I. Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia
1980-an - 1990- an
Gerakan Mahasiswa yang marak kembali
akhir-akhir ini tentu mempunyai akar
yang dalam dimasa sebelumnya, baik dari segi ide maupun format gerakan. Edward
Aspinall, seorang pengamat gerakan mahasiswa Indonesia dari Monash University
Australia, mengatakan adanya era “keterbukaan”
ide dalam dunia kemahasiswaan
Indonesia 1980-an. Dikatakan bahwa mahasiswa 1980-an yang akan berdampak
pada gaya gerakan mahasiswa 1990-an – mempunyai kebebasan yang lebih untuk
menyerap ide dari aliran manapun.
Aksi
protes mahasiswa turun jalan meluas keberbagai kota di Indonesia, seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Jember, Malang, Salatiga,
Ujungpandang dan kota-kota mahasiswa lainnya. Gejala ini pernah dijuluki
sebagai “Kebangkitan Peran Sosial” mahasiswa.
Dan mereka walaupun sering dingkari dan dilecehkan eksistensi gerakannya oleh
retorika aparat negara – memang mulai sedikit demi sedikit melepas kaca mata
kudanya.
Mahasiswa mulai memakai instrumen
kekuatan opini massa
sebagai pendorong munculnya diskusi publik soal aspirasi-aspirasi mahasiswa,
seperti demokratisasi, keterbukaan, pemerataan ekonomi, kepastian hukum dan
masalah – masalah yang berhubungan dengan Hak-Hak Asasi manusia. Para aktivis
mahasiswa sering memulai gerakannya dengan mimbar bebas. Kedekatan mereka
dengan para jurnalis menyebabkan resonansi gerakannya semakin meluas.
Meluasnya gaung ini juga didukung oleh
forum-forum temporer yang mereka bentuk sebagai reaksi atas suatu
persoalan. Misalnya Forum komunikasi mahasiswa
Yogyakarta (FKMY), FKMS (Surabaya ), FKMM (Malang ), atau FKMJ
(Jember). Forum – forum itu bisa
memperluas resonansi gerakan karena dapat mencitrakan perkumpulan sejumlah
besar mahasiswa.
Disisi lain, kalau boleh disebut sebagai
kelemahan sekaligus kekuatan gerakan mahasiswa dewasa ini, adalah cakupan
persoalan yang diangkat sangat luas.
Mulai dari dampak pembangunan massal seperti kasus Nipah, Proyek Kedung
Ombo hingga penggusuran sebuah rumah dipinggiran kali. Mulai dari persoalan makro demokratisasi
hingga skorsing rekan mereka. Kata kunci
dari hampir semua gerakan protes mahasiswa adalah rakyat. Kata ini identik dengan sekelompok warga
negara yang lemah dan tidak bedaya.
Sulit diingkari adanya anggapan dalam
retorika jalanan bahwa konsep “rakyat” selalu dilawankan dengan keperkasaan
negara. Istilah politik The strong
goverment sangat populer di kalangan aktivis mahasiswa dan diterima secara
apriori.
Dalam kaca
mata negara dan konsep developmentalisme - nya acap kali gerakan mahasiswa itu dianggap
sebagai faktor pengganggu. Kalau pada
tahun 1960-an atau 1970-an kadang gerakan mereka masih dilihat segi positinya -
misalnya dibentuknya komite anti korupsi setelah dikritik mahasiswa - sekarang
cenderung kearah negasi - negasi. Hal
ini tercermin dari lontaran - lontaran aparat negara dalam mengomentari suatu
gerakan mahasiswa: Mereka tidak murni,
ditunggangi, dibiayai asing, bahkan dituduh menggunakan cara - cara PKI.
Disamping itu,
boleh dikata munculnya gerakan mahasiswa dewasa ini yang mulai pada penghujung
1980-an belum menampakkan gerakan maju. Para aktivis sering merasa tidak diperhatikan
"perjuangannya" apabila negara menggunakan kebijakan akibat kritik -
kritik mereka. Bahkan sering negara tak
bergeming, bila mendapat kritik mahasiswa.
Hanya penghapusan SDSB dan penundaan pemberlakuan UULAJR yang bisa
dipakai sebagai contoh "keberhasilan" gerakan mereka yang tidak bisa
dielakkan dari negara. [1])
2. ORIENTASI GERAKAN PMII 1980-an - 1990-an
" Eksponen 66", Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia telah menjadi salah satu
pengak Orde Baru di Indonesia. Setelah
melihat bahwa orde baru memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk masuk ke
abad XX maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bergerak menyebarluaskan
gagasan-gagasan modernisasi, dan mendukung tesis pembangunan sebagai syarat
mengeluarkan Indonesia dari keterbelakangan dan keterpencilan. Gerakan itu untuk menyakinkan opini
masyarakat, kritik-kritik pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia terhadap mereka
yang berada dalam lingkaran kekuasaan namun tidak sesuai dengan pandangan
pembaharuan, serta hubungan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang khas
dengan kalangan kampus dan unsur-unsur masyarakat lainnya, semuanya merupakan sifat-sifat
dari mahasiswa yang perlu diperhatikan.
Secara keseluruhan, partisipasi besar dan kompleks dari Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia ini pada periode penegakan Orde baru di bawah
Jenderal Suharto tidak boleh dianggap enteng, terlebih bila dianggap seakan -
akan tidak ada. Peranan Pergerakan
Mahasiswa islam Indonesia
dalam Orde Baru ini berkisar pada tiga
demensi, yaitu politik, ideologi dan kritik.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia pada
periode ini terutama adalah sebuah pelaku politik. PMII yang lahir beberapa tahun sebelum
munculnya angkatan '66 dipentas politik, mencerminkan pandangan - pandangan
dari mahasiswa Nahdliyien, Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia bersama - sama
dengan kekuatan organisasi mahasiswa lainnya dengan dukungan secara diam - diam
dari kalangan militer, memimpin dengan amat gencar aksi - aksi turun jalan dan
kampaye politik terhadap rezim orde lama pada waktu itu.
Berkat
reputasinya dalam berjuang melawan rezim orde lama, maka PMII menjadi animator
dan lobby pemuda serta mahasiswa di Indonesia . Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
mengorganisir perjuangan melawan kekuatan - kekuatan rezim orde lama, dan
menstimulir - berkat sikap mereka yang tegas - keterlibatan mahasiswa dan
pemuda untuk berpihak pada orde baru.
Dengan demikian ia menjadi kelompok penekan (Pressure Group) yang memihak pada kepentingan bangsa dan negara.
Apabila
ditinjau secara lebih spesifik, maka sebab - sebab yang melatari aktivis
politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dapat dilihat ke dalam
organisasi itu sendiri dan ke dalam masyarakat yang melingkupinya. Secara Intern, adalah kombinasi dari
pemahaman mereka terhadap keadaan masyarakat dengan keprihatinan mereka
terhadap keadaan sosial ekonomi yang sedang dialami serta kekwatiran akan masa
depan yang membangkitkannya untuk menentukan penelitian, sikap dan gerakan
korektif. Disamping itu latar belakang sosial anggota Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia
yang mayoritas berasal dari lapisan menengah ke bawah, memungkinkan ia untuk
cenderung mandiri terhadap struktur kekuasaan.
Secara ekstern, kombinasi dari pemusatan kekuasaan yang
berlebihan dengan kegagalan lembaga-lembaga politik untuk menunaikan fungsinya
sebagai pelindung dan penampung aspirasi masyarakat, mendorong Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia yang cukup sarat dengan idealisme untuk tampil
sebagai kekuatan kontrol dan korektif.[2])
Sebagai
kekuatan alternatif, keterlibatan pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ternyata tidak bersifat
permanen. Perubahan usia yang terkait
dengan batasan waktu dan biaya studi yang dialami oleh masing-masing aktivis
PMII dalam suatu gerakan, merubah komposisi aktivis sehingga suasana gerakanpun
berubah. Disampping itu terjadi juga
perubahan masalah yang menjadi pusat perhatian sehingga nilai urgensi dari
gerakan politik mengalami perubahan juga.
Dalam hal keutuhan aktivis dan urgensi gerakan menurun, maka kegiatan
politikpun mengalami penurunan. Apabila
penguasa tidak lagi mentolerir gerakan politik mahasiswa.
Untuk
memahami gejala / pola gerakan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), pada dekade 1980-an - 1990-an ini kita
dapat memalingkan perhatian kepada tiga premis Utama, yaitu tentang faktor
pendorong (motivasi),
hakekat atau
impak, dan akhir dari gerakan tersebut.
Berbagai faktor seperti situasi sosial-ekonomi yang memprihatinkan
kehidupan umum serta mahasiswa itu sendiri, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan
pemerintah yang dianggap tidak adil, ketidakpuasan terhadap penguasa dan
pemerintah, politik yang telah menjadi tidak demokratis, dan terutama kehidupan
dunia kepemudaan dan khususnya dunia kemahasiswaan yang dianggap sudah
terkooptasi oleh kekuatan negara, dapat dipandang sebagai akar dari Gerakan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dewasa ini. Jika ditelaah lebih dalam keseluruhan latar
belakang tersebut dapat dibedakan diantara penyebab yang menyangkut keseluruhan
masyarakat, termasuk mahasiswa, dan penyebab yang lebih dirasakan oleh
mahasiswa khususnya.
Kenyataan
sejarah menunjukkan betapa besar peran Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam
kebangkitan suatu gerakan politik mahasiswa di Indonesia. Seperti diperlihatkan pada awal-awal
kebangkitan orde baru. Sekalipun
kenyataan menunjukkan bahwa ada perbedaan fokus dan ketajaman perhatian dari
gerakan PMII dalam kurun waktu 1960 s/d 1990-an.
Disamping itu
perkembangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia didalam setiap periode
tersebut memperlihatkan wataknya yang semakin berani dan cenderung
radikal. Gagasan-gagasan yang menawarkan
alternatif perubahan sosial dan politik, semakin mewarnai pemikiran politik
aktivis-aktivis pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam dekade 1990-an ini.
Litigasi, Loby mahasiswa, Sharing, Surat Terbuka /
Pernyataan, Mimbar Bebas, disamping aksi-aksi yang lain merupakan bagian dari
gambaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam kurun 1990-an dan
menunjukkan suatu perubahan mendasar dalam gaya, arah dan bentuk gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sejak
1980-an. Hal tersebut menunjukkan bahwa
periode sekarang ini secara politis tidak mandul dan apatis sebagaimana dikenal
luas. Hal ini juga menunjukkan bahwa
gerakan PMII dewasa ini sejalan dengan perubahan-perubahan dalam orientasi dan
perhatian pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sekarang.
Jelas, bahwa
gerakan PMII merupakan suatu fenomena dan faktor penentu yang bersifat kompleks
dan majemuk, sehingga tidak bisa disederhanakan dengan hanya melihat satu
fenomena saja. Sebagaimana yang secara
gamblang dikemukakan oleh seorang mantan aktivis PMII [3])
"…….. Kita sebenarnya tidak bisa menjelaskan perubahan - perubahan
kecenderungan politik yang terjadi dalam gerakan - gerakan
kemahasiswaan". Keadaan ini
menunjukkan bahwa aktivitas politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
dewasa ini mencerminkan suasana baru di kampus dan di negeri ini. Jadi selain faktor-faktor yang secara
tradisional mempengaruhi aktivisme PMII, misalnya, sentralitas
peristiwa-peristiwa besar atau kondisi-kondisi di dalam masyarakat,
karakteristik kelembagaan, discontinuitas generasi dan sebagainya, kenyataan
ini menunjukkan bahwa sifat dan suasana gerakan berubah, maka begitu juga
bentuk-bentuk gerakan yang diterapkan juga berubah.
Perubahan - perubahan dalam sistem politik nasional
yang pada akhirnya membawa dampak pada bentuk dinamika ormas-ormas mahasiswa
termasuk didalamnya PMII sendiri, menghadapi tantangan semacam ini, PMII
dituntut tidak hanya bergumul dengan diri - sendiri, dengan kesejarahan dan
realitas masa silam. Tetapi juga
dituntut bergumul dengan dunia sekitarnya.
PMII harus beradaptasi dengan kenyataan sejarah lain, yang karena itu ia
harus ikut serta dalam proses dan ikut menjadi subjek untuk menentukan masa
depan bangsanya.
Bahwa dinamika organisasi kemahasiswaan sangat
terkait pada misinya, pandangan dan cita-citanya. Rumusan visi mahasiswa tentang masa depan
ataupun pandangan dan cita-citanya, berhubungan erat dengan dinamikanya. Dalam hubungan ini jelas bahwa visi,
pandangan dan cita-cita PMII berkaitan dengan masyarakatnya yaitu masyarakat Indonesia . Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa dinamika
PMII berkaitan dengan visi tentang masyarakat Indonesia yang ideal. Dinamika PMII disini, berhubungan erat dengan
cita-cita masyarakat Indonesia .
Disamping itu, sikap kritis, yang amat dibutuhkan,
berkaitan dengan PMII, adalah yang mendorong para aktivis PMII secara dinamis,
melihat secara tajam masyarakat yang dicita-citakan. Sikap kritis ini adalah sikap yang mampu
merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa secara umum tentang
masyarakat yang ideal. Masyarakat
tersebut adalah masyarakat Pancasila yang adil dan makmur.
Berdasarkan sikap kritis ini, masyarakat yang
dicita-citakan adalah bukan masyarakat dimana perkembangan produksi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan rasionalitas, dimana manusia menjadi
terasing karena resepsi dan irrasionalitas.
Sekalipun masyarakat ini mengalami perkemabangan dan kemajuan industri,
ilmu pengetahuan dan Tekhnologi, ia menimbulkan resepsi dan ketidakbebasan
terhadap warganya. Masyarakat Indonesia
justru menekankan pada "Kesejahteraan Yang Berkeadilan Sosial sekaligus
menegakkan kesatuan nasional" sehingga memberikan kebebasan serta
kemandirian bagi warganya.
Secara gamblang, dapat dikatakan bahwa visi,
pandangan dan cita-cita PMII tentang masyarakatnya, yang menggambarkan adanya
dinamika, adalah masyarakat yang adil dan makmur dimana masyarakat adalah
multidemensional, atau dengan istilah yang kita kenal "Manusia
Seutuhnya" - selaras dengan pandangan nilai-nilai dasar pergerakan (NDP)
PMII.
Dengan
demikian, katika PMII dengan sikap kritisnya mampu merumuskan masyarakat yang
dicita-citakan, maka sikap ini terkait dengan kemampuannya untuk bersikap
mandiri (Independent).
Sikap mandiri
itu artinya "pembebasan manusia dari ketidak dewasaan yang diciptakan
sendiri". Ketidakdewasaan ini
adalah ketidak mampuan manusia untuk memakai pengertian tanpa pengarahan orang
lain. Diciptakan sendiri, berarti
ketidak matangan ini tidak disebabkan oleh karena kekurangan dalam akal budi,
melainkan karena kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan
orang lain. Kemandirian (independen)
berarti keberanian untuk memakai akal budi, kemampuan ntuk menggunakan
penalaran yang objektif dan kritis (Deklarasi
Murnajati : 1971).
Dengan
independensi PMII, artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai pilihan
peran yang hendak diambil, adalah berdasar kepada kebenaran dan objektivitas
seperti yang diyakini PMII. Artinya
kemandirian dalam mengambil sikap dan tindakan, tidak terpengaruh dan depend on kepada kekuatan dan tantangan
apapun harus menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Hal itu menjadi penting, ketika kita
memaknakan kembali idependensi PMII. Sebab dengan kematangan dan kemandirianlah
yang menjadi tuntutan perkembangan.
Apalagi kesadaran sebagai bagian dari kekuatan moral maka independensi
adalah modal utamanya.
PMII mempunyai
potensi yang besar, khasanah kesantrian, keterbukaan sikap, inklusif, bebas,
sekaligus transenden dan paguyuban yang masih kental ditengah berbagai tarkan
individualisme dan fragmatisme. Sifat
dan karakter kolektif tersebut telah menjadi semangat hidup organisasi. [4])
Dengan ciri,
sikap dan kemampuan untuk mandiri sangat kritis, maka dinamika PMII terlihat
berkembang, karena itu ia akan mampu melihat masalah-masalah mendasar dalam
rangka berkiprah di tengah mesyarakatnya yang giat membangun.
Dalam konteks
ini, sejalan dengan konteks dinamikanya, PMII berusaha menempatkan etika kiprah
dirinya dalam gerakannya secara lebih sentral dan proporsional. Rumusan etika ini kita dapati secara formal
dalam NDP maupun AD/ART, namun secara praktis masih diperlukan rumusan
penjabaran dalam langkah-langkah nyata.
Dalam hal ini
harus dipahami, bahwa dalam ketentuan-ketentuan tentang etika bukan hanya
ketentuan masa depan saja atau sering disebut dengan "tujuan", tetapi
ketentuan etika yang berlaku masa sekarang.
Pemahaman tentang etika semacam ini penting karena hal ini berarti bahwa
etika yang dianut PMII berdasarkan pada suatu pandangan yang tepat. Pandangan etika menggangap bahwa suatu
tindakan atau rencana adalah baik ketika tujuan dan hasilnya berguna dan
baik tetapi juga sekaligus sesuai dengan
ketentuan - ketentuan aturan yang berlaku.
Rumusan etika
yang berlaku untuk masyarakat Indonesia
seperti yang dipahami oleh PMII adalah menekankan pada keseimbangan antara hak
untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dengan kewajiban dharma baktinya, atau
dengan kata lain, keseimbangan antara "ability" dan
"need". Hak untuk menikmati
atau hak untuk memenuhi kebutuhan dari tiap-tiap warganya, tidak berarti
berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan nilai darma baktinya untuk bangsa dan
negaranya.[5])
Perubahan, ia
tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk
digantikan dengan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan. Dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses
perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan
politik. Kita dapat melihat adanya
perbedaan fungsi itu dalam setiap periode gerakan, sesuai dengan kondisi umum
masyarakat yang melingkupi kehidupan mahasiswa.
Berbeda dengan
keadaan di negara-negara maju, di Indonesia, karena lembaga-lembaga politik
belum berungsi sepenuhnya, maka gerakan mahasiswa dipandang sebagai alternatif
pelaksanaan fungsi lembaga tersebut. Perubahan yang mereka inginkan
diperjuangkan sendiri melalui gerakan politik praktis-sehingga timbul istilah "Parlemen jalanan".
Tidak
berfungsinya lembaga politik untuk menampung aspirasi dan meredam gerakan
politik mahasiswa serta besarnya impak politik yang mungkin ditimbulkan oleh
aktifitas seperti itu, menggugah penguasa dan pemerintah Indonesia untuk
mengantisipasinya, misalnya dengan menggunakan otoritas kekuasaan, tekanan
fisik, pengawasan, pengendalian, serta hukuman dimanfaatkan untuk membendung
dan menyelesaikan arus gerakan mahasiswa, hal ini diperlihatkan pemerintah
dalam menyikapi gerakan mahasiswa tersebut sejak dekade tahun 1970-an sampai
kurun 1990-an.
Masih bisa
diperdebatkan memang, apakah pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) -
termasuk organisasi mahasiswa lainnya - berperan dalam menumbangkan sebuah
rezim dan melicinkan jalan bagi penguasa baru untuk naik tahtah ?, jika memang
berperan, seberapa besar andil PMII, baik dalam kemelut politik pada saat
tertentu maupun peran sosialnya dalam konteks sejarah yang lebih luas. Rasanya
rentang waktu tiga dekade sejarah tentang gerakan PMII di negeri ini lebih dari
cukup untuk memetakan posisi lalu menilai peran PMII ini.
Persepsi dan
konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya
higemoni Negara Orde Baru (NOB). Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang
diorganisasikan oleh KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) sepanjang tahun
1960-an untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI, kejatuhan rezim Orde
Lama dan tampilnya Jenderal Soeharto ke pucuk pemerintahan itu, seakan
meledakkan semacam praktek diskursif [6]) tentang arti penting gerakan
dan peran PMII dalam proses perubahan sistem politik.
Ketika terjadi
disintergrasi dalam KAMI dan mulai muncul persoalan-persoalan bagaimana
mendifinisikan peran mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana
seharusnya tugas dan masa depan para eksponen angkatan 1966, akhirnya setelah
isu Back to Campus muncul di akhir
tahun 1960-an, PMII tampaknya mulai memalingkan orientasi gerakannya, dari
gerakan yang bersifat politik praktis kearah gerakan yang bersifat intelektual
atau intelegensia.
Perubahan
orientasi gerakan ini bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan konsep "Moral". Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan,
melalui suatu kekuatan moral (Moral force) yang secara aktif ingin ikut
berperan dalam mencapai cita-cita bangsa dan negara. Tugas dan peran pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia
dalam konsep ini, melakukan kritik dan koreksi terhadap situasi sosial yang
dianggap menyimpang. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan kaum terpelajar
lainnya turun ke jalan jika terjadi ketidak beresan dan kekacauan dimasyarakat,
dengan tugas melancarkan kritik dan koreksi sosial terhadap penguasa.[7])
Kendati demikian,
pada hampir semua tingkat, anggapan dan peran tentang gerakan PMII yang
berkembang kemudian tak selalu sejalan dengan anggapan pemerintahah (termasuk
aparat birokrasi kampus) . Adanya pejabat tinggi negara yang membalas gerakan
dan kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mahasiswa telah "Ditunggangi"
Istilah
"ditunggangi" itu menunjukkan bahwa negara sangat menentukan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan mahasiswa. Protes dan kritik dalam
bentuk demontrasi sekalipun, diperbolehkan sejauh kritik dan protes itu tidak
keluar dari batas-batas panggung politik (baca : sistem politik) yang
ditentukan oleh negara itu sendiri.
Tuduhan ditunggangi" merupakan sebuah rambu
peringatan agar mahasiswa tidak keluar dari "Skenario". Dalam melakukan kritik juga tidak boleh mengancam
stabilitas keamanan dan pembangunan nasional.
Kenyataan ini
telah menghadapkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia pada dua pilihan : Berkolaborasi atau beroposisi dengan kekuasaan. Terlepas apakah keadaan tersebut berangkat
dari kesengajaan atau ketidakberdayaan, yang jelas rezim Orde Baru hanya
memberi ruang "kreasi"
selama ia berjalin sejalan dengan kebijakan pemerintah. Dan tawaran kedualah
yang menjadi pilihan PMII.
Kondisi
demikian telah menjadi kenyataan kultural yang mewarnai corak dan sikap
sebagian kader-kader PMII yang lahir belakangan (1980-an sampai 1990-an).
Mereka terlatih untuk lebih tertarik memperjuangkan idealisme kulturalnya
daripada menikmati arena politik. Mereka lebih banyak belajar bagaimana mempertimbangkan
konsekwensi-konsekwensi masa depan daripada menikmati kursi kekuasaan.
Karena itu,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha mati-matian untuk membuktikan
bahwa ia tidak bermain mata dengan kekuatan politik manapun, karena perannya
memang bukan merebut kekuasaan, melainkan hanya melakukan koreksi dan kritik
sosial demi suksesnya pembangunan. Karena gerakan perjuangan PMII bukan pada
level politik partai-partai, sehingga dengan leluasa melakukan propaganda dan
agitasi politik demi menundukkan wakilnya di jabatan-jabatan politik.
PMII hanyalah
media untuk memperkenalkan diri pada aktivitas, beserta tawaran gagasan,
cita-cita, obsesi dan program kerja yang hendak diaktualisasikannya.
Karenannya, wilayah politik PMII adalah upaya penyadaran akan hak-hak
kewarganegaraan dalam ikut menentukan arah dan orientasi bangsa.
Hal ini
menjadi urgen, karena bagi PMII persoalan sistem ketatanegaraan saat ini
bukanlah produk final. Finalnya bentuk
negara bagi PMII tidak berarti final pada tatanan sistem. Sistem akan terus - menerus diperbaiki,
diperbaruhi dan dirumuskan secara objektif sesuai dengan konteks perubahan
masyarakat. Dan pada, tatanan inilah
PMII dan warna negara lainnya berhak
mendiskusikan sistem pemerintahan seperti apakah yang paling adil, yang mampu
memberdayakan warga negaranya. [8])
Persepsi
tentang peran sosial politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai
kekuatan moral tidak pernah pudar, hal ini dibuktikan dengan langkah besar dan
bersejarah yang dilakukan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia diawal tahun
1970-an, yaitu menyatakan diri sebagai organisasi mahasiswa
"Independen" yang dikenal dengan "Deklarasi Murnajati", hal ini juga berarti bahwa Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia hanya konsisten dengan gerakan - gerakan kemahasiswaan
dan menolak melakukan afiliasi dengan kekuatan non-mahasiswa, serta memandang
dirinya sebagai perwujudan sosok resi yang sejati.
Gema panggilan
untuk berperan senantiasa muncul kepermukaan dengan idealisme yang dulu pernah
disuarakan, bahkan diselipkan dengan kisah baru untuk berperan dalam
pembangunan. [9]) Gejala perubahan orientasi gerakan yang
dilakukan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah dengan mencoba meluruskan
persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilema bagi etos gerakannya, yakni pilihan antara gerakan politik atau
gerakan moral, dengan membongkar apa yang sebenarnya pernah dilakukan pada
periode-periode sebelumnya.
Memasuki
dekade 1980-an persepsi tentang pola gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia sedikit bergeser. Setelah
pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para aktivis mahasiswa akibat
pergerakan Mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan, Universitas
semakin ketat dikontrol oleh negara
melalui aparat birokrasi Perguruan Tinggi.
Pada tahap ini negara bukan hanya malakukan tindakan represi terhadap
pimpinan mahasiswa yang dianggap bidang kritik dan protes, tetapi juga dengan
sistematis dan terencana negara
merubuhkan gerakan - gerakan yang coba dibangun mahasiswa diluar sistem
yang disediakan negara.
Walaupun
demikian, masih ada optimisme bahwa gerakan mahasiswa mungkin sudah ditakdirkan
demikian, timbul tenggelam, pasang surut, dalam pentas - pentas yang disediakan
negara, ditolak sekaligus dibutuhkan, supaya penguasa yang kini bertindak sebagai
produser merangkap sutradara mudah mengarahkan jalannya cerita. Setelah
porak Poranda akibat
NKK / BKK.
[10]) Seorang mantan aktivis mahasiswa yang
menyadari akan keterbatasan gerakan mahasiswa-pun, dengan metafora indah, masih
berharap bahwa "Gerakan Mahasiswa
mungkin memang sebuah tuntutan zaman, yang mengandung kebesaran serta rohnya
sendiri". Sehingga kehadiran dan
aspirasi yang mereka bawakan perlu ditangkap dengan tenang dan dijadikan rohnya
sendiri, [11]) Roh itulah yang coba diisi
dan tampaknya menghidupkan kembali peran pergerakan mahasiswa islam indonesia
sebagai "pembela rakyat tertindas"
tetapi disesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah.
Akibat
kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi yang
mengeras dari birokrasi universitas, tak ada pilihan lain bagi Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia
kecuali merenungkan kembali peranan dan
kedudukannya serta melakukan otokritik terhadap gerakan - gerakan
sebelumnya. Aktivitas politik dan protes
tidak mampu lagi dilakukan, karena resiko terlalu besar yang harus ditanggung,
yakni dipecat dari Universitas atau kehilangan status istemewanya sebagai
mahasiswa. Karena itu, kita saksikan
Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia
dalam periode dekade 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan
"kontemplasi". Artinya,
walaupun konsep BKK berhasil dihambat pada kampus - kampus utama di Jawa, tetapi
sebagian tujuan dari konsep NKK berhasil diterapkan, yaitu meletakkan mahasiswa
bukan sebagai "agen politik
praktis" tetapi sebagai "man
of analysis" [12]) Roh tadi kemudian ditangkap
dan dijadikan semangat zaman yang membentuk subjektifitas mahasiswa dan
dibenturkan dengan kondisi objektif sosial - ekonomi yang sudah berubah. Hasil dari benturan ini adalah hadirnya kesadaran
subjekti yang baru tentang konsepsi "kerakyatan",
yaitu disatu sisi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menerima realitas
dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar dan disisi lain
menolak realitas intervensi kekuatan negara. [13]) Maka perumusan cita - cita
sosial Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah "Membangun Kekuatan Rakyat". [14])
Dalam konteks ini perumusan
identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan upaya yang sungguh - sungguh untuk menemukan
sintesa antara "pilihan model
gerakan moral termasuk kritisisme terhadap peranan Pergerakan mahasiswa Islam
Indonesia sebagai resi" dan "panggilan
untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan mahasiswa 1966".
Disatu pihak, perumusan kesadaran subjektif tersebut juga bisa dilihat sebagai
upaya untuk mencari model peran yang
lebih strategis serta
kultural, dan dilain pihak upaya itu sekaligus dapat mengatasi dilema
atau ambivalensi naif yang selama membelenggu kesadaran para aktivis Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia, yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas
politik dan gerakan politik yang memihak. [15]) Perumusan tersebut
tampaknya menemukan saluran praktisnya kedalam organisasi non-pemerintah, yang
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lembaga
Swadaya Masyarakat atau Lembaga
Pengembangan swadaya Masyarakat (LSM/LPSM). [16])
Dengan muatan yang sama tapi
dalam versi yang lebih luas, upaya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia untuk
keluar dari mitos gerakan - gerakan sebelumnya dan menemukan perannya sendiri
yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman, dalam sebuah retrospeksi
yang menarik disekitar akhir dekade 1980-an.[17]) Tolak ukur lama seperti
model gerakan yang tercermin dalam gerakan tahun 1966, 1974 dan 1978 tampaknya
seperti menjadi beban sejarah. Dalam menimbang
bagaimana menuntaskan hal ini, merumuskan cita - cita tentang demokrasi dan
keadilan sosial. Sekarang Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia belum terlambat menolak kekalahan dan juga belum
telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi dan
Keadilan sosial. Namun kunci
keberhasilan peran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia justru terjadi ketika
ia mampu meniadakan "Mitos
Kesinambungan" yang menenggelamkan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran diluar
dirinya. [18]) Dengan memposisikan diri agen of democrasy, maka lakon yang harus
dimainkan oleh Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia menjadi lebih "Politis" dan struktural sifatnya. [19])
Dengan retorika "Demi Rakyat", "demi Demokrasi", dibarengi dengan
pengalaman belajar bersama LSM/LPSM, maka ruang gerak dipinggiran panggung,
yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi, kini tidak lagi berada dalam
kampus. Pergeseran ini agak meleset dari
perkiraan semula, bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi mahasiswa dan
akibat kontrol birokrasi Universitas yang sangat ketat, aktivitas politik
mahasiswa akan dapat dijinakkan.
Kenyataannya tidak demikian, disamping kelompok - kelompok kecil independen
yang dibentuk diluar maupun didalam kampus untuk tujuan diskusi maupun studi,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan (non-partai) yang
langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan diperjuangkan oleh
mereka. Oleh karena itu, beberapa saat
kemudian, subjektifitas yang diteriakkan itu bertemu dengan persoalan -
persoalan kongret yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, yakni para petani
yang kehilangan tanahnya, pedagang kaki lima yang tergusur, dan beberapa
kalangan menengah kebawah kota yang terkena penggusuran tanah serta buruh -
buruh pabrik yang di PHK secara semena - mena.
PMII menemukan penampilan atau perannya yang khas lewat komite - komite
sebagai juru bicara "rakyat
teraniaya" dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dalam bentuk aksi dan
advokasi terhadap para "korban
pembangunan " tersebut.
[1] Potret
Gerakan Mahasiswa Indonesia Era 1980-an - 1990-an, Jawa Pos, 27 Februari
1994
[2]
Walaupun peran yang dimainkan PMII adalah bagian dari perangkat peran yang
dibangun oleh masyarakat, namun operasinya mempunyai warna khas
kemahasiswaan. Sifatnya yang spontan,
sarat dengan pertimbangan moral dan etika, sporadis, atau peka terhadap batasan
waktu, dan koalisi dengan kekuatan – kekuatan masyarakat lainnya, adalah
rangkaian dari ciri kemahasiswaan yang dimaksudkan.
[3] Fauzan
Alfas, Fenomena Dan Kecenderungan Gerakan Mahasiswa Era 1990-an, Kertas
Kerja Pada Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) PMII, Malang, 1994
[4] Abi
Safira, 36 tahun PMII, (Refleksi Fragmen Perjalanan) dalam masyarakat
Indonesia Abad XXI, PB PMII, Jakarta Mei 1996, halaman 114.
[5] Fauzan
Alfas, Refleksi 31 tahun PMII, Makalah Pada Sarasehan HUT PMII yang
ke-31, PC PMII Malang, april 1991.
[6]
Diskursus tentang peran ini diungkapkan melalui berbagai liputan pers, juga dibentuk
dari forum – forum diskusi dan seminar, dari pernyataan – pernyataan,
selebaran, rapat – rapat umum, dan mimbar bebas, dari aksi – aksi dan slogan –
slogan dan berbagai peristiwa “bersejarah”.
[7]
Arif Budiman, Peran Mahasiswa Sebagai Intelengensia, Prisma, No. 11 November,
1976
[8] Chatibul
Umam winaru, Ruang PMII di Tengah Arus Pragmatisme Politik, Dalam
“Masyarakat Indonesia abad XXI, PB PMII, Jakarta, 1996, halaman 109 – 110.
[9] Lihat
Laporan Redaksi Prisma, Pembangunan dan Kesempatan Kerja, Prisma, No. 6 juni
1987.
[10] Jika
Setelah “Gerakan 15 Januari 1974” Dominasi negara terhadap perguruan Tinggi
ditunjukkan dengan keluarnya SK Komkamtib No. Skep. 028/1974 dari Menteri P dan
K, setelah “Gerakan 1978” dikeluarkan SK Komkamtib No. Skep. 02/Kopkam/1978 yang
membekukan Kegiatan Dewan Mahasiswa di Semua Perguruan Tinggi, bahkan
dilanjutkan dengan keluarnya SK Menteri P & K No. 0156/U/1978 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disertai dengan perangkat BKK.
[11] Masmiar
Mangiang, Loc-Cit, halaman 106 - 107
[12]
Departemen P & K, Pedoman Tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, Rektoriat
ITB, 1979.
[13] Harry
Wibowo (ed), Paham Kebangsaan : Sudut Pandang dan Pengalaman Mahasiswa Purna
1978, Makalah pada Pertemuan Kaum Muda Tentang Paham Kebangsaan,
diselenggarakan Harian Kompas, Pacet, Mei 1985.
[14] Ibid,
halaman 39 – 40
[15]
Misalnya, Heri Akhmadi, Gerakan Moral tidak Relevan Lagi, Kompas, 16
Juni 1985. Dalam sebuah liputan tentang
kelompok studi / diskusi, Harry Wibowo mengatakan : “Pilihan kami jelas, yakni
menegakkan kekuatan rakyat …..”, Kompas, 14 Mei 1986.
[16] Menarik
dicatat bahwa sebagian besar LSM / LPSM yang berdiri sejak tahun 1970-an
didirikan oleh para mantan aktivis mahasiswa.
[17]
Sjahrir, Pilihan Angkatan Muda : Menunda atau Menolak Kekalahan ,
Prisma, No. 6, Juni 1987
[18] Ibid,
halaman 8 – 10
[19] Catatan
: Identifikasi tentang peran PMII sebagai resi.
Arif Budiman, Op-Cit, membedakan antara cara pandang yang kultural dan
struktural terhadap peranan PMII.
Meskipun PMII pernah condong strukturalis (antara kurun waktu 1960 –
1970-an) tetapi untuk bisa menjelaskan hubungan antara PMII dan pemerintah
Indonesia, ia lebih condong pada pendekatan cultural. Kecenderungan “kulturalrisme” ini direproduksi
menjadi gagasan yang mempersepsi gerakannya sebagai gerakan moral dan
itelektual muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar