Minggu, 16 Desember 2012

SEJARAH PMII V


BAB  V

MASA  KONSOLIDASI  DAN  PENGEMBANGAN          (1977 - 1980)

1.     Konsolidasi Organisasi

            Periode kebangkitan PMII ditandai dengan tercetusnya “Deklarasi Murnajati” tanggal 14 Juli 1972. Yang pada hakekatnya merupakan titik kulminasi dari penemuan jati diri dan eksistensinya, sebagai organisasi mahasiswa yang berdimensi keagamaan dengan paradigma pemahaman keagamaan Aswaja.

            Pada prinsipnya deklarasi tersebut juga pernyataan ke dunia luar khususnya masyarakat mahasiswa Indonesia yang penuh dengan hiruk pikuk perjuangan mengentaskan bangsa dari kemiskinan dan keterbelakangan.

            PMII melalui deklarasi Murnajati, menyatakan dirinya sebagai organisasi yang independen, yang tidak terikat pada organisasi apapun dan hanya mengikatkan diri pada azas dan tujuan organisasinya, serta hanya komited pada perjuangan bangsa Indonesia. Ini menandakan bahwa PMII bukan hanya milik satu golongan, tetapi menjadi asset bangsa Indonesia secara keseluruhan khususnya ummat Islam.

            Pernyataan Independensi PMII itu, akhirnya diteguhkan dengan lahirnya satu pernyataan penegas yang dikenal dengan “Manivesto Independen”. Pernyataan ini dicetuskan dalam kongres V yang diselenggarakan di Ciloto Jawa Barat.

            Deklarasi Murnajati maupun Manivesto Independen tidak akan punya arti apa-apa, jika hanya dinyatakan di atas kertas dan hanya terbatas pada tataran ide, tanpa di implementasikan dalam kehidupan organisasi secara nyata. Independensi suatu organisasi akan mempunyai arti, manakala mampu menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang mandiri. Mandiri dalam gerak pemikiran maupun dalam gerak operasional organisasi. Bagi PMII, upaya kearah itu merupakan beban berat, salah satu sebabnya adalah karena PMII sudah terbiasa hidup dengan fasilitas-fasilitas dan bimbingan dari NU. Bagi pihak luar, PMII dianggap sebagai NU muda, bukan hanya orang lain, warga PMII pun masih banyak yang ragu akan kemampuan organisasi ini untuk berjuang secara mandiri. Tidak heran, setelah tercetusnya deklarasi independen ada sejumlah cabang yang terpaksa tidak/belum mampu hidup secara independen.

            Dalam rangka konsolidasi, PMII terus berjuang memperkokoh dirinya. Pada Periode Drs. Abduh Paddare, PMII berhasil meletakkan dasar yang kuat untuk alas pijak. Langkah itu dilanjutkan dengan pelaksanaan kongres VI pada tanggal 8 - 12  Oktober 1977 di Wisma Tanah Air Jakarta. Kongres yang dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu 1977, mempunyai nilai strategis dan bersejarah, karena dari forum inilah PMII berhasil merumuskan arah gerak organisasi dalam wujud program-program kerja yang tersusun secara sistematis. Memenuhi syarat kelayakan bagi suatu organisasi modern, pola pembinaan, pengembangan dan perjuangan PMII (P4-PMII). Inilah wujud dari arah gerak organisasi yang dimaksud. P4-PMII merupakan rencana pengembangan jangka panjang PMII, untuk menjabarkan program-program itu, PMII merinci dengan program kerja 3 tahunan (disesuaikan dengan masa bakti PB PMII). P4-PMII serta penjabarannya yang tertuang dalam program kerja 3 tahunan itu dapat lebih memantapkan organisasi melangkah bersama-sama dengan organisasi yang lain.

            Sebagaimana lazimnya kongres, maka kongres PMII yang ke VI ini disamping membahas program-program kerja dam persoalan-persoalan aktual saat itu juga membahas pengurus yang akan memimpin organisasi pada periode berikutnya (1977 - 1981). Yang terpilih untuk memimpin PMII untuk periode 1977 - 1981 adalah sahabat Ahmad Bagja dan sahabat Muhyiddin Arubusman, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Kedua tokoh ini sudah berpengalaman dalam mengelola organisasi khususnya PMII. Hasil rapat formatur mengenai kepengurusan PB PMII periode 1977 - 1981 adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( Periode 1977 - 1981 )

Ketua Umum                                           : Ahmad Bagja
Ketua                                                       : Musthafa Zuhad
Ketua                                                       : Muhammad Rodja
Ketua                                                       : Abdul Kadir
Ketua                                                       : Yaya Sofiyah
Sekretaris Jenderal                                   : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                                            : Wahidudin Adam
Sekbid Organisasi                                    : Baidlawi Alie
Sekbid Pendidikan                                   : M. Abdul Azis
Sekbid Olah Raga,Seni dan Budaya       : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                            : Fadhilah Suralaga    
Sekbid Alumni                                         : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan Pengabdian
Masyarakat                                               : Hidayat
Sekbid Organisasi Islam, Pemuda
dan Mahasiswa                                        : M. Dimyati
Sekbid Hub. Luar negeri dan Kerja
sama Internasional                                   : Mudjahidin Ridwan
Bendahara                                                : Hasan Basri Saleh
Wakil Bendahara                                     : Silvia. [1])

            Perjalanan organisasi dalam kepengurusan ini nampak kurang sehat, sehingga diperlukan adanya penyegaran agar dinamika organisasi bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu PB PMII mengadakan resufle kepengurusan pada tannggal 7 Oktober 1979, dengan hasil sebagaimana tersebut dibawah ini :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( PERIODE 1977 - 1981 )
Hasil Resuffle

Ketua Umum                               : Ahmad Bagja
Ketua                                           : Musthafa Zuhad
Ketua                                           : Muhammad Rodja
Ketua                                           : Wahidudin Adam
Ketua                                           : Fadhilah Suralaga
Sekretaris Jenderal                       : Muhyidin Arubusman
Wakil Sekjen                                : Baidlawi Alie
Sekbid Organisasi                        : Hasanudin Alfathani
Sekbid Pendidikan                       : Muntaha Azhari
Sekbid Olah Raga dan
Seni Budaya                                 : Abdullah Jauban
Sekbid Kopri                                : Ida Farida
Sekbid Alumni                             : Ukies M. Urip
Sekbid Da’wah dan
Pengabdian Masysrakat               : Hella Firdansyah
Sekbid Organisasi Islam
Mahasiswa dan Pemuda              : M. Dimyati
Sekbid Hub Luar Negeri dan
Kerjasama Internasional               : Sri Mulyati
Bendahara                                    : HM. Thahir Husien
Wakil Bendahara                         : Lathifah  [2])


2.       Konsolidasi Intern

a.     pembinaan dan pengembangan koorcab, cabang dan anggota PMII

Kehidupan PMII setelah memasuki masa independen dapat dikatakan dalam keadaan labil. Bagi PMII, deklarasi independen merupakan suatu upaya melahirkan kembali suatu kehidupan yang lebih dewasa dan mandiri. Harus diakui bahwa sikap NU terhadap PMII sebelum maupun sesudah independen tetap sebagai bapak sayang kepada anaknya. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai disitu, ketergantungan PMII pada NU tidak hanya sebatas finansial tetapi sesungguhnya lebih dari itu.

Suatu contoh dalam pengembangan PMII, lembaga pendidikan Ma’arif yang memiliki sejumlah perguruan tinggi dan PMII selalu mendudukkan wakilnya di lembaga itu. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga eksistensi PMII dan berkembang di perguruan tunggi milik NU ataupun setidaknya milik orang NU.

Setelah pernyataan independen, persoalannya menjadi lain. Secara drastis tidak ada tindakan apa-apa dari pimpinan NU, setidaknya NU merasa tidak merasa mempunyai beban terhadap PMII. Bahkan di beberapa daerah, sikap NU agak keras, ini juga menjadi persoalah tersendiri bagi PMII. Tak heran jika pada masa transisi ini ada sekitar 15 cabang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi independen.

Kesungguhan jajaran pengurus terutama mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk tetap memperjuangkan sikap independen itu, berusaha melampaui masa transisi itu dengan sekuat tenaga. Pada kongres VI di Jakarta 1977 lebih memperkokoh tekad independennya, selama periode ini   (1977 - 1981)    sejumlah cabang PMII berhasil kembali berdiri, antara lain :
·         Cabang Sumenep
·         Cabang Luwu
·         Cabang Ambon
·         Cabang Surakarta
·         Cabang Darut
·         Cabang Cianjur
·         Cabang Samarinda
·         Cabang Balikpapan
·         Cabang Pontianak dan sebagainya  [3])

Disamping itu juga terbentuk cabang-cabang baru seperti :

·         Cabang Manado
·         Cabang Sibolga
·         Cabang Nias
·         Cabang Banda Aceh
·         Cabang Bima

( sebenarnya cabang-cabang ini pernah beridiri pada  masa periode 1967 - 1970) [4])

Usaha PB PMII dalam mengembangkan cabang-cabang ini dilakukan dengan turba kedaerah-daerah. Ternyata cara itu cukup berarti bagi pembinaan pergerakan dan menunjukkan betapa bergairahnya aaktivitas-aktivitas PMII di daearah.

Kunjungan-kunjungan PB PMII ini biasanya dilakukan bertepatan dengan kegiatan cabang/Koorcab seperti, Kegiatan masa penerimaan anggota baru (MAPABA), Pelatihan-pelatihan,  Konfrensi, pelantikan pengurus dan lain sebagainya, seperti seminar, lokakarya dan lain-lain.


b.     Lokakarya penyusunan Buku Pedoman Pendidikan Kader.

Sebagai organisasi mahasiswa sekaligus sebagai organisasi kader, bukaan sebagai organisaasi massa. Artinya rekrutmen sistem keanggotaan harus mengarah pada pembentukan pribadi anggota yang memiliki kemantapan loyalitas dan kemampuan dalam mengelola organisasi. PMII tidak hanya merekrut anggota sebanyak-banyaknya (kuantitas), dengan jenjang pengkaderan yang tersusun secara sistematis. PMII harus mampu menciptakan kader yang berwawasan kemahasiswaan, kemasyarakatan, kepemudaan, keislaman dan keindonesiaan.

Seorang mahasiswa yang akan menjadi anggota PMII harus menempuh jenjang pendidikan paling awal, yakni masa penerimaan anggota baru (MAPABA), yang ini berarti PMII memakai sistem keanggotaan stelsel aktif. Sebelum diterima sebagai anggota mereka harus mengucapkan bai’at, yang berisi ikrar kesediaan dan kesetiaan menjalankan serta mentaati ketentuan organisasi.

Sistem pengkaderan yang ada di PMII, meliputi tiga jenjang (sekarang dirubah menjadi dua jenjang, PKD dan PKL). Tingkat pertama, adalah kader muda yang dihasilkan dari Latihan Kader Dasar (LKD), disusul dengan Kader Madya yang dihasilkan dari Latihan Kader Menengah (LKM) sedangkan dari latihan kader lanjutan (LKL) akan menelorkan kader Inti. Masing latihan diselenggarakan oleh pengurus Rayon (lingkungan Fakultas) ataupun komisariat (lingkungan perguruan tinggi) untuk LKD, sedang untuk LKM, bisa diadakan oleh pengurus cabang aatau Koorcab. Untuk LKL, yang berwenang menyelenggarakan adalah PB PMII. Pelaksanaan kaderisasi dari masing-masing tingkatan memakan waktu 6 X 24 jam (6 hari). Perbedaan yang mendasar dari masing-masing tingkat pengkaderan adalah metode, materi, dan tenaga instrukturnya.

Paada jenjang LKM, kader muda dilatih untuk dapat beraktivitas pada posisi setingkat cabang atau Koorcab. Sehingga lulusannya mampu duduk pada tingkat kepengurusan cabang atau Koorcab. Sedangkan untuk LKL, peserta harus sudah menempuh jenjang LKM yang diarahkan agar mempunyai kemampuan dan diarahkan nasional. Sehingga dalam penggodokannya diharpkan kelak memiliki kemantapan ideologi serta keterampilan keorganisasian yang paripurna.

Sebenarnya PMII sudah memiliki semacam panduan pengkaderan yang disusun pada tahun 1963, hasil keputusan kongres PMII II di Yogjaakarta. Pada Musyawarah Kerja PMII tahun 1966, panduan tersebut disempurnakan, tetapi sejak saat itu PMII tidak lagi memakai buku panduan tersebut. Ini menyebabkan PMII mengalami kelumpuhan karena langkanya aktivitas pengkaderan, hal ini terjadi sekitar tahun 1970 - 1973.

Belajar dari pengalaman masa lalu itu, upaya penyusunan buku pedoman/juklak pengkaderan terus diusahakan oleh PB PMII. Untuk itulah lokakarya penyusunan buku pedoman dilaksanakan pada tanggal 15 - 17 Februari 1979 di Jakarta. Lokakarya ini di ikuti oleh utusan dari PB PMII, lembaga pemdidikan kader pusat, Wakil pengurus Koorcab (Sumut, Sumbar, Sulsel, Sumbangsel, Jabar, Jatim, Jateng dan Kalsel). Di undang pengurus-pengurus cabang terkemuka seperti Surabaya, Yogjakarta, Ciputat, DKI Jaya, daan Malang. [5])

Dengan disusunnya buku pedoman pendidikan kader, maka teratasi sebagian masalah pengkaderan, yakni tidak singkronnya pedoman pengkaderan yang dimiliki dengan kebutuhan organisasi yang berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat.


c.      Pelatihan Instruktur

Sebagai organisasi kader, PMII sangat membutuhkan tenaga-tenaga instruktur, sebab bagaimanapun baiknya suatu pedoman tanpa dibarengi dengan tenaga pelatih yang mampu menterjemahkan isi pedoman tersebut, pengelolaan kaderisasi tidak akan banyak artinya. Kalaupun itu dipaksakan, hampi dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan (target pelatihan).

Persoalan instruktur ini, PMII masih ketinggalan dibanding dengan organisasi mahasiswa lainnya. Dari catatan perjalanan PMII selama hampir tiga dasa warsa, PMII baru menyelenggarakan latihan instruktur pada tahun 1969, di Leles Garut Jawa Barat, sehingga dapat dibayangkan betapa langkanya tenaga instruktur yang terlatih. Kegiatan pelatihan yang dilaksanakan selama ini tidak ditangani oleh instruktur yang benar-benar terlatih.

Kebutuhan akan tenaga pelatih sedikit teratasi dengan diadakannya pelatihan instruktur pada tanggal 4 - 11 Juli 1980 di Jakarta. Latihan ini di ikuti oleh 40 Cabang dengan jumlah peserta sebanyak 70 orang. Walaupun jumlah masih sangat minim, jika dibandingkan dengan jumlah anggota PMII, namun hal ini paling tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhan tenaga pelatih, dan alumni pelatihan ini diharapkan kelak dapat menularkan keahliannya di daerahnya masing-masing berantai.

Dengan upaya itulah kegiatan pengkaderan di daerah nampak mariah lagi seperti pada seputar tahun 1960-an.

Masa pembinaan dan pengkaderan PMII setelah diadakan kegiatan berupa penyusunan juklak pengkaderan dan latihan instruktur, terasa sekali dampaknya bagi PMII. Cabang-cabang PMII selama periode 1977 - 1981 tumbuh pesat disertai aktivitas pengkaderan yang mulai berjalan dengan baik. Bahkan ada beberapa cabang yang berhasil dengan lembaga pendidikannya, seperti cabang Banjarmasin dengan SMTP, SMTA dan Akademi. Masing-masing adalah “SMP Sahabat”, “SMA Realita” dan “Akademi Da’wah”. Sebuah lagi dikelola oleh PMII cabang Cirebon Jawa Barat, dengan “SMP Diponegoro”.

Tidak hanya pelatihan formal, pelatihan non-formal-pun seringkali diselenggarakan, antara lain seperti pembinaan dan pengembangan masyarakat/Desa laboratory, untuk cabang Jember dan cabang Malang Jawa Timur dan Koorcab Jawa Tengah. Sedangkan pelatihan yang sifatnya informal, kader-kader PMII ditingkat cabang, seperti pembentukan studi-studi club, kelompok-kelompok kajian/diskusi, hal ini tumbuh subur di cabang DKI Jaya< Ciputat, Yogjakarta dan lain-lain.


d.       Pembenahan sekretariat dan penerbitan

Salah satu keputusan kongres V di Ciloto Jawa Barat, adalah mengupayakan agar PMII meiliki kantor sekretariat permanen yang mandiri. Apabila keadaan itu tetap seperti saat ini, maka pihak luar tetap akan menganggap independensi PMII masih sulit dibuktikan. Ketika PMII baru lahir, justru ia mampu menempati sekretariat yang mandiri walau belum permanen, yaitu dikediaman sahabat Said Budairi (Sekjen PP PMII periode pertam) padahal waktu itu PMII masih dependen pada NU.

Hal ini pernah disinggung oleh sahabat Mahbub Junaidi, beliau mempertanyakan, mengapa setelah PMII independen, justru kantor sekretariatnya sebagian besar berada di kantor NU. Hal ini paling tidak persepsi pihak luar terhadap independensi PMII akan tetap minor.

Keadaan yang sebenarnya adalah PMII dalam banyak hal masih sering mempergunakan fasilitas milik NU, walau hal itu mungkin tidak banyak berpengaruh bagi kemandirian organisasi ini. PMII tetap bebas menyusun program-programnya sendiri dengan cara berfikir yang tidak terikat pada NU. Dalam Kongres, Musyawarah Besar, Musyawarah Pimpinan, Musyawarah Kerja dan rapat-rapat yang lain, disana tidak akan ditemui pesan sponsor siapapun termasuk NU.

Tentang pandangan orang luar terhadap kemandirian PMII yang sampai saat ini masih berkantor di Jl. Keramat raya No. 164 Jakarta, kadang membuat orang sinis terhadap jargon kemandirian organisasi ini. Lepas dari itu semua, sebenarnya PMII selalu berusaha untuk mandiri dalam segala hal. Hanya karena ketidak mampuan danalah yang membuat PMII tetap menggunakan kantor tersbut sebagai salah satumodal gerak operasional organisasi.

Kenyataan seperti itu tidak selamanya menguntungkan, selama puluhan tahun hidup dan berkembang, dilihat dari fasilitas yang dimiliki sangat memprihatinkan. Organisasi yang memiliki puluhan ribu anggota ternyata hanya memiliki perlengkapan sekretariat yang sangat sederhana. Kekayaan yang dimiliki PMII hanya semangat dan idealisme yang membuatnya tetap eksis dalam mengembangkan sayap organisasinya.
Satu lagi keistimewaan periode ini adalah dalam bidang penerbitan. Media penerbitan yang diberi nama bulettin “Generasi” yang mampu terbit hingga nomor 25. Bahkan sempat diteruskan pada periode selanjutnya. Dengan bekal tenaga yang telah terlatih melalui pendidikan pers hasil periode sebelumnya, bulettin Generasi dipercantik. Berkat bulettin inilah informasi dan segala aktivitas dari cabang-cabang di daerah dapat di monitor oleh warga pergerakan di seluruh Indonesia.


3.     Konsolidasi Ekstern

a.       PMII Dalam Forum Kemahasiswaan

Sebagai organisasi mahasiswa, PMII tidak mungkin lepas dari aktivitas kemahasiswaan/kampus. Memasuki masa pembinaan dan pengembangan, dunia kemahasiswaan waktu itu sedang mengalami masa suram.

Dunia kemahasiswaan sebagai pelopor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara sesungguhnya telah terbukti dalam sejarah sejak puluhan tahun yang lalu. Tepatnya  sedari Soetomo bersama mahasiswa STOVIA lainnya mendirikan “Budi Utomo” tahun 1908. Pemimpin bangsa mulai dari angkatan 1920-an sampai dengan angkatan 1966 adalah mantan aktivis mahasiswa. Mereka memperoleh pengetahuan kesadaran dan keterampilan dalam kepemimpinan bangsa ini berkat pengalaman sebagai mahasiswa yang tekun belajar sampbil melibatkan diri dalam kegiatan non-kurikuler, terutama yang menyangkut politik dan kemasyarakatan.

Pada jaman kemerdekaan, peran serta mahasiswa sangat besar, catatan sejarah membuktikan, munculnya para pelajar/mahasiswa menjelma sebagai tentara dalam membela tanah air yang dikenal dengan “tentara Pelajar”. Pada jaman demokrasi leberal, peran mahasiswa sebagai pelopor terlihat menurun. Walau pada jaman itu organisasi-organisasi mahasiswa hidup dengan semarak, tetapi dalam aktivitasnya hanya untuk memperkuat kedudukan partai-partai politik yang melindungi organisasi masing-masing.

Posisi yang demikian ini berubah drastis ketika terjadi peristiwa G.30. S/PKI. Yaitu mengkhianati Ibu Pertiwi dengan melakukan gerakan kudeta. Namun PKI tetap dibiarkan hidup oleh rezim Orde Lama. Akibatnya rakyat merasa tidak puas, wakil-wakil rakyat yang duduk dalam parlemen tidak mampu menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Melihat kenyataan seperti ini, dimana nilai-nilai demokrasi terinjak-injak, kembali mahasiswa tampil sebagai pelopor pejuang hak azasi terdepan. Mahasiswa melihat bahwa wakil rakyat yang menjadi tumpuan harapan untuk menegakkan keadilan, diam seribu bahasa, mereka tidak mampu lagi berbuat untuk rakyat yang diwakilinya, sehingga saluran konstitusional menjadi macet.

Akhirnya mahasiswa tampil menempuh jalur non-konstitusional, mereka turun jalan berdemonstrasi membela rakyat, dengan menuntut PKI dan antek-anteknya dibubarkan.

Setelah pemerintahan Orde Baru berjalan sekian lama, mahasiswa merasa tidak puas, karena kenyataannya telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan, kehidupan negara yang benar-benar melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menilai ada penyimpangan, terutama dalam pelaksanaan pemilu 1971 dan 1977. Kemarahan mulai timbul dan tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan nasional yang ternyata menurut mereka tidak berbeda dengan pemerintahan Orde Lama. Ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya lewat koran-koran kampus yang hidup dengan sburnya, disamping aksi corat-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menutut kepemimpinan nasional kembali kejalan semula. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978.

Namun pemerintah beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjurus pada perongrongan wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Aksi mahasiswa dihentikan. Selaanjutnya disinyalir bahwa yang menggerakkan aksi itu adalah badan-badan mahasiswa intra universiter. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan mengganggu stabilitas nasional. Tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad Bagja (ketua umum PP PMII) sempat diamankan agar tidak bergerak memobilisir mahasiswa.

PB PMII mengeluarkan surat pernyataan yang berisi protes terhadap pemerintah saat terjadi pengadilan mahasiswa  (merupakan pernyataan pertama yang dikeluarkan oleh organisasi mahasiswa ekstra universitas).

Sejak saat itulah kecenderungan historis tersebut mengalami perubahan secara drastis. Aktivitas mahasiswa, terutama yang menyangkut kehidupan politik serta yang dapat dikategorikan menjurus kesana, dikontrol secara ketat. Sanksi akademik yang berat dijatuhkan kepada mahasiswa pelanggar sistem pengawasan yang berlaku.

Berdasarkan kepentingan akan stabilitas politik dan pembangunan maka dilaksanakan penataan kehidupan kemahasiswaan lewat kebijaksanaan yang dikenal dengan NKK/BKK. Sekalipun mendapat kritik dari mahasiswa, dunia kampus dan politisi melalui suatu usul interpelasidi DPR, namun pemerintah tetap dengan langkah yang sudah ditetapkan.


Birokratisasi Kampus

Dua langkah penting yang ditempuh pemerintah dalam menghadapi gerak dinamika mahasiswa dan kampus yang dianggap membahayakan kebijaksanaan pembangunan nasional, yaitu stabilitas politik dan proses pembangunan nasional, ialah dengan melakukan intervensi yang bersifat kebirokrasian dan mengadakan pembenahan politik yang melibatkan unsur-unsur dan kehidupan kampus.

Dalam rangka tindakan kebirokrasian , kampus sepenuhnya dilatakkan dalam jalur tujuan dan proses birokrasi negara. Kebijaksanaan kampus harus mendapatkan persetujuan sepenuhnya dari departemen Dikbud. Penentuan pimpinan mulai dari Rektor sampai kepada pimpinan jurusan harus sepengetahuan dan disetujui departemen tersebut. Bahkan dalam pemberian tugas kepada sejumlah dosenpun, departemen ikut serta. Pengalokasian anggaran yang sepenuhnya ditanggung pemerintah mendapat pengarahan dan pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Laangkah politis pemerintah ialah memisahkan kampus dari politik dengan jalan membubarkan lembaga kemahasiswaan (dewan mahasiswa), melarangg mahasiswa mengatasnamakan kampusnya di dalam kegiatan politik dan mengaktifkan organisasi pegawai negeri (Korpri) di kampus, kebijaksanaan tersebut diperkuat lagi dengan membatasi kesempatan dosen untuk mengumumkan pemikirannya di media massa dengan jalan hanya membolehkan profesor mengatasnamakan kampusnya. Sementara itu pengaruh Golkar melalui pimpinan unit-unit kampus semakin merasuk terhadap keseluruhan warga kampus.

Campur tangan birokrasi negara dalam proses kehidupan kampus diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang  amat mendetail terhadap opersional universitas, yaitu penyeleksian staf pengajar dan mahasiswa, penentuan dan penyusunan kurikulum, pengalokasian dana, penentuan penelitian, dan penentuan pimpinan.

Disatu sisi, intervensi birokrasi tersebut membawa keuntungan, sarana fisik kampus, jumlah dosen serta fasilitasnya daan daya tampung telah ditingkaatkan melalui pola pembangunan kampus seperti itu. Akan tetapi jika dilihat dari hakekat kemandirian kampus, maka adanya dampak negatif yang dibawa oleh tingginya intensitas campur tangan birokrasi tersebut, antara lain :

Pertama : Terasa kuatnya tekanan kepada pertumbuhan daya kreatifitas warga kampus. Pengawasan birokrasi menimbulkan rasa khawatir yang berlebihan untuk berbuat salah dikalangan warga kampus. Untuk itu mereka melakukan berbagai pengamanan mulai dari menyensor pikiran atau pendapat sendiri sampai kepada tidak mengumumkan kepada siapapun. Lebih dari itu, mereka tidak melakukan pemikiran sama sekali. Gejala ini dapat menekan tumbuhnya pemikiran-pemikiran alternatif di dalam kampus.

Kedua   : Intervensi   birokrasi   yang   mencengram  itu   menjadikan para pimpinan unit-unit universitas sebagai “raja kecil” yang memimpin organisasi dengan mengendalikan kekuasaan, kewenangan dan prosedur ketimbang menggunakan argumentasi dan pertimbangan yang logis. Kepemimpinan personal meningkat meninggalkan kepemimpinan institusional, keterlibatan dosen dalam penentuan pimpinan dan kebijaksanaan kampus semakin kecil. Prosedur yang berlaku dilembaga pemerintah diambil alih oleh universitas beserta unit-unitnya.

Ketiga   : Tumbuhnya  gejala  apatisme  sebagai  akibat dari perpaduan kedua akibat diatas, kekhawatiran berbuat salah dalam berkreasi dan keterbatasan untuk melibatkan diri di dalam penentuan hal-hal penting di kampus menyebabkan dosen lebih memusatkan perhatian kepada aktivitas mengajar. Itupun dengan pilihan bahan yang amat hati-hati. Mahasiswa lebih memusatkan diri kepada penyelesaian studi, tanpa merasa perlu mengadakan pencernaan dan pematangan serta perluasan wawasan. [6])

Pada dasarnya PMII menolak diberlakukannya NKK/BKK berlaku sebagai sistem yang mengatur kehidupan kampus dan mahasiswa Indonesia. Namun untuk menolaknya secara mutlak dan frontal, padahal sistem itulah yang saat itu berlaku diperguruan tinggi seluruh Indonesia sama artinya dengan menghadapkan PMII pada jurang yang dapat berakibat celaka.





b.       PMII Dalam Forum Kepemudaan

Organisasi mahasiswa pada hakekatnya juga berdimensi pemuda , sebab pada dasarnya mahasiswa adalah juga pemuda. Jika kita bandingkan aktivitas PMII dalam bidang kepemudaan dengan dunia kemahasiswaan, dapat dikatakan lebih besar porsi keterlibatannya dalam bidang kepemudaan.

Dalam dunia kepemudaan, seperti kita ketahui, bahwa pada tahun 1973 telah lahir organisasi pemuda bentukan pemerintah yaitu Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), berdasarkan deklarasi pemuda 23 Juli 1973 itulah lahir KNPI yang merupakan forum konsultatif pemuda Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya berkembang dan berubah menjadi organisasi yang sifat dan perannya tidak berbeda dengan organisasi pemuda lainnya. Bahkan ada usaha-usaha untuk menjadikan KNPI sebagai organisasi pemuda tunggal di Indonesia. Usaha ini mendapat tantangan dari para pemuda pencetus dan pendukung deklarasi pemuda 1973.

Usaha mewujudkan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal, didahului dengan masuknya KNPI dalam GBHN. Hal itu terjadi dalam sidang Umum MPR 1978. Penggarapan untuk memasukkan KNPI dalam GBHN, dilakukan dengan intensif. Usaha paling menonjol adalah penekanan terhadap organisasi pendukung dan pencetus KNPI. Bahkan koordinasi pemuda Golkar menolak KNPI dijadikan sebagai wadah tunggal. Maksudnya pemerintah memasukkan KNPI dalam GBHN akhhirnya berhasil melalui pemungutan suara setelah FPP dan FPDI menolaknya, tetapi dengan catatan KNPI tidak akan mematikan organisasi pemuda lainnya. Dengan demikian jelas, bahwa upaya-upaya pihak tertentu untuk menggiring para pemuda dalam satu wadah pembinaan yang tunggal mengalami kegagalan, tetapi usaha para pemuda sendiri agar KNPI tidak masuk dalam GBHN juga tidak berhasil.
Sikap PMII terhadap keberadaan KNPI tetap dalam posisi sikap netral, karena bagaimanapun PMII sadar akan tanggung jawab moralnya, sebagai organisasi pencetus lahirnya KNPI, maka dalam setiap kesempatan PMII tetap mengadakan koreksi agar KNPI tetap berjalan menurut fitrahnya. Setelah gagal mewujudkan wadah tunggal para pemuda Indonesia, meskipun KNPI dimasukkan dalam jalur resmi (GBHN) justru eksistensi dan perkembangannya mengalami kesulitan. Apakah organisasi ini akan menempatkan dirinya sebagai organisasi massa atau hanya berupa forum komunikasi belaka. Disinilah KNPI mengalami dilema

Dalam majlis pertimbangan pemuda (MPP) hal tersebut sudah dibicarakan, pada kesempatan itu PMII melalui utusannya Musthafa Zuhad (ketua PB PMII) dan M. Baidlawi Ali (Sekbid Organisasi PB PMII) mengajukan pokok-pokok pikiran untuk membendung pihak-pihak yang selalu berusaha menjadikan KNPI sebagai wadah pembinaan tunggal. Usaha itu bahkan berlanjut sampai pada forum kongres II KNPI yang diselenggarakanpada tanggal 28 Oktober s/d 4 Nopember 1978. Forum ini sempat membuat para aktivis organisasi mahasiswa merasa dirugikan sehubungan dengan adanya pihak tertentu yang menamakan dirinya sebagai Kongres Pemuda. Dalam kongres ini muncul kembali issue tentang akan dijadikannya KNPI sebagai wadah tunggal pemuda Indonesia. Tentu saja PMII dan seluruh organisasi pemuda serta mahasiswa kecuali KNPI dan AMPI menolak usaha itu dengan menyebut kongres II KNPI sebagai kongres pemuda.

Gejala ini sebenarnya merupakan produk dari “tiga bentuk kebijaksanaan” yang mengatur kehidupan mahasiswa sejak diberlakukan pada tahun 1973 :

Pertama :Dengan  dibentuknya   KNPI, maka eksistensi mahasiswa sebagai komunitas dengan sub-kulturnya tidak diakui lagi. Sebab mahasiswa sudah diperlakukan sebagai bagian yang utuh dari pemuda, sekalipun secara formal KNPI ditetapkan sebagai badan komunikasi antar organisasi pendukungnya. Organisasi mahasiswa seperti PMII, GMNI, HMI dan lain-liannya, yang diharuskan bernaung di bawah KNPI, dikontrol oleh Menteri negara urusan pemuda dan Olah raga. Setelah UU keormasan diberlakukan tahun 1985, maka aparat departemen dalam negeri-pun bertindak sebagai pengawas dan pembina.

Kedua  : Pembekuan   Dewan  Mahasiswa  oleh  aparat keamanan - KOPKAMTIB - sejak 21 Januari 1978, melumpuhkan organisasi mahasiswa tingkat universits dn nsionl. Mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk melakukan kegiatan yang berskala besar, naik di kampus maupun secara nasional, maka tinggallah organisasi mahasiswa tingkat fakultas dengan segala kondisi yang ada.

Ketiga : Kebijaksanaan NKK / BKK yang meletekkan oraganisasi mahasiswa intra fakultas di bawah pengendalian, pengarahan dan bahkan pembiayaan universitas. Lebih dari itu, kebijaksanaan tersebut jugamelarang mahasiswa berpolitik, kecuali sebagai individu dan harus memasuki organisasi politik resmi. [7])


Berkenaan dengan kebijaksanaan stabilitas politik rezim Orde Baru, terasa adanya keengganan umum untuk membicarakan masalah peran pemuda. Orang khawatir akan terjebak kedalam perdebatan sengit tentang kepemimpinan nasional, sehingga dapat merangsang tumbuhnya faktor destabilitas nasional.

Tetapi sejak tahun 1970-an, setelah impaknya terasa ke seantero kehidupan, dan pada saat regenerasi kepemimpinan dari angkatann 1945 kepada generasi berikutnya mulai diwujudkan, maka urgensi masalah peran pemuda khususnya yang berkenaan dengan kepemimpinan semakin dirasakan. Dalam rangka regenerasi itulah dipermasalahkan kembali peran pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sadar akan peran generasi muda dimasa lalu dan potensi mereka untuk menguasai masa depan, maka pengembangan kelompok masyarakat ini merupakan salah satu program dari sistem politik manapun yang pernah tumbuh di Indonesia. Kenyataan sejarah seperti aktivitas pemuda dimasa pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, di masa revolusi 1945 dan bahkan dimasa pemerintahan orde lama ke orde baru, tak memungkinkan pemerintah mengabaikan generasi muda. Apalagi potensi untuk masa depan seperti terlihat dari jumlah yang amat besar, dinamika, penguasaan akan ilmu dan teknologi, dan watak yang lebih terbuka akan perubahan, tidak memungkinkan kekuatan politik manapun untuk mengesampingkan mereka.

Intervensi birokrasi tersalur melalui proses pengembangan pemuda. Dan upaya tersebut semakin intensif sejalan dengan perputaran waktu. Pada tahun 1973 pemerintah mengusahakan pembentukan KNPI untuk menampung aktivitas keseluruhan pemuda didalam suatu wadah komunikatif, disamping menyediakan lembaga pembinaan berupa “Menpora”, disediakan juga anggaran yang cukup besar untuk kegiatan pemuda. Di dalam Pelita III juga dikembangkan konsep NKK/BKK sebagai cara pembinaan mahasiswa di dalam kehidupan politik yang sekarang amat dirasakan akibatnya bagi kehidupan mahasiswa sebagai komponen strategis di kalangan generasi muda. Dan melalui UU keormasan tahun 1985, maka penataan organisasi dan ideologi pemuda bersama ormas lainnya juga mulai dicanangkan.

Bagi mereka yang berpandangan kritis terhadap hasil pengembangan pemuda, dapat dilihat kesadaran politik pemuda yang kurang memadai, disamping pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang luas dan dangkal, terasa juga sikap apatis yang semakin meluas di kalangan pemuda. Mahasiswa yang sampai dengan pertengahan tahun 1960-an mempunyai keunggulan di dalam segala unsur kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut, justru semakin menjadi apatis, lebih menyedihkan lagi, mahasiswa semakin takut dengan aktivitas yang bernuansa politik.

KNPI sebagai wadah generasi muda tampaknya semakin mengcopy pola kerja dan budaya organisasi yang berkembang di dalam birokrasi. Pola hubungan warga dengan pemimpin, tata cara pemilihan pemimpin, pengumpulan dan penggunaan dana, dan bahkan pola konflik di dalamnya, menjurus kepada birokrasi. Ciri kepemudaan yang amat ditandai oleh spontanitas dan kesederhanaan kurang menonjol. Begitu juga ciri inovatif tidak mampu dikembangkan di dalam wadah ini.





[1] Laporan pertanggung jawaban PB PMII Periode 1977 - 1981, di depan peserta kongres VII, tanggal 1 - 4 April 1981,  di Cibubur, jakarta, Halaman 11.
[2] Ibid, Halaman 12
[3] Ibid, Halaman lampiran
[4] Ibid, Halaman Lampiran
[5] Ibid, Halaman 15
[6] Arbi Sanit,  Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Refleksi dan Gagasan Alternatif, Lingkaran studi Indonesia dan YLBHI, Jakarta, 1989, Halaman 24 - 26
[7] Ibid, Halaman 91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar