BAB V
MASA
KONSOLIDASI DAN PENGEMBANGAN (1977 - 1980)
1. Konsolidasi Organisasi
Periode kebangkitan PMII ditandai dengan tercetusnya “Deklarasi
Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada hakekatnya merupakan titik kulminasi
dari penemuan jati diri dan eksistensinya, sebagai organisasi mahasiswa yang
berdimensi keagamaan dengan paradigma pemahaman keagamaan Aswaja.
Pada prinsipnya deklarasi tersebut juga pernyataan ke dunia luar
khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia yang penuh dengan hiruk pikuk
perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan dan keterbelakangan.
PMII melalui deklarasi Murnajati, menyatakan dirinya sebagai organisasi
yang independen, yang tidak terikat pada organisasi apapun dan hanya
mengikatkan diri pada azas dan tujuan organisasinya, serta hanya komited pada
perjuangan bangsa Indonesia. Ini menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu
golongan, tetapi menjadi asset bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya
ummat Islam.
Pernyataan Independensi PMII itu, akhirnya diteguhkan dengan lahirnya
satu pernyataan penegas yang dikenal dengan “Manivesto Independen”. Pernyataan
ini dicetuskan dalam kongres V yang diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.
Deklarasi Murnajati maupun Manivesto Independen tidak akan punya arti
apa-apa, jika hanya dinyatakan di atas kertas dan hanya terbatas pada tataran
ide, tanpa di implementasikan dalam kehidupan organisasi secara nyata.
Independensi suatu organisasi akan mempunyai arti, manakala mampu menunjukkan
dirinya sebagai organisasi yang mandiri. Mandiri dalam gerak pemikiran maupun
dalam gerak operasional organisasi. Bagi PMII, upaya kearah itu merupakan beban
berat, salah satu sebabnya adalah karena PMII sudah terbiasa hidup dengan
fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU. Bagi pihak luar, PMII dianggap
sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga PMII pun masih banyak yang ragu
akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang secara mandiri. Tidak heran,
setelah tercetusnya deklarasi independen ada sejumlah cabang yang terpaksa
tidak/belum mampu hidup secara independen.
Dalam rangka konsolidasi, PMII terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada
Periode Drs. Abduh Paddare, PMII berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas
pijak. Langkah itu dilanjutkan dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 -
12 Oktober 1977 di Wisma Tanah Air
Jakarta. Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai
nilai strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil
merumuskan arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang
tersusun secara sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi
modern, pola pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah
wujud dari arah gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana
pengembangan jangka panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMII
merinci dengan program kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII).
P4-PMII serta penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu
dapat lebih memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi
yang lain.
Sebagaimana lazimnya kongres, maka kongres PMII yang ke VI ini disamping
membahas program-program kerja dam persoalan-persoalan aktual saat itu juga
membahas pengurus yang akan memimpin organisasi pada periode berikutnya (1977 -
1981). Yang terpilih untuk memimpin PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah
sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin Arubusman, masing-masing sebagai
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua tokoh ini sudah berpengalaman dalam
mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil rapat formatur mengenai kepengurusan
PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( Periode 1977 - 1981 )
Ketua Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Abdul Kadir
Ketua :
Yaya Sofiyah
Sekretaris Jenderal : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan : M. Abdul Azis
Sekbid Olah Raga,Seni dan Budaya : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri : Fadhilah Suralaga
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan Pengabdian
Masyarakat :
Hidayat
Sekbid Organisasi Islam, Pemuda
dan Mahasiswa : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar negeri dan Kerja
sama Internasional : Mudjahidin Ridwan
Bendahara :
Hasan Basri Saleh
Wakil Bendahara : Silvia. [1])
Perjalanan organisasi dalam kepengurusan ini nampak kurang sehat,
sehingga diperlukan adanya penyegaran agar dinamika organisasi bisa berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu PB PMII mengadakan resufle
kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan hasil sebagaimana tersebut
dibawah ini :
SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )
Hasil Resuffle
Ketua Umum :
Ahmad Bagja
Ketua :
Musthafa Zuhad
Ketua :
Muhammad Rodja
Ketua :
Wahidudin Adam
Ketua :
Fadhilah Suralaga
Sekretaris Jenderal : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen : Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga dan
Seni Budaya :
Abdullah Jauban
Sekbid Kopri : Ida Farida
Sekbid Alumni : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian Masysrakat : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi Islam
Mahasiswa dan Pemuda : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar Negeri dan
Kerjasama Internasional : Sri Mulyati
Bendahara :
HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara : Lathifah
[2])
2. Konsolidasi Intern
a. pembinaan dan pengembangan koorcab, cabang
dan anggota PMII
Kehidupan PMII setelah memasuki masa
independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi PMII, deklarasi independen
merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu kehidupan yang lebih dewasa dan
mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap PMII sebelum maupun sesudah
independen tetap sebagai bapak sayang kepada anaknya. Tetapi persoalannya tidak
hanya sampai disitu, ketergantungan PMII pada NU tidak hanya sebatas finansial
tetapi sesungguhnya lebih dari itu.
Suatu contoh dalam pengembangan PMII,
lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dan PMII
selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap
menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan tunggi milik NU ataupun
setidaknya milik orang NU.
Setelah pernyataan independen, persoalannya
menjadi lain. Secara drastis tidak ada tindakan apa-apa dari pimpinan NU,
setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai beban terhadap PMII. Bahkan di
beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga menjadi persoalah tersendiri
bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini ada sekitar 15 cabang yang
tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi independen.
Kesungguhan jajaran pengurus terutama
mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap memperjuangkan sikap independen
itu, berusaha melampaui masa transisi itu dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI
di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad independennya, selama periode ini (1977 - 1981) sejumlah cabang PMII berhasil kembali
berdiri, antara lain :
·
Cabang
Sumenep
·
Cabang
Luwu
·
Cabang
Ambon
·
Cabang
Surakarta
·
Cabang
Darut
·
Cabang
Cianjur
·
Cabang
Samarinda
·
Cabang
Balikpapan
·
Cabang
Pontianak dan sebagainya [3])
Disamping itu juga terbentuk cabang-cabang
baru seperti :
·
Cabang
Manado
·
Cabang
Sibolga
·
Cabang
Nias
·
Cabang
Banda Aceh
·
Cabang
Bima
( sebenarnya cabang-cabang ini pernah
beridiri pada masa periode 1967 - 1970) [4])
Usaha PB PMII dalam mengembangkan
cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah. Ternyata cara itu
cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan betapa bergairahnya
aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.
Kunjungan-kunjungan PB PMII ini biasanya
dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti, Kegiatan masa
penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan, Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain
sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.
b. Lokakarya penyusunan Buku Pedoman
Pendidikan Kader.
Sebagai organisasi mahasiswa sekaligus
sebagai organisasi kader, bukaan sebagai organisaasi massa. Artinya rekrutmen
sistem keanggotaan harus mengarah pada pembentukan pribadi anggota yang
memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan dalam mengelola organisasi. PMII
tidak hanya merekrut anggota sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang
pengkaderan yang tersusun secara sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader
yang berwawasan kemahasiswaan, kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan
keindonesiaan.
Seorang mahasiswa yang akan menjadi anggota
PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal, yakni masa penerimaan
anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai sistem keanggotaan stelsel
aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus mengucapkan bai’at, yang
berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta mentaati ketentuan
organisasi.
Sistem pengkaderan yang ada di PMII,
meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi dua jenjang, PKD dan PKL).
Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan dari Latihan Kader Dasar
(LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari Latihan Kader Menengah
(LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan menelorkan kader Inti.
Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon (lingkungan Fakultas)
ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk LKD, sedang untuk LKM,
bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk LKL, yang berwenang
menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi dari masing-masing
tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 hari). Perbedaan yang mendasar dari
masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan tenaga
instrukturnya.
Paada jenjang LKM, kader muda dilatih untuk
dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang atau Koorcab. Sehingga
lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang atau Koorcab. Sedangkan
untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM yang diarahkan agar
mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam penggodokannya
diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan keorganisasian
yang paripurna.
Sebenarnya PMII sudah memiliki semacam panduan
pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil keputusan kongres PMII II di
Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun 1966, panduan tersebut
disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi memakai buku panduan
tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena langkanya aktivitas
pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.
Belajar dari pengalaman masa lalu itu,
upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan terus diusahakan oleh PB PMII.
Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman dilaksanakan pada tanggal 15 -
17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di ikuti oleh utusan dari PB PMII,
lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel,
Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel). Di undang pengurus-pengurus
cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta, Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [5])
Dengan disusunnya buku pedoman pendidikan
kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan, yakni tidak singkronnya
pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan organisasi yang berjalan
sesuai dengan dinamika masyarakat.
c. Pelatihan Instruktur
Sebagai organisasi kader, PMII sangat
membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab bagaimanapun baiknya suatu pedoman
tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang mampu menterjemahkan isi pedoman
tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan banyak artinya. Kalaupun itu
dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang
diharapkan (target pelatihan).
Persoalan instruktur ini, PMII masih
ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa lainnya. Dari catatan
perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru menyelenggarakan
latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat, sehingga dapat dibayangkan
betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih. Kegiatan pelatihan yang
dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur yang benar-benar
terlatih.
Kebutuhan akan tenaga
pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada tanggal 4
- 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan jumlah
peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika
dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat
memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan
kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.
Dengan upaya itulah
kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar tahun
1960-an.
Masa pembinaan dan pengkaderan
PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak pengkaderan dan latihan
instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII. Cabang-cabang PMII selama
periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas pengkaderan yang mulai
berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang berhasil dengan lembaga
pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP, SMTA dan Akademi.
Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan “Akademi Da’wah”. Sebuah
lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat, dengan “SMP Diponegoro”.
Tidak hanya pelatihan
formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara lain
seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang
Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan
pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti
pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh
subur di cabang DKI Jaya< Ciputat, Yogjakarta dan lain-lain.
d. Pembenahan sekretariat dan penerbitan
Salah satu keputusan
kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki kantor sekretariat
permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti saat ini, maka pihak
luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit dibuktikan. Ketika
PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang mandiri walau belum
permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP PMII periode pertam)
padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.
Hal ini pernah disinggung
oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah PMII
independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor NU.
Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan tetap
minor.
Keadaan yang sebenarnya
adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas milik NU,
walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian organisasi ini.
PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan cara berfikir yang
tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar, Musyawarah Pimpinan,
Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak akan ditemui pesan
sponsor siapapun termasuk NU.
Tentang pandangan orang
luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di Jl.
Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon
kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu
berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah
yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal
gerak operasional organisasi.
Kenyataan seperti itu tidak
selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang, dilihat
dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang memiliki
puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat yang
sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme yang
membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi keistimewaan
periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang diberi nama
bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan sempat diteruskan
pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah terlatih melalui
pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi dipercantik. Berkat
bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari cabang-cabang di daerah
dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh Indonesia.
3. Konsolidasi Ekstern
a. PMII Dalam Forum Kemahasiswaan
Sebagai organisasi
mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas kemahasiswaan/kampus.
Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia kemahasiswaan waktu itu sedang
mengalami masa suram.
Dunia kemahasiswaan sebagai
pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara sesungguhnya telah terbukti
dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu. Tepatnya sedari Soetomo bersama mahasiswa STOVIA
lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa mulai dari angkatan
1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis mahasiswa. Mereka
memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam kepemimpinan bangsa ini
berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar sampbil melibatkan diri
dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut politik dan
kemasyarakatan.
Pada jaman kemerdekaan,
peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan, munculnya para
pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah air yang dikenal
dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran mahasiswa sebagai
pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu organisasi-organisasi mahasiswa
hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya hanya untuk memperkuat
kedudukan partai-partai politik yang melindungi organisasi masing-masing.
Posisi yang demikian ini
berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu mengkhianati Ibu
Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap dibiarkan hidup oleh
rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas, wakil-wakil rakyat yang
duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Melihat kenyataan seperti
ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa tampil
sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa wakil
rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam seribu
bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya, sehingga
saluran konstitusional menjadi macet.
Akhirnya mahasiswa tampil
menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan berdemonstrasi membela
rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya dibubarkan.
Setelah pemerintahan Orde
Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas, karena kenyataannya
telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan,
kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka
menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu 1971 dan 1977.
Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan nasional
yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Lama.
Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya
lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya, disamping aksi corat-coret
kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi
turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali kejalan semula. Hal ini
dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.
Namun pemerintah
beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa
pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan.
Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan
mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan
dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu
stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad
Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir
mahasiswa.
PB PMII mengeluarkan surat
pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat terjadi pengadilan
mahasiswa (merupakan pernyataan pertama
yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra universitas).
Sejak saat itulah
kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas
mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat
dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang
berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.
Berdasarkan kepentingan
akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan kehidupan
kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK. Sekalipun
mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui suatu usul
interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah ditetapkan.
Birokratisasi Kampus
Dua langkah penting yang
ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan kampus yang
dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu stabilitas
politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan intervensi yang
bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang melibatkan
unsur-unsur dan kehidupan kampus.
Dalam rangka tindakan
kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan proses
birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan sepenuhnya
dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai kepada
pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut. Bahkan
dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta. Pengalokasian
anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat pengarahan dan
pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Laangkah politis pemerintah
ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan lembaga kemahasiswaan
(dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan kampusnya di dalam
kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri (Korpri) di kampus,
kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi kesempatan dosen untuk
mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan hanya membolehkan profesor
mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh Golkar melalui pimpinan
unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan warga kampus.
Campur tangan birokrasi
negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk pengawasan
yang amat mendetail terhadap opersional
universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa, penentuan dan
penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian, dan penentuan
pimpinan.
Disatu sisi, intervensi
birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah dosen serta
fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola pembangunan
kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat kemandirian kampus,
maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya intensitas campur tangan
birokrasi tersebut, antara lain :
Pertama :
Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus.
Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat
salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan
mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak
mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran
sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif
di dalam kampus.
Kedua : Intervensi birokrasi
yang mencengram itu
menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang
memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur
ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan
personal meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen
dalam penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang
berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta
unit-unitnya.
Ketiga : Tumbuhnya
gejala apatisme sebagai
akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah
dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan
hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada
aktivitas mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa
lebih memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan
pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [6])
Pada dasarnya PMII menolak
diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur kehidupan kampus
dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak dan frontal,
padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi seluruh Indonesia
sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat berakibat celaka.
b. PMII Dalam Forum Kepemudaan
Organisasi mahasiswa pada
hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya mahasiswa adalah juga
pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang kepemudaan dengan
dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi keterlibatannya dalam
bidang kepemudaan.
Dalam dunia kepemudaan,
seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi pemuda
bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), berdasarkan
deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan forum
konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang dan
berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan
organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai
organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para
pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.
Usaha mewujudkan KNPI
sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam GBHN. Hal
itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan KNPI dalam
GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah penekanan
terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda
Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah
memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah
FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan
organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak
tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal
mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk
dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII terhadap
keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun PMII sadar
akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya KNPI, maka
dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI tetap berjalan
menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para pemuda
Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru eksistensi
dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan menempatkan
dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi belaka.
Disinilah KNPI mengalami dilema
Dalam majlis pertimbangan
pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu PMII melalui
utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali (Sekbid Organisasi
PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung pihak-pihak yang
selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal. Usaha itu bahkan
berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang diselenggarakanpada tanggal 28
Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat membuat para aktivis organisasi
mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan adanya pihak tertentu yang
menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam kongres ini muncul kembali
issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah tunggal pemuda Indonesia.
Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta mahasiswa kecuali KNPI dan
AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II KNPI sebagai kongres pemuda.
Gejala ini sebenarnya
merupakan produk dari “tiga bentuk kebijaksanaan” yang mengatur
kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan pada tahun 1973 :
Pertama
:Dengan dibentuknya KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai
komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah
diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI
ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi
mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di
bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah
UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun
bertindak sebagai pengawas dan pembina.
Kedua : Pembekuan
Dewan Mahasiswa oleh
aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21 Januari 1978, melumpuhkan organisasi
mahasiswa tingkat universits dn nsionl. Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk
melakukan kegiatan yang berskala besar, naik di kampus maupun secara nasional,
maka tinggallah organisasi mahasiswa tingkat fakultas dengan segala kondisi
yang ada.
Ketiga :
Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan oraganisasi mahasiswa intra fakultas di
bawah pengendalian, pengarahan dan bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari
itu, kebijaksanaan tersebut jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai
individu dan harus memasuki organisasi politik resmi. [7])
Berkenaan dengan
kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum
untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam
perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang
tumbuhnya faktor destabilitas nasional.
Tetapi sejak tahun 1970-an,
setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat regenerasi
kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai diwujudkan,
maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinan
semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan kembali peran
pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran generasi
muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka
pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem
politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti
aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi
1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan
pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti
terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan
teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan
kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.
Intervensi birokrasi
tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut semakin
intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah
mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda
didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa
“Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di
dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan mahasiswa
di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya bagi
kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda. Dan
melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi pemuda
bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.
Bagi mereka yang
berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran
politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka
yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di
kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an
mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara
tersebut, justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa
semakin takut dengan aktivitas yang bernuansa politik.
KNPI sebagai wadah generasi
muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi yang
berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata cara
pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola konflik di
dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat ditandai oleh
spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri inovatif tidak
mampu dikembangkan di dalam wadah ini.
[1] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan
peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,
di Cibubur, jakarta, Halaman 11.
[2] Ibid, Halaman 12
[3] Ibid, Halaman lampiran
[4] Ibid, Halaman Lampiran
[5] Ibid, Halaman 15
[6] Arbi Sanit, Mahasiswa,
Kekuasaan dan Bangsa, Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi
Indonesia dan YLBHI, Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[7] Ibid, Halaman 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar