BAB IV
UPAYA
MEMBANGUN CITRA DIRI
( 1973 - 1981 )
A. MANIVESTO
INDEPENDEN
Akibat dari perubahann drastis
iklim politik pemerintahan Orde Baru, dimana kehidupan politik lebih menekankan
pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk
hidup jor-joran seperti pada masa lalu,
maka kehidupan organisasi mahasiswa, apalagi bagi organisasi mahasiswa yang
dependen pada partai politik, dampaknya, pada suasana kehidupan berorganisasi
terasa pengab.
Kelahiran Orde
Baru secara dramatis di tahun 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan
akan adanya suatu perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi
daan sosial budaya.
Kekuatan militer dibawah pimpinan
Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden
Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan
dari komunitas muda dan mahasiswa.
Akan tetapi masa bulan madupenguasa
baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradikdi persepsi mulai
nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis
mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti dirasakan beringsut
dari komitmen awal kelahirannya dan bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adalanya
elite di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kesenderungan
penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita orde baru.
Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah seorang aspri Presiden
Soeharto, Ali Murtopo, dengan potensi patnernya, melakukan manuver politik yang
menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan protes mahasiswa pada
tahun tujuh puluhan.
Sadar akan besarnya potensi kritis
yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa secara sistematis mulai melakukan
kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari
keinginan untuk mempertahankan kekuasaan, yang secara teoritis dapat
menggunakan dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan Polisi,
atau penanaman ideologi. Karena tindakan represi selalu berarti penggunaan
kekerasandan kekuatan fisik secara langsung untuk pengamanan dan pelanggengan
dominasi kekuasaan. Sedangkan penanaman ideologi merupakan upaya untuk
membangun legitimasi kekuasaan dan pengakuan atas hak memerintah dari suatu
rezin. [1])
Kesulitan dalam menggerakkan
pembangunan ekonomi pada beberapa negara, terutama pada negara berkembang,
telah menyadarkan banyak komunitas kritis, dalam hal ini mahasiswa menjadi
bagian dominan, bahwa kekuasaan bukanlah benda mati yang bebal dan tak terusik,
erta dapat diterapkan terhadap semua problema. Pandangan ini menjadi semakin
jelas bahwa tidak semua kekuasaan memiliki kapasitas untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh pembangunan.
Ini berarti, pintu bagi adanya kontrol
sosial dari mahasiswa, tetap signifikan. Dan gerakan moral yang digelar oleh
mahasiswa Indonesia di sisa kekuatan yang ada di tahun 70-an, menjadi episode
akhir yang secara kritis dapat menawarkan keinginan untuk mengontrol, di tengah
mandulnya fungsi kontrol dari lembaga-lembaga kontrol yang dimiliki oleh
negara.
Persoalan mendasar yang kemudian
muncul adalah bagaimana isi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia kini,
sehingga dalam memainkan peran “balance of power” untuk mewujudkan transformasi lembaga dan
struktur politik yang lebih demokratis. Dan bagaimana peran mahasiswa dalam
memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sisoal.
Untuk menjawab persoalan mendasar
tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikirann di bawah ini :
Pertama
: Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemiki ran yang lebih kritis dan
analitis dalammenghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki
kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat
seperti nilai, kepentingan dan kekuasaan.
Kedua : Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan
kepe - dulian sosilanya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh
pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya.
Ketiga : Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh
para ak- tivis KAMI yang dulu memimpikan suatu hasil yang sukses dan konkrit
dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan
kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin tipis, berhubung
dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan back ground dari kekuatan-kekuatan
pendukung Orde Baru. [2])
Melihat lenyataan seperti itu,
mendorong warga pegerakan untuk lebih memperluas wawasan dan mencari
kemungkinan-kemungkinan yang banyak menyediakan alternatif perjuangan dan
rekrutmen anggota yang lebih terbuka. Maka dalam kongres V PMII di Ciloto
Bandung Jawa Barat, PMII mempertegas keputusan Musyawarah Besar II tentang
“Independen” di Murnajati lawang malang.
Perlu diketahui, bahwa keputusan
terpenting Musyawarah besar II PMII di Murnajati itu adalah “deklarasi PMII
sebagai organisasi mahasiswa Independen” yang tidak lagi terikat baik secara
struktural maupun politik dengan pihak manapun dan hanya komited peda
pencapaian tujuan serta pengembangan faham Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Keputusan monomental inidikenal dengan nama “Manivesto Independen” seperti
tercermin dalam pernyataan berikut :
MANIVETSTO INDEPENDENSI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrohiem
Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia insaf dan yakin akan tanggung jawabnya terhadap masa depan kehidupan
bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi
kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual, bertekad untuk
mempersiapkan dan mengambangkan diri sebaik-baiknya.
Bahwa pembangunan dan pembaharuan
mutlak memerlukan insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, Taqwa kepada
Allah Swt, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya.
Bahwa Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, selaku generasi muda Indonesia, sadr akan peranannya
untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat
dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
Bahwa dasarnya pengisian
kemerdekaanadalah kegiatan yang didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi
dengan sosialisasi ilmu kedalam sikap kulturil guna mengangkat mertabat dan
derajat bangsa.
Bahwa pada hakekatnya
Independensisebagaimana telah di deklarasikan di Murnajati adalah merupakan
manivestasi kesadaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini
sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan
pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
Bahawa Independensi Pergerakan
mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisir dan mengambangkan
potensi kulturil yang bersumber dari penghayatan nilai-nilai ajaran Islan untuk
terbentuknya pribadi mulism yang berbudi luhur dan bertaqwa keapda Allah,
berilmu da cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya.
Bahwa pengembangan sifat-sifat
kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai
dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta
di dorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita
perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.
Bahwa dengan Independensi
Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan
alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cit-cita perjuangan organisasi yang
berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Medan Kongres V
PMII
Ciloto, 28
Desember 1973 [3])
Disamping itu kongres V PMII juga
menghasilkan keputusan-keputusan tentang :
1.
Pola Kepemimpinan
Pola kepemimpinan organisasi Pergerkan
Mahasiswa Islam Indonesia harus menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan
organisasi dengan dijiwai oleh isi “deklarasi Murnajati”.
Konsekwensi dari pendirian tersebut
di atas menuntut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yanag bersifat
kerakyatan dengan berorientasi kepada masalah-masalah kaemahasiswaan, kampus
dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperluakn pimpinan-pimpinan organisasi
yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti sifat dinamis, kreatif, reponsif
dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.
Demikian juga pemahaman sepenuhnya
terhadap azas, sifat dan tujuan PMII serta kemampuan manajerial leadership
menjadi tuntutan mutlak bagi kepemimpinan pergerakan mahasiswa Islam Indonesia.
Maka oleh karenanya kepemimpinan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang Independen harus menjauhkan seluruh
kemungkinan yang akan mengurangi arti dari Indpendensi, seperti : Perangkapan
jabatan pengurus PMII dengan pengurus Partai atau organisasi lain pada
badan-badan legeslatif.
2.
Appeal - Ciloto
1)
Bahwa pada
hakekatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang layak
sebagai suatu bangsa yang merdeka, tidak terbelnggu oleh kultur yang diciptakan
oleh Orde Lama.
2)
Bahwa untuk lepas
dari belenggu keterbelakangan sebagai akibat kultur tersebut perlu tampilnya
orde lain sebagai suatu alternatif.
3)
Bahwa menentukan
altenatif sebagaimana dimaksud, merupakan suatu perjuangan yang meminta banyak
pengorbanan.
4)
Sejarah mencatat
bahwa perjuangan panjang demi tegaknya suatu orde adalah didukung oleh berbagai
kekuatan.
5)
Bahwa peranan HM.
Subhan ZE dalam proses perjuangan panjang dalam menentukan alternatif tersebut
merupakan kenyataan sejarah pula.
6)
Bahwa
penghormaatan kepada pendahulu yang telah meletakkan dasar-dasar suatu sistem
yang lebih, adalah merupakan kepribadian nasional yang karakteristik.
7)
Maka oleh
karenanya, Kongres V meng-appeal Presiden
Republik Indonesia untuk menetapkan HM. Subhan ZE sebagai Pahlawan Nasional.
3.
Pokok-Pokok
Pikiran Ciloto
Sadar akan tanggung jawab PMII
sebagai komponen generasi muda dalam memperjuangkan terciptanya kehidupan
bangsa dan negara yang lebih baik, maka kongres V PMII yang berlangsung tanggal
23 - 28 Desember 1973 di Ciloto Jawa Barat, mengemukakan pokok-pokok pikiran
yang menyangkut bidang :
1.
Bidang Politik
2.
Bidang ekonomi
3.
Bidang sosial
budaya
4.
Bidang pendidikan
5.
Bidang Hukum
6.
Bidang ketertiban
dan keamanan masyarakat
Dengan semangat Independen itulah
PMII mulai menata kembali langkah pergerakan. Seperti disebutkan dimuka, bahwa
akibat keterlibatan PMII yang terlalu jauh dalam urusan-urusan politik praktis,
berakibat PMII mengalami kemunduran yang sangat memperihatinkan.
Dalam kongres V ini pula ,
istilah-istilah untuk mesing-masing tingkatan organisasi dirubah.Misalnya,
isltilah “Pucuk Pimpinan/Pimpinan pusat diganti dengan istilah “Pengurus
Besar”, Pengurus Wilayah diganti dengan istilah “Pengurus Koordinator Cabang”.
Sedangkan susunan Pengurus Besar
PMII hasil kongres V di Ciloto Jawa Barat adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1973 -
1977 )
Ketua Umum : Drs. Abduh
Paddare
Ketua :
M. Madjidi Syah
Ketua :
Drs. TA. Munir
Ketua :
Drs. Muhaimin AG
Sekretaris
Jenderral : Ahmad Bagja
Sekbid Kader : A. Munir Sonhaji
Sekbid Penerangan : Abd. Kadir Paddare
Sekbid Luar
negeri : Edy Suharmanto
SekbidOlah
Raga/Kesenian : H. Mutaqin Darmawan
Sekbid Keputerian : Wus’ah Suralaga
Bendahara : Usman Tahir
Wakil Bendahara : Wahidudin Adam
Susunan Pengurus
Besar PMII tersebut adalah hasil rapat formatur tanggal 10 - 15 Januari 1974 di
Hotel Matruh Jakarta.
Tugas utama kepengurusan PB PMII
periode ini, melakukan konsolidasi organisasi secara menyeluruh. Hal ini
mengingat PMII berada dalam situasi transisi, yakni keadaan yang sebelumnya
merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi Independen
yang lagi terikat baik secara struktural organisatoris maupun tindakan.
Secara konsepsional PB PMII
mengambil langkah-langkah konsolidasi, mengingat :
1)
Kepengurusan PB
PMII karena berbagai hal perludimantapkan.
2)
Tahun 1874 - 1977
merupakan masa transisi bagi kehidupan PMIIDari keadaan dependen menjadi
Independen (mandiri)
3)
Bidang
kesekretariatan dalam keadaan memenuhi syarat minimum bagi kelancaran
organisasi.
4)
Adanya cabang
PMII yang hanya sekedar papn nama.
5)
Tidak adanya
konsepsi yang tentang pola pembinaan PMII
6)
Perlu adanya
pembinaan yang kontinyu bagi PMII dilingkungan IAIN (perguruan tinggi agama)
dan pengembangan diluar IAIN (perguruan tinggi umum).
7)
Terhentinya
kegiatan training-training di cabang-cabang.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh
PB PMII pada periode ini dan tampaknya berhasil adalah :
1)
Cabang dan
Koorcab yang ada, secara defacto dan de jure, ada laporan kegiatan dan mendapat
pengesahan dari PB PMII. Cabang yang termasuk kreteria ini adalah sebanyak 47
Cabang.
2)
Cabang yang
dianggap ada, tetapi tidak mau mengadakan penyesuaian terhadap AD/ART yang
baru, tidak mendapat pengesahan PB PMII. Cabang yang termasuk klasifikasi ini
sebanyak 15 Cabang. [4])
Konsolidasi yang dilakukan PB PMII
tidak hanya menyangkut rasionalisasi cabang-cabang, tetapi juga pembinaan
dibidang pedoman adminstrasi dan kesekretariatan. Hal untuk menanggulangi
banyaknya surat-surat dari daerah yang belum memenuhi peraturan
keadministrasian yang berlaku. Khususnya tata adminstrasi yang berlaku
dilingkungan PMII. Pedoman ini dibuat berdasarkan peraturan PP PMII Nomor 1
tahun 1968 tertanggal 28 Maret 1968.
PB PMII juga melakukan konsolidasi
terhadap cabang-cabang yang mengalami kevakuman, sambil mengadakan penyesuaian
dan sosialisasi AD/ART yang baru.
Pada periode ini PB PMII sempat
menerbitkan Bulettin yang diberi nama “Generasi” dan mampu terbithingga nomor
25.
Kegiatan konsolidasi yang lain
adalah memindahkan kedudukan Korp PMII Puteri pusat dari Surabay ke Ibu Kota
Jakarta (waktu itu yang menjabat sebagai ketua Kopri pusat adalah sahabati
Choirunnisa Yafishsham) sesuai dengan hasil Musyawarah Besar I di Leles Garut
Jawa Barat.
B.
MUSYAWARAH KERJA
NASIONAL III DAN PERUMUSAN NDP PMII
Musyawarah Nasional merupakan salah
satu forum permusyawaratan dalam PMII sebagaimana di atur dalam AD/ART bab VI
pasal 8 ayat 3. Sampai periode ini PB PMII telah melaksanakan mukernas sebanyak
tiga kali. Yang pertama diadakan pada tanggal 21 - 26 Nopember 1967 di Jakarta,
yang kedua diadakan di Semarang jawa
tengah, dan yang ketiga didadakah di Bandung Jawa Barat pada tanggal 1 - 5 Mei
1976. Forum Musyawarah Nasional III ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
1)
Penyusunan
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII.
Seperti kita
ketahui bahwa PMII berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
(kini Pancasila) dalam setiap gerak langkahnya harus dimotivisir oleh
nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. Tetapi nilai-nilai itu bagi warga
pergerakan khususnya masih banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun
tersimpan dalam benak para Ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal ini
akan menyulitkan warga pergerakan yang masih awan terhadap nilai-nilai Aswaja,
disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerjanya.
Adanya dilema
ini, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi Independen, maka
rekrutmen anggota tidak lagi melalui pendekatan ideologi maupun kultural
historis, tetapi memakai pendekatan program. Konsekwensi dari pendekatan ini
terjaringnya anggota PMII yang sama sekali belum, bahkan tidak berlatar
belakang Aswaja. Pada gilirannya hal ini akan dapat membahayakan kederisasi dan
fanatisme berorganisasi. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Musyawarah
Nasional III PMII menyusun kerangka nilai-nilai Dasar Perjuangan NDP) PMII
sebagai berikut :
a)
Urgensi NDP Bagi
PMII
Sejalan dengan
tahapan perkembangan dan pertumbuhan PMII di masa kini dan
Mendatang,terdapatnya penjabaran yang jelas dari azas organisasi PMII yaitu
Islam yang berhaluan Aswaja dirasakan sebagai suatu kebutuhan yangsangat
mendesak untuk segera dirumuskan. NDP PMII tersebut di butuhkan dalam kerangka
memberi arah dan motivasi, memimpin tingkah laku warga pergerakan dan sekaligus
memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dan mesti dilakukan untuk
mencapai tujuan perjuangan sesuai dengan maksud di dirikannya organisasi ini.
b)
Posisi NDP PMII
Islam sebagai
keyakinan mutlak bagi segenap warga PMII menempati posisi tertinggi di dalam
memberikan tuntunan hidup dan kehidupan. Sementara itu, Aswaja segabau metode
penghayatan/pemahamanajaran Islam tersebut, merupakan hasil penyerapan dari
keduanya. NDP PMII adalah pilihan terbaik untuk keduanya, menuju perwujudan
cita-cita pergerakan.
c)
Pengertian NDP
PMII
Yang dimaksud dengan
NDP PMII adalah suatu kebulatantekad, pandangan yang secara sistematis
merupakan cermin dari keyakinan Islam yang berhaluan Aswaja untuk memberikan
alas pijak dalam memberikan arah tingkah laku PMIIsebagai suatu kelompok sosial
untuk mencapai cita-cita perjuangan.
d)
Kerangka
Permasalahan NDP PMII
Dalam rangka
keperluan perumusan NDP PMII, disusunlah kerangka permasalahan sebagai berikut
:
1.
Mukaddimah
2.
Dimensi hubungan
Manusia dengan Tuhan
3.
Dimensi hubungan
Manusia dengan manusia
4.
Dimensi hubungan
Manusia dengan Alam
5.
Dimensi masalah
dengan Ilmu Pengetahuan
6.
Kesimpulan.
Selanjutnya
penyusunan kerangka dasar NDP PMIIini diserahkan kepada tim yang bertanggung
jawab kepada PB PMII, namun sayang, disebabkan kelemahan-kelemahan mekanisme
kerja dan faktor-faktor lain, hingga kongres PMII ke VIII di Bandung Jawa
Barat, penyusunan NDPPMII tersebut belum dapat diwujudkan.
2)
Penyusunan Pola
Dasar Perjuangan PMII
Pola
dasarperjuangan PMII merupakan landasan perjuangan atau dapatdikatakan sebagai
GBHN-nya PMII. Bagi PMII sendiri tersusunnya PDM PMII merupakan hal yang baru,
mengingat pada masa-masa sebelumnya PMII tidak memiliki landasan perjuangan
yang bersifat baku dan operasional kecuali pokok-pokok pikiran yang lebih
dekatpada nilai-nilaiteoritis filosofis. Secara garis besar Perjuangan PMII
memuat:
a) Pengertian
b) Hakekat
perjuangan
c) Arah dan sasaran
perjuangan PMII
d) Ruang lingkup
Perjuangan PMII
e) Pola dasar
operasional perjuangan PMII
3)
Rumusan
Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi
Jika dalam pola
dasar perjuangan PMII lebih menitik beratkan pada perjuangan PMII yang bersifat
ekstern, atau dikenal dikenal dengan istilah partisipasi, maka garis-garis
besar pembinaan orgainsasi ini lebih menekankan diri pada pijakan organisasi
dalam rangka konsolidasi organisasi atau pengkaderan. Secara garis besar isi
dari GBPO ini adalah sebagai berikut:
a.
Masalah
Pengkaderan
Permasalahan ini
menyangkut masalah pengkaderan, baik itu pernyataan yang berisi bahwa
pengkaderan harus memperoleh prioritas dalam aktivitas programnya, pendekatan
yang digunakan, maupun orientasi dari pengkaderan itu sendiri serta
pedoman/petunjuk pelaksanaan pengkaderan yangdipergunakan.
b.
Masalah
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang
diharapkan PMII adalah kepemimpinan yang harus mampu memnjiwai sifat
pergerakan, yakni kekeluargaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan dan Independen.
Sejalan dengan sifat-sifat organisasi tersebut kepemimpinan PMII dituntut untuk
senantiasa responsif dan argumentatif serta dukehendaki pula adanya keterbukaan
untuk regenerasi seluas-luasnya.
c.
Pembentukan Wadah
Alumni
Untuk
meningkatkan partisipasi aktif paraalumni, Mukernas III PMII memutuskan
membentuk wadah Alumni yang dinamakan “Keluarga Alumni PMII”. Pembentukan wadah
itu ternyata mengalami hambatan, sehingga sampai dengan pelaksanaan kongres
PMII yangke VIII, wadah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Suatu
analisa, bahwa hal itu dikarenakan adanya jurang pemisah antara alumni yang
berorientasi ideologis dengan mereka status, sehingga diantara mereka masih
terasa sulit untuk dijembatani, suatu pertautan kembali seperti ketika mereka
hidup dalam satu wadah pergerakan.
d.
Langkah-langkah
Rekrutmen Anggota Baru
Langkah inilebih
mengarah pada rekrutmen anggota baru yang berlatar belakang keluarga santri
intelektual disamping pada cara tradisional PMII, yang memang selalu bersumber
pada keluarga santri pedesaan.
e.
Usaha Pencarian
Sumber Dana
Musyawarah
Nasional III berhasil merumuskan, baik secara komersial maupun secra
tradisional yang dikaitkan dengan pengembangan pergerakan.
4)
Pokok-Pokok
Pikiran Tentang Pemilu
Menghadapi
pemilihan umum ketiga (1977, Musyawarah Nasional III berhasil memutuskan
pokok-pokok pikiran berkenaan dengan
akan dilaksanakannya pemilu 1977. Pokok-pokok pikiran dimaksud, selengkapnya
adalah sebagai berikut :
a)
Pemilihan umum bagi
warga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan peristiwaa Penting dan
dihormati, yang pelaksanaannya harus mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi
rakyaatIndonesia.
b)
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia berpendapat bahwa pemilu adalah sarana untuk menciptakan
suatu sistem kenegaraan dengan sebuah pemerintahan, ialah suatu negara hukum
yang demokratis. Karena itu pwmilu 1977 harus maampu berdiri diatas
prinsip-prinsip tersebut dengan melaksanakan aturan permainan yang telah
disepakati.
c)
Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia memandang bahwa fungsi pemilu harus betul-betul dihayati
sebagai suatu keseimbangan antara sarana sosialisasi politik, sarana
demokratisasi, dan sarana legitimasi. Sarana sosialisasi politik adalah
menjadikan pemilu sebagai wadah pendidikan politik bagi warga negara Indonesia,
sehingga mereka mampu menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya.
Sarana demokratisasi, yakni sebagai wadah penyaluran kehendak yang sebenarnya
dari bangsa Indonesia. Sedangkan sarana legitimasi adalah proses pemberian
kekuasaan yamng sah bagi kekuatan yang memperoleh kemenangan dalam pemilu.
d)
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia akan berpartisipasi dalam pemilu 1977 dengan
mengutanakan tujuan-tujuan luhurnya daripada pencapaian kemenangan yang sifatnya
praktis dan sementara serta mampu mewujudkan proses regenerasi kepemimpinan
bangsa.
C. PMII DALAM AKTIVITAS-AKTIVITAS EKSTERN
Perjalanan dunia kemahasiswaan
Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar.
Perubahan-perubahan tersebut menuntut
modifikasi format dan peran organisasi kemahasiswaan termasuk PMII dalam
melaksanakan program-programnya.
Dunia kemahasiswaan antara kurun
waktu 1966 - 1970-an sangat diwarnai kegiatan-kegiatan yang sarat dengan muatan
politik praktis. Kepeloporan mahasiswa dalam kurun waktu tersebut telah mampu
memberikan kontribusi nyata baik dalam pembaharuan format politik dan
kebangsaan maupun dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Peran kesejarahan
mahasiswa seperti itu telah secara tepat menjawab kebutuhan zaman.
Namun peran seperti itu tentu saja
selalu relevan pada setiap waktu, situasi dan kondisi dunia kemahasiswaan pasca
tahun 1970-an memiliki tuntutan yang berbeda dengan tuntutan dan kebutuhan
kondisi angkatan-angkatan sebelumnya. Meskipun pada dasarnya semangat, tujuan
dan cita-cita tetap memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dunia kemahasiswaan
pasca era 1970-an lebih dihadapkan pada tuntutan keilmuan secara lebih tegas.
Bobot keilmuan dan keintelektualan dituntut lebih melekat pada peran
kemahasiswaan era pasca 1970-an.
Namun peran keilmuan secara lebih
tegas seperti itu tidak begitu saja dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang
singkat. Terjadi proses transisi yang cukup panjang. Dan PMII mengamati bahwa
kurun waktu antara akhir tahun 1970-an hingga tahun 1980-an merupakan masa
transisi baagi dunia kemahasiswaan, masa transisi dari pijakan peran yang lebih
berbobot politik praktis menuju pada peran yang lebih berbobot keilmuan dan
keintelektualan.
Pada masa transisi seperti itu dunia
kehamasiswaan memang seperti kehilangan elan dan semangat dalam melaksanakan
progrm-programnya. Dan PMII sadar bahwa proses transisi seperti harus dapat
dilampaui secepatnya secara lebih berhati-hati.
Kini PMII melihat bahwa peran keilmuan dan
keintelektualan bagi dunia kemahasiswaan sudah mulai tegas untuk segera
dilaksanakan. PMII mengantisipasi bahwa era 1990-an bagi dunia kemahasiswaan
adalah era yang mengartikulasikan secaratepat peran keilmuan dan
keintelektualan. Oleh karena itu gerakan yang dilakukan PMII pada era 1990-an
terfokus pada gerakan pemikiran, yang antara lain diwarnai dengan kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan diberbagai disiplin keilmuan warganya.
Setelah gerakan pemikiran dilampaui dengan baik, pada saatnya nanti PMII
mencoba merumuskan gerakan kemandirian teknologi, meskipun mungkin baru dimulai
pada tataran yang paling sederhana.
Perubahan-perubahan yang terjadi di
dunia kemahasiswaan seperti itu tentu terkait dengan perubahan yang terjadi
pada situasi dan kondisi sosial ekonomim masyarakat secara keseluruhan. PMII
mengamati bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai kehidupan yang sangat
mendasar di dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Sejak era 1980-an nilai-nilai ekonomi
telah begitu kuat meresap keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Orientasi dan
kecendrungan masyarakat telah sangat diwarnai oleh nilai-nilai ekonomi. Hala
ini wajar terjadi setelah selama kurang lebih 20 tahun pembangunan nasional
ditekankan pada bidang ekonomi. Situasi globalisasi yang saat ini melanda
diseluruh Indonesia telah membuat paradigma baru bahwa kekuatan dan ketahanan
nasional suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan ketahanan ekonomi
nasional dan masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu tampaknya akan terus
menguat pada masa-masa mendatang. Atas kesadaran dan antisipasi seperti itu
maka PMII pada era 1990-an kedepan memformulasikan dan mengaktualisasikan
gerakan ekonomi dengan tahapan-tahapan tertentu.
Bersamaan dengan
perubahan-perubahan tersebut telah terjadi juga bahwa proses pembangunan tidak
dapat bergantung semata-mata pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya,
tetapi justru sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang
melaksanakannya. Berdasarkan kesadaran seperti itu PMII mencoba untuk melakukan
proses rekayasa sumber daya manusia secara lebih inten, sistematis dan
idealis-pragmatis sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.
Proses aktivitas dan gerakan
seperti itu tentu saja tetap dilandasi, disemangati dan dimuarakan pada
nilai-nilai Islam, yang merupakan landasan sekaligus sumber inspirasi bagi PMII
dalam mengaplikasikan program-programnya. Bersamaan dengan itu PMII juga
menyadari bahwa pemahaman dan gerakan keislaman yang bertanggung jawab di
negara kita telah mengalami perubahan mendasar dari pemahaman yang bersifat
formal menuju pemahaman dan gerakan yang lebih substansial. Oleh karena itu
PMII terus melakukan gerakan pemahaman nilai-nilai Islam secara lebih
substansial dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam
lingkungan, bimbingan dan keberkahan Allah Swt.
Sebagai organisasi pembinaan,
pengembangan dan perjuangan, PMII juga dituntut aktifberpartisipasi dalam
proses pembangunan bangsa. Sesuai dengan predikatnya sebagai organisasi yang
bersifat kemahasiswaan, kemasyarakatan, kekeluargaan dan independen, PMII harus
aktif dalam kegiatan/persoalan-persoalan yang berdimensi kemahasiswaan,
kemasyarakatan dan lain-lain. Adapun kegiatan yang dilakukan PB PMII selama
periode 1974 - 1977 dan aktif di dalamnya adalah :
1)
PMII dan Kelompok
Cipayung
Dalam sejarah
perjuangan bangsa, peran mahasiswa cukup signifikan, bahkan sejarah membuktikan
bahwa cikal bakal kebangkiatan nasional dimulai dengan tumbuhnya kesadaran
mahasiswa untuk turut memikirkan nasib bangsanya. Pada tahun 1908 sekelompok
mahasiswa yang menuntut ilmu pada sekolah kedokteran(stovia) tergrak membentuk
wadah pergerakan yang kemudian dikenal dengan nama “Budi Utomo”. Wadah inilah
yang merupakan cikal bakal dari kesadaran para mahasiswa dan pemuda untuk
memikirkaan nasib bangsa dan negaranya. Bahkan setalah jaman kemerdekaan
aktivitas mahasiswa dalam mengisi pembangunan bangsa semakin meningkat, dan karena
mahasiswa paling potensial dalam menggerakkan organisasi, maka tidak aneh bila
partai-partai politik dalam usaha mencapai tujuannya banyak menggunakan tenaga
mahasiswa. Pada saat partai mengalami hidup subur itulah organisasi mahasiswa
seakan mendapat angin segar untuk hidup penuh dengan kebebasan berorganisasi
yang mendekati kehidupan berorganisasi yang paripurna. [5])
Anak-anak muda
Islam yang berhimpun dalam HMI (himpunan mahasiswa Islam), namun aspirasinya
tidak tersalurkan melalui wadah ini, sehingga mereka tergerak untuk membentuk
wadah-wadah perjuangan yang berlabel mahasiswa. Antara lain, misalnya, Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tahun 1954, menyatakan
diri sebagai onderbow Partai Nasional Indonesia (PNI). Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya GMNI menyatakan dirinya independen (1971). Kemudian
PKI melahirkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Dikalangan
kelompok Kristen juga lahir organisasi mahasiswa yaitu GMKI (gerakan mahasiswa
Kristen Indonesia), begitu juga mahasiswa Katolik dengan PMKRI-nya (perhimpunan
mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Disamping itu masih banyak
organisasi-organisasi sejenis. Mahasiswa dari kalangan Islam-pun banyak tumbuh
mengelompokkan diri sesuai dengan aspirasi politik yang mewarnainya. Tentu saja
karena merasa aspirasinya belum tertampung melalui HMI. [6])
Organisasi itu antara lain, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI)
berdiri pada tanggal 2 April 1956. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
berdiri pada tanggal 17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri
tahun 1964, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri 20 Januari 1962, Himpunan
Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HMMAH) berdiri 8 Mei 1961. [7])
Dari sekian banyak organisasi
mahasiswa itu akhirnya membentuk wadah konfederatif organisasi mahasiswa ekstra
universitas yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama PPMI (perserikatan
perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang berdiri di Malang 8 Maret 1947. [8])
Sayang wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa Indonesia ini terlalu
didominir oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang juga aktivis politik (baca =
partai politik), sehingga dalam perkembangannya PPMI tidak bisa berjalan secara
sehat. Bahkan PPMI menjadi ajang persaingan dan saling menjatuhkan antar sesama
organisasi mahasiswa itu sendiri.
Ketika iklim politik beruhan
drastis, dimana rezim orde lama melakukan blunder dengan membiarkan PKI yang
jelas-jelas melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa Indonesia dengan
aksi G.30.S/PKI-nya. PPMI tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini bisa jadi,
karena dalam perkembangannya PPMI didominasi oleh organisasi-organisasi
mahasiswa yang pro dengan Soekarno. Melihat kenyataan seperti ini aktivis
organisasi mahasiswa yang masih berjiwa murni merasa tidak puas, menuntuit agar
keadilan segera dapat ditegakkan, maka pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta
mereka membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Walaupun harus
diakui para pendiri KAMI juga para aktivis PPMI.
KAMI bangkit menentang kelaliman
rezin orde lama, dengan TRI-TURA-nya (tiga tuntutan Rakyat). KAMI turun
kejalan-jalan berdemonstrasi, karena jalan konstitusional sudah tidak mungkin
di lalui. Berkat KAMI inilah Orde Baru dapat didorong untuk mempercepat kelahirannya.
Tetapi setelah Orde Baru lahir dengan mapan, justru KAMI kehilangan
vitalitasnya untukhidup eksis. Banyak yang berteori tentang hal ini atau banyak
yang mencari sebabnya kenapa KAMI lumpuh.
Salah satu alasan yang nampaknya
akurat adalah penyebab itu semua, bahwa KAMI tidak dapat hidup lestari karena
memang organisasi ini lahir tidak berlandaskan pada konsepsi-konsepsi yang
matang. Seakan-akan KAMI hanyal organisasi yang lahir dan timbul dari gagasan
spontanitas, sehingga ia tidak berangkat dari pesrsepsi yang konsepsional. KAMI
ibarat organisasi satuan tugas (satgas) yang hanyabersifat reaktif bila ada
bahaya datang. Manakala bahaya itu hilang, maka satgas ini dengan sendirinya
akan sirna pula. Akhirnya pada sidang terakhir rapat paripurna KAMI tahun 1969
para aktivis sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Mulai saat itulah KAMI
telah tamat riwayatnya. Sebelumnya PPMI, justru organisasi ini lebih tragis
membubarkan diri dalam kongres IV pada tanggal 29 desember 1965 di Jakarta. [9])
Dengan bubarnya wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa ekstra universitas
ini, maka sepilah dunia mahasiswa Indonesia. Hal ini merupakan suatu yang
ironis, mengapa hal ini justru terjadi dalam alam kehidupan Orde Baru yang
menginginkan adanya suatu kehidupan yang senantiasa dalam kebersamaan.
Hidup dalam suasana kebersamaan
antar organisasi mahasiswa akhirnya lahir juga setelah melalui proses yang
panjang. Pada tanggal 20 - 22 Januari 1972 di Alam pegunungan yang sejuk
kelompok mahasiswa yang tergabung dalam wadah GMNI, GMKI, HMI, dan PMKRI
menyatukan diri dalam wadah kebersamaan menuju cita-cita : Indonesia yang kita
cita-citakan. Wadah itu akhirnya dikenal dengan nama “KELOMPOK CIPAYUNG”. Patut dicatat, para
pencetus lahirnya kelompok Cipayung ini adalah : Akbar Tanjung (ketua umum PB
HMI), Kris Siner Key Timu (ketua persidium PP PMKRI), dan Binsar Sianipar
(ketua umum PP GMKI).
Pada awal kelahirannya kelompok ini
berhasil mencetuskan pokok-pokok pikiran tentang :INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN.
Kesepakatan ini didahului dengan suatu pernyataan “Kami generasi muda bangsa
sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan, belajar dari sejarah masa
lampau, bahwasanya dis-orientasi yang terjadi dalam perjalanan bangsa , selalu
akan menghambat kemajuan bangsa, oleh karenanya, kesatuan perjuangan generasi
muda untuk membangun negeri ini merupakan tuntutan bangsa secara mutlak”.
Kesepakatan itu mengemukakan butir-butir mengenai “Indonesia yang kita
cita-citakan”, antara lain :
Indonesia yang kuat
dan bersatu, cerdas dan modern, demokrasi dan adil hukum, sehat dan makmur,
bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia. Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
Indonesia dapat dibangun atas pikiran-pikiran dan tekad bersama yang erat dan
terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal
perbedaan agama, suku, daerah dan golongan. Karena tekad pikiran yang demikian
itulah yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru. [10])
Berbeda dengan wadah berhimpun
mahasiswa sebelumnya, Kelompok Cipayung ini dibentuk tidak bersifat struktural,
sehingga tidak mengenal adanya susunan pengurus. Segala aktivitas dikerjakan
dengan cara kerjasama mirip sistem arisan (mengambil tempatdan pembiayaan
bergiliran antar anggota). Dalam perkembangannya ternyata kelompok ini cukup
berperan dalam mengisi sejarah perjuangan bangsa.
Bahwa Kelompok Cipayung ini,
dibentuk oleh empat organisasi mahasiswa ekstra universitas yakni GMNI, GMKI,
PMKRI dan HMI. Salah satu kesepakatannya yang tak tertulis adalah anggota
kelmpok ini, bukan organisasi mahasiswa onderbow partai politik/golongan.
Pada waktu itu, PMII masih
merupakan onderbow partai NU, sehingga secara otomatis tidak mungkin menjadi
anggota. Baru setelah Musyawarah Besar ke II yang diselenggarakan di Murnajati
Lawang Malang pada tanggal 14 - 16 Juli 1972 dengan deklarasi Independennya.
Dalam perkembangan selanjutnya PMII masih harus berjuang untuk diterima
Independensinya oleh semua pihak. Sebab bagaimanapun kecurigaan tentang hal ini
tetap ada. Keraguan tentang hal ini disebabkan antara lain :
1)
Hingga saat ini
kantor sekretariat PMII baik di tingkat Pengurus Besar, Koordinator Cabang maupun
cabang masih banyak yang bergabung dengan Kantor NU.
2)
Sebagian besar
alumni PMII aktif dalam organisasi NU sebagai Jam’iyah maupun ketika NU masih
aktif dalam dunia politik, melalui PPP. Tetapi sebenarnya dapat dilihat bahwa
alumni atau aktivis PMII yang berperan dalam wadah selain NU maupun PPP,
sebegai contoh misalnya, M. Hatta Musthafa, SH mantan sekretaris umum PMII DKI
Jaya, pernah menduduki ketua umum DPP AMPI, pernah aktif dalam kepengurusan DPP
Golkar. Dll.
Hanya karena rasa
kekeluargaan antara PMII dan NU yang erat, membuat banyak pihak masih curiga
terhadap Independen PMII. Tetapi berkat upaya dari seluruh jajaran PMII,
perilaku dari warga pergerakan telah menunjukkan Independesinya.
Satu tahun setalah kongresnya yang
ke V di Ciloto Jawa Barat 1973, PB PMII di bawah kepemimpinan sahabat Abduh
Paddare bergabung dengan kelompok Cipayung (Oktober 1974) dan dua tahun kemudia
PB PMII dipercaya menyelenggarakan pertemuan kelompok cipayung yang ke 3 pada
bulan Januari 1976. Pada saat itu, paling tidak ada dua alasan yang mendorong
PB PMII memilih kerjasama dengan kelompk cipayung :
Pertama
: Salah satu produk kongres PMII yang ke lima di Ciloto Jawa Barat adalah
Manivest Independens PMII - sebuah pernyataan monomental dalam sejarah kehidupan
PMII yang mendudukkan PMII pada posisi yang mandiri. Hal ini bukan suatu yang
mudah dan mulus. Untuk memperkokoh stabilitas intern PMII, kerjasama dengan
pihak-pihak luar, kalangan mahasiswa khususnya, mutlak diperlukan. Disatu sisi,
diperlukan sebagai peneguh eksistensi PMII dalam posisinya yang baru
(independen) dan di sisi lain, bergabung dalam kebersamaan dengan mahasiswa
Indonesia lainnya merupakan perwujudan semangat kebangsaan untuk menjalin
persatuan dan kesatuan.
Kedua : Situasi waktu itu, kecendrungan untuk
melikuida si ormas-ormas mahasiswa sangat kuat. Penggiringan ke arah wadah
tunggal organisasi pemuda semakin intensif dan sistematis dilaksanakan. Dalam
situasi seperti itu, kebersamaan dan solidaritas sangat diperlukan. Kehadiran
PMII di tengah Kelompok Cipayung, buat kelompok cipayung sendiri, berarti
menambah kekuatan.
Keterlibatan PMII
dalam kelompok cipayung tidak lepas dari upaya perwujudan citra PMII yang
meliputi, Citra Kemahasiswaan, Citra Keislaman, dan Citra Keindonesiaan.
Citra Kemahasiswaan melahirkan
wawasan keilmuan, dan dari sana muncul sifat keterbukaan, gandrung kepada
kemajuan, berorientasi ke masa depan, dinamis dan tidak statis atau beku, serta
tegas, jujur dan konsekwen (Gelora Megamendung 1965). Dalam pandangan PMII yang
berwawasan keilmuan sebagai wujud citra kemahasiswaannya, kesarjanaan adalah
penguasaan ilmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan,
baik ilmu agama, eksakta dan sosial ekonomi. Kesarjanaan itu tidak dengan
sendirinya merupakan nilai yang selesai bilamana tidak disertai tindakan nyata
bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak
henti-hentinya pada masyarakat (Deklarasi Tawangmangu 1961).
Citra Keislaman
melahirkan wawasan keagamaan dan daripadanya muncul sifat toleransi,
keikhlasan, ukhuwah, dan tanpa pamrih. Sebagai angkatan baru, PMII sadar dan
yakin sepenuhnya akan tanggung jawabnya terhadap agama Islam, negara dan
bangsa, serta kesetiaan terhadap UUD 1945. Adalah tanggung jawab yang terpuji
bertindak menurut ajaran Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati, dan
berpihak pada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta membela mereka
(Deklarasi Tawangmangu 1961).
Wawasan ini dalam perwujudannya
dengan kelompok cipayung, melahirkan pemahaman akan perlunya pemeliharaan
nilai-nilai yang melatar belakangi kehadiran ornas mahasiswa. Dalam kesepakatan
KC tahun 1978, terdapat pokok-pokok pikiran yang berbunyi : “Upaya pengembangan
generasi muda Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai pegangan dasar dan peneguh
kepribadian yang sangat berguna dalam menghadapi situasi masyarakat yang
senantiasa berubah dan merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan
nasional yang berlandaskan Pancasila”.
Citra Keindonesiaan yang
melahirkan wawasan kebangsaan dan selanjutnya dapat melahirkan sifat
patriotisme, nasionalisme, kesediaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan
tanah air. “Menjadi tanggung jawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional,
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imprealisme dan kolonialisme
dan kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak azasi dan demokrasi yang
luhur” (Deklarasi Tawangmangu 1961). Citra ini dalam perwujudannya dalam
kelompok cipayung melahirkan banyak pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dari wawasan ini, lahir pemahaman
bahwa kelahiran generasi muda dalam bentuknya yang sekarang merupakan
pencerminan dari realitas sosial yang ada (Kesepakatan Cipayung 1974).
Dalam kaitan ini pula, layak untuk
dikutip penutup pernyataan kelompok cipayung tahun 1980 :
“Demikianlah
seluruh pemikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah masa lampau,
kenyataan hari ini, dan cita-cita di masa depan, sebagai salah satu sumbangsih
yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, yang tulus ikhlas dan murni,
sebagai persembahan kepada Ibu pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran
bahwa hari-hari dibelakang adalah hari-hari perjuangan dan pengorbanan dalam
pengabdian yang sulit. Namun yang telah dihadapi dan dilewati dengan penuh
konsistensi, tanpa pamrih, tetapi yang adalah juga bagian dari kenyataan dan
sejarah Republik ini”.
Dengan menembus waktu dan membentuk
sejarah, kelompok cipayung akan tetap hadir dalam kehidupan bangsa ini, sebagai
bagian dari sejarah kemarin, hari ini dan masa depan bangsa. Dan dengan penuh
optimisme serta suka cita, kita bersama-sama menatap hari esok dalam
perjuangan, keyakinan dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik,
yakni Indonesia yang kita cita-citakan, seperti yang dimaksud Pancasila dan UUD
1945. “Kami sudah coba memberikan yang terbaik untuk republik ini dan
sejarahlah yang akan menentukan nilai”.
Demikianlah beberapa landasan
moral, etis dan normatif yang mendorong keterlibatan PMII dalam kelompok
cipayung. Seyogjanya citra PMII yang demikian itu senantiasa dihayati dan
diamalkan dalam rangka pengabdian PMII kepada agama, bangsa dan negara. Ketiga
Citra itu, kemahasiswaan, Keislaman dan Keindonesiaan, harus sejalan, serasi
dan seimbang - tidak saling menghambat dan meniadakan, tetapi justru saling
melengkapi dan saling menumbuhkan.
Adalah mengesankan ketika PMII
memimpin delegasi kelompok cipayung ke pimpinan DPR untuk memprotes
pemberlakuan SK. Menteri P dan K No. 028 yang sangat terkenal pada waktu itu.
SK. Tersebut berisi pengaturan soal keharusan agar dalam melaksanakan
kegiatannya, mahasiswa meminta ijin Rektor terlebih dahulu. Atau tatkala
kelompok cipayung mengadakan kunjungan ke Bandung, Yojakarta, Semarang dan
Malang, di depan Pangkowilhan II Jawa - Madura, di Yogjakarta, PMII atas nama
kelompok cipayung menjelaskan agar dalam memandang kelompok cipayung harus
berpedoman pada “tiga jangan” :
Pertama
: Kelompok Cipayung lahir dari pengalaman kese jarahan ormas mahasiswa yang
tergabung di dalamnya, disertai kesadaran kultural, bahwa keragaman bukan
penghalang untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan
memandang kelompok cipayung sebagai usaha menggalang kekuatan.
Kedua : Kelompok Cipayung merupakan
forum dialog generasi muda
mahasiswa Indonesia dalam upaya meningkatkan peran sertanya dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, Jangan berpikiran
kelompok cipayung akan dibentuk secara struktural dari pusat sampai daerah.
Ketiga : Kelompok cipayung adalah forum yang di
dalam nya berlangsung proses pergumulan, penghayatan dan pemahaman akan arti
kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan dipertentangkan
dengan KNPI. Kelompok cipayung dan KNPI adalah equal patner (mitra sejajar).
Produk kelompok cipayung yang
berupa pokok-pokok pikiran, lebih mencerminkan citra intelektual/pemikiran -
dan memang, yang ditumbuhkan dalam kelompok cipayung adalah dialog intelktual.
Pernyataan-pernayataan KC yang berupa pokok-pokok pikiran pada dasarnya
merupakan gagasan intelektual muda putra bangsa yang ingin mengambil bagian
dalam tanggung jawab sejarahnya. Gagasan itu hampir meliputi seluruh aspek
kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan, yang meliputi bidang politik, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan dan generasi muda.
Pertemuan Kelompok Cipayung I, 22 Januari
1972, melahirkan “Indonesia yang kita Cita-citakan”, yaitu Indonesia yang digambarkan dalam UUD
1945, berupa masyarakat adil dan makmur, mental spritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Indonesia yang
kita cita-citakan adalah Indonesia yang bersatu, Indonesia yang cerdas dan
modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum. Indonesia yang sehat dan makmur.
Pertemuan Kelompok Cipayung II, April 1974,
melahirkan “perencanaan masyarakat dan tanggung jawab Generasi Muda” . Ini
sebagai suatu pemahaman akan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam
perencanaan masyarakat untuk menuju Indonesia yang di cita-citakan.
Pertemuan Kelompok Cipayung III, Januari 1976,
melahirkan pemikiran mengenai “meningkatkan kebersamaanmenuju Indonesia
yang di cita-citakan dan pembinaan Generasi Muda yang berkepribadian”.
Pemikiran ini sebagai pemahaman dan ajakan mengenai perlunya diperluas
keterlibatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dalam menikmati
hasil-hasil pembangunan.
Pertemuan Kelompok Cipayung IV, September 1978,
melahirkan pokok pikiran mengenai “Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda
Dalam Rangka pembangunan Bangsa Seutuhnya”. Pokok pikiran ini
mengungkapkan perlunya pembinaan generasi muda sebagai bagian tak terpisahkan
dari pendidikan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan ditujukan pada usaha
menumbuhkan generasi muda yang secara sosio pedagogis mandiri. Pengembangan
generasi muda harus menghindari pendekatan struktural yang mengarah kepada
pewadahan tunggal, karena hal demikian bertentangan dengan fitrah generasi muda
Indonesia dan nilai-nilai demokrasi.
Pertemuan Kelompok Cipayung V, Juni 1980,
melahirkan pokok-pokok pikiran “Penataan Kembali sistem Sosial Guna
Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab”. Demkian juga
selanjutnya pokok-pokok pikiran KC yang lahir dalam evaluasi akhir tahun,
peringatan Sumpah Pemuda, Peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan lain-lain
peristiwa, pada dasarnya mencerminkan pemahaman akan kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan serta kepemudaan dan kemahasiswaan. [11])
2)
PMII dan KNPI
Tidak berbeda dengan mahasiswa,
peran serta pemuda dalam perjuangan bangsa juga besar. Sengaja penulis disini
membedakan antara organisasi pemuda dan organisasi mahasiswa. Perbedaan itu
biasanya terletak pada aktivitas kesehariannya. Organisasi pemuda lebih
terfokus pada bidang-bidang garapan yang langsung berkaitan dengan masyarakat
banyak, dan aktivitas yang ditonjolkan biasanya dalam nuansa yang bersifat
politis dalm artian praktis (dalam sejarahnya hampir sebagian besar organisasi
pemuda selalu menjadi pendukung/anak kandung partai politik atau oragnisasi
massa).
Sejarah mencatat, bahwa kelahiran
organisasi pemuda di bumi pertiwi ini adalah di dahului dengan lahirnya”TRI
KORO DARMO”, seperti ditulis oleh Drs. Martono, dkk sebagai berikut :
“Gerakan pemuda
dimulai dengan berdirinya organisasi pemuda pertama ialah “TRI KORO DARMO” yang
berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta. Pendirinya adalah seorang
mahasiswa sekolah kedokteran bernama Satiman Wiryo Sandjoyo. Tujuan dari TRO
KORO DARMO adalah :
a.
Menggalang
persatuan
b.
Memperluas
pengetahuan
c.
Membangkitkan
rasa cinta terhadap bahasa dan kebudayaan sendiri.
Oleh karena
mempunyai tiga tujuan itulah, maka organisasi itu dinamakan TRI KORO DARMO,
yang artinya “tiga tujuan mulia”. Kemudian pada tahun 1918 di ubah namanya
menjadi “Jong Java”, artinya Jawa Muda. [12])
Bersamaan dengan perubahan nama TRI
KORO DARMO menjadi Jong Java, kemudian lahir organisasi-organisasi pemuda
sejenis yang bersifat kesukuan, sperti Jong Sumatera Bond, Jong Colebes, Jong
Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Sekar Rukun (Pasundan) [13])
Bagi pemuda Islam ada satu masalah
yang mengganjal pada waktu itu, para pemuda Islam yang menuntut ilmu di lembaga
pendidikan milik Belanda, tidak mendapatkan pendidikan agama (Islam) yang
layak, bahkan guru-guru Belaanda sering bersikap sinis terhadap agama Islam>
Gejala yang demikian ini menggugah pemikitan seorang pemuda Muslim yang aktif
dalam oragnisasi kepemudaan, yaitu Raden Syamsurial. Karena pretasinya yang
baik, dia terpilih menjadi ketua Jong Java. Ketika organisasi itu
menyelenggarakan kongres yang ke 7 di Yogjakarta, R. Syamsurial mengusulkan
gagasan agar Jong Java melaksanakan kegiatan membuka kusus agama lain bagi
anggota yang beragama itu. Usul itu ditolak oleh kongres lewat suatu pemungutan
suara. [14])
Dengan penolakan itu rupanya
menggugah R. Syamsurial untuk memikirkan, kiranya sudah waktunya pemuda Islam
membentuk wadah sendiri, dapat mengurus nasibnya sendiri dan mampu
memperjuangkan aspirasinya sendiri. Dengan dorongan dari intelektual Muslim
ternamaH. Agus Salim, maka pada tanggal 1 Januari 1925 berhasil mendirikan Jong
Islameten Bond (JIB), didirikan di Jakarta bersama-sama dengan Mr. Moh. Roem
dan Mr. Kasman Singodimidjo. Organisasi ini merupakan organisasi Islam yang
Pertama. [15])
Dengan lahirnya Jong Islameten Bond
(JIB), kini di tanah air ada dua kelompok oraganisasi pemuda yang berdasarkan
pada kesukuan atau kedaerahan, dan organisasi pemuda yang lahir berdasarkan aas
keagamaan. Jejak ini kemudian disusul dengan lahirnya pemuda Muslimin yang
berdiri pada Nopember 1928, Pemuda Ansor pada tahun 1933 dan pemuda Muhammdiyah
pada 2 Mei 1932. [16])
Dua tahun kemudian setelah lahirnya
JIB di tanah air, lahir organisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan maupun
dasar keagamaan yaitu, “Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia” yang didirikan
oleh para mahasiswa di Jakarta pada tahun 1926, dengan tujuan mencapai
Indonesia Merdeka. [17])
Dapat dikataakan, bahwa PPPI ini
merupakan organisasi mahasiswa pertama yang lahir dan bertujuan untuk mencapai
Indonesia Merdeka. PPPI inilah yang mensponsori kongres pemuda II pada tanggal
28 Oktober 1928, yang kemudian mencetuskan ikrar keramat dan bersejarah yang
dikenal dengan “SUMPAH PEMUDA”.
Sisi lain dari kepputusan kongres
pemuda II adalah dileburnya organisasi-organisasi pemuda (lokal) menjadi satu
wadah yaitu “INDONESIA MUDA”. [18])
Pada akhirnya bahwa Indonesia muda menjadi organisasi/wadah tunggal pemuda
Indonesia yang pertama.
Hingga jaman kemerdekaan kita tidak
menemui adanya suatu wadah/organisasi kerjasama antar pemuda. Hanya pada akhir
tahun 1964 para pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam tergabung dalam wadah
kerjasama, yang diberi nama generasi muda Islam (GEMUIS), sampai meletusnya
pemberontakan PKI dengan G.30.S/PKI itu. Hal ini menggugah para pemuda Islam
untuk bersama-sama menghancurkan PKI. Dikalangan Pemuda dengan KAPI-nya
(kesatuan aksi pemuda Indonesia), Pelajar dengan KAPPI (kesatuan aksi pemuda
pelajar Indonesia), Mahasiswa dengan KAMI-nya (kesatuan aksi mahasiswa
Indonesia). Organisasi inilah yang dengan gigih dan pantangbmenyerah melakukan
aksi turun jalan merdemonstrasi menuntut agar PKI dibubarkan serta
diturunkannya rezim orde lama. Tetapi wadah-wadah perjuangan tersebut tidak
lama bertahan. Pada awal tahun 1968 satu persatuwadah itu mulai berguguran
tetapi para mahasiswa Islam pada bulan Mei 1968 mendirikan wadah bersama yang
kenal dengan nama “Pemuda, mahasiswa, pelajar Islam” (PMPI). Hanya ada tiga
kegiatan yang tercatat sehubungan dengan eksistensi wadah ini, yaitu :
1)
Panitia aksi
solidaritas terhadap penyerbuan Israel atas negara Arab pada bulan Juni 1967,
yang dikenal dengan nama perang 6 hari.
2)
Gerakan protes
terhadap kunjungan kaisar Halie Silasie dari Ethopia, seorang kepala negara
Kristen yang menindas Ummat Islam, kunjungan itu direncanakan pada bulan Mei
1968.
3)
Protes keras
terhadap seorang kolumnis (Mukhtar Lubis) yang lewat karyanya (cerpen) “Langit
masih mendung”, menyinggung agama dan ummat Islam Indonesia.
Selain itu, tidak ada lagi
wadah-wadah kerjasama antar pemuda, baik dari kalangan pemuda Islam sendiri
maupun dari kalangan pemuda Indonesia pada umumnya.
Tidak adanya wadah perjuangan
bersama, menurut Ali Murtopo (mantan Menteri penerangan RI pada kabinet
pembangunan III) adalah karena adanya pertikaian ideologis, lebih lanjut dia
mengatakan :
……….. Namun demikian
setelah konflik nasional ini dapat diakhiri dan timbul kestabilan kembali,
bersama itu pula mulai dirasakan keretakan-keretakan antara sesama generasi
muda. Yang masing-masing secara sadar atau tidak, mengarah pada loyalitas
primordial, yakni pada partai-partai politik. Kalaupun tidak secara langsung
terdapat afiliasi dengan partai=partai politik, tetapi pertentangan ideologis
dengan partai-partai politik tercemin dalam tatanan gerak mahasiswa.
Nampaknya upaya mempersatukan
pemuda berlanjut terus dan diusahakan secara intensif oleh pemerintah. Lebih
lanjut Ali Murtopo mengemukakan :
………… Keadaan ini
berlangsung secra berkepanjangan dan dirasakan sebagai suatu perkembangan yang
semakin tidak sehat. Baru pada bulan Maret 1972 beberapa pimpinan organisasi
massa pemuda dan mahasiswa ekstra universitas yang tergabung dalam panitian
nasional pemuda untuk seminar-seminar keluarga berencana (PNPKB) mencapai
kesepakatan untuk meningkatkan wadah dari suatu kepaniatiaan menjadi satu wadah
tunggal pemuda Indonesia. Sejak saat itulah diselenggarakan beberapa pertemuan,
dan pada bulan Mei 1973 sebagai hasil pembicaraan dari beberapa pimpinan pemuda
Ansor, GPM, Pemuda Muslimin, GMKI, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah,, GPI,
HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan koordinasi pemuda mahasiswa Golkar dibentuk suatu
penitia persiapan komite nasional pemuda. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1973
dengan mengeluarkan satu “Deklarasi Pemuda Indonesia” terbentuklah Komite Nasional Pemuda
Indonesia, yang kemudian kita kenal dengan nama KNPI, dimana disebutkan bahwa
KNPI adalah :
1)
Merupakan forum
komunikasi riil antar generasi muda Indonesia.
2)
Menampilkan
kegiatan-kegiatan generasi muda sebagai indikasi adanya komunikasi antar
generasi muda.
3)
Berfungsi sebagai
katalisator dan dan dinamisator generasi muda Indonesia.
4)
Tidak mengurangi
peranan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada dan hidup dalam
masyarakat. Selain itu dinyatakan pula bahwa masalah-masalah yang menyangkut
fusi organisasi-oragnisasi pemuda maupun mahasiswa diserahkan kepada proses
masing-masing organisasi. [19])
Secara gamblang dinyatakan bahwa
KNPI hanya akan berfungsi sebagai forum komunikasi atau stabilisator dan
dinamisator generasi muda (artinya wadah ini tidak akan bekerja secara
struktural dan fungsional kebawah) namun
dalam kenyataannya KNPI berubah arah menjadi organisasi pemuda yang tidak jauh
beda dengan organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada. Bahkan dalam Sidang
Umum MPR tahun 1978 KNPI secara resmi masuk dalam GBHN dan diakui sebagai
satu-satunya wadah pembinaan generasi muda Indonesia. Hal ini sempat mengundang
protes organisasi pemuda dan mahasiswa yang merasa terancam eksistensinya. Baru
setelah pemerintah memberikan penjelasan panjang lebar tentang masih dijaminnya
eksistensi organisasi pemuda dan mahasiswa diluar KNPI. Protes itu mulai mereda
dan kecurigaan terhadap KNPI sebagai upaya me-nunggal-kan pemuda dan mahasiswa
juga turut mereda.
Dalam kaitan dengan proses
kelahiran KNPI ini, PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa pendiri
bersama-sama dengan organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Seorang aktifis
PMII, M. Hatta Musthafa pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KNPI.
Ketika kongres I KNPI pada Oktober 1974, PMII masuk dalam jajaran pengurus
pusat, yang diwakili oleh sahabat Drs. Abduh Paddare, sebagai salah satu ketua
DPP KNPI.
Dalam rangka kongres KNPI I itu, PB
PMII menginstruksikan kepada pengurus Koorcab dan Cabang di seluruh Indonesia
untuk mensukseskan kongres tersebut. Surat PB PMII No. 73/PB-VI/III/74 dan
surat PB PMII N0. 76/PB-VI/IX/74. Yang intinya PB PMII menginstruksikan supaya
cabang-cabang PMII berpartisipasi datang ke forum kongres - melalui jalur KNPI
setempat - dan berjuang mempertahankan KNPI tetap pada fitrahnya sebagaimana
ide dasar KNPI di dirikan.
Akhirnya forum kongres memutuskan,
bahwa KNPI tetap pada jalus fitrahnya, yaitu tetap sebagai wadah komunikasi,
bukan sebagai wadah tunggal generasi muda Indonesia. Organisasi pemuda
Indonesia tetap bersifat majemuk sesuai dengan semboyan “Binneka Tunggal Ika”
walau berbeda-beda suku, budaya, agama, daerah dan aspirasinya tetap satu jua.
Kita tidak satu yang tunggal secara mutlak, tetapi kita tetap menghargai
eksistensi masing-masing.
D. MASA
KONSOLIDAASI DAN PENGEMBANGAN
(1977 - 1980)
1.
Konsolidasi
Organisasi
Periode kebangkitan PMII ditandai
dengan tercetusnya “Deklarasi Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada
hakekatnya merupakan titik kulminasi dari penemuan jati diri dan eksistensinya,
sebagai organisasi mahasiswa yang berdimensi keagamaan dengan paradigma
pemahaman keagamaan Aswaja.
Pada prinsipnya deklarasi
tersebutjuga pernyataan ke dunia luar khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia
yang penih dengan hiruk pikuk perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan
dan keterbelakangan.
PMII melalui deklarasi Murnajati,
menyatakan dirinya sebagai organisasi yang independen, yang tidak terikat pada
organisasi apapun dan hanya mengikatkan diri pada azas dan tujuan
organisasinya, serta hanya komited pada perjuangan bangsa Indonesia. Ini
menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu golongan, tetapi menjadi asset
bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya ummat Islam.
Pernyataan Independensi PMII itu,
akhirnya diteguhkan dengan lahirnya satu pernyataan penegas yang dikenal dengan
“Manivesto Independen”. Pernyataan ini dicetuskan dalam kongres V yang
diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.
Deklarasi Murnajati maupun
Manivesto Independen tidak akan punya arti apa-apa, jika hanya dinyatakan di
atas kertas dan hanya terbatas pada tataran ide, tanpa di implementasikan dalam
kehidupan organisasi secara nyata. Independensi suatu organisasi akan mempunyai
arti, manakala mampu menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri.
Mandiri dalam gerak pemikiran maupun dalam gerak operasional organisasi. Bagi
PMII, upaya kearah itu merupakan beban berat, salah satu sebabnya adalah karena
PMII sudah terbiasa hidup dengan fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU.
Bagi pihak luar, PMII dianggap sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga
PMII pun masih banyak yang ragu akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang
secara mandiri. Tidak heran, setelah tercetusnya deklarasi independen ada
sejumlah cabang yang terpaksa tidak/belum mampu hidup secara independen.
Dalam rangka konsolidasi, PMII
terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada Periode Drs. Abduh Paddare, PMII
berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas pijak. Langkah itu dilanjutkan
dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 - 12 Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta.
Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai nilai
strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil merumuskan
arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun secara
sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern, pola
pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah wujud dari arah
gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana pengembangan jangka
panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMIImerinci dengan program
kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII). P4-PMII serta
penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu dapat lebih
memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi yang lain.
Sebagaimana lazimnya kongres, maka
kongres PMII yang ke VI ini disamping membahas program-program kerja dam
persoalan-persoalan aktual saat itu juga membahas pengurus yang akan memimpin
organisasi pada periode berikutnya (1977 - 1981). Yang terpilih untuk memimpin
PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin
Arubusman, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua
tokoh ini sudah berpengalaman dalam mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil
rapat formatur mengenai kepengurusan PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai
berikut :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 -
1981 )
Ketua Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Abdul Kadir
Ketua :
Yaya Sofiyah
Sekretaris
Jenderal :Muhyidin
Arubusman
Wakil Sekjen : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan : M. Abdul Azis
Sekbid Olah
Raga,Seni dan Budaya : Abdullah
Jauban
Sekbid Kopri :
Fadhilah Suralaga
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian
Masyarakat : Hidayat
Sekbid Organisasi
Islam, Pemuda
dan Mahasiswa : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar
negeri dan Kerja
sama
Internasional :
Mudjahidin Ridwan
Bendahara : Hasan
Basri Saleh
Wakil Bendahara : Silvia. [20])
Perjalanan organisasi dalam
kepengurusan ini nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran
agar dinamika organisasi bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu
PB PMII mengadakan resufle kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan
hasil sebagaimana tersebut dibawah ini :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 -
1981 )
Hasil Resuffle
Ketua
Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Wahidudin Adam
Ketua :
Fadhilah Suralaga
Sekretaris
Jenderal : Muhyidin
Arubusman
Wakil Sekjen :
Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga
dan
Seni Budaya : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri : Ida Farida
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian
Masysrakat : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi
Islam
Mahasiswa dan
Pemuda : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar
Negeri dan
Kerjasama
Internasional : Sri Mulyati
Bendahara : HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara : Lathifah [21])
2.
Aktivitas Intern
Organisasi
a.
pembinaan dan
pengembangan koorcab, cabang dan anggota pmii.
Kehidupan PMII
setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi
PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu
kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap
PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada
anaknya. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai disitu, ketergantungan PMII
pada NU tidak hanya sebatas finansial , tetapi sesungguhnya lebih dari itu.
Suatu contoh
dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah
perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini
dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan
tunggi milik NU ataupun setidaknya milik orang NU.
Setelah
pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada
tindakan apa-apa dari pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai
beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga
menjadi persoalah tersendiri bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini
ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
independen.
Kesungguhan jajaran
pengurus terutaama mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap
memperjuangkan sikap independen itu, berusaha melampaui masa transisi itu
dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad
independennya, selama periode ini (1977 - 1981) sejumlah cabang PMII berhasil
kembali berdiri, antara lain :
·
Cabang Sumenep
·
Cabang Luwu
·
Cabang Ambon
·
Cabang Surakarta
·
Cabang Darut
·
Cabang Cianjur
·
Cabang Samarinda
·
Cabang Balikpapan
·
Cabang Pontianak dan sebagainya [22])
Disamping itu
juga terbentuk cabang-cabang baru seperti :
·
Cabang Manado
·
Cabang Sibolga
·
Cabang Nias
·
Cabang Banda Aceh
·
Cabang Bima
( sebenarnya
cabang-cabang ini pernah beridiri pada
masa periode 1967 - 1970) [23])
Usaha PB PMII
dalam mengembangkan cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah.
Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan
betapa bergairahnya aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.
Kunjungan-kunjungan
PB PMII ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti,
Kegiatan masa penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan, Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain
sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.
b.
Lokakarya
penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Kader.
Sebagai
organisasi mahasiswa sekaligus sebagai organisasi kader, bukaan sebagai
organisaasi massa. Artinya rekrutmen sistem keanggotaan harus mengarah pada
pembentukan pribadi anggota yang memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan
dalam mengelola organisasi. PMII tidak hanya merekrut anggota
sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang pengkaderan yang tersusun secara
sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader yang berwawasan kemahasiswaan,
kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan keindonesiaan.
Seorang mahasiswa
yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal,
yakni masa penerimaan anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai
sistem keanggotaan stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus
mengucapkan bai’at, yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta
mentaati ketentuan organisasi.
Sistem
pengkaderan yang ada di PMII, meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi
dua jenjang, PKD dan PKL). Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan
dari Latihan Kader Dasar (LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari
Latihan Kader Menengah (LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan
menelorkan kader Inti. Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon
(lingkungan Fakultas) ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk
LKD, sedang untuk LKM, bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk
LKL, yang berwenang menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi
dari masing-masing tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 haari). Perbedaan yang
mendasar dari masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan
tenaga instrukturnya.
Paada jenjang
LKM, kader muda dilatih untuk dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang
atau Koorcab. Sehingga lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang
atau Koorcab. Sedangkan untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM
yang diarahkan agar mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam
penggodokannya diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan
keorganisasian yang paripurna.
Sebenarnya PMII
sudah memiliki semacam panduan pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil
keputusan kongres PMII II di Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun
1966, panduan tersebut disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi
memakai buku panduan tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena
langkanya aktivitas pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.
Belajar dari
pengalaman masa lalu itu, upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan
terus diusahakan oleh PB PMII. Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman
dilaksanakan pada tanggal 15 - 17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di
ikuti oleh utusan dari PB PMII, lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus
Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel, Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel).
Di undang pengurus-pengurus cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta,
Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [24])
Dengan disusunnya
buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan,
yakni tidak singkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan
organisasi yang berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat.
c.
Pelatihan
Instruktur
Sebagai
organisasi kader, PMII sangat membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab
bagaimanapun baiknya suatu pedoman tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang
mampu menterjemahkan isi pedoman tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan
banyak artinya. Kalaupun itu dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan
mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan (target pelatihan).
Persoalan
instruktur ini, PMII masih ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa
lainnya. Dari catatan perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru
menyelenggarakan latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat,
sehingga dapat dibayangkan betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih.
Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur
yang benar-benar terlatih.
Kebutuhan akan
tenaga pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada
tanggal 4 - 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan
jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika
dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat
memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan
kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.
Dengan upaya
itulah kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar
tahun 1960-an.
Masa pembinaan
dan pengkaderan PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak
pengkaderan dan latihan instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII.
Cabang-cabang PMII selama periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas
pengkaderan yang mulai berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang
berhasil dengan lembaga pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP,
SMTA dan Akademi. Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan
“Akademi Da’wah”. Sebuah lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat,
dengan “SMP Diponegoro”.
Tidak hanya
pelaatihan formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara
lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang
Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan
pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti
pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh
subur di cabang DKI Jaya< Ciputat< Yogjakarta dan lain-lain.
d.
Pembenahan
sekretariat dan penerbitan
Salah satu
keputusan kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki
kantor sekretariat permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti
saat ini, maka pihak luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit
dibuktikan. Ketika PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang
mandiri walau belum permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP
PMII periode pertam) padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.
Hal ini pernah
disinggung oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah
PMII independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor
NU. Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan
tetap minor.
Keadaan yang
sebenarnya adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas
milik NU, walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian
organisasi ini. PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan
cara berfikir yang tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar,
Musyawarah Pimpinan, Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak
akan ditemui pesan sponsor siapapun termasuk NU.
Tentang pandangan
orang luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di
Jl. Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon
kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu
berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah
yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal
gerak operasional organisasi.
Kenyataan seperti
itu tidak selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang,
dilihat dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang
memiliki puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat
yang sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme
yang membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi
keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang
diberi nama bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan
sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah
terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi
dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari
cabang-cabang di daerah dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh
Indonesia.
3.
Aktivitas Ekstern
Organisasi
a. PMII Dalam
Forum Kemahasiswaan
Sebagai
organisasi mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas
kemahasiswaan/kampus. Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia
kemahasiswaan waktu itu sedang mengalami masa suram.
Dunia
kemahasiswaan sebagai pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara
sesungguhnya telah terbukti dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu.
Tepatnya sedari Soetomo bersama
mahasiswa STOVIA lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa
mulai dari angkatan 1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis
mahasiswa. Mereka memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam
kepemimpinan bangsa ini berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar
sampbil melibatkan diri dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut
politik dan kemasyarakatan.
Pada jaman
kemerdekaan, peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan,
munculnya para pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah
air yang dikenal dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran
mahasiswa sebagai pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu
organisasi-organisasi mahasiswa hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya
hanya untuk memperkuat kedudukan partai-partai politik yang melindungi
organisasi masing-masing.
Posisi yang
demikian ini berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu
mengkhianati Ibu Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap
dibiarkan hidup oleh rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas,
wakil-wakil rakyat yang duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi
rakyat yang diwakilinya.
Melihat kenyataan
seperti ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa
tampil sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa
wakil rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam
seribu bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya,
sehingga saluran konstitusional menjadi macet.
Akhirnya
mahasiswa tampil menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan
berdemonstrasi membela rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya
dibubarkan.
Setelah
pemerintahan Orde Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas,
karena kenyataannya telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan
dan perjuangkan, kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945. Mereka menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu
1971 dan 1977. Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap
kepemimpinan nasional yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan
pemerintahan Orde Lama. Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara
menyuarakan aspirasinya lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya,
disamping aksi corat-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang
bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali
kejalan semula. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.
Namun pemerintah
beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa
pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan.
Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan
mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan
dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu
stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad
Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir
mahasiswa.
PB PMII
mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat
terjadi pengadilan mahasiswa (merupakan
pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra
universitas).
Sejak saat itulah
kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas
mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat
dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang
berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.
Berdasarkan
kepentingan akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan
kehidupan kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK.
Sekalipun mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui
suatu usul interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah
ditetapkan.
Birokratisasi Kampus
Dua langkah
penting yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan
kampus yang dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu
stabilitas politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan
intervensi yang bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang
melibatkan unsur-unsur dan kehidupan kampus.
Dalam rangka
tindakan kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan
proses birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan
sepenuhnya dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai
kepada pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut.
Bahkan dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta.
Pengalokasian anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat
pengarahan dan pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Laangkah politis
pemerintah ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan
lembaga kemahasiswaan (dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan
kampusnya di dalam kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri
(Korpri) di kampus, kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi
kesempatan dosen untuk mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan
hanya membolehkan profesor mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh
Golkar melalui pimpinan unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan
warga kampus.
Campur tangan
birokrasi negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk
pengawasan yang amat mendetail terhadap
opersional universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa,
penentuan dan penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian,
dan penentuan pimpinan.
Disatu sisi,
intervensi birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah
dosen serta fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola
pembangunan kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat
kemandirian kampus, maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya
intensitas campur tangan birokrasi tersebut, antara lain :
Pertama
: Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus.
Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat
salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan
mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak
mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran
sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif
di dalam kampus.
Kedua : Intervensi birokrasi
yang mencengram itu
menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang
memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur
ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan personal
meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen dalam
penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang
berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta
unit-unitnya.
Ketiga : Tumbuhnya
gejala apatisme sebagai
akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah
dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan
hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada aktivitas
mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa lebih
memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan
pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [25])
Pada dasarnya
PMII menolak diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur
kehidupan kampus dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak
dan frontal, padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi
seluruh Indonesia sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat
berakibat celaka.
b.
PMII Dalam Forum
Kepemudaan
Organisasi
mahasiswa pada hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya
mahasiswa adalah juga pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang
kepemudaan dengan dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi
keterlibatannya dalam bidang kepemudaan.
Dalam dunia
kepemudaan, seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi
pemuda bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
berdasarkan deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan
forum konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang
dan berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan
organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai
organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para
pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.
Usaha mewujudkan
KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam
GBHN. Hal itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan
KNPI dalam GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah
penekanan terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda
Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah
memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah
FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan
organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak
tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal
mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk
dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII
terhadap keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun
PMII sadar akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya
KNPI, maka dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI
tetap berjalan menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para
pemuda Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru
eksistensi dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan
menempatkan dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi
belaka. Disinilah KNPI mengalami dilema
Dalam majlis
pertimbangan pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu
PMII melalui utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali
(Sekbid Organisasi PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung
pihak-pihak yang selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan
tunggal. Usaha itu bahkan berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang
diselenggarakanpada tanggal 28 Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat
membuat para aktivis organisasi mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan
adanya pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam
kongres ini muncul kembali issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah
tunggal pemuda Indonesia. Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta
mahasiswa kecuali KNPI dan AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II
KNPI sebagai kongres pemuda.
Gejala ini
sebenarnya merupakan produk dari “tiga
bentuk kebijaksanaan” yang mengatur kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan
pada tahun 1973 :
Pertama
: Dengan dibentuknya KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai
komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah
diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI
ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi
mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di
bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah
UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun
bertindak sebagai pengawas dan pembina.
Kedua : Pembekuan Dewan
Mahasiswa oleh aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21
Januari 1978, melumpuhkan organisasi mahasiswa tingkat universits dn nsionl.
Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk melakukan kegiatan yang berskala besar,
naik di kampus maupun secara nasional, maka tinggallah organisasi mahasiswa
tingkat fakultas dengan segala kondisi yang ada.
Ketiga : Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan
oraganisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan dan
bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari itu, kebijaksanaan tersebut
jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai individu dan harus memasuki
organisasi politik resmi. [26])
Berkenaan dengan
kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum
untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam
perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang
tumbuhnya faktor destabilitas nasional.
Tetapi sejak
tahun 1970-an, setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat
regenerasi kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai
diwujudkan, maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan
kepemimpinan semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan
kembali peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran
generasi muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka
pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem
politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti
aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi
1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan
pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti
terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan
teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan
kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.
Intervensi
birokrasi tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut
semakin intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah
mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda
didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa
“Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di
dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan
mahasiswa di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya
bagi kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda.
Dan melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi
pemuda bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.
Bagi mereka yang
berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran
politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka
yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di
kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an
mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut,
justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa semakin takut
dengan aktivitas yang bernuansa politik.
KNPI sebagai
wadah generasi muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi
yang berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata
cara pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola
konflik di dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat
ditandai oleh spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri
inovatif tidak mampu dikembangkan di dalam wadah ini.
[1] Arbi Sanit, Mahasiswa
Kekuasaan dan bangsa: Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran Studi
Indonesia Dan Yayasan LBHI, Jakarta ,
1989
[2] Surat
Edaran PP PMII Nomor : 461/PP-IV/II-69, Tertanggal 28 Februari 1969.
[3] Keputusan Kongres V PMII di Ciloto Jawa Barat, 28 Desember 1973
[4] Laporan Pertanggung Jawaban PB PMII 1973 - 1977 pada kongres
VI di Wisma Tanah Air 8 - 12 Oktober
1977.
[5] Ridwan Saidi, Islam Pembangunaan Politik dan Politik
Pembangunan, Pustaka Pankimas, Jakarta ,
1982, Halaman 52.
[6] Burhan D Magenda, Gerakan
Mahasiswa dan Hubungannya dengan Ssitem Politik, Suatu Tinjauan, Prisma
No. 12 Desember 1977.
[7] Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI, Bina Ilmu, Surabaya ,
1976, Halaman 39
[8] Op-Cit, Halaman 133
[9] Ibid, Halaman 133
[10] Ibid, Halaman 217
[11] Ahmad Bagja, PMII dab
Kelompok Cipayung, Dalam Pemikiran
PMII dalam Berbagai visi dan Persepsi, Aula, Surabaya , 1991.
[12] Drs. Martono HS, Sejarah Untuk SMA, Tiga
serangkai, Surakarta ,
1984, Halaman 16.
[13] Loc-Cit, Halaman ……
[14] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 28
[15] Op-Cit, Halaman 29
[16] Op-Cit, Halaman 29
[17] Drs. Martono HS. Loc-Cit, Halaman 63
[18] Ibid, Halaman 7
[19] Ali Murtopo, Strategi
Politik Nasional, CSIS, Jakarta ,
1974, Halaman 94
[20] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan
peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,
di Cibubur, jakarta ,
Halaman 11.
[21] Ibid, Halaman 12
[22] Ibid, Halaman lampiran
[23] Ibid, Halaman Lampiran
[24] Ibid, Halaman 15
[25] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa,
Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi Indonesia dan YLBHI,
Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[26] Ibid, Halaman 91
BAB IV
UPAYA
MEMBANGUN CITRA DIRI
( 1973 - 1981 )
A. MANIVESTO
INDEPENDEN
Akibat dari perubahann drastis
iklim politik pemerintahan Orde Baru, dimana kehidupan politik lebih menekankan
pada iklim “ketenangan” yang tidak memungkinkan lagi bagi partai politik untuk
hidup jor-joran seperti pada masa lalu,
maka kehidupan organisasi mahasiswa, apalagi bagi organisasi mahasiswa yang
dependen pada partai politik, dampaknya, pada suasana kehidupan berorganisasi
terasa pengab.
Kelahiran Orde
Baru secara dramatis di tahun 1966, menghantarkan Indonesia pada pintu harapan
akan adanya suatu perubahan orientasi dalam bidang politik, ideologi, ekonomi
daan sosial budaya.
Kekuatan militer dibawah pimpinan
Jenderal Soeharto secara bertahap mengambil alih kekuasaan dari Presiden
Soekarno. Munculnya penguasa baru ini cukup merangsang simpati dan dukungan
dari komunitas muda dan mahasiswa.
Akan tetapi masa bulan madupenguasa
baru dengan mahasiswa tidak berumur panjang. Titik kontradikdi persepsi mulai
nampak menggeliat kepermukaan. Ketika awal 70-an mahasiswa secara kritis
mengecam rezim Orde Baru yang secara perlahan namun pasti dirasakan beringsut
dari komitmen awal kelahirannya dan bahkan cenderung membuka kesempatan bagi adalanya
elite di lingkungan kekuasaan untuk korupsi. Dan adanya kesenderungan
penyimpangan politik oleh penguasa dalam melaksanakan cita-cita orde baru.
Keadaan ini menjadi semakin melenceng jauh, ketika salah seorang aspri Presiden
Soeharto, Ali Murtopo, dengan potensi patnernya, melakukan manuver politik yang
menjungkir balikkan keinginan dan tujuan dari rentetan protes mahasiswa pada
tahun tujuh puluhan.
Sadar akan besarnya potensi kritis
yang dimiliki oleh mahasiswa, penguasa secara sistematis mulai melakukan
kontrol yang efektif terhadap mahasiswa. Kontrol ini merupakan bagian dari
keinginan untuk mempertahankan kekuasaan, yang secara teoritis dapat
menggunakan dapat menggunakan aparat represi negara, yakni militer dan Polisi,
atau penanaman ideologi. Karena tindakan represi selalu berarti penggunaan
kekerasandan kekuatan fisik secara langsung untuk pengamanan dan pelanggengan
dominasi kekuasaan. Sedangkan penanaman ideologi merupakan upaya untuk
membangun legitimasi kekuasaan dan pengakuan atas hak memerintah dari suatu
rezin. [1])
Kesulitan dalam menggerakkan
pembangunan ekonomi pada beberapa negara, terutama pada negara berkembang,
telah menyadarkan banyak komunitas kritis, dalam hal ini mahasiswa menjadi
bagian dominan, bahwa kekuasaan bukanlah benda mati yang bebal dan tak terusik,
erta dapat diterapkan terhadap semua problema. Pandangan ini menjadi semakin
jelas bahwa tidak semua kekuasaan memiliki kapasitas untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh pembangunan.
Ini berarti, pintu bagi adanya kontrol
sosial dari mahasiswa, tetap signifikan. Dan gerakan moral yang digelar oleh
mahasiswa Indonesia di sisa kekuatan yang ada di tahun 70-an, menjadi episode
akhir yang secara kritis dapat menawarkan keinginan untuk mengontrol, di tengah
mandulnya fungsi kontrol dari lembaga-lembaga kontrol yang dimiliki oleh
negara.
Persoalan mendasar yang kemudian
muncul adalah bagaimana isi dan bentuk gerakan mahasiswa Indonesia kini,
sehingga dalam memainkan peran “balance of power” untuk mewujudkan transformasi lembaga dan
struktur politik yang lebih demokratis. Dan bagaimana peran mahasiswa dalam
memberikan dukungan moral bagi usaha perubahan sisoal.
Untuk menjawab persoalan mendasar
tersebut, PMII memberikan pertimbangan beberapa pemikirann di bawah ini :
Pertama
: Mahasiswa perlu mengembangkan pemikiran-pemiki ran yang lebih kritis dan
analitis dalammenghadapi setiap persoalan masyarakat dan secara tajam memiliki
kepekaan dalam melihat dimensi di belakang munculnya realitas di masyarakat
seperti nilai, kepentingan dan kekuasaan.
Kedua : Mahasiswa perlu meningkatkan kepekaan dan
kepe - dulian sosilanya, yakni sadar akan siapakah yang diuntungkan oleh
pemikirannya atau meningkatkan pemihakannya.
Ketiga : Kekecewaan-kekecewaan yang dialami oleh
para ak- tivis KAMI yang dulu memimpikan suatu hasil yang sukses dan konkrit
dari perjuangan TRI-TURA dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sedangkan
kenyataannya hasil dari perjuangan itu semakin lama semakin tipis, berhubung
dengan perbedaan-perbedaan motivasi dan back ground dari kekuatan-kekuatan
pendukung Orde Baru. [2])
Melihat lenyataan seperti itu,
mendorong warga pegerakan untuk lebih memperluas wawasan dan mencari
kemungkinan-kemungkinan yang banyak menyediakan alternatif perjuangan dan
rekrutmen anggota yang lebih terbuka. Maka dalam kongres V PMII di Ciloto
Bandung Jawa Barat, PMII mempertegas keputusan Musyawarah Besar II tentang
“Independen” di Murnajati lawang malang.
Perlu diketahui, bahwa keputusan
terpenting Musyawarah besar II PMII di Murnajati itu adalah “deklarasi PMII
sebagai organisasi mahasiswa Independen” yang tidak lagi terikat baik secara
struktural maupun politik dengan pihak manapun dan hanya komited peda
pencapaian tujuan serta pengembangan faham Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Keputusan monomental inidikenal dengan nama “Manivesto Independen” seperti
tercermin dalam pernyataan berikut :
MANIVETSTO INDEPENDENSI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrohiem
Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia insaf dan yakin akan tanggung jawabnya terhadap masa depan kehidupan
bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi
kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spiritual, bertekad untuk
mempersiapkan dan mengambangkan diri sebaik-baiknya.
Bahwa pembangunan dan pembaharuan
mutlak memerlukan insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, Taqwa kepada
Allah Swt, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya.
Bahwa Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, selaku generasi muda Indonesia, sadr akan peranannya
untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat
dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
Bahwa dasarnya pengisian
kemerdekaanadalah kegiatan yang didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi
dengan sosialisasi ilmu kedalam sikap kulturil guna mengangkat mertabat dan
derajat bangsa.
Bahwa pada hakekatnya
Independensisebagaimana telah di deklarasikan di Murnajati adalah merupakan
manivestasi kesadaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini
sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir dan
pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
Bahawa Independensi Pergerakan
mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisir dan mengambangkan
potensi kulturil yang bersumber dari penghayatan nilai-nilai ajaran Islan untuk
terbentuknya pribadi mulism yang berbudi luhur dan bertaqwa keapda Allah,
berilmu da cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya.
Bahwa pengembangan sifat-sifat
kreatifitas, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa tanggung jawab sebagai
dinamika pergerakan, dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta
di dorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita
perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.
Bahwa dengan Independensi
Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan
alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cit-cita perjuangan organisasi yang
berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Medan Kongres V
PMII
Ciloto, 28
Desember 1973 [3])
Disamping itu kongres V PMII juga
menghasilkan keputusan-keputusan tentang :
1.
Pola Kepemimpinan
Pola kepemimpinan organisasi Pergerkan
Mahasiswa Islam Indonesia harus menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan
organisasi dengan dijiwai oleh isi “deklarasi Murnajati”.
Konsekwensi dari pendirian tersebut
di atas menuntut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yanag bersifat
kerakyatan dengan berorientasi kepada masalah-masalah kaemahasiswaan, kampus
dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperluakn pimpinan-pimpinan organisasi
yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti sifat dinamis, kreatif, reponsif
dan peka terhadap problema-problema kemasyarakatan.
Demikian juga pemahaman sepenuhnya
terhadap azas, sifat dan tujuan PMII serta kemampuan manajerial leadership
menjadi tuntutan mutlak bagi kepemimpinan pergerakan mahasiswa Islam Indonesia.
Maka oleh karenanya kepemimpinan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang Independen harus menjauhkan seluruh
kemungkinan yang akan mengurangi arti dari Indpendensi, seperti : Perangkapan
jabatan pengurus PMII dengan pengurus Partai atau organisasi lain pada
badan-badan legeslatif.
2.
Appeal - Ciloto
1)
Bahwa pada
hakekatnya perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang layak
sebagai suatu bangsa yang merdeka, tidak terbelnggu oleh kultur yang diciptakan
oleh Orde Lama.
2)
Bahwa untuk lepas
dari belenggu keterbelakangan sebagai akibat kultur tersebut perlu tampilnya
orde lain sebagai suatu alternatif.
3)
Bahwa menentukan
altenatif sebagaimana dimaksud, merupakan suatu perjuangan yang meminta banyak
pengorbanan.
4)
Sejarah mencatat
bahwa perjuangan panjang demi tegaknya suatu orde adalah didukung oleh berbagai
kekuatan.
5)
Bahwa peranan HM.
Subhan ZE dalam proses perjuangan panjang dalam menentukan alternatif tersebut
merupakan kenyataan sejarah pula.
6)
Bahwa
penghormaatan kepada pendahulu yang telah meletakkan dasar-dasar suatu sistem
yang lebih, adalah merupakan kepribadian nasional yang karakteristik.
7)
Maka oleh
karenanya, Kongres V meng-appeal Presiden
Republik Indonesia untuk menetapkan HM. Subhan ZE sebagai Pahlawan Nasional.
3.
Pokok-Pokok
Pikiran Ciloto
Sadar akan tanggung jawab PMII
sebagai komponen generasi muda dalam memperjuangkan terciptanya kehidupan
bangsa dan negara yang lebih baik, maka kongres V PMII yang berlangsung tanggal
23 - 28 Desember 1973 di Ciloto Jawa Barat, mengemukakan pokok-pokok pikiran
yang menyangkut bidang :
1.
Bidang Politik
2.
Bidang ekonomi
3.
Bidang sosial
budaya
4.
Bidang pendidikan
5.
Bidang Hukum
6.
Bidang ketertiban
dan keamanan masyarakat
Dengan semangat Independen itulah
PMII mulai menata kembali langkah pergerakan. Seperti disebutkan dimuka, bahwa
akibat keterlibatan PMII yang terlalu jauh dalam urusan-urusan politik praktis,
berakibat PMII mengalami kemunduran yang sangat memperihatinkan.
Dalam kongres V ini pula ,
istilah-istilah untuk mesing-masing tingkatan organisasi dirubah.Misalnya,
isltilah “Pucuk Pimpinan/Pimpinan pusat diganti dengan istilah “Pengurus
Besar”, Pengurus Wilayah diganti dengan istilah “Pengurus Koordinator Cabang”.
Sedangkan susunan Pengurus Besar
PMII hasil kongres V di Ciloto Jawa Barat adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1973 -
1977 )
Ketua Umum : Drs. Abduh
Paddare
Ketua :
M. Madjidi Syah
Ketua :
Drs. TA. Munir
Ketua :
Drs. Muhaimin AG
Sekretaris
Jenderral : Ahmad Bagja
Sekbid Kader : A. Munir Sonhaji
Sekbid Penerangan : Abd. Kadir Paddare
Sekbid Luar
negeri : Edy Suharmanto
SekbidOlah
Raga/Kesenian : H. Mutaqin Darmawan
Sekbid Keputerian : Wus’ah Suralaga
Bendahara : Usman Tahir
Wakil Bendahara : Wahidudin Adam
Susunan Pengurus
Besar PMII tersebut adalah hasil rapat formatur tanggal 10 - 15 Januari 1974 di
Hotel Matruh Jakarta.
Tugas utama kepengurusan PB PMII
periode ini, melakukan konsolidasi organisasi secara menyeluruh. Hal ini
mengingat PMII berada dalam situasi transisi, yakni keadaan yang sebelumnya
merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi Independen
yang lagi terikat baik secara struktural organisatoris maupun tindakan.
Secara konsepsional PB PMII
mengambil langkah-langkah konsolidasi, mengingat :
1)
Kepengurusan PB
PMII karena berbagai hal perludimantapkan.
2)
Tahun 1874 - 1977
merupakan masa transisi bagi kehidupan PMIIDari keadaan dependen menjadi
Independen (mandiri)
3)
Bidang
kesekretariatan dalam keadaan memenuhi syarat minimum bagi kelancaran
organisasi.
4)
Adanya cabang
PMII yang hanya sekedar papn nama.
5)
Tidak adanya
konsepsi yang tentang pola pembinaan PMII
6)
Perlu adanya
pembinaan yang kontinyu bagi PMII dilingkungan IAIN (perguruan tinggi agama)
dan pengembangan diluar IAIN (perguruan tinggi umum).
7)
Terhentinya
kegiatan training-training di cabang-cabang.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh
PB PMII pada periode ini dan tampaknya berhasil adalah :
1)
Cabang dan
Koorcab yang ada, secara defacto dan de jure, ada laporan kegiatan dan mendapat
pengesahan dari PB PMII. Cabang yang termasuk kreteria ini adalah sebanyak 47
Cabang.
2)
Cabang yang
dianggap ada, tetapi tidak mau mengadakan penyesuaian terhadap AD/ART yang
baru, tidak mendapat pengesahan PB PMII. Cabang yang termasuk klasifikasi ini
sebanyak 15 Cabang. [4])
Konsolidasi yang dilakukan PB PMII
tidak hanya menyangkut rasionalisasi cabang-cabang, tetapi juga pembinaan
dibidang pedoman adminstrasi dan kesekretariatan. Hal untuk menanggulangi
banyaknya surat-surat dari daerah yang belum memenuhi peraturan
keadministrasian yang berlaku. Khususnya tata adminstrasi yang berlaku
dilingkungan PMII. Pedoman ini dibuat berdasarkan peraturan PP PMII Nomor 1
tahun 1968 tertanggal 28 Maret 1968.
PB PMII juga melakukan konsolidasi
terhadap cabang-cabang yang mengalami kevakuman, sambil mengadakan penyesuaian
dan sosialisasi AD/ART yang baru.
Pada periode ini PB PMII sempat
menerbitkan Bulettin yang diberi nama “Generasi” dan mampu terbithingga nomor
25.
Kegiatan konsolidasi yang lain
adalah memindahkan kedudukan Korp PMII Puteri pusat dari Surabay ke Ibu Kota
Jakarta (waktu itu yang menjabat sebagai ketua Kopri pusat adalah sahabati
Choirunnisa Yafishsham) sesuai dengan hasil Musyawarah Besar I di Leles Garut
Jawa Barat.
B.
MUSYAWARAH KERJA
NASIONAL III DAN PERUMUSAN NDP PMII
Musyawarah Nasional merupakan salah
satu forum permusyawaratan dalam PMII sebagaimana di atur dalam AD/ART bab VI
pasal 8 ayat 3. Sampai periode ini PB PMII telah melaksanakan mukernas sebanyak
tiga kali. Yang pertama diadakan pada tanggal 21 - 26 Nopember 1967 di Jakarta,
yang kedua diadakan di Semarang jawa
tengah, dan yang ketiga didadakah di Bandung Jawa Barat pada tanggal 1 - 5 Mei
1976. Forum Musyawarah Nasional III ini memutuskan hal-hal sebagai berikut :
1)
Penyusunan
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan PMII.
Seperti kita
ketahui bahwa PMII berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal-Jama’ah
(kini Pancasila) dalam setiap gerak langkahnya harus dimotivisir oleh
nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. Tetapi nilai-nilai itu bagi warga
pergerakan khususnya masih banyak berserakan dalam kitab-kitab kuning maupun
tersimpan dalam benak para Ulama yang menjadi panutan PMII. Tentu saja hal ini
akan menyulitkan warga pergerakan yang masih awan terhadap nilai-nilai Aswaja,
disamping menyulitkan rujukan penyusunan langkah kerjanya.
Adanya dilema
ini, apalagi setelah menyatakan diri sebagai organisasi Independen, maka
rekrutmen anggota tidak lagi melalui pendekatan ideologi maupun kultural
historis, tetapi memakai pendekatan program. Konsekwensi dari pendekatan ini
terjaringnya anggota PMII yang sama sekali belum, bahkan tidak berlatar
belakang Aswaja. Pada gilirannya hal ini akan dapat membahayakan kederisasi dan
fanatisme berorganisasi. Maka untuk mengatasi persoalan ini, Musyawarah
Nasional III PMII menyusun kerangka nilai-nilai Dasar Perjuangan NDP) PMII
sebagai berikut :
a)
Urgensi NDP Bagi
PMII
Sejalan dengan
tahapan perkembangan dan pertumbuhan PMII di masa kini dan
Mendatang,terdapatnya penjabaran yang jelas dari azas organisasi PMII yaitu
Islam yang berhaluan Aswaja dirasakan sebagai suatu kebutuhan yangsangat
mendesak untuk segera dirumuskan. NDP PMII tersebut di butuhkan dalam kerangka
memberi arah dan motivasi, memimpin tingkah laku warga pergerakan dan sekaligus
memberikan dasar pembenaran terhadap apa yang akan dan mesti dilakukan untuk
mencapai tujuan perjuangan sesuai dengan maksud di dirikannya organisasi ini.
b)
Posisi NDP PMII
Islam sebagai
keyakinan mutlak bagi segenap warga PMII menempati posisi tertinggi di dalam
memberikan tuntunan hidup dan kehidupan. Sementara itu, Aswaja segabau metode
penghayatan/pemahamanajaran Islam tersebut, merupakan hasil penyerapan dari
keduanya. NDP PMII adalah pilihan terbaik untuk keduanya, menuju perwujudan
cita-cita pergerakan.
c)
Pengertian NDP
PMII
Yang dimaksud dengan
NDP PMII adalah suatu kebulatantekad, pandangan yang secara sistematis
merupakan cermin dari keyakinan Islam yang berhaluan Aswaja untuk memberikan
alas pijak dalam memberikan arah tingkah laku PMIIsebagai suatu kelompok sosial
untuk mencapai cita-cita perjuangan.
d)
Kerangka
Permasalahan NDP PMII
Dalam rangka
keperluan perumusan NDP PMII, disusunlah kerangka permasalahan sebagai berikut
:
1.
Mukaddimah
2.
Dimensi hubungan
Manusia dengan Tuhan
3.
Dimensi hubungan
Manusia dengan manusia
4.
Dimensi hubungan
Manusia dengan Alam
5.
Dimensi masalah
dengan Ilmu Pengetahuan
6.
Kesimpulan.
Selanjutnya
penyusunan kerangka dasar NDP PMIIini diserahkan kepada tim yang bertanggung
jawab kepada PB PMII, namun sayang, disebabkan kelemahan-kelemahan mekanisme
kerja dan faktor-faktor lain, hingga kongres PMII ke VIII di Bandung Jawa
Barat, penyusunan NDPPMII tersebut belum dapat diwujudkan.
2)
Penyusunan Pola
Dasar Perjuangan PMII
Pola
dasarperjuangan PMII merupakan landasan perjuangan atau dapatdikatakan sebagai
GBHN-nya PMII. Bagi PMII sendiri tersusunnya PDM PMII merupakan hal yang baru,
mengingat pada masa-masa sebelumnya PMII tidak memiliki landasan perjuangan
yang bersifat baku dan operasional kecuali pokok-pokok pikiran yang lebih
dekatpada nilai-nilaiteoritis filosofis. Secara garis besar Perjuangan PMII
memuat:
a) Pengertian
b) Hakekat
perjuangan
c) Arah dan sasaran
perjuangan PMII
d) Ruang lingkup
Perjuangan PMII
e) Pola dasar
operasional perjuangan PMII
3)
Rumusan
Garis-Garis Besar Pembinaan Organisasi
Jika dalam pola
dasar perjuangan PMII lebih menitik beratkan pada perjuangan PMII yang bersifat
ekstern, atau dikenal dikenal dengan istilah partisipasi, maka garis-garis
besar pembinaan orgainsasi ini lebih menekankan diri pada pijakan organisasi
dalam rangka konsolidasi organisasi atau pengkaderan. Secara garis besar isi
dari GBPO ini adalah sebagai berikut:
a.
Masalah
Pengkaderan
Permasalahan ini
menyangkut masalah pengkaderan, baik itu pernyataan yang berisi bahwa
pengkaderan harus memperoleh prioritas dalam aktivitas programnya, pendekatan
yang digunakan, maupun orientasi dari pengkaderan itu sendiri serta
pedoman/petunjuk pelaksanaan pengkaderan yangdipergunakan.
b.
Masalah
Kepemimpinan
Kepemimpinan yang
diharapkan PMII adalah kepemimpinan yang harus mampu memnjiwai sifat
pergerakan, yakni kekeluargaan, kemahasiswaan, kemasyarakatan dan Independen.
Sejalan dengan sifat-sifat organisasi tersebut kepemimpinan PMII dituntut untuk
senantiasa responsif dan argumentatif serta dukehendaki pula adanya keterbukaan
untuk regenerasi seluas-luasnya.
c.
Pembentukan Wadah
Alumni
Untuk
meningkatkan partisipasi aktif paraalumni, Mukernas III PMII memutuskan
membentuk wadah Alumni yang dinamakan “Keluarga Alumni PMII”. Pembentukan wadah
itu ternyata mengalami hambatan, sehingga sampai dengan pelaksanaan kongres
PMII yangke VIII, wadah ini belum menampakkan hasil yang diharapkan. Suatu
analisa, bahwa hal itu dikarenakan adanya jurang pemisah antara alumni yang
berorientasi ideologis dengan mereka status, sehingga diantara mereka masih
terasa sulit untuk dijembatani, suatu pertautan kembali seperti ketika mereka
hidup dalam satu wadah pergerakan.
d.
Langkah-langkah
Rekrutmen Anggota Baru
Langkah inilebih
mengarah pada rekrutmen anggota baru yang berlatar belakang keluarga santri
intelektual disamping pada cara tradisional PMII, yang memang selalu bersumber
pada keluarga santri pedesaan.
e.
Usaha Pencarian
Sumber Dana
Musyawarah
Nasional III berhasil merumuskan, baik secara komersial maupun secra
tradisional yang dikaitkan dengan pengembangan pergerakan.
4)
Pokok-Pokok
Pikiran Tentang Pemilu
Menghadapi
pemilihan umum ketiga (1977, Musyawarah Nasional III berhasil memutuskan
pokok-pokok pikiran berkenaan dengan
akan dilaksanakannya pemilu 1977. Pokok-pokok pikiran dimaksud, selengkapnya
adalah sebagai berikut :
a)
Pemilihan umum bagi
warga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan peristiwaa Penting dan
dihormati, yang pelaksanaannya harus mampu mencerminkan sepenuhnya aspirasi
rakyaatIndonesia.
b)
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia berpendapat bahwa pemilu adalah sarana untuk menciptakan
suatu sistem kenegaraan dengan sebuah pemerintahan, ialah suatu negara hukum
yang demokratis. Karena itu pwmilu 1977 harus maampu berdiri diatas
prinsip-prinsip tersebut dengan melaksanakan aturan permainan yang telah
disepakati.
c)
Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia memandang bahwa fungsi pemilu harus betul-betul dihayati
sebagai suatu keseimbangan antara sarana sosialisasi politik, sarana
demokratisasi, dan sarana legitimasi. Sarana sosialisasi politik adalah
menjadikan pemilu sebagai wadah pendidikan politik bagi warga negara Indonesia,
sehingga mereka mampu menjadi warga negara yang memahami hak dan kewajibannya.
Sarana demokratisasi, yakni sebagai wadah penyaluran kehendak yang sebenarnya
dari bangsa Indonesia. Sedangkan sarana legitimasi adalah proses pemberian
kekuasaan yamng sah bagi kekuatan yang memperoleh kemenangan dalam pemilu.
d)
Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia akan berpartisipasi dalam pemilu 1977 dengan
mengutanakan tujuan-tujuan luhurnya daripada pencapaian kemenangan yang sifatnya
praktis dan sementara serta mampu mewujudkan proses regenerasi kepemimpinan
bangsa.
C. PMII DALAM AKTIVITAS-AKTIVITAS EKSTERN
Perjalanan dunia kemahasiswaan
Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar.
Perubahan-perubahan tersebut menuntut
modifikasi format dan peran organisasi kemahasiswaan termasuk PMII dalam
melaksanakan program-programnya.
Dunia kemahasiswaan antara kurun
waktu 1966 - 1970-an sangat diwarnai kegiatan-kegiatan yang sarat dengan muatan
politik praktis. Kepeloporan mahasiswa dalam kurun waktu tersebut telah mampu
memberikan kontribusi nyata baik dalam pembaharuan format politik dan
kebangsaan maupun dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Peran kesejarahan
mahasiswa seperti itu telah secara tepat menjawab kebutuhan zaman.
Namun peran seperti itu tentu saja
selalu relevan pada setiap waktu, situasi dan kondisi dunia kemahasiswaan pasca
tahun 1970-an memiliki tuntutan yang berbeda dengan tuntutan dan kebutuhan
kondisi angkatan-angkatan sebelumnya. Meskipun pada dasarnya semangat, tujuan
dan cita-cita tetap memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dunia kemahasiswaan
pasca era 1970-an lebih dihadapkan pada tuntutan keilmuan secara lebih tegas.
Bobot keilmuan dan keintelektualan dituntut lebih melekat pada peran
kemahasiswaan era pasca 1970-an.
Namun peran keilmuan secara lebih
tegas seperti itu tidak begitu saja dapat diwujudkan dalam kurun waktu yang
singkat. Terjadi proses transisi yang cukup panjang. Dan PMII mengamati bahwa
kurun waktu antara akhir tahun 1970-an hingga tahun 1980-an merupakan masa
transisi baagi dunia kemahasiswaan, masa transisi dari pijakan peran yang lebih
berbobot politik praktis menuju pada peran yang lebih berbobot keilmuan dan
keintelektualan.
Pada masa transisi seperti itu dunia
kehamasiswaan memang seperti kehilangan elan dan semangat dalam melaksanakan
progrm-programnya. Dan PMII sadar bahwa proses transisi seperti harus dapat
dilampaui secepatnya secara lebih berhati-hati.
Kini PMII melihat bahwa peran keilmuan dan
keintelektualan bagi dunia kemahasiswaan sudah mulai tegas untuk segera
dilaksanakan. PMII mengantisipasi bahwa era 1990-an bagi dunia kemahasiswaan
adalah era yang mengartikulasikan secaratepat peran keilmuan dan
keintelektualan. Oleh karena itu gerakan yang dilakukan PMII pada era 1990-an
terfokus pada gerakan pemikiran, yang antara lain diwarnai dengan kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan diberbagai disiplin keilmuan warganya.
Setelah gerakan pemikiran dilampaui dengan baik, pada saatnya nanti PMII
mencoba merumuskan gerakan kemandirian teknologi, meskipun mungkin baru dimulai
pada tataran yang paling sederhana.
Perubahan-perubahan yang terjadi di
dunia kemahasiswaan seperti itu tentu terkait dengan perubahan yang terjadi
pada situasi dan kondisi sosial ekonomim masyarakat secara keseluruhan. PMII
mengamati bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai kehidupan yang sangat
mendasar di dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat.
Sejak era 1980-an nilai-nilai ekonomi
telah begitu kuat meresap keberbagai aspek kehidupan masyarakat. Orientasi dan
kecendrungan masyarakat telah sangat diwarnai oleh nilai-nilai ekonomi. Hala
ini wajar terjadi setelah selama kurang lebih 20 tahun pembangunan nasional
ditekankan pada bidang ekonomi. Situasi globalisasi yang saat ini melanda
diseluruh Indonesia telah membuat paradigma baru bahwa kekuatan dan ketahanan
nasional suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan ketahanan ekonomi
nasional dan masyarakatnya. Kecendrungan seperti itu tampaknya akan terus
menguat pada masa-masa mendatang. Atas kesadaran dan antisipasi seperti itu
maka PMII pada era 1990-an kedepan memformulasikan dan mengaktualisasikan
gerakan ekonomi dengan tahapan-tahapan tertentu.
Bersamaan dengan
perubahan-perubahan tersebut telah terjadi juga bahwa proses pembangunan tidak
dapat bergantung semata-mata pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya,
tetapi justru sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang
melaksanakannya. Berdasarkan kesadaran seperti itu PMII mencoba untuk melakukan
proses rekayasa sumber daya manusia secara lebih inten, sistematis dan
idealis-pragmatis sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.
Proses aktivitas dan gerakan
seperti itu tentu saja tetap dilandasi, disemangati dan dimuarakan pada
nilai-nilai Islam, yang merupakan landasan sekaligus sumber inspirasi bagi PMII
dalam mengaplikasikan program-programnya. Bersamaan dengan itu PMII juga
menyadari bahwa pemahaman dan gerakan keislaman yang bertanggung jawab di
negara kita telah mengalami perubahan mendasar dari pemahaman yang bersifat
formal menuju pemahaman dan gerakan yang lebih substansial. Oleh karena itu
PMII terus melakukan gerakan pemahaman nilai-nilai Islam secara lebih
substansial dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam
lingkungan, bimbingan dan keberkahan Allah Swt.
Sebagai organisasi pembinaan,
pengembangan dan perjuangan, PMII juga dituntut aktifberpartisipasi dalam
proses pembangunan bangsa. Sesuai dengan predikatnya sebagai organisasi yang
bersifat kemahasiswaan, kemasyarakatan, kekeluargaan dan independen, PMII harus
aktif dalam kegiatan/persoalan-persoalan yang berdimensi kemahasiswaan,
kemasyarakatan dan lain-lain. Adapun kegiatan yang dilakukan PB PMII selama
periode 1974 - 1977 dan aktif di dalamnya adalah :
1)
PMII dan Kelompok
Cipayung
Dalam sejarah
perjuangan bangsa, peran mahasiswa cukup signifikan, bahkan sejarah membuktikan
bahwa cikal bakal kebangkiatan nasional dimulai dengan tumbuhnya kesadaran
mahasiswa untuk turut memikirkan nasib bangsanya. Pada tahun 1908 sekelompok
mahasiswa yang menuntut ilmu pada sekolah kedokteran(stovia) tergrak membentuk
wadah pergerakan yang kemudian dikenal dengan nama “Budi Utomo”. Wadah inilah
yang merupakan cikal bakal dari kesadaran para mahasiswa dan pemuda untuk
memikirkaan nasib bangsa dan negaranya. Bahkan setalah jaman kemerdekaan
aktivitas mahasiswa dalam mengisi pembangunan bangsa semakin meningkat, dan karena
mahasiswa paling potensial dalam menggerakkan organisasi, maka tidak aneh bila
partai-partai politik dalam usaha mencapai tujuannya banyak menggunakan tenaga
mahasiswa. Pada saat partai mengalami hidup subur itulah organisasi mahasiswa
seakan mendapat angin segar untuk hidup penuh dengan kebebasan berorganisasi
yang mendekati kehidupan berorganisasi yang paripurna. [5])
Anak-anak muda
Islam yang berhimpun dalam HMI (himpunan mahasiswa Islam), namun aspirasinya
tidak tersalurkan melalui wadah ini, sehingga mereka tergerak untuk membentuk
wadah-wadah perjuangan yang berlabel mahasiswa. Antara lain, misalnya, Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tahun 1954, menyatakan
diri sebagai onderbow Partai Nasional Indonesia (PNI). Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya GMNI menyatakan dirinya independen (1971). Kemudian
PKI melahirkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Dikalangan
kelompok Kristen juga lahir organisasi mahasiswa yaitu GMKI (gerakan mahasiswa
Kristen Indonesia), begitu juga mahasiswa Katolik dengan PMKRI-nya (perhimpunan
mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Disamping itu masih banyak
organisasi-organisasi sejenis. Mahasiswa dari kalangan Islam-pun banyak tumbuh
mengelompokkan diri sesuai dengan aspirasi politik yang mewarnainya. Tentu saja
karena merasa aspirasinya belum tertampung melalui HMI. [6])
Organisasi itu antara lain, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI)
berdiri pada tanggal 2 April 1956. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
berdiri pada tanggal 17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berdiri
tahun 1964, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri 20 Januari 1962, Himpunan
Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HMMAH) berdiri 8 Mei 1961. [7])
Dari sekian banyak organisasi
mahasiswa itu akhirnya membentuk wadah konfederatif organisasi mahasiswa ekstra
universitas yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama PPMI (perserikatan
perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang berdiri di Malang 8 Maret 1947. [8])
Sayang wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa Indonesia ini terlalu
didominir oleh aktivis-aktivis mahasiswa yang juga aktivis politik (baca =
partai politik), sehingga dalam perkembangannya PPMI tidak bisa berjalan secara
sehat. Bahkan PPMI menjadi ajang persaingan dan saling menjatuhkan antar sesama
organisasi mahasiswa itu sendiri.
Ketika iklim politik beruhan
drastis, dimana rezim orde lama melakukan blunder dengan membiarkan PKI yang
jelas-jelas melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa Indonesia dengan
aksi G.30.S/PKI-nya. PPMI tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini bisa jadi,
karena dalam perkembangannya PPMI didominasi oleh organisasi-organisasi
mahasiswa yang pro dengan Soekarno. Melihat kenyataan seperti ini aktivis
organisasi mahasiswa yang masih berjiwa murni merasa tidak puas, menuntuit agar
keadilan segera dapat ditegakkan, maka pada tanggal 25 Oktober 1965 di Jakarta
mereka membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia). Walaupun harus
diakui para pendiri KAMI juga para aktivis PPMI.
KAMI bangkit menentang kelaliman
rezin orde lama, dengan TRI-TURA-nya (tiga tuntutan Rakyat). KAMI turun
kejalan-jalan berdemonstrasi, karena jalan konstitusional sudah tidak mungkin
di lalui. Berkat KAMI inilah Orde Baru dapat didorong untuk mempercepat kelahirannya.
Tetapi setelah Orde Baru lahir dengan mapan, justru KAMI kehilangan
vitalitasnya untukhidup eksis. Banyak yang berteori tentang hal ini atau banyak
yang mencari sebabnya kenapa KAMI lumpuh.
Salah satu alasan yang nampaknya
akurat adalah penyebab itu semua, bahwa KAMI tidak dapat hidup lestari karena
memang organisasi ini lahir tidak berlandaskan pada konsepsi-konsepsi yang
matang. Seakan-akan KAMI hanyal organisasi yang lahir dan timbul dari gagasan
spontanitas, sehingga ia tidak berangkat dari pesrsepsi yang konsepsional. KAMI
ibarat organisasi satuan tugas (satgas) yang hanyabersifat reaktif bila ada
bahaya datang. Manakala bahaya itu hilang, maka satgas ini dengan sendirinya
akan sirna pula. Akhirnya pada sidang terakhir rapat paripurna KAMI tahun 1969
para aktivis sudah tidak mungkin dipertemukan lagi. Mulai saat itulah KAMI
telah tamat riwayatnya. Sebelumnya PPMI, justru organisasi ini lebih tragis
membubarkan diri dalam kongres IV pada tanggal 29 desember 1965 di Jakarta. [9])
Dengan bubarnya wadah kerjasama antar organisasi mahasiswa ekstra universitas
ini, maka sepilah dunia mahasiswa Indonesia. Hal ini merupakan suatu yang
ironis, mengapa hal ini justru terjadi dalam alam kehidupan Orde Baru yang
menginginkan adanya suatu kehidupan yang senantiasa dalam kebersamaan.
Hidup dalam suasana kebersamaan
antar organisasi mahasiswa akhirnya lahir juga setelah melalui proses yang
panjang. Pada tanggal 20 - 22 Januari 1972 di Alam pegunungan yang sejuk
kelompok mahasiswa yang tergabung dalam wadah GMNI, GMKI, HMI, dan PMKRI
menyatukan diri dalam wadah kebersamaan menuju cita-cita : Indonesia yang kita
cita-citakan. Wadah itu akhirnya dikenal dengan nama “KELOMPOK CIPAYUNG”. Patut dicatat, para
pencetus lahirnya kelompok Cipayung ini adalah : Akbar Tanjung (ketua umum PB
HMI), Kris Siner Key Timu (ketua persidium PP PMKRI), dan Binsar Sianipar
(ketua umum PP GMKI).
Pada awal kelahirannya kelompok ini
berhasil mencetuskan pokok-pokok pikiran tentang :INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN.
Kesepakatan ini didahului dengan suatu pernyataan “Kami generasi muda bangsa
sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan, belajar dari sejarah masa
lampau, bahwasanya dis-orientasi yang terjadi dalam perjalanan bangsa , selalu
akan menghambat kemajuan bangsa, oleh karenanya, kesatuan perjuangan generasi
muda untuk membangun negeri ini merupakan tuntutan bangsa secara mutlak”.
Kesepakatan itu mengemukakan butir-butir mengenai “Indonesia yang kita
cita-citakan”, antara lain :
Indonesia yang kuat
dan bersatu, cerdas dan modern, demokrasi dan adil hukum, sehat dan makmur,
bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia. Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
Indonesia dapat dibangun atas pikiran-pikiran dan tekad bersama yang erat dan
terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal
perbedaan agama, suku, daerah dan golongan. Karena tekad pikiran yang demikian
itulah yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru. [10])
Berbeda dengan wadah berhimpun
mahasiswa sebelumnya, Kelompok Cipayung ini dibentuk tidak bersifat struktural,
sehingga tidak mengenal adanya susunan pengurus. Segala aktivitas dikerjakan
dengan cara kerjasama mirip sistem arisan (mengambil tempatdan pembiayaan
bergiliran antar anggota). Dalam perkembangannya ternyata kelompok ini cukup
berperan dalam mengisi sejarah perjuangan bangsa.
Bahwa Kelompok Cipayung ini,
dibentuk oleh empat organisasi mahasiswa ekstra universitas yakni GMNI, GMKI,
PMKRI dan HMI. Salah satu kesepakatannya yang tak tertulis adalah anggota
kelmpok ini, bukan organisasi mahasiswa onderbow partai politik/golongan.
Pada waktu itu, PMII masih
merupakan onderbow partai NU, sehingga secara otomatis tidak mungkin menjadi
anggota. Baru setelah Musyawarah Besar ke II yang diselenggarakan di Murnajati
Lawang Malang pada tanggal 14 - 16 Juli 1972 dengan deklarasi Independennya.
Dalam perkembangan selanjutnya PMII masih harus berjuang untuk diterima
Independensinya oleh semua pihak. Sebab bagaimanapun kecurigaan tentang hal ini
tetap ada. Keraguan tentang hal ini disebabkan antara lain :
1)
Hingga saat ini
kantor sekretariat PMII baik di tingkat Pengurus Besar, Koordinator Cabang maupun
cabang masih banyak yang bergabung dengan Kantor NU.
2)
Sebagian besar
alumni PMII aktif dalam organisasi NU sebagai Jam’iyah maupun ketika NU masih
aktif dalam dunia politik, melalui PPP. Tetapi sebenarnya dapat dilihat bahwa
alumni atau aktivis PMII yang berperan dalam wadah selain NU maupun PPP,
sebegai contoh misalnya, M. Hatta Musthafa, SH mantan sekretaris umum PMII DKI
Jaya, pernah menduduki ketua umum DPP AMPI, pernah aktif dalam kepengurusan DPP
Golkar. Dll.
Hanya karena rasa
kekeluargaan antara PMII dan NU yang erat, membuat banyak pihak masih curiga
terhadap Independen PMII. Tetapi berkat upaya dari seluruh jajaran PMII,
perilaku dari warga pergerakan telah menunjukkan Independesinya.
Satu tahun setalah kongresnya yang
ke V di Ciloto Jawa Barat 1973, PB PMII di bawah kepemimpinan sahabat Abduh
Paddare bergabung dengan kelompok Cipayung (Oktober 1974) dan dua tahun kemudia
PB PMII dipercaya menyelenggarakan pertemuan kelompok cipayung yang ke 3 pada
bulan Januari 1976. Pada saat itu, paling tidak ada dua alasan yang mendorong
PB PMII memilih kerjasama dengan kelompk cipayung :
Pertama
: Salah satu produk kongres PMII yang ke lima di Ciloto Jawa Barat adalah
Manivest Independens PMII - sebuah pernyataan monomental dalam sejarah kehidupan
PMII yang mendudukkan PMII pada posisi yang mandiri. Hal ini bukan suatu yang
mudah dan mulus. Untuk memperkokoh stabilitas intern PMII, kerjasama dengan
pihak-pihak luar, kalangan mahasiswa khususnya, mutlak diperlukan. Disatu sisi,
diperlukan sebagai peneguh eksistensi PMII dalam posisinya yang baru
(independen) dan di sisi lain, bergabung dalam kebersamaan dengan mahasiswa
Indonesia lainnya merupakan perwujudan semangat kebangsaan untuk menjalin
persatuan dan kesatuan.
Kedua : Situasi waktu itu, kecendrungan untuk
melikuida si ormas-ormas mahasiswa sangat kuat. Penggiringan ke arah wadah
tunggal organisasi pemuda semakin intensif dan sistematis dilaksanakan. Dalam
situasi seperti itu, kebersamaan dan solidaritas sangat diperlukan. Kehadiran
PMII di tengah Kelompok Cipayung, buat kelompok cipayung sendiri, berarti
menambah kekuatan.
Keterlibatan PMII
dalam kelompok cipayung tidak lepas dari upaya perwujudan citra PMII yang
meliputi, Citra Kemahasiswaan, Citra Keislaman, dan Citra Keindonesiaan.
Citra Kemahasiswaan melahirkan
wawasan keilmuan, dan dari sana muncul sifat keterbukaan, gandrung kepada
kemajuan, berorientasi ke masa depan, dinamis dan tidak statis atau beku, serta
tegas, jujur dan konsekwen (Gelora Megamendung 1965). Dalam pandangan PMII yang
berwawasan keilmuan sebagai wujud citra kemahasiswaannya, kesarjanaan adalah
penguasaan ilmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan,
baik ilmu agama, eksakta dan sosial ekonomi. Kesarjanaan itu tidak dengan
sendirinya merupakan nilai yang selesai bilamana tidak disertai tindakan nyata
bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak
henti-hentinya pada masyarakat (Deklarasi Tawangmangu 1961).
Citra Keislaman
melahirkan wawasan keagamaan dan daripadanya muncul sifat toleransi,
keikhlasan, ukhuwah, dan tanpa pamrih. Sebagai angkatan baru, PMII sadar dan
yakin sepenuhnya akan tanggung jawabnya terhadap agama Islam, negara dan
bangsa, serta kesetiaan terhadap UUD 1945. Adalah tanggung jawab yang terpuji
bertindak menurut ajaran Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati, dan
berpihak pada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta membela mereka
(Deklarasi Tawangmangu 1961).
Wawasan ini dalam perwujudannya
dengan kelompok cipayung, melahirkan pemahaman akan perlunya pemeliharaan
nilai-nilai yang melatar belakangi kehadiran ornas mahasiswa. Dalam kesepakatan
KC tahun 1978, terdapat pokok-pokok pikiran yang berbunyi : “Upaya pengembangan
generasi muda Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai pegangan dasar dan peneguh
kepribadian yang sangat berguna dalam menghadapi situasi masyarakat yang
senantiasa berubah dan merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan
nasional yang berlandaskan Pancasila”.
Citra Keindonesiaan yang
melahirkan wawasan kebangsaan dan selanjutnya dapat melahirkan sifat
patriotisme, nasionalisme, kesediaan berkorban untuk kepentingan bangsa dan
tanah air. “Menjadi tanggung jawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional,
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imprealisme dan kolonialisme
dan kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak azasi dan demokrasi yang
luhur” (Deklarasi Tawangmangu 1961). Citra ini dalam perwujudannya dalam
kelompok cipayung melahirkan banyak pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dari wawasan ini, lahir pemahaman
bahwa kelahiran generasi muda dalam bentuknya yang sekarang merupakan
pencerminan dari realitas sosial yang ada (Kesepakatan Cipayung 1974).
Dalam kaitan ini pula, layak untuk
dikutip penutup pernyataan kelompok cipayung tahun 1980 :
“Demikianlah
seluruh pemikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah masa lampau,
kenyataan hari ini, dan cita-cita di masa depan, sebagai salah satu sumbangsih
yang datang dari lubuk hati yang paling dalam, yang tulus ikhlas dan murni,
sebagai persembahan kepada Ibu pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran
bahwa hari-hari dibelakang adalah hari-hari perjuangan dan pengorbanan dalam
pengabdian yang sulit. Namun yang telah dihadapi dan dilewati dengan penuh
konsistensi, tanpa pamrih, tetapi yang adalah juga bagian dari kenyataan dan
sejarah Republik ini”.
Dengan menembus waktu dan membentuk
sejarah, kelompok cipayung akan tetap hadir dalam kehidupan bangsa ini, sebagai
bagian dari sejarah kemarin, hari ini dan masa depan bangsa. Dan dengan penuh
optimisme serta suka cita, kita bersama-sama menatap hari esok dalam
perjuangan, keyakinan dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik,
yakni Indonesia yang kita cita-citakan, seperti yang dimaksud Pancasila dan UUD
1945. “Kami sudah coba memberikan yang terbaik untuk republik ini dan
sejarahlah yang akan menentukan nilai”.
Demikianlah beberapa landasan
moral, etis dan normatif yang mendorong keterlibatan PMII dalam kelompok
cipayung. Seyogjanya citra PMII yang demikian itu senantiasa dihayati dan
diamalkan dalam rangka pengabdian PMII kepada agama, bangsa dan negara. Ketiga
Citra itu, kemahasiswaan, Keislaman dan Keindonesiaan, harus sejalan, serasi
dan seimbang - tidak saling menghambat dan meniadakan, tetapi justru saling
melengkapi dan saling menumbuhkan.
Adalah mengesankan ketika PMII
memimpin delegasi kelompok cipayung ke pimpinan DPR untuk memprotes
pemberlakuan SK. Menteri P dan K No. 028 yang sangat terkenal pada waktu itu.
SK. Tersebut berisi pengaturan soal keharusan agar dalam melaksanakan
kegiatannya, mahasiswa meminta ijin Rektor terlebih dahulu. Atau tatkala
kelompok cipayung mengadakan kunjungan ke Bandung, Yojakarta, Semarang dan
Malang, di depan Pangkowilhan II Jawa - Madura, di Yogjakarta, PMII atas nama
kelompok cipayung menjelaskan agar dalam memandang kelompok cipayung harus
berpedoman pada “tiga jangan” :
Pertama
: Kelompok Cipayung lahir dari pengalaman kese jarahan ormas mahasiswa yang
tergabung di dalamnya, disertai kesadaran kultural, bahwa keragaman bukan
penghalang untuk menjalin kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan
memandang kelompok cipayung sebagai usaha menggalang kekuatan.
Kedua : Kelompok Cipayung merupakan
forum dialog generasi muda
mahasiswa Indonesia dalam upaya meningkatkan peran sertanya dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, Jangan berpikiran
kelompok cipayung akan dibentuk secara struktural dari pusat sampai daerah.
Ketiga : Kelompok cipayung adalah forum yang di
dalam nya berlangsung proses pergumulan, penghayatan dan pemahaman akan arti
kebersamaan, persatuan dan kesatuan. Karena itu, Jangan dipertentangkan
dengan KNPI. Kelompok cipayung dan KNPI adalah equal patner (mitra sejajar).
Produk kelompok cipayung yang
berupa pokok-pokok pikiran, lebih mencerminkan citra intelektual/pemikiran -
dan memang, yang ditumbuhkan dalam kelompok cipayung adalah dialog intelktual.
Pernyataan-pernayataan KC yang berupa pokok-pokok pikiran pada dasarnya
merupakan gagasan intelektual muda putra bangsa yang ingin mengambil bagian
dalam tanggung jawab sejarahnya. Gagasan itu hampir meliputi seluruh aspek
kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan, yang meliputi bidang politik, ekonomi,
pendidikan, kebudayaan dan generasi muda.
Pertemuan Kelompok Cipayung I, 22 Januari
1972, melahirkan “Indonesia yang kita Cita-citakan”, yaitu Indonesia yang digambarkan dalam UUD
1945, berupa masyarakat adil dan makmur, mental spritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Indonesia yang
kita cita-citakan adalah Indonesia yang bersatu, Indonesia yang cerdas dan
modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum. Indonesia yang sehat dan makmur.
Pertemuan Kelompok Cipayung II, April 1974,
melahirkan “perencanaan masyarakat dan tanggung jawab Generasi Muda” . Ini
sebagai suatu pemahaman akan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam
perencanaan masyarakat untuk menuju Indonesia yang di cita-citakan.
Pertemuan Kelompok Cipayung III, Januari 1976,
melahirkan pemikiran mengenai “meningkatkan kebersamaanmenuju Indonesia
yang di cita-citakan dan pembinaan Generasi Muda yang berkepribadian”.
Pemikiran ini sebagai pemahaman dan ajakan mengenai perlunya diperluas
keterlibatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dalam menikmati
hasil-hasil pembangunan.
Pertemuan Kelompok Cipayung IV, September 1978,
melahirkan pokok pikiran mengenai “Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda
Dalam Rangka pembangunan Bangsa Seutuhnya”. Pokok pikiran ini
mengungkapkan perlunya pembinaan generasi muda sebagai bagian tak terpisahkan
dari pendidikan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan ditujukan pada usaha
menumbuhkan generasi muda yang secara sosio pedagogis mandiri. Pengembangan
generasi muda harus menghindari pendekatan struktural yang mengarah kepada
pewadahan tunggal, karena hal demikian bertentangan dengan fitrah generasi muda
Indonesia dan nilai-nilai demokrasi.
Pertemuan Kelompok Cipayung V, Juni 1980,
melahirkan pokok-pokok pikiran “Penataan Kembali sistem Sosial Guna
Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab”. Demkian juga
selanjutnya pokok-pokok pikiran KC yang lahir dalam evaluasi akhir tahun,
peringatan Sumpah Pemuda, Peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan lain-lain
peristiwa, pada dasarnya mencerminkan pemahaman akan kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan serta kepemudaan dan kemahasiswaan. [11])
2)
PMII dan KNPI
Tidak berbeda dengan mahasiswa,
peran serta pemuda dalam perjuangan bangsa juga besar. Sengaja penulis disini
membedakan antara organisasi pemuda dan organisasi mahasiswa. Perbedaan itu
biasanya terletak pada aktivitas kesehariannya. Organisasi pemuda lebih
terfokus pada bidang-bidang garapan yang langsung berkaitan dengan masyarakat
banyak, dan aktivitas yang ditonjolkan biasanya dalam nuansa yang bersifat
politis dalm artian praktis (dalam sejarahnya hampir sebagian besar organisasi
pemuda selalu menjadi pendukung/anak kandung partai politik atau oragnisasi
massa).
Sejarah mencatat, bahwa kelahiran
organisasi pemuda di bumi pertiwi ini adalah di dahului dengan lahirnya”TRI
KORO DARMO”, seperti ditulis oleh Drs. Martono, dkk sebagai berikut :
“Gerakan pemuda
dimulai dengan berdirinya organisasi pemuda pertama ialah “TRI KORO DARMO” yang
berdiri pada tanggal 7 Maret 1915 di Jakarta. Pendirinya adalah seorang
mahasiswa sekolah kedokteran bernama Satiman Wiryo Sandjoyo. Tujuan dari TRO
KORO DARMO adalah :
a.
Menggalang
persatuan
b.
Memperluas
pengetahuan
c.
Membangkitkan
rasa cinta terhadap bahasa dan kebudayaan sendiri.
Oleh karena
mempunyai tiga tujuan itulah, maka organisasi itu dinamakan TRI KORO DARMO,
yang artinya “tiga tujuan mulia”. Kemudian pada tahun 1918 di ubah namanya
menjadi “Jong Java”, artinya Jawa Muda. [12])
Bersamaan dengan perubahan nama TRI
KORO DARMO menjadi Jong Java, kemudian lahir organisasi-organisasi pemuda
sejenis yang bersifat kesukuan, sperti Jong Sumatera Bond, Jong Colebes, Jong
Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, dan Sekar Rukun (Pasundan) [13])
Bagi pemuda Islam ada satu masalah
yang mengganjal pada waktu itu, para pemuda Islam yang menuntut ilmu di lembaga
pendidikan milik Belanda, tidak mendapatkan pendidikan agama (Islam) yang
layak, bahkan guru-guru Belaanda sering bersikap sinis terhadap agama Islam>
Gejala yang demikian ini menggugah pemikitan seorang pemuda Muslim yang aktif
dalam oragnisasi kepemudaan, yaitu Raden Syamsurial. Karena pretasinya yang
baik, dia terpilih menjadi ketua Jong Java. Ketika organisasi itu
menyelenggarakan kongres yang ke 7 di Yogjakarta, R. Syamsurial mengusulkan
gagasan agar Jong Java melaksanakan kegiatan membuka kusus agama lain bagi
anggota yang beragama itu. Usul itu ditolak oleh kongres lewat suatu pemungutan
suara. [14])
Dengan penolakan itu rupanya
menggugah R. Syamsurial untuk memikirkan, kiranya sudah waktunya pemuda Islam
membentuk wadah sendiri, dapat mengurus nasibnya sendiri dan mampu
memperjuangkan aspirasinya sendiri. Dengan dorongan dari intelektual Muslim
ternamaH. Agus Salim, maka pada tanggal 1 Januari 1925 berhasil mendirikan Jong
Islameten Bond (JIB), didirikan di Jakarta bersama-sama dengan Mr. Moh. Roem
dan Mr. Kasman Singodimidjo. Organisasi ini merupakan organisasi Islam yang
Pertama. [15])
Dengan lahirnya Jong Islameten Bond
(JIB), kini di tanah air ada dua kelompok oraganisasi pemuda yang berdasarkan
pada kesukuan atau kedaerahan, dan organisasi pemuda yang lahir berdasarkan aas
keagamaan. Jejak ini kemudian disusul dengan lahirnya pemuda Muslimin yang
berdiri pada Nopember 1928, Pemuda Ansor pada tahun 1933 dan pemuda Muhammdiyah
pada 2 Mei 1932. [16])
Dua tahun kemudian setelah lahirnya
JIB di tanah air, lahir organisasi pemuda yang berdasarkan pada kesukuan maupun
dasar keagamaan yaitu, “Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia” yang didirikan
oleh para mahasiswa di Jakarta pada tahun 1926, dengan tujuan mencapai
Indonesia Merdeka. [17])
Dapat dikataakan, bahwa PPPI ini
merupakan organisasi mahasiswa pertama yang lahir dan bertujuan untuk mencapai
Indonesia Merdeka. PPPI inilah yang mensponsori kongres pemuda II pada tanggal
28 Oktober 1928, yang kemudian mencetuskan ikrar keramat dan bersejarah yang
dikenal dengan “SUMPAH PEMUDA”.
Sisi lain dari kepputusan kongres
pemuda II adalah dileburnya organisasi-organisasi pemuda (lokal) menjadi satu
wadah yaitu “INDONESIA MUDA”. [18])
Pada akhirnya bahwa Indonesia muda menjadi organisasi/wadah tunggal pemuda
Indonesia yang pertama.
Hingga jaman kemerdekaan kita tidak
menemui adanya suatu wadah/organisasi kerjasama antar pemuda. Hanya pada akhir
tahun 1964 para pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam tergabung dalam wadah
kerjasama, yang diberi nama generasi muda Islam (GEMUIS), sampai meletusnya
pemberontakan PKI dengan G.30.S/PKI itu. Hal ini menggugah para pemuda Islam
untuk bersama-sama menghancurkan PKI. Dikalangan Pemuda dengan KAPI-nya
(kesatuan aksi pemuda Indonesia), Pelajar dengan KAPPI (kesatuan aksi pemuda
pelajar Indonesia), Mahasiswa dengan KAMI-nya (kesatuan aksi mahasiswa
Indonesia). Organisasi inilah yang dengan gigih dan pantangbmenyerah melakukan
aksi turun jalan merdemonstrasi menuntut agar PKI dibubarkan serta
diturunkannya rezim orde lama. Tetapi wadah-wadah perjuangan tersebut tidak
lama bertahan. Pada awal tahun 1968 satu persatuwadah itu mulai berguguran
tetapi para mahasiswa Islam pada bulan Mei 1968 mendirikan wadah bersama yang
kenal dengan nama “Pemuda, mahasiswa, pelajar Islam” (PMPI). Hanya ada tiga
kegiatan yang tercatat sehubungan dengan eksistensi wadah ini, yaitu :
1)
Panitia aksi
solidaritas terhadap penyerbuan Israel atas negara Arab pada bulan Juni 1967,
yang dikenal dengan nama perang 6 hari.
2)
Gerakan protes
terhadap kunjungan kaisar Halie Silasie dari Ethopia, seorang kepala negara
Kristen yang menindas Ummat Islam, kunjungan itu direncanakan pada bulan Mei
1968.
3)
Protes keras
terhadap seorang kolumnis (Mukhtar Lubis) yang lewat karyanya (cerpen) “Langit
masih mendung”, menyinggung agama dan ummat Islam Indonesia.
Selain itu, tidak ada lagi
wadah-wadah kerjasama antar pemuda, baik dari kalangan pemuda Islam sendiri
maupun dari kalangan pemuda Indonesia pada umumnya.
Tidak adanya wadah perjuangan
bersama, menurut Ali Murtopo (mantan Menteri penerangan RI pada kabinet
pembangunan III) adalah karena adanya pertikaian ideologis, lebih lanjut dia
mengatakan :
……….. Namun demikian
setelah konflik nasional ini dapat diakhiri dan timbul kestabilan kembali,
bersama itu pula mulai dirasakan keretakan-keretakan antara sesama generasi
muda. Yang masing-masing secara sadar atau tidak, mengarah pada loyalitas
primordial, yakni pada partai-partai politik. Kalaupun tidak secara langsung
terdapat afiliasi dengan partai=partai politik, tetapi pertentangan ideologis
dengan partai-partai politik tercemin dalam tatanan gerak mahasiswa.
Nampaknya upaya mempersatukan
pemuda berlanjut terus dan diusahakan secara intensif oleh pemerintah. Lebih
lanjut Ali Murtopo mengemukakan :
………… Keadaan ini
berlangsung secra berkepanjangan dan dirasakan sebagai suatu perkembangan yang
semakin tidak sehat. Baru pada bulan Maret 1972 beberapa pimpinan organisasi
massa pemuda dan mahasiswa ekstra universitas yang tergabung dalam panitian
nasional pemuda untuk seminar-seminar keluarga berencana (PNPKB) mencapai
kesepakatan untuk meningkatkan wadah dari suatu kepaniatiaan menjadi satu wadah
tunggal pemuda Indonesia. Sejak saat itulah diselenggarakan beberapa pertemuan,
dan pada bulan Mei 1973 sebagai hasil pembicaraan dari beberapa pimpinan pemuda
Ansor, GPM, Pemuda Muslimin, GMKI, Pemuda Katolik, Pemuda Muhammadiyah,, GPI,
HMI, GMNI, PMKRI, PMII dan koordinasi pemuda mahasiswa Golkar dibentuk suatu
penitia persiapan komite nasional pemuda. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1973
dengan mengeluarkan satu “Deklarasi Pemuda Indonesia” terbentuklah Komite Nasional Pemuda
Indonesia, yang kemudian kita kenal dengan nama KNPI, dimana disebutkan bahwa
KNPI adalah :
1)
Merupakan forum
komunikasi riil antar generasi muda Indonesia.
2)
Menampilkan
kegiatan-kegiatan generasi muda sebagai indikasi adanya komunikasi antar
generasi muda.
3)
Berfungsi sebagai
katalisator dan dan dinamisator generasi muda Indonesia.
4)
Tidak mengurangi
peranan organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa yang ada dan hidup dalam
masyarakat. Selain itu dinyatakan pula bahwa masalah-masalah yang menyangkut
fusi organisasi-oragnisasi pemuda maupun mahasiswa diserahkan kepada proses
masing-masing organisasi. [19])
Secara gamblang dinyatakan bahwa
KNPI hanya akan berfungsi sebagai forum komunikasi atau stabilisator dan
dinamisator generasi muda (artinya wadah ini tidak akan bekerja secara
struktural dan fungsional kebawah) namun
dalam kenyataannya KNPI berubah arah menjadi organisasi pemuda yang tidak jauh
beda dengan organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada. Bahkan dalam Sidang
Umum MPR tahun 1978 KNPI secara resmi masuk dalam GBHN dan diakui sebagai
satu-satunya wadah pembinaan generasi muda Indonesia. Hal ini sempat mengundang
protes organisasi pemuda dan mahasiswa yang merasa terancam eksistensinya. Baru
setelah pemerintah memberikan penjelasan panjang lebar tentang masih dijaminnya
eksistensi organisasi pemuda dan mahasiswa diluar KNPI. Protes itu mulai mereda
dan kecurigaan terhadap KNPI sebagai upaya me-nunggal-kan pemuda dan mahasiswa
juga turut mereda.
Dalam kaitan dengan proses
kelahiran KNPI ini, PMII merupakan salah satu organisasi mahasiswa pendiri
bersama-sama dengan organisasi mahasiswa dan pemuda lainnya. Seorang aktifis
PMII, M. Hatta Musthafa pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KNPI.
Ketika kongres I KNPI pada Oktober 1974, PMII masuk dalam jajaran pengurus
pusat, yang diwakili oleh sahabat Drs. Abduh Paddare, sebagai salah satu ketua
DPP KNPI.
Dalam rangka kongres KNPI I itu, PB
PMII menginstruksikan kepada pengurus Koorcab dan Cabang di seluruh Indonesia
untuk mensukseskan kongres tersebut. Surat PB PMII No. 73/PB-VI/III/74 dan
surat PB PMII N0. 76/PB-VI/IX/74. Yang intinya PB PMII menginstruksikan supaya
cabang-cabang PMII berpartisipasi datang ke forum kongres - melalui jalur KNPI
setempat - dan berjuang mempertahankan KNPI tetap pada fitrahnya sebagaimana
ide dasar KNPI di dirikan.
Akhirnya forum kongres memutuskan,
bahwa KNPI tetap pada jalus fitrahnya, yaitu tetap sebagai wadah komunikasi,
bukan sebagai wadah tunggal generasi muda Indonesia. Organisasi pemuda
Indonesia tetap bersifat majemuk sesuai dengan semboyan “Binneka Tunggal Ika”
walau berbeda-beda suku, budaya, agama, daerah dan aspirasinya tetap satu jua.
Kita tidak satu yang tunggal secara mutlak, tetapi kita tetap menghargai
eksistensi masing-masing.
D. MASA
KONSOLIDAASI DAN PENGEMBANGAN
(1977 - 1980)
1.
Konsolidasi
Organisasi
Periode kebangkitan PMII ditandai
dengan tercetusnya “Deklarasi Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada
hakekatnya merupakan titik kulminasi dari penemuan jati diri dan eksistensinya,
sebagai organisasi mahasiswa yang berdimensi keagamaan dengan paradigma
pemahaman keagamaan Aswaja.
Pada prinsipnya deklarasi
tersebutjuga pernyataan ke dunia luar khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia
yang penih dengan hiruk pikuk perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan
dan keterbelakangan.
PMII melalui deklarasi Murnajati,
menyatakan dirinya sebagai organisasi yang independen, yang tidak terikat pada
organisasi apapun dan hanya mengikatkan diri pada azas dan tujuan
organisasinya, serta hanya komited pada perjuangan bangsa Indonesia. Ini
menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu golongan, tetapi menjadi asset
bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya ummat Islam.
Pernyataan Independensi PMII itu,
akhirnya diteguhkan dengan lahirnya satu pernyataan penegas yang dikenal dengan
“Manivesto Independen”. Pernyataan ini dicetuskan dalam kongres V yang
diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.
Deklarasi Murnajati maupun
Manivesto Independen tidak akan punya arti apa-apa, jika hanya dinyatakan di
atas kertas dan hanya terbatas pada tataran ide, tanpa di implementasikan dalam
kehidupan organisasi secara nyata. Independensi suatu organisasi akan mempunyai
arti, manakala mampu menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri.
Mandiri dalam gerak pemikiran maupun dalam gerak operasional organisasi. Bagi
PMII, upaya kearah itu merupakan beban berat, salah satu sebabnya adalah karena
PMII sudah terbiasa hidup dengan fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU.
Bagi pihak luar, PMII dianggap sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga
PMII pun masih banyak yang ragu akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang
secara mandiri. Tidak heran, setelah tercetusnya deklarasi independen ada
sejumlah cabang yang terpaksa tidak/belum mampu hidup secara independen.
Dalam rangka konsolidasi, PMII
terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada Periode Drs. Abduh Paddare, PMII
berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas pijak. Langkah itu dilanjutkan
dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 - 12 Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta.
Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai nilai
strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil merumuskan
arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun secara
sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern, pola
pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah wujud dari arah
gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana pengembangan jangka
panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMIImerinci dengan program
kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII). P4-PMII serta
penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu dapat lebih
memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi yang lain.
Sebagaimana lazimnya kongres, maka
kongres PMII yang ke VI ini disamping membahas program-program kerja dam
persoalan-persoalan aktual saat itu juga membahas pengurus yang akan memimpin
organisasi pada periode berikutnya (1977 - 1981). Yang terpilih untuk memimpin
PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin
Arubusman, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua
tokoh ini sudah berpengalaman dalam mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil
rapat formatur mengenai kepengurusan PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai
berikut :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 -
1981 )
Ketua Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Abdul Kadir
Ketua :
Yaya Sofiyah
Sekretaris
Jenderal :Muhyidin
Arubusman
Wakil Sekjen : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan : M. Abdul Azis
Sekbid Olah
Raga,Seni dan Budaya : Abdullah
Jauban
Sekbid Kopri :
Fadhilah Suralaga
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian
Masyarakat : Hidayat
Sekbid Organisasi
Islam, Pemuda
dan Mahasiswa : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar
negeri dan Kerja
sama
Internasional :
Mudjahidin Ridwan
Bendahara : Hasan
Basri Saleh
Wakil Bendahara : Silvia. [20])
Perjalanan organisasi dalam
kepengurusan ini nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran
agar dinamika organisasi bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu
PB PMII mengadakan resufle kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan
hasil sebagaimana tersebut dibawah ini :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 -
1981 )
Hasil Resuffle
Ketua
Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Wahidudin Adam
Ketua :
Fadhilah Suralaga
Sekretaris
Jenderal : Muhyidin
Arubusman
Wakil Sekjen :
Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga
dan
Seni Budaya : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri : Ida Farida
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian
Masysrakat : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi
Islam
Mahasiswa dan
Pemuda : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar
Negeri dan
Kerjasama
Internasional : Sri Mulyati
Bendahara : HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara : Lathifah [21])
2.
Aktivitas Intern
Organisasi
a.
pembinaan dan
pengembangan koorcab, cabang dan anggota pmii.
Kehidupan PMII
setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi
PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu
kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap
PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada
anaknya. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai disitu, ketergantungan PMII
pada NU tidak hanya sebatas finansial , tetapi sesungguhnya lebih dari itu.
Suatu contoh
dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah
perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini
dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan
tunggi milik NU ataupun setidaknya milik orang NU.
Setelah
pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada
tindakan apa-apa dari pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai
beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga
menjadi persoalah tersendiri bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini
ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi
independen.
Kesungguhan jajaran
pengurus terutaama mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap
memperjuangkan sikap independen itu, berusaha melampaui masa transisi itu
dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad
independennya, selama periode ini (1977 - 1981) sejumlah cabang PMII berhasil
kembali berdiri, antara lain :
·
Cabang Sumenep
·
Cabang Luwu
·
Cabang Ambon
·
Cabang Surakarta
·
Cabang Darut
·
Cabang Cianjur
·
Cabang Samarinda
·
Cabang Balikpapan
·
Cabang Pontianak dan sebagainya [22])
Disamping itu
juga terbentuk cabang-cabang baru seperti :
·
Cabang Manado
·
Cabang Sibolga
·
Cabang Nias
·
Cabang Banda Aceh
·
Cabang Bima
( sebenarnya
cabang-cabang ini pernah beridiri pada
masa periode 1967 - 1970) [23])
Usaha PB PMII
dalam mengembangkan cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah.
Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan
betapa bergairahnya aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.
Kunjungan-kunjungan
PB PMII ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti,
Kegiatan masa penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan, Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain
sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.
b.
Lokakarya
penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Kader.
Sebagai
organisasi mahasiswa sekaligus sebagai organisasi kader, bukaan sebagai
organisaasi massa. Artinya rekrutmen sistem keanggotaan harus mengarah pada
pembentukan pribadi anggota yang memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan
dalam mengelola organisasi. PMII tidak hanya merekrut anggota
sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang pengkaderan yang tersusun secara
sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader yang berwawasan kemahasiswaan,
kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan keindonesiaan.
Seorang mahasiswa
yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal,
yakni masa penerimaan anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai
sistem keanggotaan stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus
mengucapkan bai’at, yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta
mentaati ketentuan organisasi.
Sistem
pengkaderan yang ada di PMII, meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi
dua jenjang, PKD dan PKL). Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan
dari Latihan Kader Dasar (LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari
Latihan Kader Menengah (LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan
menelorkan kader Inti. Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon
(lingkungan Fakultas) ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk
LKD, sedang untuk LKM, bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk
LKL, yang berwenang menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi
dari masing-masing tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 haari). Perbedaan yang
mendasar dari masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan
tenaga instrukturnya.
Paada jenjang
LKM, kader muda dilatih untuk dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang
atau Koorcab. Sehingga lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang
atau Koorcab. Sedangkan untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM
yang diarahkan agar mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam
penggodokannya diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan
keorganisasian yang paripurna.
Sebenarnya PMII
sudah memiliki semacam panduan pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil
keputusan kongres PMII II di Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun
1966, panduan tersebut disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi
memakai buku panduan tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena
langkanya aktivitas pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.
Belajar dari
pengalaman masa lalu itu, upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan
terus diusahakan oleh PB PMII. Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman
dilaksanakan pada tanggal 15 - 17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di
ikuti oleh utusan dari PB PMII, lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus
Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel, Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel).
Di undang pengurus-pengurus cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta,
Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [24])
Dengan disusunnya
buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan,
yakni tidak singkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan
organisasi yang berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat.
c.
Pelatihan
Instruktur
Sebagai
organisasi kader, PMII sangat membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab
bagaimanapun baiknya suatu pedoman tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang
mampu menterjemahkan isi pedoman tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan
banyak artinya. Kalaupun itu dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan
mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan (target pelatihan).
Persoalan
instruktur ini, PMII masih ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa
lainnya. Dari catatan perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru
menyelenggarakan latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat,
sehingga dapat dibayangkan betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih.
Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur
yang benar-benar terlatih.
Kebutuhan akan
tenaga pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada
tanggal 4 - 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan
jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika
dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat
memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan
kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.
Dengan upaya
itulah kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar
tahun 1960-an.
Masa pembinaan
dan pengkaderan PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak
pengkaderan dan latihan instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII.
Cabang-cabang PMII selama periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas
pengkaderan yang mulai berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang
berhasil dengan lembaga pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP,
SMTA dan Akademi. Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan
“Akademi Da’wah”. Sebuah lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat,
dengan “SMP Diponegoro”.
Tidak hanya
pelaatihan formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara
lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang
Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan
pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti
pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh
subur di cabang DKI Jaya< Ciputat< Yogjakarta dan lain-lain.
d.
Pembenahan
sekretariat dan penerbitan
Salah satu
keputusan kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki
kantor sekretariat permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti
saat ini, maka pihak luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit
dibuktikan. Ketika PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang
mandiri walau belum permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP
PMII periode pertam) padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.
Hal ini pernah
disinggung oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah
PMII independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor
NU. Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan
tetap minor.
Keadaan yang
sebenarnya adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas
milik NU, walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian
organisasi ini. PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan
cara berfikir yang tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar,
Musyawarah Pimpinan, Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak
akan ditemui pesan sponsor siapapun termasuk NU.
Tentang pandangan
orang luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di
Jl. Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon
kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu
berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah
yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal
gerak operasional organisasi.
Kenyataan seperti
itu tidak selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang,
dilihat dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang
memiliki puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat
yang sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme
yang membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi
keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang
diberi nama bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan
sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah
terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi
dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari
cabang-cabang di daerah dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh
Indonesia.
3.
Aktivitas Ekstern
Organisasi
a. PMII Dalam
Forum Kemahasiswaan
Sebagai
organisasi mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas
kemahasiswaan/kampus. Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia
kemahasiswaan waktu itu sedang mengalami masa suram.
Dunia
kemahasiswaan sebagai pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara
sesungguhnya telah terbukti dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu.
Tepatnya sedari Soetomo bersama
mahasiswa STOVIA lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa
mulai dari angkatan 1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis
mahasiswa. Mereka memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam
kepemimpinan bangsa ini berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar
sampbil melibatkan diri dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut
politik dan kemasyarakatan.
Pada jaman
kemerdekaan, peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan,
munculnya para pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah
air yang dikenal dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran
mahasiswa sebagai pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu
organisasi-organisasi mahasiswa hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya
hanya untuk memperkuat kedudukan partai-partai politik yang melindungi
organisasi masing-masing.
Posisi yang
demikian ini berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu
mengkhianati Ibu Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap
dibiarkan hidup oleh rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas,
wakil-wakil rakyat yang duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi
rakyat yang diwakilinya.
Melihat kenyataan
seperti ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa
tampil sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa
wakil rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam
seribu bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya,
sehingga saluran konstitusional menjadi macet.
Akhirnya
mahasiswa tampil menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan
berdemonstrasi membela rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya
dibubarkan.
Setelah
pemerintahan Orde Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas,
karena kenyataannya telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan
dan perjuangkan, kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945. Mereka menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu
1971 dan 1977. Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap
kepemimpinan nasional yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan
pemerintahan Orde Lama. Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara
menyuarakan aspirasinya lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya,
disamping aksi corat-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang
bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali
kejalan semula. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.
Namun pemerintah
beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa
pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan.
Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan
mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan
dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu
stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad
Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir
mahasiswa.
PB PMII
mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat
terjadi pengadilan mahasiswa (merupakan
pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra
universitas).
Sejak saat itulah
kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas
mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat
dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang
berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.
Berdasarkan
kepentingan akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan
kehidupan kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK.
Sekalipun mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui
suatu usul interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah
ditetapkan.
Birokratisasi Kampus
Dua langkah
penting yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan
kampus yang dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu
stabilitas politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan
intervensi yang bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang
melibatkan unsur-unsur dan kehidupan kampus.
Dalam rangka
tindakan kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan
proses birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan
sepenuhnya dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai
kepada pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut.
Bahkan dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta.
Pengalokasian anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat
pengarahan dan pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Laangkah politis
pemerintah ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan
lembaga kemahasiswaan (dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan
kampusnya di dalam kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri
(Korpri) di kampus, kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi
kesempatan dosen untuk mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan
hanya membolehkan profesor mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh
Golkar melalui pimpinan unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan
warga kampus.
Campur tangan
birokrasi negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk
pengawasan yang amat mendetail terhadap
opersional universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa,
penentuan dan penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian,
dan penentuan pimpinan.
Disatu sisi,
intervensi birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah
dosen serta fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola
pembangunan kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat
kemandirian kampus, maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya
intensitas campur tangan birokrasi tersebut, antara lain :
Pertama
: Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus.
Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat
salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan
mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak
mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran
sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif
di dalam kampus.
Kedua : Intervensi birokrasi
yang mencengram itu
menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang
memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur
ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan personal
meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen dalam
penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang
berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta
unit-unitnya.
Ketiga : Tumbuhnya
gejala apatisme sebagai
akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah
dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan
hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada aktivitas
mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa lebih
memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan
pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [25])
Pada dasarnya
PMII menolak diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur
kehidupan kampus dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak
dan frontal, padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi
seluruh Indonesia sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat
berakibat celaka.
b.
PMII Dalam Forum
Kepemudaan
Organisasi
mahasiswa pada hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya
mahasiswa adalah juga pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang
kepemudaan dengan dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi
keterlibatannya dalam bidang kepemudaan.
Dalam dunia
kepemudaan, seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi
pemuda bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
berdasarkan deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan
forum konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang
dan berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan
organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai
organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para
pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.
Usaha mewujudkan
KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam
GBHN. Hal itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan
KNPI dalam GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah
penekanan terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda
Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah
memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah
FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan
organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak
tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal
mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk
dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII
terhadap keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun
PMII sadar akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya
KNPI, maka dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI
tetap berjalan menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para
pemuda Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru
eksistensi dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan
menempatkan dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi
belaka. Disinilah KNPI mengalami dilema
Dalam majlis
pertimbangan pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu
PMII melalui utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali
(Sekbid Organisasi PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung
pihak-pihak yang selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan
tunggal. Usaha itu bahkan berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang
diselenggarakanpada tanggal 28 Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat
membuat para aktivis organisasi mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan
adanya pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam
kongres ini muncul kembali issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah
tunggal pemuda Indonesia. Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta
mahasiswa kecuali KNPI dan AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II
KNPI sebagai kongres pemuda.
Gejala ini
sebenarnya merupakan produk dari “tiga
bentuk kebijaksanaan” yang mengatur kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan
pada tahun 1973 :
Pertama
: Dengan dibentuknya KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai
komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah
diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI
ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi
mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di
bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah
UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun
bertindak sebagai pengawas dan pembina.
Kedua : Pembekuan Dewan
Mahasiswa oleh aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21
Januari 1978, melumpuhkan organisasi mahasiswa tingkat universits dn nsionl.
Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk melakukan kegiatan yang berskala besar,
naik di kampus maupun secara nasional, maka tinggallah organisasi mahasiswa
tingkat fakultas dengan segala kondisi yang ada.
Ketiga : Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan
oraganisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan dan
bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari itu, kebijaksanaan tersebut
jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai individu dan harus memasuki
organisasi politik resmi. [26])
Berkenaan dengan
kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum
untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam
perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang
tumbuhnya faktor destabilitas nasional.
Tetapi sejak
tahun 1970-an, setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat
regenerasi kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai
diwujudkan, maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan
kepemimpinan semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan
kembali peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran
generasi muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka
pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem
politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti
aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi
1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan
pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti
terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan
teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan
kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.
Intervensi
birokrasi tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut
semakin intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah
mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda
didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa
“Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di
dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan
mahasiswa di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya
bagi kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda.
Dan melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi
pemuda bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.
Bagi mereka yang
berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran
politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka
yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di
kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an
mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut,
justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa semakin takut
dengan aktivitas yang bernuansa politik.
KNPI sebagai
wadah generasi muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi
yang berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata
cara pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola
konflik di dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat
ditandai oleh spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri
inovatif tidak mampu dikembangkan di dalam wadah ini.
[1] Arbi Sanit, Mahasiswa
Kekuasaan dan bangsa: Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran Studi
Indonesia Dan Yayasan LBHI, Jakarta ,
1989
[2] Surat
Edaran PP PMII Nomor : 461/PP-IV/II-69, Tertanggal 28 Februari 1969.
[3] Keputusan Kongres V PMII di Ciloto Jawa Barat, 28 Desember 1973
[4] Laporan Pertanggung Jawaban PB PMII 1973 - 1977 pada kongres
VI di Wisma Tanah Air 8 - 12 Oktober
1977.
[5] Ridwan Saidi, Islam Pembangunaan Politik dan Politik
Pembangunan, Pustaka Pankimas, Jakarta ,
1982, Halaman 52.
[6] Burhan D Magenda, Gerakan
Mahasiswa dan Hubungannya dengan Ssitem Politik, Suatu Tinjauan, Prisma
No. 12 Desember 1977.
[7] Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI, Bina Ilmu, Surabaya ,
1976, Halaman 39
[8] Op-Cit, Halaman 133
[9] Ibid, Halaman 133
[10] Ibid, Halaman 217
[11] Ahmad Bagja, PMII dab
Kelompok Cipayung, Dalam Pemikiran
PMII dalam Berbagai visi dan Persepsi, Aula, Surabaya , 1991.
[12] Drs. Martono HS, Sejarah Untuk SMA, Tiga
serangkai, Surakarta ,
1984, Halaman 16.
[13] Loc-Cit, Halaman ……
[14] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 28
[Halaman 29
[16] Op-Cit, Halaman 29
[17] Drs. Martono HS. Loc-Cit, Halaman 63
[18] Ibid, Halaman 7
[19] Ali Murtopo, Strategi
Politik Nasional, CSIS, Jakarta ,
1974, Halaman 94
[20] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan
peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,
di Cibubur, jakarta ,
Halaman 11.
[21] Ibid, Halaman 12
[22] Ibid, Halaman lampiran
[23] Ibid, Halaman Lampiran
[24] Ibid, Halaman 15
[25] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa,
Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi Indonesia dan YLBHI,
Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[26] Ibid, Halaman 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar