Minggu, 16 Desember 2012

SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN


SELAYANG PANDANG
SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN
By Nur Hamzah

Istilah teologi pembebasan pertam kali muncul dalam tradisi Kristen. Inspirasi pertamanya lahir dari konferwensi umum gereja amerika latin.ke II yang diadakan di medelin, colmbia pada tahun 1968. secara sistematis, rumusan teologi pembebasan tersebut baru muncul dalam Thelogy Of Liberation (1971) karya Gustvo Guiters.
Kata teologi pembebasan merupakan kata majemuk, gabungan dari kata “teologi” dan “pembebasan”. Istilah teologi berasal dari bahasa yunani, dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos yang berarti wacana atau ilmu yang berarti pengertahuan mengenai Allah.menurut tradisi kri9stiani, teologi merupakan usaha metodis untuk memahami dan mnfsirkan kebenaran wahyu dan fides quqerens intelektum (iman yang mencari pemahaman). Dalam devinisi yang lebih luas dijeleskan, teologi merupakan usaha mdasr dari orang kristiani untuk mendengarkan wahyu-sabda yang dinyatakan Tuahn dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksikan tuntutan langkahnya pada tindakan. Teologi kristiani menggunakandaya rasio, khususnya ilmu sejarah dan filsafat, dan dihadapan misteri illahiia selalu mencari dan tidak prenaha sampai pada jawaban terahir dan pemahaman yang selesai. Karena itu dalam tradisi kristiani teologi selalu berkembang sesuai dengan konteks sejarah sehingga selalu lebih dinamis.
Sementara istilah pembebasan lahir dan dibakukan sebagai reaksi proyek perkembangan (development) yang berkembang didalam amerika latin. Istilah pembangunan membawa misi system ekonomi politik liberal kapitalis. sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik sksn meratan hasilnya kepaada semua pihak yang berperan serta didalamnya baik dengan modalnya maupun dengan tenaganya, apabila mekanisme pertukaran pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Campur tangan pemerintah hanya dibenarkan sejauh menyediakan peluang bagi pasar untuk berfungsi dan sejauh ada dampak negative yang harus dikoreksi. Pada Negara yang berkembang seperti amerika latin, system liberl kapitalis tersebut menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan Negara yang kaya. Buruh ditengah suasana seperti itu semakin marginalk dan menngantungkan nasibnya kepada majikan yang hanya untuk mengambil untung.
Disinilah pembebasan, sebagaimana Fr.Wahono mengutif dari boff, dirumuskan sebagai sebuah proses menuju kemerdekaan; pembebasan dari segala system yang menindas dan kedalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia untuk menentukan bagi dirinya sendiri. Di bawah terang wahyu, pembebasan diarahkan pada pertama, pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi social politik, aliensi cultural dan ketikdak adilan atau kemiskinan. Kedua, pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia yang seutuhnya. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan tuhan. Lalu apakah teologi pembebasan itu.
Merupakan pembebasan (theology of liberation), sebagaimana dikatakan soegondo, merupakan refleksi iman yang tidak hanya merefleksikan wahyu tuhan dalam pesan verbalnya saja terapi juga wahyu tuhan dalam realitas-realitas kesejarahan. Atau dihidupi oleh orang-orang kristiani, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas. Sedangkan menurut Gutierrez, teologi pembebasan merupakan sebuah refleksi atas praktis pembebasan dibawah sinar keimanan. Cara berteologi pembebasan adalah transformative, bertolak dari praktis atau iman yang dialami dalam serjarah tertentu. Unsur yang terpenting dalam teologi pembebasan adalah refleksi kritis atas iman, iman yang dihayati dalam konteks sejarah konkrit.
Apabila teo;logi pembebasan merupakan usaha penghayatan atas iman dalam konteks sejarah yang kongkret, maka hal itu berarti merupakan usaha untuk memahami segala  yang ada dan terjadi dalam sejarah konkret dibawah sinar keimanan, menstransformasikan wahyu menjadi rasio (pemikiran). Wahyu atau iman bersifat sacral, sedangkan usaha praktis pembebasan bersifat profane yang berubahsesuai dengan konteks sejarah. Karena praktis pembebasan tegantung dengan sejarah, maka teologi pembebasan juga merupakan usaha-usaha metodis; menngunakan beberapa metode sesuai dengan situasi dan kobdisi. Disinilah keimanan yang semula bersifat doktriner berubah menjadi sebuah gerakan, yaitu gerakan pembebasan.

TEOLOGI PEMBEBASAN DALAM ISLAM

Teologi dalam islam dipadankan dengan ilmu kalam, meskipun pengertianya tidak persis sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Kristen. Ilmu kalam dalam islam merupakan ilmu tentang ketuhanan; obyeknya adalah Dzat Allah, perbuatan dan sifat-sifat-Nya dengan menngunakan metode imani dan difa’I (apologis), bersifat abstrak, noirmatif dan skolatis. Ini berarti bahwa teologi islam selama ini melulu bersifat ketuhanan (teosentris), tidak membahas wacana kemanusiaan. Kalau teologi islam hanya membahas personal ketuhanan sehingga wacana yang dihasilkan juga melulu ketuhanan, lalu bagaiman deangan wacanakemanusiaan yang justru diera modern yang seperti kita saksikan sekarang? Apa artinya mempercayai tuhan kalau dengan mempercayainya seseorang tidak mempunyai sense terhadap persoalan kemanusiaan? Teologi islam semestinya memuat dan memperhatikan masalah kemanusiaan itu.
Dr. Hasan Hanafi berpendapaat , bahwa teologi islam yang selama ini menjadikan tuhan sebagai obyeknya merupakan usaha yang mospro (sia-sia)karena bagaimanapun juga tuahn dalam prilakukehidupan manusia tidak mungkin dapat digambarkan, bahwa tak dapat diketahui dengan pasti oleh siapapun. Karena itu, paradigma berfikir yang selama ini digunakan harus berubah. Tuhan adalah dzat yang trasenden, dan karenanya posisi dia dialam dunia tidak bisa dijangkau (baca dikopensasikan). Maka tuhan yang semula menjadi obyek dalam telogi islam harus dijadikan sebagai landasan aksiomatis, yakni kepastian kebenaran adaNya sudah jelas dan tidak bisa ditolak. Kalau para ulama terdahulu memfokuskan obyek teologi islam pada persoalan ketuhanan, sudah pada  saatnya persoalan kemanusiaan mendapat porsi dan menjadi obyek dari teologi islam. dari sini, lanjut hanafi, konsep tauhid tidak sekedar konsep teoritis-dogmatis murni, namun berubah menjadi”proses melakukan” yang bersentuhan dengan praktis kehidupan manusia; membenaskan kaum miskin, menentang kesewenag-wenangan, otoritarianisme dan status quo.
Dengan demikian, teologi islam dituntut untuk melakukan refleksi dari bawah keatas. Ia semestinya merupakan proyeksi realitas terhadap teks-teks normative. Bentuk pemikiran yang dapat membawa transformasi social adalah yang berasal dari realitasnya sendiri, bukan sesuatu yang diluarnya. Sikap seperti ini lebih dianggap histories dan realistis dalam melihat hubungan antara pembangunan melalui upaya transforemasi social ketimbang harus menyerah secara total dihadapan dogma-dogma keimanan( teologi).
Agama telah memainkan peran strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Ia adalah jangkauan terjauh dari eksternalisasi dari manusia, dari peresapan-peresapan makna-maknya sendiri dalam realitas. Agama berarti bahwa tatanan manusia itu diproyeksikan kedalam totalitas kedirian. Ajaran dan keyakinan dilihat sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tewmpat, kebudayaan tempat agama lahir. Maka dihadapan proses transformasi social, agama harus dipahami sebagai bentuk ekspresi dari aspek-aspek ketuhanan(ilahiyah), yang berupa kepercayaan akan adanya Allah, ke dalam tindakan social yang bermakna disertai Penghargaan terhadap hak-hak manusia dan perjuangan menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan manusia. Teologi pembebasan adalah satu bentuk ekspresi dari pemikiran tersebut.
            Farid Esack, seorang muslim dan tokoh gerakan teologi pembebasan di Amerika Selatan, mendefinisikan teologi pembebasan sebagai sebuah kerja pembebasan agama dari struktur social, politik dan religius, dengan ide dasar membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan agama. Melalui proses partisipasi individu pembebasan ini digerakkan. Asumsi dAsar teologi pembebasan islam ini adalah Al–Qur’an dan seluruh perjuangan para nabi dalam praksis pembebasan umatnya.
            Sebagai kunci utama untuk memahami teologi pembebasan dalam islam adalah melalui tauhit-taqwa. Menurutnya pengakuan atas keesaan tuhan dan taqwa sebagai instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah (ilahiyat), dAn kedua persoalan kemanusiaan (insaniah) secara bersamaan. dalam perilaku beragama, semestinya konsep tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan religius-spiritual dalam kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara dirinya dengan perubahan realitas social.
            Landasan paradigmatic lain yang hampir serupa dengan landasan yang diajukan Farid Esack adalah Asghar Ali Engineer, bahwa pertama, tauhid sebagai weltanschauung didalam islam harus dimaknai tidak sekedar system kepercayaan terhadap TuhanYang Maha Esa, namun juga dipahami sebagai unity of mankind yang tidak akan terwujud tanpa menciptakan keadilan kebijakan dalam masyarakat. Kalau tauhid dipahami sebatas system kepercayaan tanpa menyadari dimensi praksisnya, maka keimanan seseorang yang percaya bahwa Alloh adalah Esa tidak memiliki arti apa-apa. Makna ketauhitan tidak memiliki nilai sama sekali, apabila seseorang lebih mementingkan teoritisasi metafisis tauhid yang bersifat abstrak dibandingkan dengan aspek praksis. Aspek praksis yang ditunjukkan Al-Qur’an adalah semangat anti status quo dan menciptakan keadilan dan kebijakan (al-adl wa al-ihsan).
            Kedua adalah iman. Iman berasal dari kata amn yang berarti selamat, damai,perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yaqin. Iman yang sebenarnya mengimplikasikan semua itu. Sebab gagasan atau kata-kata tanpa dilatarbelakangi dengan iman, hanya akan berarti bagi dirinya sendiri dan memperbudak orang lain.
Sementara dalam pandangan Ziaul Haque, teologi pembebasan (dalam islam) berasumsi bahwa Al-Qur’an dan ajaran-ajaran atau sabda Nabi Muhammad Saw. pada dasarnya ditunjukkan untuk menegakkan sebuah masyarakat dimana para ahli fiqih memainkan permainan yang pre-dominan dalam memutuskan aturan-aturan tentang kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi dan social tertentu, dan bahwa ulamak muslim memiliki hak untuk memerintah didalam sebuah masyarakat muslim karena mereka adalah pewaris pengetahuan dan kebijaksanaan peninggalan nabi.
Ide dasar teologi pembebasan dalam islam sebagai sebuah misi berdasarkan wahyu ilahi dan sebuah wahyu kebenaran, meskipun memiliki muatan social, tidak dipisahkan melepaskan dIri dari keterkaitannya dengan kerangka kerja supranatural atau metafisika karna persepsi atas realitas, kehidupan, alam, dan sejarah dalam era feodal secara keseluruhan bersifat religius. Semua pemikiran, refleksi, spekulasi, penalaran, perasaan dan emosi serta moralitas dibiaskan melalui prisma agama.
Semangat teologi pembebasan tersebut diatas dapat dikatakan sebagai upaya memahami kembali doktrin-doktrin agama dihadapan praksis kehidupan dalam konteks tertentu. Semangat pembebasan yang ada dalam teks-teks keagamaan dan praksis pembebasa sebagaimana yang tercermin dalam diri nabi para nabi dimasa lalu menjadi dasar untuk melakukan praksis pembebasan dalam konteks kekinian. Jadi  ada proses untuk menginterpretasikan kembali teks-teks atas pengalaman praksis pembebasan tersebut. Ini berarti bahwa teologi pembebasan islam menggunakan metode hermeneutic.
Dalam teologi pembebasan ini, hermeneutic merupakan proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci atau wahyu menjadi relevan dengan zamannya, bertitik tilak dari sebuah realitas yang menuntut kita untuk menginterpretasikan wahyu tuhan atau pengalaman praksis kenabian secara baru, untuk mengubah realitas seperti yang dituntutkan, dan demikian itu berulang secara terus-menerus: antara teks dan konteks atau antara masa lampau dan sekarang. Proses interpretasi secara terus-menerus dan berulang-ulang inilah yang disebut dengan “lingkaran Hermeneutika” (hermeneutika circle).
Karena teologi pembebsan merupakan upaya praksis pembebasan yang tidak terlepas dari konteks sejarah, maka sebagai metode kedua yang dipakai adalah analisa histories (Historiko Analitic). Demikian pula teologi pembebasan menggunakan metode analisa social (social Analityc) sebab upaya pembebasan praksis itu sendiri adalah struktur Social: membebaskan manusia dari segala system atau struktur yang menindas, masyarakat yang menempati posisi kelas marginal dan tereksploitasi harus dibebaskan.
 Dengan demikian, sebenarnya teologi pembebasan islam merupakan upaya membangun dunia dengan membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan, ketidakadilan, tiran dan status quo dibawah sinar keimanan.secara tidak langsung, proses pembangunan praksis pembebasan berujung pada proses “sekularisasi”. Meskipun semangat teologi ini berpijak pada paradigma antroposentris, namun bukan berarti terlepas dari transendensi nilai ketuhanan. Menjadikan semangan antroposentris sebagai satu-satunya paradigma pembangunan masyarakat akan berdampak pada hilangnya religiusitas sehingga berakibat pada krisis eksitensial, seseorang merasa asing dengan keberadaan dirinya sendiri. Karena itu Muhammed Arkoun berpendapat, keengganan untuk mengaitkan transendensi dengan petualangan-petulangn histories yang tunduk pada permainan dialektis dari kekuatan ekonomis dan social merupakan nostalgia manusia kuno.
Untuk menjembatani manusia supaya tidak terjebak dalam problematika antara yang profan dan yang sacral atau antara spiritualisme dan materialisme, maka perlu mendialogkan transendensi nilai dengan berbagai ritus dan kegiatan sekuler. Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan (Peristiwa) sejarah yang profan justru mmerupakan ungkapan dari “kegagalan” seseorang dalam beragama (berteologi). Apabila Descartes dengan cogeto ergo sum-nya mengantarkan kemajuan Eropa yang antroposentris-sekuler, maka teologi pembebasan tidak ingin melepaskan dimensi religius.


HARAPAN DAN TANTANGAN

Beberapa teologi pembebasan islam merupakan usaha praksis pembebasan manusia dari segala system ketidak-adilan, penindasan dan status quo, dengan berpijak pada Al-Quan dan sejarah praksis pembebasan kenabian, namun bukan berarti ia tidak sepi dari baju ideologis atau kepentingan, mengingat obyek yang menjadi garapannya bersifat multi dimensional, kadang politis, ekonomis dan bahkan cultural. Belum lagi sudut pandang teologi tersebut, baik dalam melihat persoalan maupun dalam memberlakukan (memahami) semangat pembebasan yang terkandung dalam wahyu Alloh atau pengalaman praksis kenabian.
 Metode hermeneutic yang dijadikan pisau analisi dalam teologi pembebasan untuk memahami konteks dan teks atau masa lampau dan masa sekarang sehingga didapatkan pijakan pragmatis gerakan, tidak satu-satunya metode yang dapat dimanfaatkan. Hermeneutic merupakan model eksegese ilmiah-krisis-historis yang mengutamakan kesesuaian makna antara teks dan konteks. Model pembacaan seperti ini tertu bertentangan dengan model pembacaan tekstualis (formalis) yang banyak dipakai oleh kalangan fundamentalis.
Leonard Binder menegaskan perbedaan yang mencolok antara model eksegese yang dipakai antara kaum fundamentalis dan liberalis, kaum fundamentalis lebih menekankan makna tekstual, bahasa Al-Qur’an merupakan pengetahuan absolut tentang kata-katanya sendiri. Sementara kaum liberal memandang bahwa kata Al-Qur’an itu tidak penting. Yang penting adalah kesesuaian makana yang dikandung wahyu dengan sebuah konteks tertentu. Oleh karena itu, meskipun teologi pembebasan menjadikan Al-Qur’an dan pengalaman praksis pembebasan kenabian sebagai landasan paradigmatisnya, namun besar kemungkinan tantangannya datang dari kaum fundamentalis itu sendiri. dalam konteks Indonesia, contoh pertentangan antara kelompok fundamentalis yang mulai mengkristal dengan gerakan-gerakan islam yang berideologi liberal, merupakan contoh yang tidak dapat kita pungkiri.
Kendatipun demikian dalam beberapa kepentingan tertentu antara kelompok yang berideologi fundamental dan liberal tidak selamanya “berantem”. Bahkan Karena kesamaan kepentingan, keduanya dapat melakukan aliansi, meskipun tetap dalam bajunya masing-masing. Sejauh kedua kelompok ini dapat mengapresiasikan situasi kultur, politik dan ekonomi dengan baik, maka mereka akan mendapat tempat Dihati masyarakat. Represi terhadap kepentingan adalah kepentingan itu sendiri, demikian menurut Emile Durkheim.

EPILOG

Dalam perspektif sosiologis, agama sering dianggap tidak berarti apa-apa sepanjang tidak menunjukkan pengaruh kongkrit terhadap proses transformasi social. dalam hal ini, teologi adalah perang konseptual yang semestinya merefleksikan agama. Teologi pembebasan hadir dalam rangka menjawab kemandegan fungsi agama. Ia merupakan iman yang dihayati dAlam konteks sejarah konkrit, iman yang dalam penghyatannya dibimbing oleh Alloh, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk tanda sejarah. Ia adalah refleksi kritis atas proses sejarah pembebasan dalam arti iman yang muncul dari tindakan. Tujuannya adalah praksis pembebasan manusia dari segala system yang membelenggu: ketidak-adilan, kesewenang-wenagan, penindasan, tirasi, pro status quo dan lain-lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar