BAB
II
MASA KEBANGKITAN
( 1964 - 1968 )
A. PMII DAN KEBANGKITAN ORDE BARU
Pada tanggal 19 - 26 Desember 1964 di Jakarta pernah diadakan musyawarah
nasional generasi muda Islam yang kemudian lebih dikenal dengan “GEMUIS” .
Musyawarah yang gagasan awalnya muncul dari gerakan pemuda Ansor ini, bertujuan
untuk memperkuat ukhuwah islamiyah (kerukunan intern ummat Islam) yang pada
saat itu sedang mengalami cobaan-cobaan akibat fitnah yang dilancarkan oleh PKI
(partai komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional generasi muda
Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat konfederatif.
PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal persedium pusat
yang diwakili oleh sahabat Said Budairy. Musyawarah nasional ini sebagai reaksi
atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya CGMI
(consentrasi gabungan mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi mahasiswa yang
berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI.
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai langkah koreksi total
terhadap kebijakan rezim Orde Lama. Kelahiran Orde Baru sebenarnya merupakan conditionine
quonon, karena nampaknya rezim Orde Lama sudah tidak mampu lagi berdiri
secara politis apalagi secara ekonomis. Kelahiran Orde Baru ini dipercepat
dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut kekuasaan melalui aksi kudeta
yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30 September / G.30.S/PKI.
Sebenarnya ada/tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap
akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola
negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya semua bantuan dari luar
negeri, akibatnya rakyat sangat menderita, karena laju inflasi membubung tinggi
sampai 600% dan pemangkasan nilai mata uang rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi
hal itu tidak mampu merubah keadaan. Keadaan yang sudah kritis ini ditambah
lagi dengan tindakan rezim Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari
anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi
tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI
memanfaatkan situasi - mengail ikan di air keruh - dengan melemparkan issu
bahwa dewan Jenderal akan merebut kekuasaan (kudeta) dari tangan Presiden
Soekarnoe. Dalam keadaan seperti itu, rezim Orde Lama dihadapkan pada keadaan
yang sangat delematis, disatu pihak, jika rezim ini menghukum dan membubarkan
PKI, jelas akan berhadapan dengan pemerintahan Komunis di Cina yang selama ini
mendukung politik Soekarnoe dalam politik konfrontasinya dengan Malaysia,
tetapi dilain pihak, jika tetap mempertahankan PKI jelas akan berhadapan dengan
rakyatnya sendiri, terutama rakyat yang selama ini terus menerus difitnah oleh
PKI.
Melihat situasi yang tidak menentu ini, para tokoh dan aktivis
organisasi mahasiswa ekstra Universitas berinisiatif membentuk suatu wadah
perjuangan untuk menegakkan kembali keadilan dan menyuarakan aspirasi rakyat
Indonesia yang tertindas. Mereka tampil dengan semboyan : TRI-TURA (tiga
tuntutan hati nurani rakyat) :
1. Bubarkan PKI beserta antek-anteknya
2. Retor Menteri-menteri yang goblok
3. Turunkan harga.
Geraka itu dipimpin oleh
tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan aksi mahasiswa
Indonesia (KAMI). Organisasi perjuangan ini didirikan dirumah Menteri
PTIP (Perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan) Prof. DR. Syarif Thoyib di Jl.
Imam Bonjol 26 Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1965. Organisasi ini didasarkan
pada tiga landasan pokok seperti disebut di atas dengan operasionalisasi program
:
1. Mengemankan Pancasila
2. Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam
menumpas G.30.S/PKI sampai ke akar-akarnya [1]).
Mahbub Junaidi pernah mengatakan didepan peserta kongres PMII ke III di
Malang jawa Timur :
“Bila tahap pertama pembinaan
Orde Baru dihitung dari titik awal penghancuran GESTAPO/PKI, maka PP PMII
dengan rendah hati akan mencatat bahwa peranan PMII tidak bisa disisihkan oleh
sejarah. Kita telah mengambil peranan pada saat yang sulit menentukan sikap,
teristimewa disekitar tanggal 1 - 5 Oktober 1965, tanggal keluarnya pernyataan
NU dan ormas-ormasnya yang secara tegas menunjuk hidung bahwa PKI lah dalang
dan pelaku coup G.30.S/PKI, karenanya harus dibubarkan. Tidak banyak
moment-momernt sejarah yang bisa membawa akibat besar, moment yang menuntut
kecepatan mengambil keputusan dengan landasan keberanian. Hari-hari disekitar
awal bulan Oktober 1965 dalam contoh moment yang tidak banyak jumlahnya. Pada
saat itulah PMII dan GP. Ansor secara on the sport mengambil posisi
meneliti dan mengkonklusi serta denga keyakinan luar biasa “tangan PMII-lah
yang mengayunkan garis-garis besar, pokok-pokok statemen tuntutan pembubaran
PKI. Apa yang terjadi sesudah itu kita semua sudah tahu likuidasi secara total
dilakukan seutuhnya oleh massa rakyat yang cinta Pancasila bersama ABRI. Kita
bukanlah potongan orang yang suka reklame, tetapi siapa yang berani membantah,
bahwa peranan NU, Ansor dan PMII di tahap-tahap pertama likuidasi yang
melumpuhkan PKI itu memegang peranan yang menentuka sudah kita lakukan..
Likuidaasi itu hampir-hampir kita lakukan dalam sekali gulung. Sejarah mencatat
bahwa tahap pembinaan Orde baru dalam bentuk penghancuran PKI, peranan
organisasi masaa baik di desa maupun di kota sangatlah menentukan. Mereka
tidaklah butuh segala macam tugu peringatan untuk tugas revolusi yang telah
mereka selesaikan. Kerena kita menumpas PKI bukan untuk kepentingan manusia
melainkan karena perintah agama. Itu artinya kita memang bukan “pahlawan
kesiangan” tetapi hanyalah manusia yang bangun tepat waktunya tatkala beduk
subuh berbunyi. TRI-TURA yang untuk pertama kalinya lahir tatkala demonstrasi
front pemuda pada tanggal 28 Januari 1966 dengan cepat disambut oleh
demonstrasi KAMI tanggal 10 Februari 1966 di Jakarta.
Dimulailah aksi-aksi mahasiswa ibarat bola salju, makin lama makin
besar, suatu kekuatan gerakan politik yang hampir-hampir tidak diduga orang
sebelumnya. Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan cepat merebut
kemenangan-kemenagan politik, bukan saja karena sasarannya yang tepat serta
tidak mempunyai kepentingan apa-apa kecuali Indonesia yang adil dan
makmur, tetapi juga karena mendapat dukungan massa. Garis-garis yang ditentukan
PP PMII cukup jelas, Ikut dan Pimpin KAMI mulai pusat sampai di daerah,
kebijakan ini sudah dilaksanakan dengan cepat dan luas, Sahabat Zamroni (ketua
I PP PMII) telah menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan baik dari awal sampai
saat bubarnya KAMI, yang itu berarti juga kepemimpinan PMII. [2])
Kalau kita simak pidato ketua umum PP PMII itu, jelas bagi kita betapa
besar peran PMII dalam kebangkitan Orde Baru dan ini tidak boleh digelapkan
oleh siapapun dari sejarah Indonesia.
Bahkan ketua umum PP PMII
periode ke IV yaitu sahabat Zamroni tampil memimpin KAMI sebagai ketua umum
persedium pusat. Dengan posisi sperti itu kita dapat mengetahui bahwa PMII
punya andil besar dalam kegiatan dan mobilisasi KAMI dalam rangka kelahiran
Orde Baru. Saksi yang tak dapat diabaikan oleh siapapun adalah “Jemari
tangan kanan sahabat Zamroni yang tinggal dua buah” yang tiga terputus
ketika memimpin demonstrasi KAMI dalam menegakkan Orde Baru.
Seperti kita ketahui, kekuatan
organisasi pemuda saat itu yang paling besar adalah GP. Ansor, sedang kekuatan organisasi mahasiswa yang
paling besar adalah HMI, tetapi HMI pada saat itu baru saja terlepas dari
rongrongan CGMI dan pemerintah Orde Lama. Akibatnya walaupun secara kuantitas
kita akui PMII dibawah HMI, namun banyak kejadian justru PMII sering
meyelamatkan HMI dari rongrongan rezim Orde Lama.
Pada tanggal 6 - 16 Februari 1966
di Jakarta PP PMII mengadakan musyawarah kerja Nasional (mukernas). Forum ini
diadakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program-program kerjanya, sekaligus
menyembatani keterlambatan pelaksanaan kongres III PMII yang seharusnya
dilaksanakan pada tahun 1966. Dari forum itu tercetus suatu produk dokumen
historis yang dikenal dengan TRI SIKAP JAKARTA. Dokumen historis ini
merupakan satu sikap PMII dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang
menghadang Ummat, yang mencakup tiga bidang permasalahan :
1. Sikap dibidang politik
2. Sikap dibidang ekonomi
3. Sikap dibidang kebudayaan
(secara lengkap lihat dalam dokumen
historis - terlampir).
Secara intern Mukernas juga memutuskan hal-hal yang menyangkut
konsolidasi intern PMII :
1. Bahwa kongres III PMII akan dilaksanakan di
kota Malang Jawa Timur pada Desember 1966 (dapat dilaksanakan pada tanggal 7 -
11 Februari 1967)
2. Usaha terus menerus melakukan konsolidasi
organisasi dengan turut aktif berjuang dalam wadah KAMI.
3. Tetap melibatkan diri sepenuhnya sebagai
organisasi dependen NU.
Kongres III PMII dilaksanakan pada tanggal 7 - 11 Februari 1967 di
Malang Jawa Timur yang dihadiri sekitar 75 cabang. Dalam kongres ini PMII
mengeluarkan pokok-pokok pikiran yang dikenal dengan nama “Memorandum
Politik” . Pokok-pokok pikiran ini hanya bersifat intern, yaitu memorandum
politik yang ditujukan kepada partai NU, yang hanya berupa bahan-bahan masukan
untuk muktamar NU yang akan dilaksanakan di Bandung Jawa Barat. Hal lain yang
dihasilkan kongres III PMII adalah membentuk :
1. Lembaga pendidikan kader pusat (LPKP)
2. Lembaga da’wah pusat (LDP)
3. Lembaga Pers pusat (LPP)
4. Komando siaga angkatan Jihad (KOSAD)
5. Penyempurnaan pedoman pelaksanaan
pengelolaan pendidikan kader (P3K) yang dihasilkan dalam Mukernas I tahun 1966.
Pada kongres III ini PMII berhasil memilih sahabat Drs. H. Zamroni
sebagai ketua Umum dan sahabat Drs. Med. Fahmi Ja’far sebagai Sekretaris
Jenderal periode 1967 – 1970. Inilah satu-satunya tokoh PMII yang
terpilih sebagai ketua Umum tanpa kehadiran orang yang bersangkutan. Karena
pada saat itu sahabat Zamroni masih dalam perawatan dirumah sakit Tokyo Jepang,
Ia terpilih menjadi ketua umum PMII, otomatis ia tidak tahu. Mahbub
Junaidi ketua umum demisioner, mengirim surat ke Tokyo memberitahukan bahwa
sahabat Zamroni terpilih sebagai ketua umum PMII periode 1967-1970, melalui
Duta Besar Indonesia di Jepang. Surat itu lalu disampaikan kepada Zamroni di
rumah sakit oleh salah seorang mahasiswa Indonesia yang memang setiap hari di
tugasi Duta Besar menungui sahabat Zamroni.
Baru pada bulan April 1967 sahabat Zamroni pulang ke Indonesia, untuk
memimpin PMII. Karena saat itu susunan PP PMII belum lengkap, maka tugas
pertama yang harus dilakukan adalah melengkapi kepengurusan PP PMII periode
1967-1970. Adapun susunan pengurus PP PMII periode 1967-1970
adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS PUSAT PMII
( Periode 1967 - 1970 )
Ketua Umum :
M. Zamroni
Ketua :
Abd. Rahman Saleh
Ketua :
Moh. Abduh Paddare
Ketua :
Umar Basalim
Ketua :
Abdurrahman Hasan
Sekretaris Jenderal : Fahmi Ja’far
Sekretaris :
Siddiq Muhtadi
Sekretaris :
R. Hari Sutanto
Sekretaris :
Didik Hariyadi
Bendahara :
RS. Munara
Wakil Bendahara : Achmad Fatoni
Departemen-departemen :
Pendidikan dan Kader : Zubair Amin
Penerangan dan Humas : Azwar Tiyas
Kesejahteraan mahasiswa : H. Zaini A. Syakur
Luar Negeri :
Chatibul Umam
Keputrian :
Tien Hartini
Kesenian dan Kebudayaan : Achmadun Ambari
Olah Raga :
Tosari Wijaya
SUSUNAN LEMBAGA PENDIDIKAN KADER PUSAT
( Berkedudukan di Yogjakarta )
Ketua :
Joko Purwono SH
Ketua I :
Abdillah Sarwani SH
Ketua II :
Sabirin Harahap Bsc
Sekretaris :
Ahmad Sumali Ama
Sekretaris I : Hamzah Siddiq
Sekretaris II : Sofyan Sukri
Seksi Laboratorium : Drs. Asep Hadipranata
Seksi Logistik : Saefuddin Anwar Bsc.
Belum genap satu tahun lembaga ini berdiri
karena satu dan lain hal, diadakan penyegaran pengurus, sehingga menjadi :
Ketua :
Sabirin Harahap Bsc
Ketua I :
M. Saleh Harun BA
Ketua II :
Achmad Sumali Ama
Sekretaris :
Drs. Sofyan Sukri
Sekretaris I : Samsul Anam
Sekretaris II : Mojono MA
Seksi Laboratorium : Asep Hadipranata
:
Dalil Adisubroto
:
Sumali RD
:
Joko Purwono SH
Seksi Logistik : Asrori Nasucha
Pembantu Keputrian : Elok
Fa’iqoh Muhammad
:
Sa’adah
:
Lilik Sri suyati
:
Chariroh Anwar
:
Isti’anah [3])
SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA DA’WAH PUSAT
( Berkedudukan di Malang Jawa Timur )
Ketua :
N. Syahid Wiyoto
Wakil Ketua :
A. Hasyim Muzadi
Sekretaris :
Dimyati Uriyanto
Wakil Sekretaris : Abdurrahman Marsaid
Keuangan :
M. Subchi Hasbi
Biro - biro :
Biri Riset :
Sawihi Garetin
Pendidikan Kader : Sanusi
Biro Da’wah :
Zamhuri
:
Ali Ahmad
Penerangan dan Humas : Abdul Hajji
:
Cholilur Rahman
Dana dan Logistik : Muzani Ilyas
:
Muhammad Syarif [4])
SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA PERS PUSAT
( Berkedudukan di Bandung Jawa Barat )
Ketua Umum :
Hisyam Bisri
Ketua I :
Syarif Hidayat Al-Hubby
Ketua II :
Itho Arifin
Ketua III :
Deden Sederhana
Ketua IV :
Agus S Mahmud
Sekretaris Umum : Sueb Supeno
Sekretaris I : Zulajar Iskandar
Sekretaris II : Muhammad Said
Sekretaris III : Chaeri Hadi CD
Sekretaris IV : Nenenng Nafsah Mutmainah
Bendahara Umum : A. Rukman
Bendahara I :
Nina Herlina
Bendahara II : Nurmillah
Biro - Biro :
Sekretariat :
Hidmat CD
:
Jaja Zakaria
:
Junaeri
:
Erlina Indera
Penerbitan :
Drs. Utui Turmudzi
:
Fahri Pasaribu
:
Musyafri
Berita :
Agus SM
:
Hidayat
:
Sauma Martini
:
Qomarin Muryati
:
Alimuddin
:
Sholichin MH
:
Rita Yuniar
Pendidikan Riset : Drs, Hafidz Usman
:
Hilman Badrudin Syah
:
Muhammad Siddiq
:
Drs. A. Ruchyat Noor
Radio dan TV : Sambas
:
Fuad Wahab
:
EA Chaliq
:
Parti P Puji
Sanggar Karya : Ajad Sudrajad
:
Tin S Indik
:
Abror Dachwan
:
Yeti Hayati
Luar Negeri :
Dida Hidayat BA
:
Dr. Bakir Abi Sujja
:
Chudlari Fadli SH
:
Firman Arifin (Jerman)
:
Pipin Hanafiyah (Tokyo)
:
Rumanah (Rusia)
:
Yayuk Hidayat (Mesir)
:
Endah Sugiarti (Tokyo)
SUSUNAN PENGURUS PUSAT BADAN KOPRI
( Berkedudukan di Surabaya Jawa Timur )
Ketua Umum :
Ismi Maryam BA
Kerua I :
Zazilah Rahman BA
Ketua II :
Siti Fatimah Bsc
Ketua III :
Adibah Hamid
Sekretaris Umum : Maryamah BA
sekretaris I : Siti Rahayu Bsc
Sekretaris II : Aminah Asraf BA
Sekretaris III : Asiah Gani
Bendahara :
Laila Badriah
Bendahara I :
Chusnul Chotimah
Biro - Biro :
Biro Kader :
Fatimah Aminah BA
Biro Da’wah :
Noor Endah Nizar
Biro Penerangan : Mutmainah Paliweng
Biro Olah Raga dan Seni : Cicik Mursyidah
Pemnatu Umum : Siti Rahmah Ismail Bsc
:
Maryam Bakir BA
:
Zamroh Dibab BA [5])
Sebagai realisasi keputusan
kongres III PMII di Malang Jawa Timur maka pada tanggal 28 Maret 1968 PP PMII
mengeluarkan peraturan tentang “Pedoman Penyelenggaraan Keseragaman Organisasi
dan Administrasi”. Hal ini didasarkan pada pemikiran :
1.
Bahwa
dalam penyelenggaraan organisasi perlu adanya pedoman yang teratur dan seragam
2.
Bahwa
adanya adanya ketentuan pedoman penyelenggaraan keseragaman organisasi dan
adminstrasi sebagai penjelasan PD/PRT dan peraturan PP PMII yang telah
ditetapkan
3.
Bahwa
belum adanya keseragaman organisasi dan adminstrasi dalam tingkatan-tingkatan
PMII.
PP PMII dengan surat No.
070/PP-IV/VIII/67, tertanggal 22 Agustus 1967 menginstruksikan regestrasi
alumni PMII dengan beberapa ketentuan pencatatan bio data sebagai berikut :
·
Nama
Alumni
·
Menjadi
anggota PMII sejak tahun berapa sampai tahun berapa, dari cabang mana
·
Jabatan
terakhir dalam pimpinan/pengurus PMII
·
Alamat
Alumni terkahir / sekarang
·
Jabatan
yang dipangku saat ini
·
Lain-lain
yang dianggap perlu [6])
B. PMII DALAM KANCAH DUNIA KEMAHASISWAAN DAN
KEPEMUDAAN
PMII Sebagai organisasi mahasiswa yang juga berdimensi kepemudaan, maka
aktivitas-aktivitas yang dilakukan disamping di dunia kemahasiswaan juga dunia
kepemudaan. Aktivitas PMII yang patut dicatat disini antara kurun waktu 1965 -
1968, hal ini penting karena berkaitan dengan lahirnya angkatan baru dalam
dunia kepemudaan di Indonesia, yang akhirnya angkatan ini dikenal dengan
istilah “ANGKATAN 66”.
Kelahiran angkatan 66 ini merupakan reaksi terhadap kebijaksanaan
Presiden Soekarnoe yang membiarkan PKI dan antek-anteknya tetap hidup di Bumi
Pertiwi ini, kendatipun PKI melakukan makar dengan melakukan gerakan 30
September. Ketidakmampuan pemerintah Orde Lama untuk mengambil tindakan tegas
terhadap PKI ini, mungkin dikarenakan kekhawatiran rezim Soekarnoe akan reaksi
pemeritah Komunis Cina yang merupakan pendukung utama dalam menghadapi politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat lainnya. Tetapi tindakan
rezim Orde Lama yang seperti ini berakibat fatal, dengan semakin banyaknya
rakyat yang tidak puas terhadap rezim Soekarnoe, terutama mereka yang dulu
sering difitnah oleh PKI serta antek-anteknya. Keadaan yang demikian itu
semakin diperburuk oleh ketidak mampuan rezim Orde Lama dalam menangani
persoalan ekonomi, disamping ketidakmampuan lembaga Legeslatif menjalankan
fungsi kontrolnya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah
Orde Lama.
PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda bangsa merasa
terpanggil untuk membela kepentingan rakyat. Karena melihat lembaga Legeslatif
tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog
dengan pemerintah, maka mahasiswa mengambil alih peran legeslatif dan gerakan
protes di jalan-jalan raya. Mereka meneriakkan aspirasi rakyat yang tertindas
yang dikenal dengan TRI-TURA (tiga tuntutan hati nurani Rakyat). Sejak saat
itulah gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar dikenal dengan istilah baru
“GERAKAN PARLEMEN JALANAN”.
Gerakan parlemen jalanan ini
sangat mungkin terjadi, karena suasana politik saat itu memungkinkan mahasiswa,
pemuda dan pelajar matang secara politik. Hal ini akibat sistem politik yang
dikembangkan pemerintah Orde Lama waktu itu.
Sebelum lebih jauh membicarakan
angkatan 66 ada baiknya kita melihat peran generasi muda khususnya generasi
muda Islam dalam sejarah kepemudaan di Indonesia, dari sini kita bisa melihat
sejauh mana peran PMII dalam sejarah kepemudaan di Indonesia.
Sewaktu organisasi mahasiswa,
pelajar dan pemuda yang dulunya mempunyai hubungan baik dengan eks partai
Masyumi, seperti GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam
Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sedang mengalami cobaan berat,
terutama cobaan yang berasal dari fitnahan PKI dan antek-anteknya, bahkan
akhirnya GPII dibubarkan. Atas inisiatif GP. Ansor dan PMII menghimpun
organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam, yang diharapkan mampu
menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan pemuda Islam, maka pada tanggal 19- 26
Desember 1964 bertempat di Jakarta diselenggarakan musyawarah generasi muda
Islam (GEMUIS) [7])
Musyawarah ini akhirnya memutuskan
dibentuknya organisasi federasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam yang
kemudian dikenal dengan nama GEMUIS (generasi muda Islam). Salah satu hasil
dari musyawarah itu adalah pernyataan yang berkenaan dengan usaha penyelamatan
terhadap “nasib HMI” yang sedang mengalami cobaan berat dari rongrongan dan
fitnahan CGMI dan pemerintahan Orde Lama.
Pernyataan yang dikeluarkan sebagai hasil
musyawarah Gemuis yang berkenaan dengan pembelaan terhadap HMI adalah :
1. HMI bukan onderbow dan tidak pernah
mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/organisasi manapun.
2. Masalah yang dihadapi HMI tidak dapat
dipisahkan dari masalah keseluruhan Ummat Islam [8])
Peranan PMII dalam Gemuis cukup besar,
ketika musyawarah pertama kali diadakan, Ketua I PP PMII sahabat Chalid Mawardi
bertindak sebagai sekjen panitia Munas tersebut, bahkan dalam struktur
kepengurusan Gemuis, PMII dipercaya menjadi sekjen persedium pusat.
3. Organisasi mahasiswa ekstra Universitas di
Indonesia juga berhimpun dalam wadah yang dikenal dengan nama PPMI (perhimpunan
Pergerakan mahasiswa Indonesia). PMII dengan surat permohonan tanggal 14
Desember 1960 masuk menjadi anggota PPMI, yang secara aklamasi diterima oleh
persedium pusat PPMI. Namun pada tahun 1965 ketika PMII ditawari jabatan Sekjen
persedium pusat PPMI, PMII menolak tawaran itu, sebelum organisasi itu
mengadakan kongres terlebih dahulu. PMII menuntut adanya perubahan struktural
dalam organisasi tersebut. Karena PMII beranggapan PPMI terlalu didominir oleh
organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai basis kekuatan
massa dibawah, disamping PMII sangat menyesalkan sikap persedium pusat PPMI
yang bertindak mengeluarkan HMI dari organisasi tersebut, tindakan berakibat
fatal dikarenakan HMI mempunyai kekuatan massa yang besar yang didukung oleh
organisasi mahasiswa Islam yang lain seperti PMII, SEMI (serikat mahasiswa
Muslimin Indonesia) dan HIMMAH (himpunan mahasiswa al-wasliyah), akhirnya
ketika terjadi pemberontakan PKI nasib PPMI ditinggalkan oleh
anggota-anggotanya, hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus PPMI terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan
tersebut.
4. Sebagai organisasi mahasiswa dan pemuda,
PMII aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan baik ditingkat
Nasional maupun ditingkat Internasional :
Pada tanggal 30 Maret sampai 6 April 1965,
sahabat Chotibul Umam, atas nama utusan PMII,
sahabat Mahbub Junaidi (ketua Umum PP PMII) atas nama PWI (persatuan
Wartwan Indonesia) sahabat Chabibullah Asyhari atas nama Persatuan Wartawan
Asia Afrika, hadir dalam seminar Internasional masalah Palestina yang
dilaksanakan di Caero Mesir. Seminar ini diprakarsai oleh Organisasi mahasiswa
Palestina yaitu General of Palestine Student (GUPS) [9])
5. Sebagai tindak lanjut dari konprensi Islam
Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 6 - 12 Maret 1965 di Kota Bandung
Jawa Barat, dibnetuklah suatu wadah yang menghimpun ummat Islam se Asia-Afrika
dengan nama OIAA (organisasi Islam Asia-Afrika). Badan dunia ini diketuai oleh
KH. Ahmad Syaichu. Dalam struktur OIAA ini ada departemen yang mengurus bidang
kemahasiswaan yaitu “Biro mahasiswa OIAA” . Dalam Biro ini PMII diwakili oleh
sahabat Abdurrahman Saleh dan sahabat Siddiq Muhtadi, masing-masing sebagai
ketua dan sekretaris [10]).
6. Dalam organisasi ekstra universitas sedunia
WAY (word asembly of youth) PMII diwakili oleh sahabat Muslim Hasbullah, yang
kemudian diganti oleh sahabat Umar Basalim. Kegiatan yang diikuti oleh PMII
dalam Forum WAY tersebut adalah :
·
Leadership
Training di India yang di ikuti oleh
sahabat Umar Basalim
·
Seminar
pemuda dan Family planning di Jakarta, di ikuti oleh sahabat Fahmi Ja’far dan
sahabat Wahab Jailani (Ketua Koorcab PMII Jawa Tengah)
·
Leadership
Training di Pasar minggu Jakarta, yang di ikuti Oleh sahabat Joko Purwono
(ketua LPKP PP PMII)
·
Seminar
Family Trainning di Amsterdam yang di ikuti oleh sahabat Zaini Abd, Syukur. Dll
[11])
7. Untuk mengatasi kekosongan yang diakibatkan
oleh tidak aktifnya GEMUIS, serta organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya
yang tidak pernah berumur panjang, dikarenakan egoisme masing-masing organisasi
mahasiswa Islam sendiri, maka PMII mesponsori berdirinya “Persatuan Mahasiswa
dan Pelajar Indonesia” (PMPI).
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan antara lain : sebagai wadah
penyalur aspirasi dari gabungan potensi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam
dengan menitikberatkan pada bidang agama dan solidaritas ummat Islam. Beberapa
kegiatan yang pernah dilakukan antara lain:
·
Mengkoordinasi
usaha-usaha yang merupakan tindak lanjut dari konfrensi ummat Islam
Asia-Afrika.
·
Bantuan
terhadap pengungsi Palestina baik moral maupun material
·
Demonstrasi
terhadap kedatangan Kaisar Haile Selasie, Kepala negara Ethopia, yang saat itu
sangat kejam dan menindas ummat Islam.
·
Dan
usaha-usaha membendung gerakan “Kristenisasi” terutama di daerah pedalaman luar
jawa dan penggarapan bekas anggota PKI.
Dalam PMPI ini PMII diwakili oleh sahabat
Abduh Paddare yang sekaligus menjabat sebagai ketua persedium pusat organisasi
tersebut [12]).
8. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang
bergerak dibidang kesehatan adalah “Word University Service” (WUS) dalam
organisasi ini PMII diwakili oleh sahabat Fahmi Ja’far [13]).
9. Dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah
terutama dikalangan generasi muda Islam, maka pada tanggal 14 Januari 1968,
generasi muda islam mengeluarkan surat pernyataan yang ditanda tangani oleh :
·
Siddiq
Muhtadi = PP PMII
·
Drs.
Yunus Rahman = DPP
SEMI
·
Iskandar
Sarumala = PB KMI
·
Mar’I
Muhammad = PB HMI
·
Muhammad
Jasman = DPP IMM
·
Muchtar
HN = PP
HIMMAH
10. Dengan keluarnya SUPERSEMAR maka sebagian
dari tuntutan KAMI terkabulkan, kini KAMI kembali seperti keadaan semula yakni
mengkonsolidasi organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas, namun
nampaknya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh KAMI semakin rapuh, hal ini
diakibatkan beberapa hal :
·
Sebagaian
besar aktivis KAMI sudah selesai masa studinya sehingga mereka tidak lagi bisa
aktif lagi memimpin organisasi mahasiswa, sedang penggantinyatidak saling
mengenal satu sama lain.
·
KAMI
sebagai geraka aksi tidak mampu menyuguhkan suatu progam yang berkesinambungan.
·
Secara
obyektif generasi muda mengalami kelelahan fisik dan mental dalam tahun-tahun
1965 - 1967 sering turun jalan berdemonstrasi. [14])
Usaha-usaha untuk mempertahankan KAMI ini
terus diupayakan, bahkan PMII sebagai organisasi yang dipercaya memimpin KAMI
(sebagai ketua persedium KAMI pusat) tetap berusaha mempertahankannya, dengan
pemikiran bahwa:
·
Pada
dasarnya KAMI harus tetap dipertahankan eksistensinya
·
KAMI
harus mampu mendorong terbentuknya organisasi nasional mahasiswa Indonesia yang multifungsi, yaitu :
a) Pengembangan kreasi dibidang pengamalan
ilmu dan sistem group-group voluntir akan bisa lahir dari aktivitas yang
demikian itu.
b) Sebagai moral fors yang faham akan ilmu
politik dan tahu politik praktis. Dengan dinamika yang dimiliki diharapkan
mampu menemukan strategi dan tujuan perjuangan nasional, militansi yang
dimilikinyadiharapkan mampu mendobrak kebatilan dalam segala bentuknya.
c) Pengembangan upaya-upaya keamanan di
berbagai bidang, baik fisik maupun spiritual, terutama terhadap ancaman
kembalinya PKI dan Orde Lama[15]).
Dalam usaha mempertahankan KAMI ini pernah
diadakan Rapat Kerja KAMI pusat yang berlangsung pada tanggal 2 - 6 Juni 1967
di Ciawi Bogor, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan SOMA
(serikat organisasi mahasiswa lokal) Gabungan mahasiswa kedaerahan dan PMKRI
serta dewan mahasiswa ITB menyatakan keluar dari KAMI. Usaha mempertahankan
KAMI menemukan jalan buntu. Akhirnya berlanjut pada usaha pemerintah untuk
menghimpun wadah generasi muda yang kelak kemudian hari dikenal dengan nama
KNPI (komite nasional pemuda Indonesia).
C. PASANG SURUT HUBUNGAN PMII - HMI
Membicarakan hubungan PMII
dengan HMIdalam sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia perlu kehati-hatian,
sebab sampai saat ini masih banyak kita dapatkan penulisan sejarah gerakan
kemahasiswaan di Indonesia yang ditulis secara sangat subyektif, keadaan yang
demikian ini pada akhirnya akan merugikan perjuangan pemuda dan mahasiswa Islam
secara keseluruhan, bahkan perjuangan ummat Islam itu sendiri. Kita berharap
dengan mengungkap fakta secara jujur dan obyektif, persoalan yang dulu, bahkan
kini masih dianggap salah dan menodai perjuangan ummat Islam sedikit demi
sedikit akan kita hapuskan, dan tulisan ini jauh dari niat dan sikap apologis
terhadap perjuangan dan langkah yang pernah dilakukan oleh PMII. Kita hanya
berharap dengan pengungkapan fakta secara jujur dan obyektif, citra yang keliru
mengenai kelahiran PMII yang “dianggap sebagai upaya memecah belah persatuan
ummat Islam” dapat dihilangkan.
Seperti kita ketahui bahwa
kelahiran PMII dianggap tidak lain sebagai tindakan memecah belah persatuan
ummat Islam dari sekelompok mahasiswa yang haus akan kedudukan serta tuduhan
yang cukup menyakitkan adalah bahwa kelahiran PMII itu dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap ikrar ummat Islam yang dikenal dengan “Perjanjian
Seni Sono”, yang salah satu isinya adalah “Pengakuan terhadap HMI sebagai
satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia”. Selengkapnya penulis
akan mengutip secara utuh isi dari perjanjian tersebut, yang dikutip dari buku Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975) Tulisan Drs. Agus Salim Sitompul :
Untuk meningkatkan persatuan ummat Islam
itu, yang menyangkut semua lapangan perjuangan di Gedung Seni Sono (sebelah
selatan Gedung Agung) Yogjakarta dari tanggal 20 - 25 Desember 1949,
dilangsungkan kongres Muslimin II setelah Indonesia Merdeka. Sebanyak 129
organisasi dari berbagai jenis dan tingkatan, dari segenap penjuru tanah air,
sama-sama bersepakat mengambil keputusan antara lain :
1) Mendirikan badan penghubung, mengkoordinir
kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan
dengan nama badan kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dibawah pimpinan satu
sekretariat.
2) Menyatukan organisasi pelajar Islam,
bernama Pelajar Islam Indonesia (PII)
3) Menyatukan organisasi guru Islam dengan
nama Persatuan Guru Islam Indonesia (PGI)
4) Menggabungkan organisasi-organisasi pemuda
dalam satu badan yang bernama Dewan Pemuda Islam Indonesia
5) Hanya satu organisasi mahasiswa Islam
Indonesia, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berabang di tiap-tiap kota
yang ada sekolah tinggi [16])
Dengan membaca poin terakhir dar isi perjanjian Seni Sono itu, kalangan
luar PMII dengan mudahnya menuduh bahwa kelahiran PMII tidak lain dari upaya
memecah belah ummat Islam dan usaha dari sekelompok mahasiswa yang menginginkan
kedudukan. Pernyataan pertama dapat kita buktikan dengan mengutip tulisan Drs.
Agus Salam Sitompul dalam buku Sejarah Perjuangan HMI (1947 - 1975) sebagai berikut
:
…….”Walaupun perjanjian Seni Sono tahun
1949 diputuskan oleh wakil-wakil ummat Islam berbagai organisasi, tetapi
ternyata perjanjian dan keputusan itu sudah dilanggar, tidak dipenuhi, bahkan
tidak dipatuhi dan sudah dilupakan sama sekali terbukti dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam sejenis,………….
Dibidang organisasi
mahasiswa (HMI), kini organisasi mahasiswaIslam ada 6, Serikat Mahasiswa
Muslimin Indonesia (SEMI) - PSII berdiri pada
2 April 1956, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada
17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) berdiri pada 4 April 1964,
Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri pada 20 Januari 1964, Himpunan Mahasiswa
Al-Jamiatul Wasliyah (HIMMAH) berdiri pada 8 Mei 1961. [17])
Kalau kita telusuri sejarah perjuangan ummat Islam di Indonesia, seperti
kita ketahui bahwa sebelum adanya perjanjian Seni Sono sudah ada perjanjian
serupa, yang isinya tidak jauh berbeda, yakni kecenderungan ummat Islam akan
wadah-wadah tunggal sebagai pengejawantahan dari semangat ukhuwah Islamiyah.
Perjanjian tersebut dikenal dengan IKRAR 7 NOPEMBER 1945, dimana
hanya mengakui Masyumi sebagai wadah satu-satunya partai politik Islam. Namun
karena akhirnya lahir beberapa partai Islam selain Masyumi, seperti PSII,
PERTI, dan akhirnya NU, maka sering dilontarkan pernyataan-pernyataan bahwa
ummat Islam Indonesia memang tidak bisa bersatu, baik itu dikalangan orang
tuanya, lebih-lebih dikalangan pemudanya.
Bagaimanapun juga kelahiran
PMII tidak bisa lepas dari eksistensi NU
sebagai partai politik, tidak juga dapat dinafikan dengan keberadaan
organisasi mahasiswa yang terdahulu yaitu HMI. Apalagi tokoh-tokoh HMI
seringkali menyinggung masalah perjanjian seni sono yang salah satunya isinya
adalah pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa, namun ternyata
dikemudian hari bermunculan organisasi mahasiswa yang lain. Itulah
persoalannya.
Bagi kita jelas bahwa
kelahiran PMII punya missi tertentu dan itu dapat kita lihat dari peran PMII
dulu dan kini, dan peran itulah yang membedakan PMII dengan HMI secara tegas,
baik dilihat dari motivasi lahirnya PMII itu sendiri maupun aktivitas yang
senantiasa menjadi ciri dari organisasi ini.
Ada beberapa faktor yang
mendorong terbentuknya PMII, yaitu antara lain:
1) Ikut berpartisipasi membentuk manusia yang
memiliki kemampuan intelektual yang disertai dengan kemampuan agamis
2) Berusaha secara preventif, memperhatikan
kelestarian Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah
3) Meneruskan perjuangan para Syuhada dengan
melakukan regenerasi kepemimpinan.
Dari motivasi itulah kita dapat
membedakan sosok dan misi yang dibawa oleh PMII dan HMI. Perbedaan tersebut
dapat kita baca pada poin yang kedua, yaitu “Berusaha secara preventif
memperhatikan kelestarian Islam Aswaja” di Indonesia. [18])
Harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada
organisasi mahasiswa selain PMII yang secara tegas menyatakan bahwa
organisasi itu bertujuan mempertahankan dan menyebar luaskan faham Islam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Aswaja), motivasi inilah yang paling kuat mendorong
dilahirkannya PMII.
Perjanjian seni sono secara
gamblang menyatakan bahwa peserta kongres ummat Islam yang diwakili 129
organisasi Islam itu berikrar mengakui hanya HMI satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam, tetapi sejarah mencatat bahwa kelak dikemudian hari ternyata
lahir tidak kurang dari 5 organisasi Islam selain HMI. Apakah kelahiran 5
organisasi Islam itu berarti mnengingkari isi perjanjian seni sono tersebut
Dalam kurun waktu antara tahun
1950 - 1959 berlaku zaman demokrasi leberal dimana tumbuh dengan suburnya
organisasi-organisasi politik (baca = partai politik), salah satu upaya agar
partai politik itu dapat berkembang dengan baik adalah dengan merekrut
anggota-anggotanya dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
mahasiswa tak terkecuali. Dapat kita maklumi bahwa semua partai politik akan
menganggap mahasiswa sebagai sumber daya potensial untuk memperkuat jajarannya,
hal ini seperti yang dikatakan oleh
Onghokham :
…….Tahun pemilihan umum 1955 dimana terjadi
perluasan organisasi mahasiswa partai, seperti HMI (disini Onghokham
mengkategorikan HMI sebagai organisasi partai), GMNI, CGMI, dan lain-lain.
Pelembagaan dalam partai-partai sebagai aktivitas disekitar pemilihan umum,
dari gerakan pemuda zaman itu adalah sangat penting dalam memberikan arah dan
tujuan ormas-ormas mahasiswa. [19])
Disinilah arti penting organisasi mahasiswa bagi kemajuan organisasi politik.
Itulah yang mendorong partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1956
mendirikan SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia).
Kelahiran PMII mempunyaimotivasi
tak jauh berbeda dengan organisasi mahasiswa Islam lainnya, yakni merupakan
kebutuhan dari mahasiswa nahdliyin untuk menyalurkan aspirasinya secara lebih
leluasa, seperti yang dikatakan oleh sahabat Chotiul Umam :
“Jelas bahwa PMII itu dilahirkan atas dasar
tuntutan sejarah perkembangan perkembangan pelajar dan mahasiswa NU. Berdirinya
PMII semata-mata karena waktunya sudah
tiba dan kepentingannya sudah sangat mendesak untuk mengurusi mahasiswa
nahdliyin khusunya secara tersendiri telah datang untuk para mahasiswa nahdliyin buat berdiri di atas
kaki sendiri, membangun suatu gerakan mahasiswa yang lebih dapat dipercaya
untuk menjadi alat revolusi. [20])
Itulah motivasi dan
latar belakang kelahiran PMII. Dan bagaimana hubungannya dengan isi perjanjian
seni sono ?, untuk menjawab pertanyaan ini akan penulis kutip pendapat Mahbub
Junaidi :
Perjanjian seni sono itu memang ada tetapi
perlu kita ketahui bahwa maksud dari pengakuan HMI sebagai satu-satunya
organisasi mahasiswa Islam, adalah manakala HMI mampu menampung seluruh potensi
dan aspirasi mahasiswa Islam yang tergabung di dalamnya. Kenyataannya kelompok
mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terslurkan aspirasinya dalam HMI.
Walaupun kongres ummat Islam itu
menyatakandihadiri 129 organisasi Islam tetapi secara faktual kelompok-kelompok
mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terwakili dalam 129 organisasi
ummat Islam itu. Sehingga kita sebenarnya secara moral tidak punya ikatan
apapun dengan isi perjanjian seni sono itu. [21])
Lebih lanjut Mahbub Junaidi mengatakan,
dalam Pidato Hari Lahir PMII yang ke 5 :
Macam-macam intimidasi dan pernyataan yang dilemparkan ke muka kita pada
saat pergerakan kita ini lahir. Misalnya apa sih perlunya dan maksudnya PMII
dilahirkan ?, apakah itu bukan pekerjaan sparatis ?, apakah itu bukan pekerjaan
memecah belah persatuan mahasiswa Islam ?, apakah itu bukan pekerjaan orang
yang dibakar emosi ?, tetapi tidak realistik sama sekali. Buat apa sih
mahasiswa itu ikut-ikutan berdiri dibawah bendera partai politik ?, bukankah
mahasiswa Islam itu sebaiknya non partai, bahkan non politik, supaya lebih
mantap dia punya kebaktian, supaya lebih obyektif cara memandang persoalan,
supaya lebih terjamin mutu ilmunya, bukankah mahasiswa itu cerdik dan
bijaksana, ilmu banyak dan akalpun banyak, karena itu sebaiknya menjadi milik
ummat Islam saja, dan tidak perlu menjadi milik partai politik, begitulah
macam-macam pertanyaan yang timbul disaat PMII lahir, lima tahun yang lalu. [22])
Itulah reaksi yang timbul ketika PMII lahir seperti
apa yang dipaparkan oleh sahabat H. Mahbub Junaidi dalam pidato Panca Warsa
PMII. Tentu saja reaksi yang paling keras datang dari HMI. Seperti kita
ketahui, basis-basis HMI di perguruan tinggi umum dilumpuhkan oleh CGMI dengan
cara mengeliminasi pengaruh HMI pada lembag-lembaga kemahasiswaan, dalam
keadaan seperti itu harapan HMI lebih banyak bertumpu pada perguruan tinggi
agama atau IAIN, tetapi disinipun HMI justru mendapat saingan dari PMII.
Agus Salim Sitompul pernah
mengatakan dalam bukunya :
“Karena dominannya HMI di perguruan tinggi sebagai basis kekuatannya,
maka HMI harus ditendang dari kegiatan kemahasiswaan dengan jalan menyingkirkan
anggota-anggota HMI dari dewan-dewan mahasiswa, Senat mahasiswa, penitia
pemilihan, panitia masa perbakti, dengan cara-cara demikian HMI semakin lama
semakin kerdil lantas mati dengan sendirinya”………………
Dihampir semua universitas/pergutuan tinggi
negeri/swasta kecuali perguruan tinggi Islam dan IAIN, Anggota HMI dikeluarkan
dari Dema/Sema, Panitia masa Perkenalan, serta kegiatan lain yang menyangkut
posisi, kecuali kepanitiaan PHBI (panitia hari besar Islam). [23])
Dalam posisi yang sulit itu jelas HMI sangat mengharapkan
tetap bertahannya basis mereka di perguruan tinggi agama/IAIN, Misalnya di UII
Yogjakarta dan Universitas Muhammdiyah Jakarta, tetapi kenyataannya kini ada
organisasi mahasiswa Islam lain lahir dan organisasi itu begitu cepat
berkembang, tedrutama di IAIN. Hal itu wajar mengingat kultur sebagian besar
mahasiswa IAIN berlatar belakang keluarga NU, seperti yang dikatakan oleh
Burhan D Magenda “bahwa dari golongan Islam hampir tidak terwakilidalam
perguruan tunggi di zaman kolonial, dan hanya sedikit jumlahnya pada zaman
demokrasi parlementer. Pada tahun 1960-an kesempatan terbuka lebar bagi mereka
yang berorientasi kebudayaan dekat dengan NU banyak yang masuk ke IAIN”. [24])
Dari gambaran di atas jelas bahwa dalam perkembangannya PMII mengalami
kemajuan yang luar biasa. Dalam usianya yang baru lima tahun PMII telah
memiliki 47 cabang. [25])
Akibatnya ketegangan-ketengangan mulai timbul, terutama di kampus-kampus
perguruan tinggi agama/IAIN. Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi
ketengangan-ketenganggan itu, maka PP PMII yang dipimpin oleh sahabat Mahbub
Junaidi datang ke Kantor PB HMI untuk membicarakan persoalan kedua organisasi
tersebut. Peristiwa itu pada tanggal 4 Juli 1961. Tapi nampaknya usaha dan
uluran tangan PMII itu kurang membawa hasil. Terbukti dengan semakin kerasnya
persaingan yang terjadi antara kedua organisasi ini. Ada satu fakta sejarah
yang tentu saja pemaparan fakta ini bukan berarti membuka luka lama, tetapi
sekedar menegaskan sejarah, apapun bentuk dari lembaran sejarah itu kita harus
dapat menarik pejalaran daripadanya.
Ketegangan terjadi antara PMII dengan HMI di Kota Pelajar Yogjakarta,
Peristiwanya dimulai tatkala dilangsungkan pidato laporan tahunan Rektir IAIN
Sunan Kalijogo Yogjakarta Prof. Sunaryo, SH pada tanggal 10 Oktober 1963.
Sidang senat itu akhirnya gagal. Sebab ditengah pembacaan laporan itu tiba-tiba
seorang pengurus dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo tampil kedepan merebut
microphon dan membacakan pernyataan yang antara lain mengecam tindakan menteri
agama, yaitu KH. Syaifuddin Zuhri yang dituduh melakukan proyek NU-nisasi
didalam tubuh Departemen Agama. Bahkan dalam keributan itu seorang anggota PMII
di pukul, sehingga hal ini mengakibatkan munculnya protes dari pengurus cabang
PMII Yogjakarta.
Disamping pernyataan-pernyataan dari PC PMII Yogjakarta, juga para
anggota dewan mahasiswa mengeluarkan pernyataan dengan nada yang sama dengan PC
PMII Yogjakarta. Mereka Djawahir Syamsuri, A. Hidjazi AS, A. Nizar Hasyim, Imam
Sukardi dan Asnawi Latif, BA.
PERNYATAAN PC PMII YOGJAKARTA
Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Berhubung dengan terjadinya peristiwa 10
Oktober 1963 di IAIN Yogjakarta maka pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta memandang sangat perlu membuat pernyataan yang berbunyi sebagai
berikut :
Mengingat : 1. Membaca pernyataan dari dewan
mahasiswa
IAIN
Yogjakarta tanggal 10 Oktober 1963
2. Pentingnya
keutuhan mahasiswa dalam
situasi menghadapi konfrontasi terhadap Malaysia
3. Terjadinya pemukulan terhadap salah seorang
mahasiswa IAIN anggota PMII.
4. Tindakan-tindakan yang dipelopori oleh
dewan mahasiswa IAIN bertentangan dengan Manipol-Usdek, Panca Dharma Bhkati
Mahasiswa
5. Tindakan-tindakan itu mencemarkan nama baik
IAIN khususnya pemerintah daerah Yogjakarta dan negara Indonesia pada umumnya.
Menyatakan : 1. Mengutuk keras
perbuatan yang terjadi di
IAIN yang
bertentangan dengan manipol
yang berbunyi
“modal pokok bagi tiap-tiap
revolusi
nasional menentang imprealisme
dan
kolonislisme ialah konsentrasi kekuatan
nasional dan
bukan perpecahan kekuatan
nasional (hal
13).
2. Tindakan itu adalah a-manipol, anti persa -
tuan nasional dan kontra revolusioner yang membahayakan negara.
3. Bahwa IAIN bukan miliki satu golongan.
MEMUTUSKAN :
1. Menuntut dibubarkannya dewan mahasiswa IAIN
periode 1963 - 1965
2. Menuntut agar yang berwajib mengambil
tindakan tegas terhadap peristiwa pemukulan anggota PMII di IAIN
3. Menuntut agar diambil tindakan tegas
terhadap golongan/oknum-oknum yang mendalangi peristiwa tersebut
4. Mendukung sepenuhnya Rektor IAIN dan
Menteri agama.
Demikian harap dimakluni
Yogjakarta 10 Oktober 1963
Pimpinan Cabang
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta
Ketua Sekretaris
Dua
( H. Ahmadi Anwar, BA )
( Nurshohib Hudan )
Sengaja isi pernyataan dari pengurus PMII cabang Yogjakarta ini dimuat
secara lengkap agar pembaca dapat melihat dan mengetahui permasalahan yang
sebenarnya.
Pada tanggal 17 Oktober 1963 antar pukul 10.00 - 11.00 telah terjadi
demonstrasi oleh sejumlah mahasiswa IAIN Ciputat Jakarta, berjumlah sekitar 500
orang mahasiswa. Para demonstran itu menamakan dirinya komite mayoritas
mahasiswa IAIN. Mereka menemui Rektor IAIN Prof. Drs Sunardjo - rektor bersedia
menemui mahasiswa dengan didampingi Dekan-dekan fakultas. Para mahasiswa
membawa poster-poster yang bertulisan : IAIN adalah asset nasional, bukan milik
golongan/partai, NU-nisasi di Departemen agama = kontra revolusi. [26])
Sumber data ini berasal dari Drs. Ridwan Saidi (mantan ketua umum PB HMI).
Selanjutnya akan dipaparkan tanggapan dari KH. Syaifuddin Zuhri, dalam
menanggapi peristiwa 17 Oktober 1963 di IAIN Ciputat itu sebagai berikut :
Aksi pengganyangan terhadap NU dilancarkan
juga di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, sekelompok mahasiswa membuat
coretan-coretan pada dinding IAIN dan menyebarkan pamflet “Ganyang NU, Ganyang
Idham Khalid, Ganyang Syaifuddin Zuhri”, sangat terasa pada saat potensi ummat
Islam walau sekecil apapun sedang digalang untuk persatuan dan solidaritas
menghadapi usaha Nasakomisasi hampir di semua kegiatan Nasional. Pada saat itu
sekelompok mahasiswa IAIN melancarkan kampanye anti NU. Sangat disayangkan
sekali, bahwa sebagian besar dari mereka anggota HMI. Dan jika mahasiswa IAIN
dari kelompok PMII bangkit membela NU, hal itu bisa dimengerti …………………………………………
Dalam situasi menghadapi Nasakomisasi dan
pentingnya arti persatuan ummat Islam, tiba-tiba sekelompok mahasiswa IAIN
melakukan kampanye anti NU dan mengganyang Syaifuddin Zuhri dan Idham Khalid
yang keduanya berkedudukan sebagai Menteri. Demontrasi itu dilakukan di dalam
Kampus IAIN, sebuah komplek perguruan tinggi Islam miliki Negara. Dengan
pertimbangan itulah, maka alat-alat negara menindak beberapa mahasiswa dan
dosen IAIN yang dituduh mendalangi. Namun kepada Kapolri Jenderal Polisi
Sukarno Saya (maksudnya KH. Syaifuddin Zuhri) yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri agama, meminta agar mereka dibebaskan. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak
kita yang dididik dalam lingkungan lembaga yang dikelola oleh menteri agama.
Brigjen A. Manan, pembantu utama Menteri agama dan HA. Timur Jailani, MA kepala
Biro Perguruan Tinggi departemen agama dapat berbicara banyak tentang ini. Saya
minta kepada mereka berdua, agar hukuman skorsing kepada mereka yang terlibat
supaya segera diakhiri, agar mereka bisa aktif kembali (kuliah maupun mengajar)
sebagaimana biasanya. [27])
Peristiwa di IAIN Ciputat itutidak ada penyelesaian yang berarti, bahkan
menambah panasnya suasana, terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh PP PMII dalam kongres II di Yogjakarta mengenai peristiwa
tersebut.
“Perlu segera diambil kebijaksanaan baru
berupa tindakan-tindakan yang konkrit dan mengurangi kompromi-kompromi serta
toleransi yang keterlaluan demi keselamatan IAIN dan revolusi nasional ……………………………………………..
Mendesak kepada pemerintah agar lebih tegas
lagi bertindak terhadap anasir-anasir kontra revolusioner yang hendak
melumpuhkan IAIN dan menjauhkan diri dari kompromi dan toleransi yang
berlarut-larut. [28])
Dari dua peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketegangan
antara PMII dan HMI adalah merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensi PMII
di Perguruan tinggi yang kelak akan menjadi basisnya (baca = IAIN). Tetapi bagi
HMI, ketegangan-ketegangan itu memang disengaja supaya dapat mempertahankan
dominasinya, karena itu merupakan benteng terakhir bagi basis kekuatannya,
sebab seperti kita ketahui, sejak permulaan tahun 1960 sampai dengan kelahiran
Orde Baru basis kekuatan HMI terpukul habis di perguruan tinggi umum, dan kita
dapat memaklumi bila sudah menyangkut soal hidup - matinya organisasi maka
siapapun aktivis organisasi itu akan mempertahankan organisasi itu walau dengan
cara-cara yang irasional sekalipun. Bahkan melanggar ketentuan formal maupun
ketentuan agama. Itulah ironisnya, jika fanatisme golongan lebih tinggi
nilainya daripada fanatisme terhadap bangsa yang kita cintai ini.
Catatan menarik lainnya seperti yang dikatakan oleh sahabat Zamroni
(yang kala itu menjabat sebagai ketua persedium KAMI pusat), sehubungan dengan
HMI :
“…….Sementara di daerah lain, para pemimpin
PMII, misalnya di Sumatera Utara, Ujungpandang dan Yogjakarta seperti Saiful
Mujab - kala itu jadi tukang pidato membakar massa. HMI sendiri selalu
sembunyi.
Masih gencar-gencarnya KAMI melakukan
demonstrasi, tiba-tiba HMI menghadap Bung Karno. Bahkan HMI sampai memberi Peci
mahasiswa kepada Bung Karno. Mungkin bermaksud mendekat “cari muka” supaya
tidak dimusuhi. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap komitmen kita
sebagai mahasiswa dan pemuda Indonesia yang tergabung dalam KAMI, yang saat itu
sedang giat-giatnya berjuang untuk menumbangkan rezim Orde Lama dan membela
amanat penderitaan rakyat.
Begitu pagi-pagi saya bangun tidur, seperti
biasanya baca koran. Dalam koran itu diantaranya memuat tentang HMI. “HMI
menyerahkan atau meberikan Peci kepada Bung Karno”. Spontan saya marah besar.
“Apa-apaan ini. Kita habis melakuka demonstrasi ke Bogor, kok malah HMI
begitu”. Kemarahan itu saya tunjukkan kepada Mar’ie Muhammad (mantan Menteri
keuangan kabinet VII Orde Baru) dan Sulastomo (Kini ketua umum persaudaraan
haji Indonesia) yang kala itu menjadi wakil HMI di KAMI. Lalu kedua orang ini
menjawab: “tidak tahu, karena tidak ikut ke Istana Bogor. Tapi yang jelas, PB
HMI menghadap Bung karno ke Bogor”. Alhasil, membuat saya marah besar. [29])
Masalah hubungan PMII dengan HMI diawal tahun 60-an, memang penuh dengan
gejolak perselisihan, tetapi nampaknya ada saat-saat tertentu justru PMII ikut
membela mati-matian terhadap eksistensi HMI pada saat kritis. Ada catatan-catatan
yang mengungkapkan bahwa pada saat tertentu dapat bekerjasama dengan baik.
Kita ketahui bahwa kondisi ummat Islam pada masa Orde Lama, terutama
bagi mereka yang mendapat kontra predikatrevolusioner, nasibnya benar-benar
berada diujung tanduk. Untuk merapatkan barisan dikalangan organisasi mahasiswa
dan pelajar Islam, sebagai implementasi dari semangat ukhuwah Islamiyah, maka
pada tanggal 19 - 26 Desember 1964 di Jakarta (atas prakarsa GP. Ansor yang
didukung sepenuhnya oleh PMII) diadakan musyawarah generasi muda Islam untuk
membentuk suatu wadah yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama GEMUIS.
Didalam wadah inilah segenap potensi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa
Islam bergabung, (Menurut Drs. Ridwan Saidi pada waktu itu - tahun 1964 - di
Indonesia ada sekitar 36 organisasi pemuda, pemudi, pelajar dan mahasiswa Islam
tingkat pusat. Lihat buku : Pemuda Islam dalam dinamika politik Bangsa 1925 -
1984, tulisan Drs. Ridwan Saidi, halaman 46). Dengan wadah GEMUIS inilah
generasi muda Islam berjuang “membela dan menyelamatkan HMI” dari gempuran
CGMI. Dibawah ini kami kemukakan satu ilustrasi bahwa GEMUIS benar-benar
membela HMI pada saat-saat yang kritis dan membutuhkan pertolongan :
“Persedium Majlis Nasional Generasi Muda
Islam (GEMUIS) atas nama 25 organisasi anggota dengan 10 juta massa anggotanya
dengan kawatnya yang ditandatangani oleh Drs. Lukman Harun selaku ketua
persedium telah disampaikan kepada Presiden. Dengan menyampaikan rasa syukur
atas kebijaksanaan Presiden mengenai HMI. Dan GEMUIS merasa berkewajiban
mengamankan kebijaksanaan tersebut demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan
Nasional. [30])
Sementara berlangsung penganugrahan bintang
Maha Putra di Istana Merdeka untuk DDN. Aidit, pada saat yang sama tidak jauh
dari Istana, pada tanggal 13 September 1965 Generasi muda Islam (GEMUIS)
Jakarta Raya dengan ribuan massa pemuda mengadakan demonstrasi tertib di Krotar
dan PB Front Nasional. Maksudnya untuk menyatakan rasa solidaritas terhadap
hidup HMI. Diantara sekian banyak spanduk dan Poster, ada satu diantaranya yang
sangat mengharukan, yaitu yang dibawa rekan-rekan HMI sendiri yang berbunyi :
Langkahi dulu mayatku sebelum ganyang HMI. [31])
Adapun isi pernyataan GEMUIS Jakarta Raya tersebut selengkapnya sebagai
berikut :
Dengan tegas dan tandas menyatakan akan
tetap membela HMI sampai titik darah penghabisan dari rongrongan kaum agama
phobi. HMI merupakan alat perjuangan ummat Islam dan Bangsa Indonesia, serta
memohon kepada Presiden agar HMI diberi kebebasan bergerak disegala bidang. [32])
Kita ketahui, bahwa HMI dituduh kontra revolusioner oleh pemerintahan
Orde Lama, dan HMI diberi kesempatan waktu selama 6 bulan untuk memperbaiki
dirinya. Pada saat itulah PB HMI datang kepada sahabat Mahbub Junaidi (yang
waktu itu menjabat sebagai ketua Umum PP PMII). Secara singkat sahabat Mahbub
menceritakan :
Suatu hari datang kepada saya dua tokoh
HMI, yaitu Mar’ie Muhammad dan Dahlan Ranuwihardjo, kedatangan kedua tokoh HMI
itu bertujuan agar saya dapat mengusahakan satu permohonan langsung kepada
Presiden Soekarnoe supaya HMI tidak jadi dibubarkan. [33])
Apakah upaya permohonan yang dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi itu
berhasil atau tidak, lebih lanjut sahabat Mahbub pernah menulis sebagai berikut
:
PERTEMUAN DI ISTANA BOGOR
Kami duduk di paviliun, di Bangku rotan,
belum lagi sampai pada pokok pembicaraan hujan sudah turun, berikut angin.
Karena ruang depan teramat sederhana, kami terpercikkan air, “mari kita pindah
kedalam ! kata Bung Karno. “Beginilah nasib Presiden Indonesia, hujan saja
mesti ngungsi”, kata Bung Karno. Mulailah kubicarakan perihal HMI, “apanya sih
yang salah pada diri HMI itu. Saya orang pernah dari sana, jadi sedikit banyak
tahu isi perutnya. HMI itu pada dasarnya “independen” tidak menjadi bawahan
partai manapun, tidak juga Masyumi. Coba saja lihat anggota-anggotanya mulai
dari tingkat atas sampai tingkat cabang, campur aduk seperti es teler. Perkara
belakangan muncul organisasi mahasiswa lain yang juga berpredikat Islam, itu
sama sekali tidak merubah warna asal. Coba saja lihat pada waktu pemilu 1955,
tiap anggota HMI diberi diberi formulir mau ikut bantu parpol yang mana,
ternyata disitu menghadapi saat-saat yang gawat menjelang pecahnya
pemberontakan PRRI, langkah apa yang ditempuh ketua Umum HMI Ismail Hasan
Metarium cukup jelas. Banyak jalan menuju roma, seperti banyak jalan daripada
main bubar, dan sebagainya.. Karena seorang Presidenpun perlu makan, maka makan
nasi pecellah kami dengan daging dan tempe goreng. Apakah pembicaraan itu punya
arti bagi HMI, saya tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali. Sekedar
tambahan kecil sebelum lupa, baik juga saya catat disini, Menteri agama
Syaefuddin Zuhri berdiri persis dibelakang layar pertemuan itu. [34])
Dengan nada merendah Mahbub Junaidi seperti
tersebut di atas berkata : “Apakah pembicaraan itu punya arti bagi HMI saya
tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali”. Sekedar tambahan penulis
kemukakan disini, jelas pembicaraan itu punya banyak arti bagi “keselamatan
HMI” , sebab buat apa PB HMI datang meminta tolong pada sahabat Mahbub Junaidi
supaya ikut membantu “menyelamatkan HMI, jika beliau tidak dipandang sebagai
tokoh yang dekat dengan Presiden ?. Sebagai ilustrasi betapa dekatnya hubungan
sahabat Mahbub Junaidi dengan Bung Karno, ada satu pengalaman yang mengharukan
antara Bung karno dengan Mahbub Junaidi :
Bagaimanapun hati sepi adalah hati sepi.
Pikiran Bung Karno menerobos ke masa depan, tetapi sebagai orang yang puluhan
tahun bersama-sama massa, kesendirian adalah suatu beban yang tak tertahankan,
Singa Gurun berpisah dengan kelompoknya, bagaimana bisa bercengkrama dengan
teman-teman ?, bagaimana bisa berseloroh ?, bagaiamana bisa memuntahkan isi
hati yang coraknya senantiasa mondial itu. “Aku ingin ngobrol sambil makan
siang dengan Kiyai-Kiyai NU”, dimana mereka itu sekarang, bagaimana caranya Kau
bisa atur ? dengarkan baik-baik, cuma makan siang, tidak lebih tidak kurang !.
Di Rumah siapa ? tanyaku.
Siapa saja, Idham boleh, Jamaludin Malik
boleh. Mana saja yang sudi mengundangku makan siang. Maka berputar-putarah saya
menawarkan keinginan yang teramat sederhana itu……… H. Moh. Hasan, bekas Menteri
pendapatan, pengeluaran dan penelitian, dan saat itu menjadi Menteri negara
entah apa urusannya.
Baiklah, katanya, maka makan siangpun
terjadi di Rumahnya di Jl. Senopati Kebayoran Baru. Hanya makan siang, sesudah
itu bubar. Almarhum Kiyai Wahab dan Kiyai Bisri (juga sudah almarhum) pun ikut
menemani. Jika tidak seluruhnya, sebagaian tentu ada juga rasa kesepian
terobati. [35])
Dalam perjalanan sejarahnya
“pertarungan” antara PMII dan HMI. ketika itu memang terasa semakin mengental,
entah apa yang menjadi alasan bagi mereka, yang jelas Kafrawi Ridwan dkk di
Yogjakarta mendemo Mentri Agama Prof. KH. Saifudin Zuhri. Padahal pada
saat-saat yang bersamaan, disamping Sahabat Mahbub Junaidi, para tokoh PB NU
sedang sibuk mondar-mandir menghadap Bung Karno agar HMI tidak dibubarkan.
Ketua Umum PB NU KH. DR. Idham Chalid dan Mentri Agama Saifudin Zuhri, justru
berusaha meyakinkan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Langkah-langkah yang
dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi dan para Tokoh NU ini diketahui persis
oleh sementara pimpinan PB. HMI tapi bagi sebagian yang lain di anggap sebagai
angin lalu, dan bahkan di anggap sesuatu yang mustahil dan tidak pernah ada.
Mahbub Junaidi mau melakukan
pembelaan itu semata-mata karena ukhuwah islamiyah, dan merasa HMI adalah
saudara seperjuangan sesama mahasiswa Islam. Ketika itu sahabat Mahbub Junaidi
merupakan tokoh mahasiswa – satu-satunya – yang mempunyai akses langsung kepada
Presiden Sukarno.[36]
Pengungkapan fakta ini bukan maksud PMII ingin agar jasa-jasanya
(kalaupun apa yang diperbuat PMII itu dianggap punya arti bagi HMI) untuk
selalu dikenang dan HMI punya hutang budi pada PMII. Bukan itu maksud PMII.
Kita hanya ingin agar hubungan yang tidak baik antara kedua organisasi itu
dapat diakhiri sehingga tidak lagi terdengar berita-berita yang memojokkan
PMII. Karena banyak sekali kasus-kasus yang menimpa warga PMII akibat
diskriminasi pihak-pihak tertentu, seperti adanya anaman Rektor salah satu
perguruan tinggi Islam yang terbesar dan tertua di Yogjakarta, menggugat
mahasiswanya lantaran sebagian dari mereka berhasil mendirikan Komisariat PMII
yang ternyata berkembang dengan pesat. Atau kasus-kasus lain yang terjadi di
berbagai IAIN, padahal rata-rata mereka memiliki prestasi studi yang dapat
dibanggakan. Ironis sekali, kasus-kasus itu terjadi hanya lantaran rasa dendam kesumat yang tak kunjung
berakhir.
[1] Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975), Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 74.
[2] Mahbub Junaidi, Meningkatkan
Konsolidasi Untuk pembinaan Orde Baru dan Kemenangan Demokrasi, Laporan
Ketua Umum PP PMII Pada kongres Ke III tanggal 7 - 11 Februari 1967 di Malang
Jawa Timur.
[3] Laporan PP PMII Periode
1967 - 1970 pada Kongres IV di Makasar Tanggal 25 - 30 April 1970, Halaman 10
[4] Ibid, Halaman 7 dan 8
[5] Ibid, Halaman 7
[6] Surat edran PP PMII tentang
: Regestrasi Alumni PMII, N0. 070/PP-IV/VIII/67, Jakarta,
tertanggal 22 Agustus 1967.
[7] Harian Suara Islam,
Jakarta, tanggal 22 September 1965, - Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, PT Bina Ilmu,
Surabaya 1976, Halaman 61
[8] Drs. Chotibul Umam, Sewindu PMII, PC PMII Ciputat, Tahun 1967, Halaman 4
[9] Ibid, Halaman 5
[10] Laporan Pertanggung jawaban
PP PMII pada kongres IV PMII di Makasar tanggal 25 - 30 April 1970, Halaman 15
[11] Ibid, Halaman 15
[12] Prisma No. 12 Desember 1970,
Dialog Gerakan Orang Muda: Gelombang yang tak kunjung mencapai Patai,
Halaman 25 - 47
[13] Ibid, Halaman 16
[14] Ibid, Halaman 49
[15] Surat edaran PP PMII No.
497/PP-IV/V/69, Jakarta, tertanggal 31 Mei 1969, Hal : Kongres Nasional
Mahasiswa Indonesia
[16] Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975), PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 36
[17] Ibid, Halaman 39
[18] Fauzan Alfas, Ke-PMII-an,
Materi ke-PMII-an pada Mapaba PMII Cabang Malang tahun 1989, Halaman 2
[19] Onghokham, Angkatan
Muda Dalam Sejarah dan Politik, Prisma No. 12 Desember 1977, halaman 21
[20] Drs. Chotibul Umam, Sewindu PMII, PC PMII Ciputat,
Jakarta, 1967, Halaman 3
[21] Wawancara dengan H. Mahbub
Junaidi di Arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur. Tanggal 8 - 12
Desember 1984
[22] Mahbub Junaidi, Pidato Panca Warsa PMII,
Tanggal 17 April 1965
[23] Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halaman 49
[24] Burhan D Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya
dengan Politik: Suatu Tinjauan, Prisma No. 12 Desember 1977, Halaman 8
[25] Mahbub Junaidi, Loc-Cit,
Halaman 3
[26] Drs. Ridwan Saidi, Antara
Dongeng dan Sejarah, dalam PPP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam,
Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 57
[27]) Suaefuddin Zuhri, Mengalihkan masalah NU-MI menjadi issu
Orde lama Orde Baru, Dalam PP, NU dan
MI, Gejolak Politik Islam, Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 42
[28] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit,
Halaman 58
[29] Drs. HM. Zamroni, PMII
dan Proses Orde Baru, dalam Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi,
Effendy Choiri dan Choirul Anam, Aula, Surabaya, 1991, Halaman 95 - 96
[30] Agus Salim Sitompul,
Loc-Cit, Halamat 64
[31] Agus Salim Sitompul,
Loc-Cit, Halaman 64
[32] Ibid, Halaman …
[33] Wawancara dengan Sahabat
Mahbub Junaidi, di arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo Jawa Timur, 1o Desember
1984
[34] H. Mahbub Junaidi, Fakta
harus dijunjung tinggi seperti Mertua, catatan untuk seperempat abad Syaefuddin
dan Bung Ridwan, dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam , Integrita
Press, Jakarta, 1984, Halaman 33
[35] Mahbub Junaidi, Sukarnoisme,
Suatu ujian sejarah dalam 80 Tahun bung karno, Sinar Harapan, Jakarta,
1982, Halaman 258
[36] ) HA. Baidhowi Adnan, M.
Zamroni: Pejuang Yang Konsisten, dalam
Pendahuluan Kilas Balik Perjuangan Zamroni, Penerbit PB. PMII, 2005,
Halaman 4
BAB
II
MASA KEBANGKITAN
( 1964 - 1968 )
A. PMII DAN KEBANGKITAN ORDE BARU
Pada tanggal 19 - 26 Desember 1964 di Jakarta pernah diadakan musyawarah
nasional generasi muda Islam yang kemudian lebih dikenal dengan “GEMUIS” .
Musyawarah yang gagasan awalnya muncul dari gerakan pemuda Ansor ini, bertujuan
untuk memperkuat ukhuwah islamiyah (kerukunan intern ummat Islam) yang pada
saat itu sedang mengalami cobaan-cobaan akibat fitnah yang dilancarkan oleh PKI
(partai komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional generasi muda
Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat konfederatif.
PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal persedium pusat
yang diwakili oleh sahabat Said Budairy. Musyawarah nasional ini sebagai reaksi
atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya CGMI
(consentrasi gabungan mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi mahasiswa yang
berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI.
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai langkah koreksi total
terhadap kebijakan rezim Orde Lama. Kelahiran Orde Baru sebenarnya merupakan conditionine
quonon, karena nampaknya rezim Orde Lama sudah tidak mampu lagi berdiri
secara politis apalagi secara ekonomis. Kelahiran Orde Baru ini dipercepat
dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut kekuasaan melalui aksi kudeta
yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30 September / G.30.S/PKI.
Sebenarnya ada/tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap
akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola
negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya semua bantuan dari luar
negeri, akibatnya rakyat sangat menderita, karena laju inflasi membubung tinggi
sampai 600% dan pemangkasan nilai mata uang rupiah dilakukan berkali-kali, tetapi
hal itu tidak mampu merubah keadaan. Keadaan yang sudah kritis ini ditambah
lagi dengan tindakan rezim Orde Lama yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, yang berakibat separoh dari
anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan politik konfrontasi
tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI
memanfaatkan situasi - mengail ikan di air keruh - dengan melemparkan issu
bahwa dewan Jenderal akan merebut kekuasaan (kudeta) dari tangan Presiden
Soekarnoe. Dalam keadaan seperti itu, rezim Orde Lama dihadapkan pada keadaan
yang sangat delematis, disatu pihak, jika rezim ini menghukum dan membubarkan
PKI, jelas akan berhadapan dengan pemerintahan Komunis di Cina yang selama ini
mendukung politik Soekarnoe dalam politik konfrontasinya dengan Malaysia,
tetapi dilain pihak, jika tetap mempertahankan PKI jelas akan berhadapan dengan
rakyatnya sendiri, terutama rakyat yang selama ini terus menerus difitnah oleh
PKI.
Melihat situasi yang tidak menentu ini, para tokoh dan aktivis
organisasi mahasiswa ekstra Universitas berinisiatif membentuk suatu wadah
perjuangan untuk menegakkan kembali keadilan dan menyuarakan aspirasi rakyat
Indonesia yang tertindas. Mereka tampil dengan semboyan : TRI-TURA (tiga
tuntutan hati nurani rakyat) :
1. Bubarkan PKI beserta antek-anteknya
2. Retor Menteri-menteri yang goblok
3. Turunkan harga.
Geraka itu dipimpin oleh
tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan aksi mahasiswa
Indonesia (KAMI). Organisasi perjuangan ini didirikan dirumah Menteri
PTIP (Perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan) Prof. DR. Syarif Thoyib di Jl.
Imam Bonjol 26 Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1965. Organisasi ini didasarkan
pada tiga landasan pokok seperti disebut di atas dengan operasionalisasi program
:
1. Mengemankan Pancasila
2. Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam
menumpas G.30.S/PKI sampai ke akar-akarnya [1]).
Mahbub Junaidi pernah mengatakan didepan peserta kongres PMII ke III di
Malang jawa Timur :
“Bila tahap pertama pembinaan
Orde Baru dihitung dari titik awal penghancuran GESTAPO/PKI, maka PP PMII
dengan rendah hati akan mencatat bahwa peranan PMII tidak bisa disisihkan oleh
sejarah. Kita telah mengambil peranan pada saat yang sulit menentukan sikap,
teristimewa disekitar tanggal 1 - 5 Oktober 1965, tanggal keluarnya pernyataan
NU dan ormas-ormasnya yang secara tegas menunjuk hidung bahwa PKI lah dalang
dan pelaku coup G.30.S/PKI, karenanya harus dibubarkan. Tidak banyak
moment-momernt sejarah yang bisa membawa akibat besar, moment yang menuntut
kecepatan mengambil keputusan dengan landasan keberanian. Hari-hari disekitar
awal bulan Oktober 1965 dalam contoh moment yang tidak banyak jumlahnya. Pada
saat itulah PMII dan GP. Ansor secara on the sport mengambil posisi
meneliti dan mengkonklusi serta denga keyakinan luar biasa “tangan PMII-lah
yang mengayunkan garis-garis besar, pokok-pokok statemen tuntutan pembubaran
PKI. Apa yang terjadi sesudah itu kita semua sudah tahu likuidasi secara total
dilakukan seutuhnya oleh massa rakyat yang cinta Pancasila bersama ABRI. Kita
bukanlah potongan orang yang suka reklame, tetapi siapa yang berani membantah,
bahwa peranan NU, Ansor dan PMII di tahap-tahap pertama likuidasi yang
melumpuhkan PKI itu memegang peranan yang menentuka sudah kita lakukan..
Likuidaasi itu hampir-hampir kita lakukan dalam sekali gulung. Sejarah mencatat
bahwa tahap pembinaan Orde baru dalam bentuk penghancuran PKI, peranan
organisasi masaa baik di desa maupun di kota sangatlah menentukan. Mereka
tidaklah butuh segala macam tugu peringatan untuk tugas revolusi yang telah
mereka selesaikan. Kerena kita menumpas PKI bukan untuk kepentingan manusia
melainkan karena perintah agama. Itu artinya kita memang bukan “pahlawan
kesiangan” tetapi hanyalah manusia yang bangun tepat waktunya tatkala beduk
subuh berbunyi. TRI-TURA yang untuk pertama kalinya lahir tatkala demonstrasi
front pemuda pada tanggal 28 Januari 1966 dengan cepat disambut oleh
demonstrasi KAMI tanggal 10 Februari 1966 di Jakarta.
Dimulailah aksi-aksi mahasiswa ibarat bola salju, makin lama makin
besar, suatu kekuatan gerakan politik yang hampir-hampir tidak diduga orang
sebelumnya. Gerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dengan cepat merebut
kemenangan-kemenagan politik, bukan saja karena sasarannya yang tepat serta
tidak mempunyai kepentingan apa-apa kecuali Indonesia yang adil dan
makmur, tetapi juga karena mendapat dukungan massa. Garis-garis yang ditentukan
PP PMII cukup jelas, Ikut dan Pimpin KAMI mulai pusat sampai di daerah,
kebijakan ini sudah dilaksanakan dengan cepat dan luas, Sahabat Zamroni (ketua
I PP PMII) telah menunjukkan kepemimpinan yang tegas dan baik dari awal sampai
saat bubarnya KAMI, yang itu berarti juga kepemimpinan PMII. [2])
Kalau kita simak pidato ketua umum PP PMII itu, jelas bagi kita betapa
besar peran PMII dalam kebangkitan Orde Baru dan ini tidak boleh digelapkan
oleh siapapun dari sejarah Indonesia.
Bahkan ketua umum PP PMII
periode ke IV yaitu sahabat Zamroni tampil memimpin KAMI sebagai ketua umum
persedium pusat. Dengan posisi sperti itu kita dapat mengetahui bahwa PMII
punya andil besar dalam kegiatan dan mobilisasi KAMI dalam rangka kelahiran
Orde Baru. Saksi yang tak dapat diabaikan oleh siapapun adalah “Jemari
tangan kanan sahabat Zamroni yang tinggal dua buah” yang tiga terputus
ketika memimpin demonstrasi KAMI dalam menegakkan Orde Baru.
Seperti kita ketahui, kekuatan
organisasi pemuda saat itu yang paling besar adalah GP. Ansor, sedang kekuatan organisasi mahasiswa yang
paling besar adalah HMI, tetapi HMI pada saat itu baru saja terlepas dari
rongrongan CGMI dan pemerintah Orde Lama. Akibatnya walaupun secara kuantitas
kita akui PMII dibawah HMI, namun banyak kejadian justru PMII sering
meyelamatkan HMI dari rongrongan rezim Orde Lama.
Pada tanggal 6 - 16 Februari 1966
di Jakarta PP PMII mengadakan musyawarah kerja Nasional (mukernas). Forum ini
diadakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program-program kerjanya, sekaligus
menyembatani keterlambatan pelaksanaan kongres III PMII yang seharusnya
dilaksanakan pada tahun 1966. Dari forum itu tercetus suatu produk dokumen
historis yang dikenal dengan TRI SIKAP JAKARTA. Dokumen historis ini
merupakan satu sikap PMII dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang
menghadang Ummat, yang mencakup tiga bidang permasalahan :
1. Sikap dibidang politik
2. Sikap dibidang ekonomi
3. Sikap dibidang kebudayaan
(secara lengkap lihat dalam dokumen
historis - terlampir).
Secara intern Mukernas juga memutuskan hal-hal yang menyangkut
konsolidasi intern PMII :
1. Bahwa kongres III PMII akan dilaksanakan di
kota Malang Jawa Timur pada Desember 1966 (dapat dilaksanakan pada tanggal 7 -
11 Februari 1967)
2. Usaha terus menerus melakukan konsolidasi
organisasi dengan turut aktif berjuang dalam wadah KAMI.
3. Tetap melibatkan diri sepenuhnya sebagai
organisasi dependen NU.
Kongres III PMII dilaksanakan pada tanggal 7 - 11 Februari 1967 di
Malang Jawa Timur yang dihadiri sekitar 75 cabang. Dalam kongres ini PMII
mengeluarkan pokok-pokok pikiran yang dikenal dengan nama “Memorandum
Politik” . Pokok-pokok pikiran ini hanya bersifat intern, yaitu memorandum
politik yang ditujukan kepada partai NU, yang hanya berupa bahan-bahan masukan
untuk muktamar NU yang akan dilaksanakan di Bandung Jawa Barat. Hal lain yang
dihasilkan kongres III PMII adalah membentuk :
1. Lembaga pendidikan kader pusat (LPKP)
2. Lembaga da’wah pusat (LDP)
3. Lembaga Pers pusat (LPP)
4. Komando siaga angkatan Jihad (KOSAD)
5. Penyempurnaan pedoman pelaksanaan
pengelolaan pendidikan kader (P3K) yang dihasilkan dalam Mukernas I tahun 1966.
Pada kongres III ini PMII berhasil memilih sahabat Drs. H. Zamroni
sebagai ketua Umum dan sahabat Drs. Med. Fahmi Ja’far sebagai Sekretaris
Jenderal periode 1967 – 1970. Inilah satu-satunya tokoh PMII yang
terpilih sebagai ketua Umum tanpa kehadiran orang yang bersangkutan. Karena
pada saat itu sahabat Zamroni masih dalam perawatan dirumah sakit Tokyo Jepang,
Ia terpilih menjadi ketua umum PMII, otomatis ia tidak tahu. Mahbub
Junaidi ketua umum demisioner, mengirim surat ke Tokyo memberitahukan bahwa
sahabat Zamroni terpilih sebagai ketua umum PMII periode 1967-1970, melalui
Duta Besar Indonesia di Jepang. Surat itu lalu disampaikan kepada Zamroni di
rumah sakit oleh salah seorang mahasiswa Indonesia yang memang setiap hari di
tugasi Duta Besar menungui sahabat Zamroni.
Baru pada bulan April 1967 sahabat Zamroni pulang ke Indonesia, untuk
memimpin PMII. Karena saat itu susunan PP PMII belum lengkap, maka tugas
pertama yang harus dilakukan adalah melengkapi kepengurusan PP PMII periode
1967-1970. Adapun susunan pengurus PP PMII periode 1967-1970
adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS PUSAT PMII
( Periode 1967 - 1970 )
Ketua Umum :
M. Zamroni
Ketua :
Abd. Rahman Saleh
Ketua :
Moh. Abduh Paddare
Ketua :
Umar Basalim
Ketua :
Abdurrahman Hasan
Sekretaris Jenderal : Fahmi Ja’far
Sekretaris :
Siddiq Muhtadi
Sekretaris :
R. Hari Sutanto
Sekretaris :
Didik Hariyadi
Bendahara :
RS. Munara
Wakil Bendahara : Achmad Fatoni
Departemen-departemen :
Pendidikan dan Kader : Zubair Amin
Penerangan dan Humas : Azwar Tiyas
Kesejahteraan mahasiswa : H. Zaini A. Syakur
Luar Negeri :
Chatibul Umam
Keputrian :
Tien Hartini
Kesenian dan Kebudayaan : Achmadun Ambari
Olah Raga :
Tosari Wijaya
SUSUNAN LEMBAGA PENDIDIKAN KADER PUSAT
( Berkedudukan di Yogjakarta )
Ketua :
Joko Purwono SH
Ketua I :
Abdillah Sarwani SH
Ketua II :
Sabirin Harahap Bsc
Sekretaris :
Ahmad Sumali Ama
Sekretaris I : Hamzah Siddiq
Sekretaris II : Sofyan Sukri
Seksi Laboratorium : Drs. Asep Hadipranata
Seksi Logistik : Saefuddin Anwar Bsc.
Belum genap satu tahun lembaga ini berdiri
karena satu dan lain hal, diadakan penyegaran pengurus, sehingga menjadi :
Ketua :
Sabirin Harahap Bsc
Ketua I :
M. Saleh Harun BA
Ketua II :
Achmad Sumali Ama
Sekretaris :
Drs. Sofyan Sukri
Sekretaris I : Samsul Anam
Sekretaris II : Mojono MA
Seksi Laboratorium : Asep Hadipranata
:
Dalil Adisubroto
:
Sumali RD
:
Joko Purwono SH
Seksi Logistik : Asrori Nasucha
Pembantu Keputrian : Elok
Fa’iqoh Muhammad
:
Sa’adah
:
Lilik Sri suyati
:
Chariroh Anwar
:
Isti’anah [3])
SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA DA’WAH PUSAT
( Berkedudukan di Malang Jawa Timur )
Ketua :
N. Syahid Wiyoto
Wakil Ketua :
A. Hasyim Muzadi
Sekretaris :
Dimyati Uriyanto
Wakil Sekretaris : Abdurrahman Marsaid
Keuangan :
M. Subchi Hasbi
Biro - biro :
Biri Riset :
Sawihi Garetin
Pendidikan Kader : Sanusi
Biro Da’wah :
Zamhuri
:
Ali Ahmad
Penerangan dan Humas : Abdul Hajji
:
Cholilur Rahman
Dana dan Logistik : Muzani Ilyas
:
Muhammad Syarif [4])
SUSUNAN PENGURUS LEMBAGA PERS PUSAT
( Berkedudukan di Bandung Jawa Barat )
Ketua Umum :
Hisyam Bisri
Ketua I :
Syarif Hidayat Al-Hubby
Ketua II :
Itho Arifin
Ketua III :
Deden Sederhana
Ketua IV :
Agus S Mahmud
Sekretaris Umum : Sueb Supeno
Sekretaris I : Zulajar Iskandar
Sekretaris II : Muhammad Said
Sekretaris III : Chaeri Hadi CD
Sekretaris IV : Nenenng Nafsah Mutmainah
Bendahara Umum : A. Rukman
Bendahara I :
Nina Herlina
Bendahara II : Nurmillah
Biro - Biro :
Sekretariat :
Hidmat CD
:
Jaja Zakaria
:
Junaeri
:
Erlina Indera
Penerbitan :
Drs. Utui Turmudzi
:
Fahri Pasaribu
:
Musyafri
Berita :
Agus SM
:
Hidayat
:
Sauma Martini
:
Qomarin Muryati
:
Alimuddin
:
Sholichin MH
:
Rita Yuniar
Pendidikan Riset : Drs, Hafidz Usman
:
Hilman Badrudin Syah
:
Muhammad Siddiq
:
Drs. A. Ruchyat Noor
Radio dan TV : Sambas
:
Fuad Wahab
:
EA Chaliq
:
Parti P Puji
Sanggar Karya : Ajad Sudrajad
:
Tin S Indik
:
Abror Dachwan
:
Yeti Hayati
Luar Negeri :
Dida Hidayat BA
:
Dr. Bakir Abi Sujja
:
Chudlari Fadli SH
:
Firman Arifin (Jerman)
:
Pipin Hanafiyah (Tokyo)
:
Rumanah (Rusia)
:
Yayuk Hidayat (Mesir)
:
Endah Sugiarti (Tokyo)
SUSUNAN PENGURUS PUSAT BADAN KOPRI
( Berkedudukan di Surabaya Jawa Timur )
Ketua Umum :
Ismi Maryam BA
Kerua I :
Zazilah Rahman BA
Ketua II :
Siti Fatimah Bsc
Ketua III :
Adibah Hamid
Sekretaris Umum : Maryamah BA
sekretaris I : Siti Rahayu Bsc
Sekretaris II : Aminah Asraf BA
Sekretaris III : Asiah Gani
Bendahara :
Laila Badriah
Bendahara I :
Chusnul Chotimah
Biro - Biro :
Biro Kader :
Fatimah Aminah BA
Biro Da’wah :
Noor Endah Nizar
Biro Penerangan : Mutmainah Paliweng
Biro Olah Raga dan Seni : Cicik Mursyidah
Pemnatu Umum : Siti Rahmah Ismail Bsc
:
Maryam Bakir BA
:
Zamroh Dibab BA [5])
Sebagai realisasi keputusan
kongres III PMII di Malang Jawa Timur maka pada tanggal 28 Maret 1968 PP PMII
mengeluarkan peraturan tentang “Pedoman Penyelenggaraan Keseragaman Organisasi
dan Administrasi”. Hal ini didasarkan pada pemikiran :
1.
Bahwa
dalam penyelenggaraan organisasi perlu adanya pedoman yang teratur dan seragam
2.
Bahwa
adanya adanya ketentuan pedoman penyelenggaraan keseragaman organisasi dan
adminstrasi sebagai penjelasan PD/PRT dan peraturan PP PMII yang telah
ditetapkan
3.
Bahwa
belum adanya keseragaman organisasi dan adminstrasi dalam tingkatan-tingkatan
PMII.
PP PMII dengan surat No.
070/PP-IV/VIII/67, tertanggal 22 Agustus 1967 menginstruksikan regestrasi
alumni PMII dengan beberapa ketentuan pencatatan bio data sebagai berikut :
·
Nama
Alumni
·
Menjadi
anggota PMII sejak tahun berapa sampai tahun berapa, dari cabang mana
·
Jabatan
terakhir dalam pimpinan/pengurus PMII
·
Alamat
Alumni terkahir / sekarang
·
Jabatan
yang dipangku saat ini
·
Lain-lain
yang dianggap perlu [6])
B. PMII DALAM KANCAH DUNIA KEMAHASISWAAN DAN
KEPEMUDAAN
PMII Sebagai organisasi mahasiswa yang juga berdimensi kepemudaan, maka
aktivitas-aktivitas yang dilakukan disamping di dunia kemahasiswaan juga dunia
kepemudaan. Aktivitas PMII yang patut dicatat disini antara kurun waktu 1965 -
1968, hal ini penting karena berkaitan dengan lahirnya angkatan baru dalam
dunia kepemudaan di Indonesia, yang akhirnya angkatan ini dikenal dengan
istilah “ANGKATAN 66”.
Kelahiran angkatan 66 ini merupakan reaksi terhadap kebijaksanaan
Presiden Soekarnoe yang membiarkan PKI dan antek-anteknya tetap hidup di Bumi
Pertiwi ini, kendatipun PKI melakukan makar dengan melakukan gerakan 30
September. Ketidakmampuan pemerintah Orde Lama untuk mengambil tindakan tegas
terhadap PKI ini, mungkin dikarenakan kekhawatiran rezim Soekarnoe akan reaksi
pemeritah Komunis Cina yang merupakan pendukung utama dalam menghadapi politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat lainnya. Tetapi tindakan
rezim Orde Lama yang seperti ini berakibat fatal, dengan semakin banyaknya
rakyat yang tidak puas terhadap rezim Soekarnoe, terutama mereka yang dulu
sering difitnah oleh PKI serta antek-anteknya. Keadaan yang demikian itu
semakin diperburuk oleh ketidak mampuan rezim Orde Lama dalam menangani
persoalan ekonomi, disamping ketidakmampuan lembaga Legeslatif menjalankan
fungsi kontrolnya terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pemerintah
Orde Lama.
PMII sebagai bagian dari mahasiswa dan generasi muda bangsa merasa
terpanggil untuk membela kepentingan rakyat. Karena melihat lembaga Legeslatif
tidak mampu menjalankan peran dan fungsinya serta tersumbatnya saluran dialog
dengan pemerintah, maka mahasiswa mengambil alih peran legeslatif dan gerakan
protes di jalan-jalan raya. Mereka meneriakkan aspirasi rakyat yang tertindas
yang dikenal dengan TRI-TURA (tiga tuntutan hati nurani Rakyat). Sejak saat
itulah gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar dikenal dengan istilah baru
“GERAKAN PARLEMEN JALANAN”.
Gerakan parlemen jalanan ini
sangat mungkin terjadi, karena suasana politik saat itu memungkinkan mahasiswa,
pemuda dan pelajar matang secara politik. Hal ini akibat sistem politik yang
dikembangkan pemerintah Orde Lama waktu itu.
Sebelum lebih jauh membicarakan
angkatan 66 ada baiknya kita melihat peran generasi muda khususnya generasi
muda Islam dalam sejarah kepemudaan di Indonesia, dari sini kita bisa melihat
sejauh mana peran PMII dalam sejarah kepemudaan di Indonesia.
Sewaktu organisasi mahasiswa,
pelajar dan pemuda yang dulunya mempunyai hubungan baik dengan eks partai
Masyumi, seperti GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), PII (Pelajar Islam
Indonesia), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sedang mengalami cobaan berat,
terutama cobaan yang berasal dari fitnahan PKI dan antek-anteknya, bahkan
akhirnya GPII dibubarkan. Atas inisiatif GP. Ansor dan PMII menghimpun
organisasi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam, yang diharapkan mampu
menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan pemuda Islam, maka pada tanggal 19- 26
Desember 1964 bertempat di Jakarta diselenggarakan musyawarah generasi muda
Islam (GEMUIS) [7])
Musyawarah ini akhirnya memutuskan
dibentuknya organisasi federasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam yang
kemudian dikenal dengan nama GEMUIS (generasi muda Islam). Salah satu hasil
dari musyawarah itu adalah pernyataan yang berkenaan dengan usaha penyelamatan
terhadap “nasib HMI” yang sedang mengalami cobaan berat dari rongrongan dan
fitnahan CGMI dan pemerintahan Orde Lama.
Pernyataan yang dikeluarkan sebagai hasil
musyawarah Gemuis yang berkenaan dengan pembelaan terhadap HMI adalah :
1. HMI bukan onderbow dan tidak pernah
mempunyai hubungan organisatoris dengan partai/organisasi manapun.
2. Masalah yang dihadapi HMI tidak dapat
dipisahkan dari masalah keseluruhan Ummat Islam [8])
Peranan PMII dalam Gemuis cukup besar,
ketika musyawarah pertama kali diadakan, Ketua I PP PMII sahabat Chalid Mawardi
bertindak sebagai sekjen panitia Munas tersebut, bahkan dalam struktur
kepengurusan Gemuis, PMII dipercaya menjadi sekjen persedium pusat.
3. Organisasi mahasiswa ekstra Universitas di
Indonesia juga berhimpun dalam wadah yang dikenal dengan nama PPMI (perhimpunan
Pergerakan mahasiswa Indonesia). PMII dengan surat permohonan tanggal 14
Desember 1960 masuk menjadi anggota PPMI, yang secara aklamasi diterima oleh
persedium pusat PPMI. Namun pada tahun 1965 ketika PMII ditawari jabatan Sekjen
persedium pusat PPMI, PMII menolak tawaran itu, sebelum organisasi itu
mengadakan kongres terlebih dahulu. PMII menuntut adanya perubahan struktural
dalam organisasi tersebut. Karena PMII beranggapan PPMI terlalu didominir oleh
organisasi-organisasi mahasiswa yang sebenarnya tidak mempunyai basis kekuatan
massa dibawah, disamping PMII sangat menyesalkan sikap persedium pusat PPMI
yang bertindak mengeluarkan HMI dari organisasi tersebut, tindakan berakibat
fatal dikarenakan HMI mempunyai kekuatan massa yang besar yang didukung oleh
organisasi mahasiswa Islam yang lain seperti PMII, SEMI (serikat mahasiswa
Muslimin Indonesia) dan HIMMAH (himpunan mahasiswa al-wasliyah), akhirnya
ketika terjadi pemberontakan PKI nasib PPMI ditinggalkan oleh
anggota-anggotanya, hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus PPMI terlibat
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan
tersebut.
4. Sebagai organisasi mahasiswa dan pemuda,
PMII aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan baik ditingkat
Nasional maupun ditingkat Internasional :
Pada tanggal 30 Maret sampai 6 April 1965,
sahabat Chotibul Umam, atas nama utusan PMII,
sahabat Mahbub Junaidi (ketua Umum PP PMII) atas nama PWI (persatuan
Wartwan Indonesia) sahabat Chabibullah Asyhari atas nama Persatuan Wartawan
Asia Afrika, hadir dalam seminar Internasional masalah Palestina yang
dilaksanakan di Caero Mesir. Seminar ini diprakarsai oleh Organisasi mahasiswa
Palestina yaitu General of Palestine Student (GUPS) [9])
5. Sebagai tindak lanjut dari konprensi Islam
Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 6 - 12 Maret 1965 di Kota Bandung
Jawa Barat, dibnetuklah suatu wadah yang menghimpun ummat Islam se Asia-Afrika
dengan nama OIAA (organisasi Islam Asia-Afrika). Badan dunia ini diketuai oleh
KH. Ahmad Syaichu. Dalam struktur OIAA ini ada departemen yang mengurus bidang
kemahasiswaan yaitu “Biro mahasiswa OIAA” . Dalam Biro ini PMII diwakili oleh
sahabat Abdurrahman Saleh dan sahabat Siddiq Muhtadi, masing-masing sebagai
ketua dan sekretaris [10]).
6. Dalam organisasi ekstra universitas sedunia
WAY (word asembly of youth) PMII diwakili oleh sahabat Muslim Hasbullah, yang
kemudian diganti oleh sahabat Umar Basalim. Kegiatan yang diikuti oleh PMII
dalam Forum WAY tersebut adalah :
·
Leadership
Training di India yang di ikuti oleh
sahabat Umar Basalim
·
Seminar
pemuda dan Family planning di Jakarta, di ikuti oleh sahabat Fahmi Ja’far dan
sahabat Wahab Jailani (Ketua Koorcab PMII Jawa Tengah)
·
Leadership
Training di Pasar minggu Jakarta, yang di ikuti Oleh sahabat Joko Purwono
(ketua LPKP PP PMII)
·
Seminar
Family Trainning di Amsterdam yang di ikuti oleh sahabat Zaini Abd, Syukur. Dll
[11])
7. Untuk mengatasi kekosongan yang diakibatkan
oleh tidak aktifnya GEMUIS, serta organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya
yang tidak pernah berumur panjang, dikarenakan egoisme masing-masing organisasi
mahasiswa Islam sendiri, maka PMII mesponsori berdirinya “Persatuan Mahasiswa
dan Pelajar Indonesia” (PMPI).
Organisasi ini dibentuk dengan tujuan antara lain : sebagai wadah
penyalur aspirasi dari gabungan potensi pemuda pelajar dan mahasiswa Islam
dengan menitikberatkan pada bidang agama dan solidaritas ummat Islam. Beberapa
kegiatan yang pernah dilakukan antara lain:
·
Mengkoordinasi
usaha-usaha yang merupakan tindak lanjut dari konfrensi ummat Islam
Asia-Afrika.
·
Bantuan
terhadap pengungsi Palestina baik moral maupun material
·
Demonstrasi
terhadap kedatangan Kaisar Haile Selasie, Kepala negara Ethopia, yang saat itu
sangat kejam dan menindas ummat Islam.
·
Dan
usaha-usaha membendung gerakan “Kristenisasi” terutama di daerah pedalaman luar
jawa dan penggarapan bekas anggota PKI.
Dalam PMPI ini PMII diwakili oleh sahabat
Abduh Paddare yang sekaligus menjabat sebagai ketua persedium pusat organisasi
tersebut [12]).
8. Salah satu organisasi kemahasiswaan yang
bergerak dibidang kesehatan adalah “Word University Service” (WUS) dalam
organisasi ini PMII diwakili oleh sahabat Fahmi Ja’far [13]).
9. Dalam rangka memupuk ukhuwah Islamiyah
terutama dikalangan generasi muda Islam, maka pada tanggal 14 Januari 1968,
generasi muda islam mengeluarkan surat pernyataan yang ditanda tangani oleh :
·
Siddiq
Muhtadi = PP PMII
·
Drs.
Yunus Rahman = DPP
SEMI
·
Iskandar
Sarumala = PB KMI
·
Mar’I
Muhammad = PB HMI
·
Muhammad
Jasman = DPP IMM
·
Muchtar
HN = PP
HIMMAH
10. Dengan keluarnya SUPERSEMAR maka sebagian
dari tuntutan KAMI terkabulkan, kini KAMI kembali seperti keadaan semula yakni
mengkonsolidasi organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas, namun
nampaknya rasa persatuan dan kesatuan dalam tubuh KAMI semakin rapuh, hal ini
diakibatkan beberapa hal :
·
Sebagaian
besar aktivis KAMI sudah selesai masa studinya sehingga mereka tidak lagi bisa
aktif lagi memimpin organisasi mahasiswa, sedang penggantinyatidak saling
mengenal satu sama lain.
·
KAMI
sebagai geraka aksi tidak mampu menyuguhkan suatu progam yang berkesinambungan.
·
Secara
obyektif generasi muda mengalami kelelahan fisik dan mental dalam tahun-tahun
1965 - 1967 sering turun jalan berdemonstrasi. [14])
Usaha-usaha untuk mempertahankan KAMI ini
terus diupayakan, bahkan PMII sebagai organisasi yang dipercaya memimpin KAMI
(sebagai ketua persedium KAMI pusat) tetap berusaha mempertahankannya, dengan
pemikiran bahwa:
·
Pada
dasarnya KAMI harus tetap dipertahankan eksistensinya
·
KAMI
harus mampu mendorong terbentuknya organisasi nasional mahasiswa Indonesia yang multifungsi, yaitu :
a) Pengembangan kreasi dibidang pengamalan
ilmu dan sistem group-group voluntir akan bisa lahir dari aktivitas yang
demikian itu.
b) Sebagai moral fors yang faham akan ilmu
politik dan tahu politik praktis. Dengan dinamika yang dimiliki diharapkan
mampu menemukan strategi dan tujuan perjuangan nasional, militansi yang
dimilikinyadiharapkan mampu mendobrak kebatilan dalam segala bentuknya.
c) Pengembangan upaya-upaya keamanan di
berbagai bidang, baik fisik maupun spiritual, terutama terhadap ancaman
kembalinya PKI dan Orde Lama[15]).
Dalam usaha mempertahankan KAMI ini pernah
diadakan Rapat Kerja KAMI pusat yang berlangsung pada tanggal 2 - 6 Juni 1967
di Ciawi Bogor, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan SOMA
(serikat organisasi mahasiswa lokal) Gabungan mahasiswa kedaerahan dan PMKRI
serta dewan mahasiswa ITB menyatakan keluar dari KAMI. Usaha mempertahankan
KAMI menemukan jalan buntu. Akhirnya berlanjut pada usaha pemerintah untuk
menghimpun wadah generasi muda yang kelak kemudian hari dikenal dengan nama
KNPI (komite nasional pemuda Indonesia).
C. PASANG SURUT HUBUNGAN PMII - HMI
Membicarakan hubungan PMII
dengan HMIdalam sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia perlu kehati-hatian,
sebab sampai saat ini masih banyak kita dapatkan penulisan sejarah gerakan
kemahasiswaan di Indonesia yang ditulis secara sangat subyektif, keadaan yang
demikian ini pada akhirnya akan merugikan perjuangan pemuda dan mahasiswa Islam
secara keseluruhan, bahkan perjuangan ummat Islam itu sendiri. Kita berharap
dengan mengungkap fakta secara jujur dan obyektif, persoalan yang dulu, bahkan
kini masih dianggap salah dan menodai perjuangan ummat Islam sedikit demi
sedikit akan kita hapuskan, dan tulisan ini jauh dari niat dan sikap apologis
terhadap perjuangan dan langkah yang pernah dilakukan oleh PMII. Kita hanya
berharap dengan pengungkapan fakta secara jujur dan obyektif, citra yang keliru
mengenai kelahiran PMII yang “dianggap sebagai upaya memecah belah persatuan
ummat Islam” dapat dihilangkan.
Seperti kita ketahui bahwa
kelahiran PMII dianggap tidak lain sebagai tindakan memecah belah persatuan
ummat Islam dari sekelompok mahasiswa yang haus akan kedudukan serta tuduhan
yang cukup menyakitkan adalah bahwa kelahiran PMII itu dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap ikrar ummat Islam yang dikenal dengan “Perjanjian
Seni Sono”, yang salah satu isinya adalah “Pengakuan terhadap HMI sebagai
satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia”. Selengkapnya penulis
akan mengutip secara utuh isi dari perjanjian tersebut, yang dikutip dari buku Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975) Tulisan Drs. Agus Salim Sitompul :
Untuk meningkatkan persatuan ummat Islam
itu, yang menyangkut semua lapangan perjuangan di Gedung Seni Sono (sebelah
selatan Gedung Agung) Yogjakarta dari tanggal 20 - 25 Desember 1949,
dilangsungkan kongres Muslimin II setelah Indonesia Merdeka. Sebanyak 129
organisasi dari berbagai jenis dan tingkatan, dari segenap penjuru tanah air,
sama-sama bersepakat mengambil keputusan antara lain :
1) Mendirikan badan penghubung, mengkoordinir
kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan
dengan nama badan kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dibawah pimpinan satu
sekretariat.
2) Menyatukan organisasi pelajar Islam,
bernama Pelajar Islam Indonesia (PII)
3) Menyatukan organisasi guru Islam dengan
nama Persatuan Guru Islam Indonesia (PGI)
4) Menggabungkan organisasi-organisasi pemuda
dalam satu badan yang bernama Dewan Pemuda Islam Indonesia
5) Hanya satu organisasi mahasiswa Islam
Indonesia, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berabang di tiap-tiap kota
yang ada sekolah tinggi [16])
Dengan membaca poin terakhir dar isi perjanjian Seni Sono itu, kalangan
luar PMII dengan mudahnya menuduh bahwa kelahiran PMII tidak lain dari upaya
memecah belah ummat Islam dan usaha dari sekelompok mahasiswa yang menginginkan
kedudukan. Pernyataan pertama dapat kita buktikan dengan mengutip tulisan Drs.
Agus Salam Sitompul dalam buku Sejarah Perjuangan HMI (1947 - 1975) sebagai berikut
:
…….”Walaupun perjanjian Seni Sono tahun
1949 diputuskan oleh wakil-wakil ummat Islam berbagai organisasi, tetapi
ternyata perjanjian dan keputusan itu sudah dilanggar, tidak dipenuhi, bahkan
tidak dipatuhi dan sudah dilupakan sama sekali terbukti dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam sejenis,………….
Dibidang organisasi
mahasiswa (HMI), kini organisasi mahasiswaIslam ada 6, Serikat Mahasiswa
Muslimin Indonesia (SEMI) - PSII berdiri pada
2 April 1956, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada
17 April 1960, Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) berdiri pada 4 April 1964,
Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri pada 20 Januari 1964, Himpunan Mahasiswa
Al-Jamiatul Wasliyah (HIMMAH) berdiri pada 8 Mei 1961. [17])
Kalau kita telusuri sejarah perjuangan ummat Islam di Indonesia, seperti
kita ketahui bahwa sebelum adanya perjanjian Seni Sono sudah ada perjanjian
serupa, yang isinya tidak jauh berbeda, yakni kecenderungan ummat Islam akan
wadah-wadah tunggal sebagai pengejawantahan dari semangat ukhuwah Islamiyah.
Perjanjian tersebut dikenal dengan IKRAR 7 NOPEMBER 1945, dimana
hanya mengakui Masyumi sebagai wadah satu-satunya partai politik Islam. Namun
karena akhirnya lahir beberapa partai Islam selain Masyumi, seperti PSII,
PERTI, dan akhirnya NU, maka sering dilontarkan pernyataan-pernyataan bahwa
ummat Islam Indonesia memang tidak bisa bersatu, baik itu dikalangan orang
tuanya, lebih-lebih dikalangan pemudanya.
Bagaimanapun juga kelahiran
PMII tidak bisa lepas dari eksistensi NU
sebagai partai politik, tidak juga dapat dinafikan dengan keberadaan
organisasi mahasiswa yang terdahulu yaitu HMI. Apalagi tokoh-tokoh HMI
seringkali menyinggung masalah perjanjian seni sono yang salah satunya isinya
adalah pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa, namun ternyata
dikemudian hari bermunculan organisasi mahasiswa yang lain. Itulah
persoalannya.
Bagi kita jelas bahwa
kelahiran PMII punya missi tertentu dan itu dapat kita lihat dari peran PMII
dulu dan kini, dan peran itulah yang membedakan PMII dengan HMI secara tegas,
baik dilihat dari motivasi lahirnya PMII itu sendiri maupun aktivitas yang
senantiasa menjadi ciri dari organisasi ini.
Ada beberapa faktor yang
mendorong terbentuknya PMII, yaitu antara lain:
1) Ikut berpartisipasi membentuk manusia yang
memiliki kemampuan intelektual yang disertai dengan kemampuan agamis
2) Berusaha secara preventif, memperhatikan
kelestarian Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah
3) Meneruskan perjuangan para Syuhada dengan
melakukan regenerasi kepemimpinan.
Dari motivasi itulah kita dapat
membedakan sosok dan misi yang dibawa oleh PMII dan HMI. Perbedaan tersebut
dapat kita baca pada poin yang kedua, yaitu “Berusaha secara preventif
memperhatikan kelestarian Islam Aswaja” di Indonesia. [18])
Harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada
organisasi mahasiswa selain PMII yang secara tegas menyatakan bahwa
organisasi itu bertujuan mempertahankan dan menyebar luaskan faham Islam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Aswaja), motivasi inilah yang paling kuat mendorong
dilahirkannya PMII.
Perjanjian seni sono secara
gamblang menyatakan bahwa peserta kongres ummat Islam yang diwakili 129
organisasi Islam itu berikrar mengakui hanya HMI satu-satunya organisasi
mahasiswa Islam, tetapi sejarah mencatat bahwa kelak dikemudian hari ternyata
lahir tidak kurang dari 5 organisasi Islam selain HMI. Apakah kelahiran 5
organisasi Islam itu berarti mnengingkari isi perjanjian seni sono tersebut
Dalam kurun waktu antara tahun
1950 - 1959 berlaku zaman demokrasi leberal dimana tumbuh dengan suburnya
organisasi-organisasi politik (baca = partai politik), salah satu upaya agar
partai politik itu dapat berkembang dengan baik adalah dengan merekrut
anggota-anggotanya dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat
mahasiswa tak terkecuali. Dapat kita maklumi bahwa semua partai politik akan
menganggap mahasiswa sebagai sumber daya potensial untuk memperkuat jajarannya,
hal ini seperti yang dikatakan oleh
Onghokham :
…….Tahun pemilihan umum 1955 dimana terjadi
perluasan organisasi mahasiswa partai, seperti HMI (disini Onghokham
mengkategorikan HMI sebagai organisasi partai), GMNI, CGMI, dan lain-lain.
Pelembagaan dalam partai-partai sebagai aktivitas disekitar pemilihan umum,
dari gerakan pemuda zaman itu adalah sangat penting dalam memberikan arah dan
tujuan ormas-ormas mahasiswa. [19])
Disinilah arti penting organisasi mahasiswa bagi kemajuan organisasi politik.
Itulah yang mendorong partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1956
mendirikan SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia).
Kelahiran PMII mempunyaimotivasi
tak jauh berbeda dengan organisasi mahasiswa Islam lainnya, yakni merupakan
kebutuhan dari mahasiswa nahdliyin untuk menyalurkan aspirasinya secara lebih
leluasa, seperti yang dikatakan oleh sahabat Chotiul Umam :
“Jelas bahwa PMII itu dilahirkan atas dasar
tuntutan sejarah perkembangan perkembangan pelajar dan mahasiswa NU. Berdirinya
PMII semata-mata karena waktunya sudah
tiba dan kepentingannya sudah sangat mendesak untuk mengurusi mahasiswa
nahdliyin khusunya secara tersendiri telah datang untuk para mahasiswa nahdliyin buat berdiri di atas
kaki sendiri, membangun suatu gerakan mahasiswa yang lebih dapat dipercaya
untuk menjadi alat revolusi. [20])
Itulah motivasi dan
latar belakang kelahiran PMII. Dan bagaimana hubungannya dengan isi perjanjian
seni sono ?, untuk menjawab pertanyaan ini akan penulis kutip pendapat Mahbub
Junaidi :
Perjanjian seni sono itu memang ada tetapi
perlu kita ketahui bahwa maksud dari pengakuan HMI sebagai satu-satunya
organisasi mahasiswa Islam, adalah manakala HMI mampu menampung seluruh potensi
dan aspirasi mahasiswa Islam yang tergabung di dalamnya. Kenyataannya kelompok
mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terslurkan aspirasinya dalam HMI.
Walaupun kongres ummat Islam itu
menyatakandihadiri 129 organisasi Islam tetapi secara faktual kelompok-kelompok
mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terwakili dalam 129 organisasi
ummat Islam itu. Sehingga kita sebenarnya secara moral tidak punya ikatan
apapun dengan isi perjanjian seni sono itu. [21])
Lebih lanjut Mahbub Junaidi mengatakan,
dalam Pidato Hari Lahir PMII yang ke 5 :
Macam-macam intimidasi dan pernyataan yang dilemparkan ke muka kita pada
saat pergerakan kita ini lahir. Misalnya apa sih perlunya dan maksudnya PMII
dilahirkan ?, apakah itu bukan pekerjaan sparatis ?, apakah itu bukan pekerjaan
memecah belah persatuan mahasiswa Islam ?, apakah itu bukan pekerjaan orang
yang dibakar emosi ?, tetapi tidak realistik sama sekali. Buat apa sih
mahasiswa itu ikut-ikutan berdiri dibawah bendera partai politik ?, bukankah
mahasiswa Islam itu sebaiknya non partai, bahkan non politik, supaya lebih
mantap dia punya kebaktian, supaya lebih obyektif cara memandang persoalan,
supaya lebih terjamin mutu ilmunya, bukankah mahasiswa itu cerdik dan
bijaksana, ilmu banyak dan akalpun banyak, karena itu sebaiknya menjadi milik
ummat Islam saja, dan tidak perlu menjadi milik partai politik, begitulah
macam-macam pertanyaan yang timbul disaat PMII lahir, lima tahun yang lalu. [22])
Itulah reaksi yang timbul ketika PMII lahir seperti
apa yang dipaparkan oleh sahabat H. Mahbub Junaidi dalam pidato Panca Warsa
PMII. Tentu saja reaksi yang paling keras datang dari HMI. Seperti kita
ketahui, basis-basis HMI di perguruan tinggi umum dilumpuhkan oleh CGMI dengan
cara mengeliminasi pengaruh HMI pada lembag-lembaga kemahasiswaan, dalam
keadaan seperti itu harapan HMI lebih banyak bertumpu pada perguruan tinggi
agama atau IAIN, tetapi disinipun HMI justru mendapat saingan dari PMII.
Agus Salim Sitompul pernah
mengatakan dalam bukunya :
“Karena dominannya HMI di perguruan tinggi sebagai basis kekuatannya,
maka HMI harus ditendang dari kegiatan kemahasiswaan dengan jalan menyingkirkan
anggota-anggota HMI dari dewan-dewan mahasiswa, Senat mahasiswa, penitia
pemilihan, panitia masa perbakti, dengan cara-cara demikian HMI semakin lama
semakin kerdil lantas mati dengan sendirinya”………………
Dihampir semua universitas/pergutuan tinggi
negeri/swasta kecuali perguruan tinggi Islam dan IAIN, Anggota HMI dikeluarkan
dari Dema/Sema, Panitia masa Perkenalan, serta kegiatan lain yang menyangkut
posisi, kecuali kepanitiaan PHBI (panitia hari besar Islam). [23])
Dalam posisi yang sulit itu jelas HMI sangat mengharapkan
tetap bertahannya basis mereka di perguruan tinggi agama/IAIN, Misalnya di UII
Yogjakarta dan Universitas Muhammdiyah Jakarta, tetapi kenyataannya kini ada
organisasi mahasiswa Islam lain lahir dan organisasi itu begitu cepat
berkembang, tedrutama di IAIN. Hal itu wajar mengingat kultur sebagian besar
mahasiswa IAIN berlatar belakang keluarga NU, seperti yang dikatakan oleh
Burhan D Magenda “bahwa dari golongan Islam hampir tidak terwakilidalam
perguruan tunggi di zaman kolonial, dan hanya sedikit jumlahnya pada zaman
demokrasi parlementer. Pada tahun 1960-an kesempatan terbuka lebar bagi mereka
yang berorientasi kebudayaan dekat dengan NU banyak yang masuk ke IAIN”. [24])
Dari gambaran di atas jelas bahwa dalam perkembangannya PMII mengalami
kemajuan yang luar biasa. Dalam usianya yang baru lima tahun PMII telah
memiliki 47 cabang. [25])
Akibatnya ketegangan-ketengangan mulai timbul, terutama di kampus-kampus
perguruan tinggi agama/IAIN. Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi
ketengangan-ketenganggan itu, maka PP PMII yang dipimpin oleh sahabat Mahbub
Junaidi datang ke Kantor PB HMI untuk membicarakan persoalan kedua organisasi
tersebut. Peristiwa itu pada tanggal 4 Juli 1961. Tapi nampaknya usaha dan
uluran tangan PMII itu kurang membawa hasil. Terbukti dengan semakin kerasnya
persaingan yang terjadi antara kedua organisasi ini. Ada satu fakta sejarah
yang tentu saja pemaparan fakta ini bukan berarti membuka luka lama, tetapi
sekedar menegaskan sejarah, apapun bentuk dari lembaran sejarah itu kita harus
dapat menarik pejalaran daripadanya.
Ketegangan terjadi antara PMII dengan HMI di Kota Pelajar Yogjakarta,
Peristiwanya dimulai tatkala dilangsungkan pidato laporan tahunan Rektir IAIN
Sunan Kalijogo Yogjakarta Prof. Sunaryo, SH pada tanggal 10 Oktober 1963.
Sidang senat itu akhirnya gagal. Sebab ditengah pembacaan laporan itu tiba-tiba
seorang pengurus dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo tampil kedepan merebut
microphon dan membacakan pernyataan yang antara lain mengecam tindakan menteri
agama, yaitu KH. Syaifuddin Zuhri yang dituduh melakukan proyek NU-nisasi
didalam tubuh Departemen Agama. Bahkan dalam keributan itu seorang anggota PMII
di pukul, sehingga hal ini mengakibatkan munculnya protes dari pengurus cabang
PMII Yogjakarta.
Disamping pernyataan-pernyataan dari PC PMII Yogjakarta, juga para
anggota dewan mahasiswa mengeluarkan pernyataan dengan nada yang sama dengan PC
PMII Yogjakarta. Mereka Djawahir Syamsuri, A. Hidjazi AS, A. Nizar Hasyim, Imam
Sukardi dan Asnawi Latif, BA.
PERNYATAAN PC PMII YOGJAKARTA
Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Berhubung dengan terjadinya peristiwa 10
Oktober 1963 di IAIN Yogjakarta maka pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta memandang sangat perlu membuat pernyataan yang berbunyi sebagai
berikut :
Mengingat : 1. Membaca pernyataan dari dewan
mahasiswa
IAIN
Yogjakarta tanggal 10 Oktober 1963
2. Pentingnya
keutuhan mahasiswa dalam
situasi menghadapi konfrontasi terhadap Malaysia
3. Terjadinya pemukulan terhadap salah seorang
mahasiswa IAIN anggota PMII.
4. Tindakan-tindakan yang dipelopori oleh
dewan mahasiswa IAIN bertentangan dengan Manipol-Usdek, Panca Dharma Bhkati
Mahasiswa
5. Tindakan-tindakan itu mencemarkan nama baik
IAIN khususnya pemerintah daerah Yogjakarta dan negara Indonesia pada umumnya.
Menyatakan : 1. Mengutuk keras
perbuatan yang terjadi di
IAIN yang
bertentangan dengan manipol
yang berbunyi
“modal pokok bagi tiap-tiap
revolusi
nasional menentang imprealisme
dan
kolonislisme ialah konsentrasi kekuatan
nasional dan
bukan perpecahan kekuatan
nasional (hal
13).
2. Tindakan itu adalah a-manipol, anti persa -
tuan nasional dan kontra revolusioner yang membahayakan negara.
3. Bahwa IAIN bukan miliki satu golongan.
MEMUTUSKAN :
1. Menuntut dibubarkannya dewan mahasiswa IAIN
periode 1963 - 1965
2. Menuntut agar yang berwajib mengambil
tindakan tegas terhadap peristiwa pemukulan anggota PMII di IAIN
3. Menuntut agar diambil tindakan tegas
terhadap golongan/oknum-oknum yang mendalangi peristiwa tersebut
4. Mendukung sepenuhnya Rektor IAIN dan
Menteri agama.
Demikian harap dimakluni
Yogjakarta 10 Oktober 1963
Pimpinan Cabang
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta
Ketua Sekretaris
Dua
( H. Ahmadi Anwar, BA )
( Nurshohib Hudan )
Sengaja isi pernyataan dari pengurus PMII cabang Yogjakarta ini dimuat
secara lengkap agar pembaca dapat melihat dan mengetahui permasalahan yang
sebenarnya.
Pada tanggal 17 Oktober 1963 antar pukul 10.00 - 11.00 telah terjadi
demonstrasi oleh sejumlah mahasiswa IAIN Ciputat Jakarta, berjumlah sekitar 500
orang mahasiswa. Para demonstran itu menamakan dirinya komite mayoritas
mahasiswa IAIN. Mereka menemui Rektor IAIN Prof. Drs Sunardjo - rektor bersedia
menemui mahasiswa dengan didampingi Dekan-dekan fakultas. Para mahasiswa
membawa poster-poster yang bertulisan : IAIN adalah asset nasional, bukan milik
golongan/partai, NU-nisasi di Departemen agama = kontra revolusi. [26])
Sumber data ini berasal dari Drs. Ridwan Saidi (mantan ketua umum PB HMI).
Selanjutnya akan dipaparkan tanggapan dari KH. Syaifuddin Zuhri, dalam
menanggapi peristiwa 17 Oktober 1963 di IAIN Ciputat itu sebagai berikut :
Aksi pengganyangan terhadap NU dilancarkan
juga di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, sekelompok mahasiswa membuat
coretan-coretan pada dinding IAIN dan menyebarkan pamflet “Ganyang NU, Ganyang
Idham Khalid, Ganyang Syaifuddin Zuhri”, sangat terasa pada saat potensi ummat
Islam walau sekecil apapun sedang digalang untuk persatuan dan solidaritas
menghadapi usaha Nasakomisasi hampir di semua kegiatan Nasional. Pada saat itu
sekelompok mahasiswa IAIN melancarkan kampanye anti NU. Sangat disayangkan
sekali, bahwa sebagian besar dari mereka anggota HMI. Dan jika mahasiswa IAIN
dari kelompok PMII bangkit membela NU, hal itu bisa dimengerti …………………………………………
Dalam situasi menghadapi Nasakomisasi dan
pentingnya arti persatuan ummat Islam, tiba-tiba sekelompok mahasiswa IAIN
melakukan kampanye anti NU dan mengganyang Syaifuddin Zuhri dan Idham Khalid
yang keduanya berkedudukan sebagai Menteri. Demontrasi itu dilakukan di dalam
Kampus IAIN, sebuah komplek perguruan tinggi Islam miliki Negara. Dengan
pertimbangan itulah, maka alat-alat negara menindak beberapa mahasiswa dan
dosen IAIN yang dituduh mendalangi. Namun kepada Kapolri Jenderal Polisi
Sukarno Saya (maksudnya KH. Syaifuddin Zuhri) yang waktu itu menjabat sebagai
Menteri agama, meminta agar mereka dibebaskan. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak
kita yang dididik dalam lingkungan lembaga yang dikelola oleh menteri agama.
Brigjen A. Manan, pembantu utama Menteri agama dan HA. Timur Jailani, MA kepala
Biro Perguruan Tinggi departemen agama dapat berbicara banyak tentang ini. Saya
minta kepada mereka berdua, agar hukuman skorsing kepada mereka yang terlibat
supaya segera diakhiri, agar mereka bisa aktif kembali (kuliah maupun mengajar)
sebagaimana biasanya. [27])
Peristiwa di IAIN Ciputat itutidak ada penyelesaian yang berarti, bahkan
menambah panasnya suasana, terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh PP PMII dalam kongres II di Yogjakarta mengenai peristiwa
tersebut.
“Perlu segera diambil kebijaksanaan baru
berupa tindakan-tindakan yang konkrit dan mengurangi kompromi-kompromi serta
toleransi yang keterlaluan demi keselamatan IAIN dan revolusi nasional ……………………………………………..
Mendesak kepada pemerintah agar lebih tegas
lagi bertindak terhadap anasir-anasir kontra revolusioner yang hendak
melumpuhkan IAIN dan menjauhkan diri dari kompromi dan toleransi yang
berlarut-larut. [28])
Dari dua peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketegangan
antara PMII dan HMI adalah merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensi PMII
di Perguruan tinggi yang kelak akan menjadi basisnya (baca = IAIN). Tetapi bagi
HMI, ketegangan-ketegangan itu memang disengaja supaya dapat mempertahankan
dominasinya, karena itu merupakan benteng terakhir bagi basis kekuatannya,
sebab seperti kita ketahui, sejak permulaan tahun 1960 sampai dengan kelahiran
Orde Baru basis kekuatan HMI terpukul habis di perguruan tinggi umum, dan kita
dapat memaklumi bila sudah menyangkut soal hidup - matinya organisasi maka
siapapun aktivis organisasi itu akan mempertahankan organisasi itu walau dengan
cara-cara yang irasional sekalipun. Bahkan melanggar ketentuan formal maupun
ketentuan agama. Itulah ironisnya, jika fanatisme golongan lebih tinggi
nilainya daripada fanatisme terhadap bangsa yang kita cintai ini.
Catatan menarik lainnya seperti yang dikatakan oleh sahabat Zamroni
(yang kala itu menjabat sebagai ketua persedium KAMI pusat), sehubungan dengan
HMI :
“…….Sementara di daerah lain, para pemimpin
PMII, misalnya di Sumatera Utara, Ujungpandang dan Yogjakarta seperti Saiful
Mujab - kala itu jadi tukang pidato membakar massa. HMI sendiri selalu
sembunyi.
Masih gencar-gencarnya KAMI melakukan
demonstrasi, tiba-tiba HMI menghadap Bung Karno. Bahkan HMI sampai memberi Peci
mahasiswa kepada Bung Karno. Mungkin bermaksud mendekat “cari muka” supaya
tidak dimusuhi. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap komitmen kita
sebagai mahasiswa dan pemuda Indonesia yang tergabung dalam KAMI, yang saat itu
sedang giat-giatnya berjuang untuk menumbangkan rezim Orde Lama dan membela
amanat penderitaan rakyat.
Begitu pagi-pagi saya bangun tidur, seperti
biasanya baca koran. Dalam koran itu diantaranya memuat tentang HMI. “HMI
menyerahkan atau meberikan Peci kepada Bung Karno”. Spontan saya marah besar.
“Apa-apaan ini. Kita habis melakuka demonstrasi ke Bogor, kok malah HMI
begitu”. Kemarahan itu saya tunjukkan kepada Mar’ie Muhammad (mantan Menteri
keuangan kabinet VII Orde Baru) dan Sulastomo (Kini ketua umum persaudaraan
haji Indonesia) yang kala itu menjadi wakil HMI di KAMI. Lalu kedua orang ini
menjawab: “tidak tahu, karena tidak ikut ke Istana Bogor. Tapi yang jelas, PB
HMI menghadap Bung karno ke Bogor”. Alhasil, membuat saya marah besar. [29])
Masalah hubungan PMII dengan HMI diawal tahun 60-an, memang penuh dengan
gejolak perselisihan, tetapi nampaknya ada saat-saat tertentu justru PMII ikut
membela mati-matian terhadap eksistensi HMI pada saat kritis. Ada catatan-catatan
yang mengungkapkan bahwa pada saat tertentu dapat bekerjasama dengan baik.
Kita ketahui bahwa kondisi ummat Islam pada masa Orde Lama, terutama
bagi mereka yang mendapat kontra predikatrevolusioner, nasibnya benar-benar
berada diujung tanduk. Untuk merapatkan barisan dikalangan organisasi mahasiswa
dan pelajar Islam, sebagai implementasi dari semangat ukhuwah Islamiyah, maka
pada tanggal 19 - 26 Desember 1964 di Jakarta (atas prakarsa GP. Ansor yang
didukung sepenuhnya oleh PMII) diadakan musyawarah generasi muda Islam untuk
membentuk suatu wadah yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama GEMUIS.
Didalam wadah inilah segenap potensi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa
Islam bergabung, (Menurut Drs. Ridwan Saidi pada waktu itu - tahun 1964 - di
Indonesia ada sekitar 36 organisasi pemuda, pemudi, pelajar dan mahasiswa Islam
tingkat pusat. Lihat buku : Pemuda Islam dalam dinamika politik Bangsa 1925 -
1984, tulisan Drs. Ridwan Saidi, halaman 46). Dengan wadah GEMUIS inilah
generasi muda Islam berjuang “membela dan menyelamatkan HMI” dari gempuran
CGMI. Dibawah ini kami kemukakan satu ilustrasi bahwa GEMUIS benar-benar
membela HMI pada saat-saat yang kritis dan membutuhkan pertolongan :
“Persedium Majlis Nasional Generasi Muda
Islam (GEMUIS) atas nama 25 organisasi anggota dengan 10 juta massa anggotanya
dengan kawatnya yang ditandatangani oleh Drs. Lukman Harun selaku ketua
persedium telah disampaikan kepada Presiden. Dengan menyampaikan rasa syukur
atas kebijaksanaan Presiden mengenai HMI. Dan GEMUIS merasa berkewajiban
mengamankan kebijaksanaan tersebut demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan
Nasional. [30])
Sementara berlangsung penganugrahan bintang
Maha Putra di Istana Merdeka untuk DDN. Aidit, pada saat yang sama tidak jauh
dari Istana, pada tanggal 13 September 1965 Generasi muda Islam (GEMUIS)
Jakarta Raya dengan ribuan massa pemuda mengadakan demonstrasi tertib di Krotar
dan PB Front Nasional. Maksudnya untuk menyatakan rasa solidaritas terhadap
hidup HMI. Diantara sekian banyak spanduk dan Poster, ada satu diantaranya yang
sangat mengharukan, yaitu yang dibawa rekan-rekan HMI sendiri yang berbunyi :
Langkahi dulu mayatku sebelum ganyang HMI. [31])
Adapun isi pernyataan GEMUIS Jakarta Raya tersebut selengkapnya sebagai
berikut :
Dengan tegas dan tandas menyatakan akan
tetap membela HMI sampai titik darah penghabisan dari rongrongan kaum agama
phobi. HMI merupakan alat perjuangan ummat Islam dan Bangsa Indonesia, serta
memohon kepada Presiden agar HMI diberi kebebasan bergerak disegala bidang. [32])
Kita ketahui, bahwa HMI dituduh kontra revolusioner oleh pemerintahan
Orde Lama, dan HMI diberi kesempatan waktu selama 6 bulan untuk memperbaiki
dirinya. Pada saat itulah PB HMI datang kepada sahabat Mahbub Junaidi (yang
waktu itu menjabat sebagai ketua Umum PP PMII). Secara singkat sahabat Mahbub
menceritakan :
Suatu hari datang kepada saya dua tokoh
HMI, yaitu Mar’ie Muhammad dan Dahlan Ranuwihardjo, kedatangan kedua tokoh HMI
itu bertujuan agar saya dapat mengusahakan satu permohonan langsung kepada
Presiden Soekarnoe supaya HMI tidak jadi dibubarkan. [33])
Apakah upaya permohonan yang dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi itu
berhasil atau tidak, lebih lanjut sahabat Mahbub pernah menulis sebagai berikut
:
PERTEMUAN DI ISTANA BOGOR
Kami duduk di paviliun, di Bangku rotan,
belum lagi sampai pada pokok pembicaraan hujan sudah turun, berikut angin.
Karena ruang depan teramat sederhana, kami terpercikkan air, “mari kita pindah
kedalam ! kata Bung Karno. “Beginilah nasib Presiden Indonesia, hujan saja
mesti ngungsi”, kata Bung Karno. Mulailah kubicarakan perihal HMI, “apanya sih
yang salah pada diri HMI itu. Saya orang pernah dari sana, jadi sedikit banyak
tahu isi perutnya. HMI itu pada dasarnya “independen” tidak menjadi bawahan
partai manapun, tidak juga Masyumi. Coba saja lihat anggota-anggotanya mulai
dari tingkat atas sampai tingkat cabang, campur aduk seperti es teler. Perkara
belakangan muncul organisasi mahasiswa lain yang juga berpredikat Islam, itu
sama sekali tidak merubah warna asal. Coba saja lihat pada waktu pemilu 1955,
tiap anggota HMI diberi diberi formulir mau ikut bantu parpol yang mana,
ternyata disitu menghadapi saat-saat yang gawat menjelang pecahnya
pemberontakan PRRI, langkah apa yang ditempuh ketua Umum HMI Ismail Hasan
Metarium cukup jelas. Banyak jalan menuju roma, seperti banyak jalan daripada
main bubar, dan sebagainya.. Karena seorang Presidenpun perlu makan, maka makan
nasi pecellah kami dengan daging dan tempe goreng. Apakah pembicaraan itu punya
arti bagi HMI, saya tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali. Sekedar
tambahan kecil sebelum lupa, baik juga saya catat disini, Menteri agama
Syaefuddin Zuhri berdiri persis dibelakang layar pertemuan itu. [34])
Dengan nada merendah Mahbub Junaidi seperti
tersebut di atas berkata : “Apakah pembicaraan itu punya arti bagi HMI saya
tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali”. Sekedar tambahan penulis
kemukakan disini, jelas pembicaraan itu punya banyak arti bagi “keselamatan
HMI” , sebab buat apa PB HMI datang meminta tolong pada sahabat Mahbub Junaidi
supaya ikut membantu “menyelamatkan HMI, jika beliau tidak dipandang sebagai
tokoh yang dekat dengan Presiden ?. Sebagai ilustrasi betapa dekatnya hubungan
sahabat Mahbub Junaidi dengan Bung Karno, ada satu pengalaman yang mengharukan
antara Bung karno dengan Mahbub Junaidi :
Bagaimanapun hati sepi adalah hati sepi.
Pikiran Bung Karno menerobos ke masa depan, tetapi sebagai orang yang puluhan
tahun bersama-sama massa, kesendirian adalah suatu beban yang tak tertahankan,
Singa Gurun berpisah dengan kelompoknya, bagaimana bisa bercengkrama dengan
teman-teman ?, bagaimana bisa berseloroh ?, bagaiamana bisa memuntahkan isi
hati yang coraknya senantiasa mondial itu. “Aku ingin ngobrol sambil makan
siang dengan Kiyai-Kiyai NU”, dimana mereka itu sekarang, bagaimana caranya Kau
bisa atur ? dengarkan baik-baik, cuma makan siang, tidak lebih tidak kurang !.
Di Rumah siapa ? tanyaku.
Siapa saja, Idham boleh, Jamaludin Malik
boleh. Mana saja yang sudi mengundangku makan siang. Maka berputar-putarah saya
menawarkan keinginan yang teramat sederhana itu……… H. Moh. Hasan, bekas Menteri
pendapatan, pengeluaran dan penelitian, dan saat itu menjadi Menteri negara
entah apa urusannya.
Baiklah, katanya, maka makan siangpun
terjadi di Rumahnya di Jl. Senopati Kebayoran Baru. Hanya makan siang, sesudah
itu bubar. Almarhum Kiyai Wahab dan Kiyai Bisri (juga sudah almarhum) pun ikut
menemani. Jika tidak seluruhnya, sebagaian tentu ada juga rasa kesepian
terobati. [35])
Dalam perjalanan sejarahnya
“pertarungan” antara PMII dan HMI. ketika itu memang terasa semakin mengental,
entah apa yang menjadi alasan bagi mereka, yang jelas Kafrawi Ridwan dkk di
Yogjakarta mendemo Mentri Agama Prof. KH. Saifudin Zuhri. Padahal pada
saat-saat yang bersamaan, disamping Sahabat Mahbub Junaidi, para tokoh PB NU
sedang sibuk mondar-mandir menghadap Bung Karno agar HMI tidak dibubarkan.
Ketua Umum PB NU KH. DR. Idham Chalid dan Mentri Agama Saifudin Zuhri, justru
berusaha meyakinkan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Langkah-langkah yang
dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi dan para Tokoh NU ini diketahui persis
oleh sementara pimpinan PB. HMI tapi bagi sebagian yang lain di anggap sebagai
angin lalu, dan bahkan di anggap sesuatu yang mustahil dan tidak pernah ada.
Mahbub Junaidi mau melakukan
pembelaan itu semata-mata karena ukhuwah islamiyah, dan merasa HMI adalah
saudara seperjuangan sesama mahasiswa Islam. Ketika itu sahabat Mahbub Junaidi
merupakan tokoh mahasiswa – satu-satunya – yang mempunyai akses langsung kepada
Presiden Sukarno.[36]
Pengungkapan fakta ini bukan maksud PMII ingin agar jasa-jasanya
(kalaupun apa yang diperbuat PMII itu dianggap punya arti bagi HMI) untuk
selalu dikenang dan HMI punya hutang budi pada PMII. Bukan itu maksud PMII.
Kita hanya ingin agar hubungan yang tidak baik antara kedua organisasi itu
dapat diakhiri sehingga tidak lagi terdengar berita-berita yang memojokkan
PMII. Karena banyak sekali kasus-kasus yang menimpa warga PMII akibat
diskriminasi pihak-pihak tertentu, seperti adanya anaman Rektor salah satu
perguruan tinggi Islam yang terbesar dan tertua di Yogjakarta, menggugat
mahasiswanya lantaran sebagian dari mereka berhasil mendirikan Komisariat PMII
yang ternyata berkembang dengan pesat. Atau kasus-kasus lain yang terjadi di
berbagai IAIN, padahal rata-rata mereka memiliki prestasi studi yang dapat
dibanggakan. Ironis sekali, kasus-kasus itu terjadi hanya lantaran rasa dendam kesumat yang tak kunjung
berakhir.
[1] Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975), Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 74.
[2] Mahbub Junaidi, Meningkatkan
Konsolidasi Untuk pembinaan Orde Baru dan Kemenangan Demokrasi, Laporan
Ketua Umum PP PMII Pada kongres Ke III tanggal 7 - 11 Februari 1967 di Malang
Jawa Timur.
[3] Laporan PP PMII Periode
1967 - 1970 pada Kongres IV di Makasar Tanggal 25 - 30 April 1970, Halaman 10
[4] Ibid, Halaman 7 dan 8
[5] Ibid, Halaman 7
[6] Surat edran PP PMII tentang
: Regestrasi Alumni PMII, N0. 070/PP-IV/VIII/67, Jakarta,
tertanggal 22 Agustus 1967.
[7] Harian Suara Islam,
Jakarta, tanggal 22 September 1965, - Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, PT Bina Ilmu,
Surabaya 1976, Halaman 61
[8] Drs. Chotibul Umam, Sewindu PMII, PC PMII Ciputat, Tahun 1967, Halaman 4
[9] Ibid, Halaman 5
[10] Laporan Pertanggung jawaban
PP PMII pada kongres IV PMII di Makasar tanggal 25 - 30 April 1970, Halaman 15
[11] Ibid, Halaman 15
[12] Prisma No. 12 Desember 1970,
Dialog Gerakan Orang Muda: Gelombang yang tak kunjung mencapai Patai,
Halaman 25 - 47
[13] Ibid, Halaman 16
[14] Ibid, Halaman 49
[15] Surat edaran PP PMII No.
497/PP-IV/V/69, Jakarta, tertanggal 31 Mei 1969, Hal : Kongres Nasional
Mahasiswa Indonesia
[16] Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah
Perjuangan HMI (1947 - 1975), PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 36
[17] Ibid, Halaman 39
[18] Fauzan Alfas, Ke-PMII-an,
Materi ke-PMII-an pada Mapaba PMII Cabang Malang tahun 1989, Halaman 2
[19] Onghokham, Angkatan
Muda Dalam Sejarah dan Politik, Prisma No. 12 Desember 1977, halaman 21
[20] Drs. Chotibul Umam, Sewindu PMII, PC PMII Ciputat,
Jakarta, 1967, Halaman 3
[21] Wawancara dengan H. Mahbub
Junaidi di Arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur. Tanggal 8 - 12
Desember 1984
[22] Mahbub Junaidi, Pidato Panca Warsa PMII,
Tanggal 17 April 1965
[23] Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halaman 49
[24] Burhan D Magenda, Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya
dengan Politik: Suatu Tinjauan, Prisma No. 12 Desember 1977, Halaman 8
[25] Mahbub Junaidi, Loc-Cit,
Halaman 3
[26] Drs. Ridwan Saidi, Antara
Dongeng dan Sejarah, dalam PPP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam,
Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 57
[27]) Suaefuddin Zuhri, Mengalihkan masalah NU-MI menjadi issu
Orde lama Orde Baru, Dalam PP, NU dan
MI, Gejolak Politik Islam, Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 42
[28] Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit,
Halaman 58
[29] Drs. HM. Zamroni, PMII
dan Proses Orde Baru, dalam Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi,
Effendy Choiri dan Choirul Anam, Aula, Surabaya, 1991, Halaman 95 - 96
[30] Agus Salim Sitompul,
Loc-Cit, Halamat 64
[31] Agus Salim Sitompul,
Loc-Cit, Halaman 64
[32] Ibid, Halaman …
[33] Wawancara dengan Sahabat
Mahbub Junaidi, di arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo Jawa Timur, 1o Desember
1984
[34] H. Mahbub Junaidi, Fakta
harus dijunjung tinggi seperti Mertua, catatan untuk seperempat abad Syaefuddin
dan Bung Ridwan, dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam , Integrita
Press, Jakarta, 1984, Halaman 33
[35] Mahbub Junaidi, Sukarnoisme,
Suatu ujian sejarah dalam 80 Tahun bung karno, Sinar Harapan, Jakarta,
1982, Halaman 258
[36] ) HA. Baidhowi Adnan, M.
Zamroni: Pejuang Yang Konsisten, dalam
Pendahuluan Kilas Balik Perjuangan Zamroni, Penerbit PB. PMII, 2005,
Halaman 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar