aktivis PMII yang berperan dalam wadah selain NU maupun PPP, sebegai contoh misalnya, M. Hatta Musthafa, SH mantan sekretaris umum PMII DKI Jaya, pernah menduduki ketua umum DPP AMPI, pernah aktif dalam kepengurusan DPP Golkar. Dll.

Hanya karena rasa kekeluargaan antara PMII dan NU yang erat, membuat banyak pihak masih curiga terhadap Independen PMII. Tetapi berkat upaya dari seluruh jajaran PMII, perilaku dari warga pergerakan telah menunjukkan Independesinya.

            Satu tahun setalah kongresnya yang ke V di Ciloto Jawa Barat 1973, PB PMII di bawah kepemimpinan sahabat Abduh Paddare bergabung dengan kelompok Cipayung (Oktober 1974) dan dua tahun kemudia PB PMII dipercaya menyelenggarakan pertemuan kelompok cipayung yang ke 3 pada bulan Januari 1976. Pada saat itu, paling tidak ada dua alasan yang mendorong PB PMII memilih kerjasama dengan kelompk cipayung :

Pertama : Salah satu produk kongres PMII yang ke lima di Ciloto Jawa Barat adalah Manivest Independens PMII - sebuah pernyataan monomental dalam sejarah kehidupan PMII yang mendudukkan PMII pada posisi yang mandiri. Hal ini bukan suatu yang mudah dan mulus. Untuk memperkokoh stabilitas intern PMII, kerjasama dengan pihak-pihak luar, kalangan mahasiswa khususnya, mutlak diperlukan. Disatu sisi, diperlukan sebagai peneguh eksistensi PMII dalam posisinya yang baru (independen) dan di sisi lain, bergabung dalam kebersamaan dengan mahasiswa Indonesia lainnya merupakan perwujudan semangat kebangsaan untuk menjalin persatuan dan kesatuan.

Kedua   : Situasi waktu itu, kecendrungan untuk melikuida si ormas-ormas mahasiswa sangat kuat. Penggiringan ke arah wadah tunggal organisasi pemuda semakin intensif dan sistematis dilaksanakan. Dalam situasi seperti itu, kebersamaan dan solidaritas sangat diperlukan. Kehadiran PMII di tengah Kelompok Cipayung, buat kelompok cipayung sendiri, berarti menambah kekuatan.

Keterlibatan PMII dalam kelompok cipayung tidak lepas dari upaya perwujudan citra PMII yang meliputi, Citra Kemahasiswaan, Citra Keislaman, dan Citra Keindonesiaan.

            Citra Kemahasiswaan melahirkan wawasan keilmuan, dan dari sana muncul sifat keterbukaan, gandrung kepada kemajuan, berorientasi ke masa depan, dinamis dan tidak statis atau beku, serta tegas, jujur dan konsekwen (Gelora Megamendung 1965). Dalam pandangan PMII yang berwawasan keilmuan sebagai wujud citra kemahasiswaannya, kesarjanaan adalah penguasaan ilmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, eksakta dan sosial ekonomi. Kesarjanaan itu tidak dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai bilamana tidak disertai tindakan nyata bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat (Deklarasi Tawangmangu 1961).

            Citra Keislaman melahirkan wawasan keagamaan dan daripadanya muncul sifat toleransi, keikhlasan, ukhuwah, dan tanpa pamrih. Sebagai angkatan baru, PMII sadar dan yakin sepenuhnya akan tanggung jawabnya terhadap agama Islam, negara dan bangsa, serta kesetiaan terhadap UUD 1945. Adalah tanggung jawab yang terpuji bertindak menurut ajaran Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati, dan berpihak pada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta membela mereka (Deklarasi Tawangmangu 1961).

            Wawasan ini dalam perwujudannya dengan kelompok cipayung, melahirkan pemahaman akan perlunya pemeliharaan nilai-nilai yang melatar belakangi kehadiran ornas mahasiswa. Dalam kesepakatan KC tahun 1978, terdapat pokok-pokok pikiran yang berbunyi : “Upaya pengembangan generasi muda Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai pegangan dasar dan peneguh kepribadian yang sangat berguna dalam menghadapi situasi masyarakat yang senantiasa berubah dan merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan nasional yang berlandaskan Pancasila”.

            Citra Keindonesiaan yang melahirkan wawasan kebangsaan dan selanjutnya dapat melahirkan sifat patriotisme, nasionalisme, kesediaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan tanah air. “Menjadi tanggung jawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imprealisme dan kolonialisme dan kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak azasi dan demokrasi yang luhur” (Deklarasi Tawangmangu 1961). Citra ini dalam perwujudannya dalam kelompok cipayung melahirkan banyak pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dari wawasan ini, lahir pemahaman bahwa kelahiran generasi muda dalam bentuknya yang sekarang merupakan pencerminan dari realitas sosial yang ada (Kesepakatan Cipayung 1974).

            Dalam kaitan ini pula, layak untuk dikutip penutup pernyataan kelompok cipayung tahun 1980 :

“Demikianlah seluruh pemikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah masa lampau, kenyataan hari ini, dan cita-cita di masa depan, sebagai salah satu sumbangsih yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, yang tulus ikhlas dan murni, sebagai persembahan kepada Ibu pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran bahwa hari-hari dibelakang adalah hari-hari perjuangan dan pengorbanan dalam pengabdian yang sulit. Namun yang telah dihadapi dan dilewati dengan penuh konsistensi, tanpa pamrih, tetapi yang adalah juga bagian dari kenyataan dan sejarah Republik ini”.

            Dengan menembus waktu dan membentuk sejarah, kelompok cipayung akan tetap hadir dalam kehidupan bangsa ini, sebagai bagian dari sejarah kemarin, hari ini dan masa depan bangsa. Dan dengan penuh optimisme serta suka cita, kita bersama-sama menatap hari esok dalam perjuangan, keyakinan dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik, yakni Indonesia yang kita cita-citakan, seperti yang dimaksud Pancasila dan UUD 1945. “Kami sudah coba memberikan yang terbaik untuk republik ini dan sejarahlah yang akan menentukan nilai”.

            Demikianlah beberapa landasan moral, etis dan normatif yang mendorong keterlibatan PMII dalam kelompok cipayung. Seyogjanya citra PMII yang demikian itu senantiasa dihayati dan diamalkan dalam rangka pengabdian PMII kepada agama, bangsa dan negara. Ketiga Citra itu, kemahasiswaan, Keislaman dan Keindonesiaan, harus sejalan, serasi dan seimbang - tidak saling menghambat dan meniadakan, tetapi justru saling melengkapi dan saling menumbuhkan.

            Adalah mengesankan ketika PMII memimpin delegasi kelompok cipayung ke pimpinan DPR untuk memprotes pemberlakuan SK. Menteri P dan K No. 028 yang sangat terkenal pada waktu itu. SK. Tersebut berisi pengaturan soal keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa meminta ijin Rektor terlebih dahulu. Atau tatkala kelompok cipayung mengadakan kunjungan ke Bandung, Yojakarta, Semarang dan Malang, di depan Pangkowilhan II Jawa - Madura, di Yogjakarta, PMII atas nama kelompok cipayung menjelaskan agar dalam memandang kelompok cipayung harus berpedoman pada “tiga jangan” :

Pertama : Kelompok Cipayung lahir dari pengalaman kese jarahan ormas mahasiswa yang tergabung di dalamnya, disertai kesadaran kultural, bahwa keragaman bukan penghalang untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan memandang kelompok cipayung sebagai usaha menggalang kekuatan.

Kedua    : Kelompok Cipayung   merupakan  forum  dialog generasi muda mahasiswa Indonesia dalam upaya meningkatkan peran sertanya dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, Jangan berpikiran kelompok cipayung akan dibentuk secara struktural dari pusat sampai daerah.

Ketiga    : Kelompok cipayung adalah forum yang di dalam nya berlangsung proses pergumulan, penghayatan dan pemahaman akan arti kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan dipertentangkan dengan KNPI. Kelompok cipayung dan KNPI adalah equal patner (mitra sejajar).

                Produk kelompok cipayung yang berupa pokok-pokok pikiran, lebih mencerminkan citra intelektual/pemikiran - dan memang, yang ditumbuhkan dalam kelompok cipayung adalah dialog intelktual. Pernyataan-pernayataan KC yang berupa pokok-pokok pikiran pada dasarnya merupakan gagasan intelektual muda putra bangsa yang ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab sejarahnya. Gagasan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan, yang meliputi bidang politik, ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan generasi muda.

Pertemuan Kelompok Cipayung I, 22 Januari 1972, melahirkan “Indonesia yang kita Cita-citakan”,  yaitu Indonesia yang digambarkan dalam UUD 1945, berupa masyarakat adil dan makmur, mental spritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang bersatu, Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa hukum. Indonesia yang sehat dan makmur.

Pertemuan Kelompok Cipayung II, April 1974, melahirkan “perencanaan masyarakat dan tanggung jawab Generasi Muda” . Ini sebagai suatu pemahaman akan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam perencanaan masyarakat untuk menuju Indonesia yang di cita-citakan.

Pertemuan Kelompok Cipayung III, Januari 1976, melahirkan pemikiran mengenai “meningkatkan kebersamaanmenuju Indonesia yang di cita-citakan dan pembinaan Generasi Muda yang berkepribadian”. Pemikiran ini sebagai pemahaman dan ajakan mengenai perlunya diperluas keterlibatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

Pertemuan Kelompok Cipayung IV, September 1978, melahirkan pokok pikiran mengenai “Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda Dalam Rangka pembangunan Bangsa Seutuhnya”. Pokok pikiran ini mengungkapkan perlunya pembinaan generasi muda sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan ditujukan pada usaha menumbuhkan generasi muda yang secara sosio pedagogis mandiri. Pengembangan generasi muda harus menghindari pendekatan struktural yang mengarah kepada pewadahan tunggal, karena hal demikian bertentangan dengan fitrah generasi muda Indonesia dan nilai-nilai demokrasi.

Pertemuan Kelompok Cipayung V, Juni 1980, melahirkan pokok-pokok pikiran “Penataan Kembali sistem Sosial Guna Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab”. Demkian juga selanjutnya pokok-pokok pikiran KC yang lahir dalam evaluasi akhir tahun, peringatan Sumpah Pemuda, Peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan lain-lain peristiwa, pada dasarnya mencerminkan pemahaman akan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan serta kepemudaan dan kemahasiswaan. [11])


2)     PMII dan KNPI

            Tidak berbeda dengan mahasiswa, peran serta pemuda dalam perjuangan bangsa juga besar. Sengaja penulis disini membedakan antara organisasi pemuda dan organisasi mahasiswa. Perbedaan itu biasanya terletak pada aktivitas kesehariannya. Organisasi pemuda lebih terfokus pada bidang-bidang garapan yang langsung berkaitan dengan masyarakat banyak, dan aktivitas yang ditonjolkan biasanya dalam nuansa yang bersifat politis dalm artian praktis (dalam sejarahnya hampir sebagian besar organisasi pemuda selalu menjadi pendukung/anak kandung partai politik atau oragnisasi massa).

            Sejarah mencatat, bahwa kelahiran organisasi pemuda di bumi pertiwi ini adalah di dahului dengan lahirnya”TRI KORO DARMO”, seperti ditulis oleh Drs. Martono, dkk sebagai berikut :

“Gerakan pemuda dimulai dengan berdirinya organisasi pemuda pertama ialah “TRI KORO DARMO” yang berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta. Pendirinya adalah seorang mahasiswa sekolah kedokteran bernama Satiman Wiryo Sandjoyo. Tujuan dari TRO KORO DARMO adalah :

a.      Menggalang persatuan
b.     Memperluas pengetahuan
c.      Membangkitkan rasa cinta terhadap bahasa dan kebudayaan sendiri.

Oleh karena mempunyai tiga tujuan itulah, maka organisasi itu dinamakan TRI KORO DARMO, yang artinya “tiga tujuan mulia”. Kemudian pada tahun 1918 di ubah namanya menjadi “Jong Java”, artinya Jawa Muda. [12])


            Bersamaan dengan perubahan nama TRI KORO DARMO menjadi Jong Java, kemudian lahir organisasi-organisasi pemuda sejenis yang bersifat kesukuan, sperti Jong Sumatera Bond, Jong Colebes, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Sekar Rukun (Pasundan) [13])

            Bagi pemuda Islam ada satu masalah yang mengganjal pada waktu itu, para pemuda Islam yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan milik Belanda, tidak mendapatkan pendidikan agama (Islam) yang layak, bahkan guru-guru Belaanda sering bersikap sinis terhadap agama Islam> Gejala yang demikian ini menggugah pemikitan seorang pemuda Muslim yang aktif dalam oragnisasi kepemudaan, yaitu Raden Syamsurial. Karena pretasinya yang baik, dia terpilih menjadi ketua Jong Java. Ketika organisasi itu menyelenggarakan kongres yang ke 7 di Yogjakarta, R. Syamsurial mengusulkan gagasan agar Jong Java melaksanakan kegiatan membuka kusus agama lain bagi anggota yang beragama itu. Usul itu ditolak oleh kongres lewat suatu pemungutan suara. [14])

            Dengan penolakan itu rupanya menggugah R. Syamsurial untuk memikirkan, kiranya sudah waktunya pemuda Islam membentuk wadah sendiri, dapat mengurus nasibnya sendiri dan mampu memperjuangkan aspirasinya sendiri. Dengan dorongan dari intelektual Muslim ternamaH. Agus Salim, maka pada tanggal 1 Januari 1925 berhasil mendirikan Jong Islameten Bond (JIB), didirikan di Jakarta bersama-sama dengan Mr. Moh. Roem dan Mr. Kasman Singodimidjo. Organisasi ini merupakan organisasi Islam yang Pertama. [15])

            Dengan lahirnya Jong Islameten Bond (JIB), kini di tanah air ada dua kelompok oraganisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan atau kedaerahan, dan organisasi pemuda yang lahir berdasarkan aas keagamaan. Jejak ini kemudian disusul dengan lahirnya pemuda Muslimin yang berdiri pada Nopember 1928, Pemuda Ansor pada tahun 1933 dan pemuda Muhammdiyah pada 2 Mei 1932. [16])

            Dua tahun kemudian setelah lahirnya JIB di tanah air, lahir organisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan maupun dasar keagamaan yaitu, “Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia” yang didirikan oleh para mahasiswa di Jakarta pada tahun 1926, dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka. [17])

            Dapat dikataakan, bahwa PPPI ini merupakan organisasi mahasiswa pertama yang lahir dan bertujuan untuk mencapai Indonesia Merdeka. PPPI inilah yang mensponsori kongres pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian mencetuskan ikrar keramat dan bersejarah yang dikenal dengan “SUMPAH PEMUDA”.

            Sisi lain dari kepputusan kongres pemuda II adalah dileburnya organisasi-organisasi pemuda (lokal) menjadi satu wadah yaitu “INDONESIA MUDA”. [18]) Pada akhirnya bahwa Indonesia muda menjadi organisasi/wadah tunggal pemuda Indonesia yang pertama.

            Hingga jaman kemerdekaan kita tidak menemui adanya suatu wadah/organisasi kerjasama antar pemuda. Hanya pada akhir tahun 1964 para pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam tergabung dalam wadah kerjasama, yang diberi nama generasi muda Islam (GEMUIS), sampai meletusnya pemberontakan PKI dengan G.30.S/PKI itu. Hal ini menggugah para pemuda Islam untuk bersama-sama menghancurkan PKI. Dikalangan Pemuda dengan KAPI-nya (kesatuan aksi pemuda Indonesia), Pelajar dengan KAPPI (kesatuan aksi pemuda pelajar Indonesia), Mahasiswa dengan KAMI-nya (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Organisasi inilah yang dengan gigih dan pantangbmenyerah melakukan aksi turun jalan merdemonstrasi menuntut agar PKI dibubarkan serta diturunkannya rezim orde lama. Tetapi wadah-wadah perjuangan tersebut tidak lama bertahan. Pada awal tahun 1968 satu persatuwadah itu mulai berguguran tetapi para mahasiswa Islam pada bulan Mei 1968 mendirikan wadah bersama yang kenal dengan nama “Pemuda, mahasiswa, pelajar Islam” (PMPI). Hanya ada tiga kegiatan yang tercatat sehubungan dengan eksistensi wadah ini, yaitu :

1)     Panitia aksi solidaritas terhadap penyerbuan Israel atas negara Arab pada bulan Juni 1967, yang dikenal dengan nama perang 6 hari.

2)     Gerakan protes terhadap kunjungan kaisar Halie Silasie dari Ethopia, seorang kepala negara Kristen yang menindas Ummat Islam, kunjungan itu direncanakan pada bulan Mei 1968.

3)     Protes keras terhadap seorang kolumnis (Mukhtar Lubis) yang lewat karyanya (cerpen) “Langit masih mendung”, menyinggung agama dan ummat Islam Indonesia.

            Selain itu, tidak ada lagi wadah-wadah kerjasama antar pemuda, baik dari kalangan pemuda Islam sendiri maupun dari kalangan pemuda Indonesia pada umumnya.

            Tidak adanya wadah perjuangan bersama, menurut Ali Murtopo (mantan Menteri penerangan RI pada kabinet pembangunan III) adalah karena adanya pertikaian ideologis, lebih lanjut dia mengatakan :

……….. Namun demikian setelah konflik nasional ini dapat diakhiri dan timbul kestabilan kembali, bersama itu pula mulai dirasakan keretakan-keretakan antara sesama generasi muda. Yang masing-masing secara sadar atau tidak, mengarah pada loyalitas primordial, yakni pada partai-partai politik. Kalaupun tidak secara langsung terdapat afiliasi dengan partai=partai politik, tetapi pertentangan ideologis dengan partai-partai politik tercemin dalam tatanan gerak mahasiswa.

            Nampaknya upaya mempersatukan pemuda berlanjut terus dan diusahakan secara intensif oleh pemerintah. Lebih lanjut Ali Murtopo mengemukakan :

………… Keadaan ini berlangsung secra berkepanjangan dan dirasakan sebagai suatu perkembangan yang semakin tidak sehat. Baru pada bulan Maret 1972 beberapa pimpinan organisasi massa pemuda dan mahasiswa ekstra universitas yang tergabung dalam panitian nasional pemuda untuk seminar-seminar keluarga berencana (PNPKB) mencapai kesepakatan untuk meningkatkan wadah dari suatu kepaniatiaan menjadi satu wadah tunggal pemuda Indonesia. Sejak saat itulah diselenggarakan beberapa pertemuan, dan pada bulan Mei 1973 sebagai hasil pembicaraan dari beberapa pimpinan pemuda Ansor, GPM, Pemuda Muslimin, GMKI, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah,, GPI, HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan koordinasi pemuda mahasiswa Golkar dibentuk suatu penitia persiapan komite nasional pemuda. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1973 dengan mengeluarkan satu “Deklarasi Pemuda Indonesia”  terbentuklah Komite Nasional Pemuda Indonesia, yang kemudian kita kenal dengan nama KNPI, dimana disebutkan bahwa KNPI adalah :

1)     Merupakan forum komunikasi riil antar generasi muda Indonesia.

2)     Menampilkan kegiatan-kegiatan generasi muda sebagai indikasi adanya komunikasi antar generasi muda.

3)     Berfungsi sebagai katalisator dan dan dinamisator generasi muda Indonesia.

4)     Tidak mengurangi peranan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada dan hidup dalam masyarakat. Selain itu dinyatakan pula bahwa masalah-masalah yang menyangkut fusi organisasi-oragnisasi pemuda maupun mahasiswa diserahkan kepada proses masing-masing organisasi. [19])

            Secara gamblang dinyatakan bahwa KNPI hanya akan berfungsi sebagai forum komunikasi atau stabilisator dan dinamisator generasi muda (artinya wadah ini tidak akan bekerja secara struktural dan fungsional kebawah)  namun dalam kenyataannya KNPI berubah arah menjadi organisasi pemuda yang tidak jauh beda dengan organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada. Bahkan dalam Sidang Umum MPR tahun 1978 KNPI secara resmi masuk dalam GBHN dan diakui sebagai satu-satunya wadah pembinaan generasi muda Indonesia. Hal ini sempat mengundang protes organisasi pemuda dan mahasiswa yang merasa terancam eksistensinya. Baru setelah pemerintah memberikan penjelasan panjang lebar tentang masih dijaminnya eksistensi organisasi pemuda dan mahasiswa diluar KNPI. Protes itu mulai mereda dan kecurigaan terhadap KNPI sebagai upaya me-nunggal-kan pemuda dan mahasiswa juga turut mereda.

            Dalam kaitan dengan proses kelahiran KNPI ini, PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa pendiri bersama-sama dengan organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Seorang aktifis PMII, M. Hatta Musthafa pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KNPI. Ketika kongres I KNPI pada Oktober 1974, PMII masuk dalam jajaran pengurus pusat, yang diwakili oleh sahabat Drs. Abduh Paddare, sebagai salah satu ketua DPP KNPI.
            Dalam rangka kongres KNPI I itu, PB PMII menginstruksikan kepada pengurus Koorcab dan Cabang di seluruh Indonesia untuk mensukseskan kongres tersebut. Surat PB PMII No. 73/PB-VI/III/74 dan surat PB PMII N0. 76/PB-VI/IX/74. Yang intinya PB PMII menginstruksikan supaya cabang-cabang PMII berpartisipasi datang ke forum kongres - melalui jalur KNPI setempat - dan berjuang mempertahankan KNPI tetap pada fitrahnya sebagaimana ide dasar KNPI di dirikan.

            Akhirnya forum kongres memutuskan, bahwa KNPI tetap pada jalus fitrahnya, yaitu tetap sebagai wadah komunikasi, bukan sebagai wadah tunggal generasi muda Indonesia. Organisasi pemuda Indonesia tetap bersifat majemuk sesuai dengan semboyan “Binneka Tunggal Ika” walau berbeda-beda suku, budaya, agama, daerah dan aspirasinya tetap satu jua. Kita tidak satu yang tunggal secara mutlak, tetapi kita tetap menghargai eksistensi masing-masing.



D.   MASA  KONSOLIDAASI  DAN  PENGEMBANGAN  (1977 - 1980)

1.     Konsolidasi Organisasi

            Periode kebangkitan PMII ditandai dengan tercetusnya “Deklarasi Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada hakekatnya merupakan titik kulminasi dari penemuan jati diri dan eksistensinya, sebagai organisasi mahasiswa yang berdimensi keagamaan dengan paradigma pemahaman keagamaan Aswaja.

            Pada prinsipnya deklarasi tersebutjuga pernyataan ke dunia luar khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia yang penih dengan hiruk pikuk perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan dan keterbelakangan.

            PMII melalui deklarasi Murnajati, menyatakan dirinya sebagai organisasi yang independen, yang tidak terikat pada organisasi apapun dan hanya mengikatkan diri pada azas dan tujuan organisasinya, serta hanya komited pada perjuangan bangsa Indonesia. Ini menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu golongan, tetapi menjadi asset bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya ummat Islam.

            Pernyataan Independensi PMII itu, akhirnya diteguhkan dengan lahirnya satu pernyataan penegas yang dikenal dengan “Manivesto Independen”. Pernyataan ini dicetuskan dalam kongres V yang diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.

            Deklarasi Murnajati maupun Manivesto Independen tidak akan punya arti apa-apa, jika hanya dinyatakan di atas kertas dan hanya terbatas pada tataran ide, tanpa di implementasikan dalam kehidupan organisasi secara nyata. Independensi suatu organisasi akan mempunyai arti, manakala mampu menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri. Mandiri dalam gerak pemikiran maupun dalam gerak operasional organisasi. Bagi PMII, upaya kearah itu merupakan beban berat, salah satu sebabnya adalah karena PMII sudah terbiasa hidup dengan fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU. Bagi pihak luar, PMII dianggap sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga PMII pun masih banyak yang ragu akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang secara mandiri. Tidak heran, setelah tercetusnya deklarasi independen ada sejumlah cabang yang terpaksa tidak/belum mampu hidup secara independen.

            Dalam rangka konsolidasi, PMII terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada Periode Drs. Abduh Paddare, PMII berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas pijak. Langkah itu dilanjutkan dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 - 12  Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta. Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai nilai strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil merumuskan arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun secara sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern, pola pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah wujud dari arah gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana pengembangan jangka panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMIImerinci dengan program kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII). P4-PMII serta penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu dapat lebih memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi yang lain.

            Sebagaimana lazimnya kongres, maka kongres PMII yang ke VI ini disamping membahas program-program kerja dam persoalan-persoalan aktual saat itu juga membahas pengurus yang akan memimpin organisasi pada periode berikutnya (1977 - 1981). Yang terpilih untuk memimpin PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin Arubusman, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua tokoh ini sudah berpengalaman dalam mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil rapat formatur mengenai kepengurusan PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )

Ketua Umum                                                : Ahmad Bagja
Ketua                                                            : Musthafa Zuhad
Ketua                                                            : Muhammad Rodja
Ketua                                                            : Abdul Kadir
Ketua                                                            : Yaya Sofiyah
Sekretaris Jenderal                            :Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                                     : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi                             : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan                           : M. Abdul Azis
Sekbid Olah Raga,Seni dan Budaya            : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                                : Fadhilah Suralaga    
Sekbid Alumni                                  : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan Pengabdian
Masyarakat                                       : Hidayat
Sekbid Organisasi Islam, Pemuda
dan Mahasiswa                                 : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar negeri dan Kerja
sama Internasional                            : Mudjahidin Ridwan
Bendahara                                         : Hasan Basri Saleh
Wakil Bendahara                              : Silvia. [20])

            Perjalanan organisasi dalam kepengurusan ini nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran agar dinamika organisasi bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu PB PMII mengadakan resufle kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan hasil sebagaimana tersebut dibawah ini :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )
Hasil Resuffle

Ketua Umum                                    : Ahmad Bagja
Ketua                                                : Musthafa Zuhad
Ketua                                                : Muhammad Rodja
Ketua                                                : Wahidudin Adam
Ketua                                                : Fadhilah Suralaga
Sekretaris Jenderal                : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                         : Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi                 : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan               : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga dan
Seni Budaya                         : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                    : Ida Farida
Sekbid Alumni                      : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian Masysrakat        : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi Islam
Mahasiswa dan Pemuda       : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar Negeri dan
Kerjasama Internasional       : Sri Mulyati
Bendahara                             : HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara                  : Lathifah  [21])


2.     Aktivitas Intern Organisasi

a.     pembinaan dan pengembangan koorcab, cabang dan anggota pmii.

Kehidupan PMII setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada anaknya. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai disitu, ketergantungan PMII pada NU tidak hanya sebatas finansial , tetapi sesungguhnya lebih dari itu.

Suatu contoh dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan tunggi milik NU ataupun setidaknya milik orang NU.

Setelah pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada tindakan apa-apa dari pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga menjadi persoalah tersendiri bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi independen.

Kesungguhan jajaran pengurus terutaama mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap memperjuangkan sikap independen itu, berusaha melampaui masa transisi itu dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad independennya, selama periode ini (1977 - 1981) sejumlah cabang PMII berhasil kembali berdiri, antara lain :


·         Cabang Sumenep
·         Cabang Luwu
·         Cabang Ambon
·         Cabang Surakarta
·         Cabang Darut
·         Cabang Cianjur
·         Cabang Samarinda
·         Cabang Balikpapan
·         Cabang Pontianak dan sebagainya  [22])

Disamping itu juga terbentuk cabang-cabang baru seperti :

·         Cabang Manado
·         Cabang Sibolga
·         Cabang Nias
·         Cabang Banda Aceh
·         Cabang Bima

( sebenarnya cabang-cabang ini pernah beridiri pada  masa periode 1967 - 1970) [23])

Usaha PB PMII dalam mengembangkan cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah. Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan betapa bergairahnya aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.

Kunjungan-kunjungan PB PMII ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti, Kegiatan masa penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan,  Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.


b.     Lokakarya penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Kader.

Sebagai organisasi mahasiswa sekaligus sebagai organisasi kader, bukaan sebagai organisaasi massa. Artinya rekrutmen sistem keanggotaan harus mengarah pada pembentukan pribadi anggota yang memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan dalam mengelola organisasi. PMII tidak hanya merekrut anggota sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang pengkaderan yang tersusun secara sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader yang berwawasan kemahasiswaan, kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan keindonesiaan.

Seorang mahasiswa yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal, yakni masa penerimaan anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai sistem keanggotaan stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus mengucapkan bai’at, yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta mentaati ketentuan organisasi.

Sistem pengkaderan yang ada di PMII, meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi dua jenjang, PKD dan PKL). Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan dari Latihan Kader Dasar (LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari Latihan Kader Menengah (LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan menelorkan kader Inti. Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon (lingkungan Fakultas) ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk LKD, sedang untuk LKM, bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk LKL, yang berwenang menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi dari masing-masing tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 haari). Perbedaan yang mendasar dari masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan tenaga instrukturnya.

Paada jenjang LKM, kader muda dilatih untuk dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang atau Koorcab. Sehingga lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang atau Koorcab. Sedangkan untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM yang diarahkan agar mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam penggodokannya diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan keorganisasian yang paripurna.

Sebenarnya PMII sudah memiliki semacam panduan pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil keputusan kongres PMII II di Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun 1966, panduan tersebut disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi memakai buku panduan tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena langkanya aktivitas pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.

Belajar dari pengalaman masa lalu itu, upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan terus diusahakan oleh PB PMII. Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman dilaksanakan pada tanggal 15 - 17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di ikuti oleh utusan dari PB PMII, lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel, Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel). Di undang pengurus-pengurus cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta, Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [24])

Dengan disusunnya buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan, yakni tidak singkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan organisasi yang berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat.


c.      Pelatihan Instruktur

Sebagai organisasi kader, PMII sangat membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab bagaimanapun baiknya suatu pedoman tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang mampu menterjemahkan isi pedoman tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan banyak artinya. Kalaupun itu dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan (target pelatihan).

Persoalan instruktur ini, PMII masih ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa lainnya. Dari catatan perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru menyelenggarakan latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat, sehingga dapat dibayangkan betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur yang benar-benar terlatih.

Kebutuhan akan tenaga pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada tanggal 4 - 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.

Dengan upaya itulah kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar tahun 1960-an.

Masa pembinaan dan pengkaderan PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak pengkaderan dan latihan instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII. Cabang-cabang PMII selama periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas pengkaderan yang mulai berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang berhasil dengan lembaga pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP, SMTA dan Akademi. Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan “Akademi Da’wah”. Sebuah lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat, dengan “SMP Diponegoro”.

Tidak hanya pelaatihan formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh subur di cabang DKI Jaya< Ciputat< Yogjakarta dan lain-lain.


d.     Pembenahan sekretariat dan penerbitan

Salah satu keputusan kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki kantor sekretariat permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti saat ini, maka pihak luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit dibuktikan. Ketika PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang mandiri walau belum permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP PMII periode pertam) padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.

Hal ini pernah disinggung oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah PMII independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor NU. Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan tetap minor.

Keadaan yang sebenarnya adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas milik NU, walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian organisasi ini. PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan cara berfikir yang tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar, Musyawarah Pimpinan, Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak akan ditemui pesan sponsor siapapun termasuk NU.

Tentang pandangan orang luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di Jl. Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal gerak operasional organisasi.

Kenyataan seperti itu tidak selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang, dilihat dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang memiliki puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat yang sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme yang membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang diberi nama bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari cabang-cabang di daerah dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh Indonesia.


3.     Aktivitas Ekstern Organisasi

a. PMII Dalam Forum Kemahasiswaan

Sebagai organisasi mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas kemahasiswaan/kampus. Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia kemahasiswaan waktu itu sedang mengalami masa suram.

Dunia kemahasiswaan sebagai pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara sesungguhnya telah terbukti dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu. Tepatnya  sedari Soetomo bersama mahasiswa STOVIA lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa mulai dari angkatan 1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis mahasiswa. Mereka memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam kepemimpinan bangsa ini berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar sampbil melibatkan diri dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut politik dan kemasyarakatan.

Pada jaman kemerdekaan, peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan, munculnya para pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah air yang dikenal dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran mahasiswa sebagai pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu organisasi-organisasi mahasiswa hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya hanya untuk memperkuat kedudukan partai-partai politik yang melindungi organisasi masing-masing.

Posisi yang demikian ini berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu mengkhianati Ibu Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap dibiarkan hidup oleh rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas, wakil-wakil rakyat yang duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Melihat kenyataan seperti ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa tampil sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa wakil rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam seribu bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya, sehingga saluran konstitusional menjadi macet.

Akhirnya mahasiswa tampil menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan berdemonstrasi membela rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya dibubarkan.

Setelah pemerintahan Orde Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas, karena kenyataannya telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan, kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu 1971 dan 1977. Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan nasional yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Lama. Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya, disamping aksi corat-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali kejalan semula. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.

Namun pemerintah beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan. Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir mahasiswa.

PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat terjadi pengadilan mahasiswa  (merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra universitas).

Sejak saat itulah kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.

Berdasarkan kepentingan akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan kehidupan kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK. Sekalipun mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui suatu usul interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah ditetapkan.


Birokratisasi Kampus

Dua langkah penting yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan kampus yang dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu stabilitas politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan intervensi yang bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang melibatkan unsur-unsur dan kehidupan kampus.

Dalam rangka tindakan kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan proses birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan sepenuhnya dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai kepada pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut. Bahkan dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta. Pengalokasian anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat pengarahan dan pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Laangkah politis pemerintah ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan lembaga kemahasiswaan (dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan kampusnya di dalam kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri (Korpri) di kampus, kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi kesempatan dosen untuk mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan hanya membolehkan profesor mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh Golkar melalui pimpinan unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan warga kampus.

Campur tangan birokrasi negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang  amat mendetail terhadap opersional universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa, penentuan dan penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian, dan penentuan pimpinan.

Disatu sisi, intervensi birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah dosen serta fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola pembangunan kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat kemandirian kampus, maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya intensitas campur tangan birokrasi tersebut, antara lain :

Pertama : Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus. Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif di dalam kampus.

Kedua    : Intervensi   birokrasi   yang   mencengram  itu   menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan personal meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen dalam penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta unit-unitnya.

Ketiga    : Tumbuhnya  gejala  apatisme  sebagai  akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada aktivitas mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa lebih memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [25])

Pada dasarnya PMII menolak diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur kehidupan kampus dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak dan frontal, padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi seluruh Indonesia sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat berakibat celaka.


b.     PMII Dalam Forum Kepemudaan

Organisasi mahasiswa pada hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya mahasiswa adalah juga pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang kepemudaan dengan dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi keterlibatannya dalam bidang kepemudaan.

Dalam dunia kepemudaan, seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi pemuda bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), berdasarkan deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan forum konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang dan berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.

Usaha mewujudkan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam GBHN. Hal itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan KNPI dalam GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah penekanan terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII terhadap keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun PMII sadar akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya KNPI, maka dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI tetap berjalan menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para pemuda Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru eksistensi dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan menempatkan dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi belaka. Disinilah KNPI mengalami dilema

Dalam majlis pertimbangan pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu PMII melalui utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali (Sekbid Organisasi PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung pihak-pihak yang selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal. Usaha itu bahkan berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang diselenggarakanpada tanggal 28 Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat membuat para aktivis organisasi mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan adanya pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam kongres ini muncul kembali issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah tunggal pemuda Indonesia. Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta mahasiswa kecuali KNPI dan AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II KNPI sebagai kongres pemuda.

Gejala ini sebenarnya merupakan produk dari “tiga bentuk kebijaksanaan” yang mengatur kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan pada tahun 1973 :

Pertama : Dengan  dibentuknya   KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun bertindak sebagai pengawas dan pembina.

Kedua    : Pembekuan   Dewan  Mahasiswa  oleh  aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21 Januari 1978, melumpuhkan organisasi mahasiswa tingkat universits dn nsionl. Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk melakukan kegiatan yang berskala besar, naik di kampus maupun secara nasional, maka tinggallah organisasi mahasiswa tingkat fakultas dengan segala kondisi yang ada.

Ketiga    : Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan oraganisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan dan bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari itu, kebijaksanaan tersebut jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai individu dan harus memasuki organisasi politik resmi. [26])


Berkenaan dengan kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang tumbuhnya faktor destabilitas nasional.

Tetapi sejak tahun 1970-an, setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat regenerasi kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai diwujudkan, maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinan semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan kembali peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran generasi muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi 1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.

Intervensi birokrasi tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut semakin intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa “Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan mahasiswa di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya bagi kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda. Dan melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi pemuda bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.

Bagi mereka yang berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut, justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa semakin takut dengan aktivitas yang bernuansa politik.

KNPI sebagai wadah generasi muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi yang berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata cara pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola konflik di dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat ditandai oleh spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri inovatif tidak mampu dikembangkan di dalam wadah ini.















































           



 

[1] Arbi Sanit, Mahasiswa Kekuasaan dan bangsa: Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran Studi Indonesia Dan Yayasan LBHI, Jakarta, 1989
[2] Surat Edaran PP PMII Nomor : 461/PP-IV/II-69, Tertanggal 28 Februari 1969.
[3] Keputusan Kongres V PMII di Ciloto Jawa Barat, 28 Desember 1973
[4] Laporan Pertanggung Jawaban PB PMII 1973 - 1977 pada kongres VI  di Wisma Tanah Air 8 - 12 Oktober 1977.
[5]   Ridwan Saidi, Islam Pembangunaan Politik dan Politik Pembangunan, Pustaka Pankimas, Jakarta, 1982, Halaman 52.
[6] Burhan D Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Ssitem Politik, Suatu Tinjauan, Prisma No. 12 Desember 1977.
[7] Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 39
[8] Op-Cit, Halaman 133
[9] Ibid, Halaman 133
[10] Ibid, Halaman 217
[11] Ahmad Bagja, PMII dab Kelompok Cipayung, Dalam Pemikiran PMII dalam Berbagai visi dan Persepsi, Aula, Surabaya, 1991.
[12]  Drs. Martono HS, Sejarah Untuk SMA, Tiga serangkai, Surakarta, 1984, Halaman 16.
[13] Loc-Cit, Halaman ……
[14] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 28
[Halaman 29
[16] Op-Cit, Halaman 29
[17] Drs. Martono HS. Loc-Cit, Halaman 63
[18] Ibid,  Halaman 7
[19] Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974, Halaman 94
[20] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,  di Cibubur, jakarta, Halaman 11.
[21] Ibid, Halaman 12
[22] Ibid, Halaman lampiran
[23] Ibid, Halaman Lampiran
[24] Ibid, Halaman 15
[25] Arbi Sanit,  Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi Indonesia dan YLBHI, Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[26] Ibid, Halaman 91


Tidak ada komentar:

Posting Komentar