BAB IX
POSISI DAN PERAN PMII DALAM ARUS PRAGMATISME
Secara sosiologis, posisi dan peran hanyalah dua sisi dari satu fenomena yang
sama. Seringkali posisi itu merupakan sisi yang pasif. Sedangkan peran adalah
sisi yang aktif. Oleh karena itu membicarakan masalah poisi dan peran secara
praktis sebenarnya tidak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan.
Pada
dasarnya posisi dan peran PMII bisa dilihat dari arah dan dimensi yang berbeda
:
Pertama : Jika kita menggunakan kerangka negara dan
mesyarakat sipil (State and cicil sociaty) dalam konteks ini posisi
dan peran PMII apa.
Kedua : Dari sisi paradigma perubahan sosial,
dalam konteks
perubahan sosial ini posisi dan
perannya sebagai apa.
Ketiga : Posisi dan peran PMII dalam gerakan
sosial, maka juga
penting dikaji posisi PMII
dimana dan apa perannya.
Secara organisatoris dan
fungsional, PMII memang tidak menduduki tempat yang sembarangan. Artinya secara
keseluruhan bisa merupakan salah satu dari elite di dalam masyarakat. Kalau
kita kita menggunakan elite dengan massa, kontradiktif memang. Apakah PMII itu
organisasi elite atau organisasi massa. Cara pandang yang kontradiktif ini akan
membawa implikasi-implikasi tertentu. Keadaan ini di dalam PMII sendiri masih
menjadi perdebatan. Adanya kecendrungan yang menganggap PMII sebagai organisasi
massa, sehingga ada sebagian tokoh-tokoh PMII dalam moment-moment tertentu atau
dalam menanggapi issu-issu yang muncul cendrumg mengaerahkan massa. Tetapi
disisi lain adanya pmikiran bahwa PMII bukan organisasi massa, dengan
perhitungan: berapa banyak jumlah mahasiswa di Indonsia, dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Dalam konteks mahasiswa, berapa jumlah anggota PMII dari keselurhan
mahasiswa di Indonesia. Disadari atau tidak, sebenarnya pengelompokan ini lebih
bersifat eksklusif, lalu menjadi elitis. Seseorang yang tidak menjadi mahasiswa
tidak akan bisa menjadi anggota PMII. Dalam hal ini jelas, pemilahan sebagai
kelompok mahasiswa dengan massa secara umum. Oleh karena itu, jika dikembangkan
lebih jauh, maka peran PMII dalam versi ini, bukan dengan melakukan pengerahan
massa sebanyak-banyaknya, tetapi merebut posisi dan peran tertentu yang
dianggap strategis.
Dua
kecendrungan tersebut masih ada di dalam tubuh PMII, yang nampaknya akan
menjadi gerakan-gerakan dinamis di dalam PMII itu sendiri dan itu akan terlihat
dalam kelompok-kelompok periode kepengurusan. Sesungguhnya kepengurusan itu
merupakan pergumulan resultante dari berbagai kepentingan yang ada dalam tubuh
organisasi PMII.
Selaras dengan pandangan yang terakhir ini, bahwa PMII secara
institusional tidak harus besar, tetapi individu-individu yang ada di dalamnya
yang harus besar dan berkualitas, individu yang mempunyai kualitas Ulul
Albab, secara real, berbagai indikasi normatif yang ada harus
diaktualisasikan , sehingga kualitas kader PMII benar-benar dapat dibuktikan
dihadapan zaman.
Persoalannya adalah bagaimana PMII melihat keadaan dan
perubahan-perubahan sosial dalam konteks masyarakat Indonesia. Pilihan-pilihan
paradigma mempunyai implikasi berbeda terhadap pilihan-pilihan gerakan yang
akan berbeda pula. Ini persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara
internal oleh PMII.
Dalam arus gerakan-gerakan sosial, ada beberapa pandangan tentang geraka
sosial :
Pertama : Social movement, adalah gerakan sosial yang
bersifat sporadis, spontan, tujuannya jelas dan berjangka pendek, sangat
impulsif, misalnya gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah, bila tuntutan itu
sudah dipenuhi, maka selesailah gerakan itu. Gerakan ini sebagai gerakan
sesaat, karena spontan dan tujuannya berjangka pendek, dan organisasinya tidak
disiapkan secara matang, maka sangat mudah dipatahkan oleh kekuatan rezim yang
berkuasa.
Kedua : Social cultural movement, tujuannya
jangka panjang, lebih
fundamental, karena yang dihadapi higemoni kekuasaan, hegemoni kelompok-kelompok
diminan yang berkuasa, oleh karena itu strategi yang digunakan berbeda dengan
yang pertama. Sasaran, pemberdayaan kelompok-kelompok rentan, kelompok-kelompok
marginal dan terpinggirkan dan orientasinya kultural.
Ketiga : Historical movement, pergolakan
yang sangat panjang, lebih panjang dari social cultural
movement dan ini lebih bersifat historis, artinya sejarah yang akan menentukan.
Dalam konteks social cultural movement, sebenarnya masalah utamanya
adalah higemoni kelompok-kelompok dominan dan kepemimpinan kultural. Oleh
karena itu, salah satu strateginya adalah perang kultural yaitu bagaimana
merebut kepemimpinan kultural dan intelektual. Misalnya bagaimana menentukan
isu-isu yang dapat membalikkan higemoni. Jadi kebih bersifat counter higemoni.
Dalam hal ini mendekonstruksikan wacana yang sedang dominan pada saat tertentu.
Kalau rezim sekarang, misalnya ideologinya Develpomentalisme maka yang
harus di dekonstruksi adalah ideologi developmentalisme. Mendekonstruksikan
wacana-wacana yang higemonis yang disebut dengan War of Position.
Dalam posisi seperti ini, PMII harus berfikir utuh untuk melakukan
social movement jangka pendek, ramai-ramai mengerahkan massa untuk menuntut
perubahan upah buruh lalu selesai atau atau pada social and cultural meovement
yang strategi utamanya adalah War Of Position, perang merebut kepemimpinan
kultural dan intelktual.
PMII
sebagai kelompok mahasiswa, jika diletakkan pada konteks gerakan sosial, maka
pilihan pada posisi social and cultural movement di dalam jangka panjang, patut
dipertimbangkan, sehingga seluruh sumber daya yang ada dipersiapkan untuk merebut higemoni kultural. Ini
mengharuskan para pemimpin menciptakan isu, kemudian mendekonstruksikan wacana
yang sedang higemonis. [1])
Jika
saat ini yang menghigemoni aliran modernisme dan developmentalisme, maka fungsi,
posisi dan peran yang diambil PMII, adalah mempelajari secara sungguh-sungguh
apa itu ideologi developmentalisme. Kemudian mendekondtruksikan mitos-mitos
developmentalisme, mensosialisasikan, menebarkan ide-ide dekonstruksi tadi,
counter higemoni itu kepada masyarakat luas. Pada tahapan ini dilakukan dengan
kelompok-kelompok pro demokrasi lain yang dianggap punya akses massa.
Jika
PMII terjebak pada permainan-permainan jangka pendek, maka sumbangannya
terhadap proses pemerdekaan, pembebasan bangsa ini menjadi sangat kecil dan
terbatas. Sumbangan fundamental harus diletakkan pada social and cultural
movement. Memang perjuangan ini lebih berat dan tidak populer serta tidak
menghantarkan orang menjadi pahlawan-pahlawan dadakan. Ini menjadi tantangan
besar, menjadi aktor intelektual dalam perubahan sosial yang besar.
Untuk itu memang tersedia pilihan-pilihan, apakah PMII akan melakukan
investasi pada seluruh daya untuk gerakan-gerakan yang bersifat spontan
gerakan-gerakan massa, atau invstasi jangka panjang untuk menumbukan
kader-kader yang mempunyai ketejaman analisis sosial dan mempunyai komitmen
tinggi terhadap mustad’afin, bukan terhadap dirinya sendiri, posisi
organisasinya sendiri. Disini PMII ditantang untuk melampaui batas-batas etnis,
ras dan keagamaan, karena yang dibela itu golongan tertindas.
Betapapun dalamnya PMII terlibat di dalam kehidupan politik , seperti
tampak dalam perjalanan sejarah Indonesia, namun umumnya pengamat cenderung
berkesimpulan bahwa PMII itu merupakan kekuatan moral. Perannya membangkitkan
kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan
pemerintahan atas nama rakyat.
Dalam rangka mewujudkan perannya, PMII terlibat secara aktif dalam
proses pembangunan bangsanya. Secara struktural, ia menduduki struktur politik
yang dianggap bermanfaat untuk melaksanakan fungsi kritik dan korektif atau
pembaharuan, atau membangun gerakan-gerakan tertentu yang diorganisasikan
secara tetap untuk menanggapi permasalahan masyarakat. Disamping itu
keterlibatan PMII dalam kehidupan politik, berlangsung secara terbatas dan
bersifat sporadis atau temporal. Dalam hal ini PMII berpolitik dalam bentuk
kritik yang berkenaan dengan masalah-masalah krusial dalam kehidupan masyarakat
laus.
Dengan melihat posisi yang demikian itu gayuh politik PMII terletak
bukan pada kuantitasnya, akan tetapi justru titik gayuhnya ada pada kualitas “input
politik”, bukan pada kualitas proses politik. Pada kasus tuntutan PMII
terhadap mundurnya seorang Menteri Agama
yang dinilai melakukan kesalahan terhadap kepentingan ummat Islam pada
tahun 1991 (kasus Mena) adalah contoh yang pas dari peran Input Politik.
Masalahnya sekaang ialah sampai seberapa jauh takaran perhatian pada
peran politik dibandingkan dengan peran lainnya. Terkadang peran politik itu
muncul disebabkan aanya interes politik yang bersinggungan dengan tujuannya,
maka itulah yang disebut sebagai political side atau sisi politik. Jadi
politik PMII muncul sejalan dengan kiprahnya memperjuangkan cita-cita dan
tujuannya.
Gerakan politik PMII beupa kontemplatif-reflektif dan etis-normatif
dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan budaya politik yang bebas, mandiri,
bertanggung jawab serta demokratis. Budaya politik yang matang dan arif akan
menghantarkan pada perilaku dan partisipasi politik yang independen, bukan
mobilisasi.
Gerakan PMII senantiasa mendasarkan diri pada komitmen keadilan ,
kebenaran dan kejujuran. Selama hal ini belum menjadi life style bangsa
Indonesia, maka gerakan PMII akan terus dilakukan.
Mengembangkan suasana patnership, dialogis kepada semua pihak diluar
PMII. Bukan zamannya lagi independen dan eksklusif, taetapi dapat diganti
dengan pola interdependensi. Gerakan PMII harus berani, keras tetapi
bertanggung jawab yang dilandasi semangat kebangsaan dan akhlakul karimah.
Dua bentuk sumber daya yang menjadi tenaga
pendorong bagi PMII untuk terlibat dalam proses politik :
Pertama : Ilmu pengetahuan. Kombinasi antara watak ilmiah
yaitu kritis – obyektif dengan pengetahuan yang sistematik tentang
masalah-masalah kemasyarakatan disamping masalah yang menjadi bidang
spesialisasinya, mendorong PMII untuk mengadakan penilaian dan menentukan sikap
tentangb kehidupan masyarakat yang mengelilinginya.
Kedua : Sikap idealisme yang lazim menjadi ciri
mahasiswa pada umumnya. Sebagai unsur dari masyarakat yang masih bebas dari
struktur kekuasaan, ada di dalam masyarakat. Kombinasi antara kebebasan
struktural itu dengan pengetahuan dan pemahaman mereka akan cita-cita, idea
atau pemikiran tentang politik, budaya ekonomi dan kemasyarakatan memungkinkan
PMII mempunyai sikap kritis.
Dengan menyadari posisinya sebagai
kekuatan intelektual yang gandrung akan pembaharuan dan masa depan bangsanya,
maka sepantasnya PMII selalu berada dalam ruang pencarian alternatif
pembaharuan, eksploraasi yang berangkat dari kenyataan kekinian. Dengan
keasadaran ini PMII, akan dengan mudah melakukan inventarisasi agenda-agenda
pembaharuan bagi perjalanan bangsanya.
MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI
Dalam sebuah sistem politik yang
korporatif memang tidak dimungkinkan tumbuhnya kelompok-kelompok independen
diluar skenario negara, semuanya harus masuk dalam korporasi negara. Maka
lembaga dan organisasi massa – termasuk orgaisasi kemahasiswaan – tidak lepas
dari cengkraman sistem korporasi tersebut. Independen dengan demikian
dianggap sebagai pembangkangan. Ini
terbukti dari upaya yang ditempuh NU (nahdlatul Ulama) untuk tampil sebagai
organisasi masyarakat sipil yang independen ternyata menghadapi tantangan
sangat keras, baik dari dalam, yakni para elite NU yang ingin memperoleh
fasilitas dari pengauasa, maupun dari luar, yakni dari sekelompok aparat yang
menginginkan NU sebagai organisasi yang patuh dalam arti tidak lagi malakukan
kontrol sosial.
Sejalan dengan dominannya negara, yang menjadi ciri lain dari sistem ini
adalah satuansatuan unsur masyarakat kurang begitu berdaulat. Proses
pengangkatan dan penempatan politik (political recrutment) tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh negara. Sama halnya dalam sektor
ekonomi dalam bidang-bidang yang lainpun jika ingin menempati posisi penting
dalam sistem tersebut perlu memelihara hubungan yang dekat dengan negara. Hal
inilah yang membuat begitu “stabilnya” sistem politik. Negara tidak dengan
sendirinya mewujudkan kebijaksanaannya, hanya sayangnya unsur-unsur masyarakat
menjadi terabaikan. Posisinya hanya berada dipinggir decition making, yang
fungsinya hanya mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang datang
dari negara.
Salah satu ciri yang menonjol dar sistm ini, yaitu sangat bearnya peran
negara dalam setiap sektor kehidupan masyarakat yang ditandai dengan munculnya
negara sebagai suatu kekuatan yang tak sebanding dengan unsur-unsur kekuatan
masyarakat. Negara dalam hal ini adalah lembaga modern berdasarkan azas
kesatuan bangsa (nation state), yang berupa birokrasi baik sipil maupun
militer.
Sebagai organisasi mahasiswa yang bedemensi kepemudaan, PMII mempunyai
tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas warganya, bukan semata
sebagai batu loncatan untuk meraih posisi-posisi politik dan kekuasaan. Keadaan
ini hampir terjadi pada setiap organisasi baik kemahasiswaan maupun kepemudaan.
Hal ini tidak terlalu memprihatinkan seandainya berakibat tumpulnya daya kritis
mereka terhadap penyimpangan sosial dan politik dan masyarakat mereka akan
memilih diam, kritik dipandang sebagai perlawanan, karena itu mereka hindari.
Akibatnya merekapun selalu tampil sebagai anak manis. Yang dilakukan bukanlah
tugas penyadaran masyarakat, melainkan sekedar akrobat politik dalam bentuk
sowan-sowanan, minta restu atau minta perlindungan.
Bila
mahasiswa dan kalangan terpelajar telah menjadi subordinasi kekuasaan, maka
dengan dalih keselarasan dan kekeluargaan atau sekedar kerikuhan, akhirnya
tidak bisa dan tidak mau melakukan kritik sosial dan kontrol kekuasaan atas
dasar tanggung jawab moral. Ini berarti membiarkan masyarakat dan bangsa
terjerumus kedalam jurang kehancuran. Karena pada hakekatnya kritik itu adalah
peringatan, bukan perlawanan. Tidak mudah memang malakukan kritik, karena ini
menyangkut kapasitas lembaga seseorang:
Pertama : Harus tahu persoalan-persoalan sosial, baik
konseptuan maupun praktikal.
Kedua : Diperlukan ketajaman visi.
Ketiga : Dibutuhkan kematangan sikap dan
keberanian moral.
Dengan demikian, seperti telah
disebut dalam bab terdahulu. Ketika PMII dengan sikap kritisnya mampu
merumuskan masyarakat yang dicita-citakan, maka sikap itu terkait dengan
kemampuan untuk bersikap mandiri (independen).
Sikap mandiri itu artinya “pembebasan manusia dari ketidak dewasaan yang
diciptakan sendiri”. Ketidak dewasaan ini adalah ketidak mampuan manusia untuk
memakai pengertian tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri, berarti
ketidak matangan ini tidak disebabkan oelh karena kekurangan dalam akal budi,
melainkan karena kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa
pengarahan orang lain. Kemandirian (independen) berarti keberanian untuk
memakai akal budi, kemampuan untuk menggunakan penalaran yang obyektif dan
kritis.
Dengan independensi, artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai
pilihan peran yang hendak diambil, adalah berdasarkan pada kebenaran, dan obyektif
seperti yang diyakininya. Artinya kemandirian dalam mengambil sikap dan
tindakan, tidak terpengaruh oleh kekuatan dan tantangan apapun, harus
menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Hal ini menjadi
penting, ketika kita memaknakan kembali independensi PMII. Sebab hanya dengan
kematangan dan kemandirianlah yang menjadi tuntutan perkembangan. Apabila
kesadaran sebagai bagian dari kekuatan moral, maka independensi adalah modal
utamanya.
Namun semua itu tidak muncul dengan sendirinya, maliankan sangat erat
kaitannya dengan ada tidaknya proses sosialisasi nilai moral, baik yang besifat
keagamaan maupun kamanusiaan serta bagaimana cara mengejawantahkan dalam sikap,
ucapan dan tindakan. Bila nilai-nilai tersebut tidak pernah di
internalisasikan, maka akbiatnya seperti yang sering kita lihat pada elite
organisasi hanya belajar begaimana mengendap-endap disekitar pusat-pusat
kekuasaan untuk memperoleh kesempatan.
Dalam sistem politik yang serba tretutup dan tidak adanya transparansi
dalam rekrutmen kader seperti sekarang, tipe-tipe orang semacam itu memang
lebih banyak mendapat kesempatan, tetapi perlu dicatat, bahwa orang semacam itu
tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap kehidupan masyarakat dan
bangsanya. Sebaliknya dalam situasi politik yang lebih transparan dan
kompetitif tipe orang semacam itu tidak lagi relevan. Dalam sistem yang disebut
terakhir ini membutuhkan manusia yang berkarakter dan berkapasitas. Disinilah
ormas, baik kemahasiswaan maupun kepemudaan mesti mempertimbangkan kembali
sistem kaderisasi yang ada, kalau tidak, mereka tidak akan dapat berdialog
dengan perkembangan zaman.
PMII DAN HIGEMONI ORDE BARU
Menipisnya peran yang dimainkan PMII dalam sistem orde baru merupakan
konsekwensi logis dari upaya setengah hati yang oleh aktivis PMII pasca 70-an.
Walaupun begitu, kegagapan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepundak para
aktivis tersebut, karena pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran
mahasiswa juga merupakan pandangan resmi penguasa orde baru yang terus
disebarkan sebagai dasar legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu.
Negara memandang bahwa mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehungga perlu
memainkan peran untuk kemajuan bangsa dan negara dalam batas-batas yang
ditentukan sendiri oleh negara. Mahasiswa juga diperbolehkan melakukan “politik
praktis” tetapi harus disalurkan melalui lembaga-lembaga politik yang disahkan
negara seperti partai politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa
melihat bahwa unsur-unsur dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan
dalam menjalankan pembangunan dan modernisasi. Sehingga calon intelektual dan
agen modernisasi mahasiswa bertugas menjalankan fungsi kontrol sosial dkritik
yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi PMII tentang mereka
sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya sama sekali
tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan perannya
dalam sistem tersebut dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya negara
mampu mengarahkan lakon sambil menjaga batas-batasnya.
Sudah tentu, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan
negara tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang-surut gerakan PMII, menunjukkan
bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dilakukan PMII untuk menolak dan
keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian, gagasan dominan yang
mernguasai hampir sebagian besar aktivitasnya tetaplah ideologi yang dominan.
Oleh karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi
tentang peran mahasiswa (termasuk PMII),
tetapi lebih jauh mengapa mitos tersebut bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan.
Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak
pernah meletakkan PMII dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau dalih
yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman. [2])
misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan
tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial politik. Mahasiswa
hanyalah katalisator bagi adanya perubahan. [3])
Sehingga sangat berlebihan untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang
seharusnya dijalankan oleh kekuatan politik non-mahasiswa. Karena itu perlu
dilihat posisi sosial mahasiswa dalam konteks sosial historis yang lebih
konkrit, yakni memeriksa basis dimana gagasan tentang peran tersebut berdiri
dan terus dihidupi.
Selama ini posisi PMII di dalam struktur kelas tidak pernah diperiksa,
sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tetapi juga pengaburan yang di higemoni
oleh negara. Hal ini disebabkan karena :
Pertama : Posisi kelas sosial PMII (juga organisasi
mahasiswa yang lain) sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas
lokasi kelas dari PMII. Disatu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses
produksi-komoditi, sehingga bukan bagian dsri kelas pekerja. Tetapi dilain
pihak, mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapatalisme, yakni
universitas – yang menjadi basis anggotanya. Mereka bukan borjuis, juga bukan
pekerja. Dalam analisis ini tidak terlalu penting memeriksa asal usul kelas
dari keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat : ke posisi mana ia
akan melangkah, atau akan memasuki karir dan profesi apa nantinya. Karena
determinasipra-kelasnya itu, maka kepentingan-kepentingan politik dan corak
kesadaran kelasnya pun berubah-ubah, tergantung dari gagasan atau ideologi apa
yang dominan menguasai kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang
konkrit dan spesifik. Pada satu titik tertentu, PMII bisa menjadi juru bicara
untuk dirinya sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes
tentang sistem pendidikan, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik
yang lain, PMII bisa jadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama
kelas atau kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui
kritik-kritik dan gerakan protes sepanjang satu dasa warsa ini. Tapi yang
terakhir ini juga tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang
menguasai masyarakat. Seperti sudah disebutkan terdahulu, gagasan yang dominan
adalah gagasan tentang peran mahasiswa (inklusif PMII) demi negara. Kendati
gagasan dominan ini merupakan mitologi, tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan
dan dipegang oleh kekuatan yang higemonik, yakni negara, maka mitos tersebut
bisa diwujudkan.
Kedua : Karena sistem sosial yang ada di
Indonesia adalah kapita lisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme yang
telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam perkambangannya
sejak kemerdekaan hingga masa orde baru, sistem kapitalisme pinggiran ini tidak
menghasilkan suatu kelas menengah yang tangguh, yang relatif mandiri terhadap
pengaruh negara. Kelas kapitalis yang ada justru tumbuh dari dalam tubuh negara
dan di dorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan alam hasil hutan dan
lain-lain. Kondisi historis semacam itu menyebabkan kelas menengah yang muncul
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pengaruh negara. Karena itu negara juga
memiliki otonomi yang besar yang memungkinkan mendominasi seluruh kelas-kelas
yang ada di masyarakat, kemudian menegakkan higemoninya hanya atas nama negara
itu sendiri. Secara lebih khusus negara mendominasi perguruan tinggi atau
kampus, yakni tempat dimana mahasiswa berada, yang menjadi basis PMII.
Implikasi historisnya, secara higemonik negara bisa membangun panggung-panggungnya
dan menentukan peran apa yang harus dimainkan demi kepentingan negara sendiri.
Demikianlah karena kekaburan dan
pengaburan posisi kelasnya, PMII menjadi gagap untuk jujur menyatakan
kepentingan obyektifnya dalam diskursus yang secara simultan mendorong aksi
atau protes-protes mereka. Kegagapan ini menjadi katarsis yang secara
sistematis dimanipulasikan dalam higemoni negara sedemikian rupa sehingga PMII
merasa terus terpanggil untuk memainkan perannya dalam panggung-panggung
mitologi tersebut. Di masa depan, hanya ada dua pilihan bagi gerakan PMII untuk
menghindar dari katarsis dan melakukan upaya demitologisasi yang
sungguh-sungguh, yakni dengan segala harapannya tetap berupaya menjalankan
“tugas sucu”, menegakkan demokrasi, atau bergabung dengan kekuatan masyarakat
lainnya untuk tugas kekhalifahannya dalam sistem dan higemoni negara.
[1]
MM. Billah, Posisi dan peran sosial kemasyarakatan PMII dalam Perubahan
sosial, dalam masyarakat Indonesia Abad 21, PB PMII, Jakarta, 1996,
Halaman 86
[2]
Lihat “Gerakan Orang Muda, Gelombang yang tak kunjung mencapai pantai”,
Dialog para eksponen 66 dalam Prisma No. 12
Desember 1077, halaman 25 – 47.
[3]
Pandangan tentang peran mahasiswa sebagai sekedar katalisator perubahan
merupakan permakluman yang dominan pada periode gerakan mahasiswa pasca 1978,
yang tercermin dalam makalah refleksi Harry Wibowo (ed), Op-Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar