SELAYANG PANDANG
SEJARAH TEOLOGI PEMBEBASAN
By Nur Hamzah
Istilah
teologi pembebasan pertam kali muncul dalam tradisi Kristen. Inspirasi
pertamanya lahir dari konferwensi umum gereja amerika latin.ke II yang diadakan
di medelin, colmbia pada tahun 1968. secara sistematis, rumusan teologi
pembebasan tersebut baru muncul dalam Thelogy Of Liberation (1971) karya Gustvo
Guiters.
Kata teologi
pembebasan merupakan kata majemuk, gabungan dari kata “teologi” dan
“pembebasan”. Istilah teologi berasal dari bahasa yunani, dari kata theos yang
artinya Tuhan dan logos yang berarti wacana atau ilmu yang berarti pengertahuan
mengenai Allah.menurut tradisi kri9stiani, teologi merupakan usaha metodis
untuk memahami dan mnfsirkan kebenaran wahyu dan fides quqerens intelektum
(iman yang mencari pemahaman). Dalam devinisi yang lebih luas dijeleskan,
teologi merupakan usaha mdasr dari orang kristiani untuk mendengarkan
wahyu-sabda yang dinyatakan Tuahn dalam sejarah, menyerap pengetahuan
tentangnya dengan menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksikan
tuntutan langkahnya pada tindakan. Teologi kristiani menggunakandaya rasio,
khususnya ilmu sejarah dan filsafat, dan dihadapan misteri illahiia selalu
mencari dan tidak prenaha sampai pada jawaban terahir dan pemahaman yang
selesai. Karena itu dalam tradisi kristiani teologi selalu berkembang sesuai
dengan konteks sejarah sehingga selalu lebih dinamis.
Sementara istilah
pembebasan lahir dan dibakukan sebagai reaksi proyek perkembangan (development)
yang berkembang didalam amerika latin. Istilah pembangunan membawa misi system
ekonomi politik liberal kapitalis. sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa
ekonomi politik sksn meratan hasilnya kepaada semua pihak yang berperan serta
didalamnya baik dengan modalnya maupun dengan tenaganya, apabila mekanisme
pertukaran pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Campur tangan pemerintah
hanya dibenarkan sejauh menyediakan peluang bagi pasar untuk berfungsi dan
sejauh ada dampak negative yang harus dikoreksi. Pada Negara yang berkembang
seperti amerika latin, system liberl kapitalis tersebut menimbulkan jurang yang
semakin dalam antara yang miskin dan Negara yang kaya. Buruh ditengah suasana
seperti itu semakin marginalk dan menngantungkan nasibnya kepada majikan yang
hanya untuk mengambil untung.
Disinilah
pembebasan, sebagaimana Fr.Wahono mengutif dari boff, dirumuskan sebagai sebuah
proses menuju kemerdekaan; pembebasan dari segala system yang menindas dan
kedalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan
manusia untuk menentukan bagi dirinya sendiri. Di bawah terang wahyu,
pembebasan diarahkan pada pertama, pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi
social politik, aliensi cultural dan ketikdak adilan atau kemiskinan. Kedua,
pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia
yang seutuhnya. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk
dalam persekutuan dengan tuhan. Lalu apakah teologi pembebasan itu.
Merupakan
pembebasan (theology of liberation), sebagaimana dikatakan soegondo, merupakan
refleksi iman yang tidak hanya merefleksikan wahyu tuhan dalam pesan verbalnya
saja terapi juga wahyu tuhan dalam realitas-realitas kesejarahan. Atau dihidupi
oleh orang-orang kristiani, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Sedangkan menurut Gutierrez, teologi pembebasan merupakan sebuah refleksi atas
praktis pembebasan dibawah sinar keimanan. Cara berteologi pembebasan adalah
transformative, bertolak dari praktis atau iman yang dialami dalam serjarah
tertentu. Unsur yang terpenting dalam teologi pembebasan adalah refleksi kritis
atas iman, iman yang dihayati dalam konteks sejarah konkrit.
Apabila
teo;logi pembebasan merupakan usaha penghayatan atas iman dalam konteks sejarah
yang kongkret, maka hal itu berarti merupakan usaha untuk memahami segala yang ada dan terjadi dalam sejarah konkret
dibawah sinar keimanan, menstransformasikan wahyu menjadi rasio (pemikiran).
Wahyu atau iman bersifat sacral, sedangkan usaha praktis pembebasan bersifat
profane yang berubahsesuai dengan konteks sejarah. Karena praktis pembebasan tegantung
dengan sejarah, maka teologi pembebasan juga merupakan usaha-usaha metodis;
menngunakan beberapa metode sesuai dengan situasi dan kobdisi. Disinilah
keimanan yang semula bersifat doktriner berubah menjadi sebuah gerakan, yaitu
gerakan pembebasan.
TEOLOGI PEMBEBASAN DALAM ISLAM
Teologi dalam
islam dipadankan dengan ilmu kalam, meskipun pengertianya tidak persis
sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Kristen. Ilmu kalam dalam islam
merupakan ilmu tentang ketuhanan; obyeknya adalah Dzat Allah, perbuatan dan
sifat-sifat-Nya dengan menngunakan metode imani dan difa’I (apologis), bersifat
abstrak, noirmatif dan skolatis. Ini berarti bahwa teologi islam selama ini
melulu bersifat ketuhanan (teosentris), tidak membahas wacana kemanusiaan.
Kalau teologi islam hanya membahas personal ketuhanan sehingga wacana yang
dihasilkan juga melulu ketuhanan, lalu bagaiman deangan wacanakemanusiaan yang
justru diera modern yang seperti kita saksikan sekarang? Apa artinya
mempercayai tuhan kalau dengan mempercayainya seseorang tidak mempunyai sense
terhadap persoalan kemanusiaan? Teologi islam semestinya memuat dan
memperhatikan masalah kemanusiaan itu.
Dr. Hasan
Hanafi berpendapaat , bahwa teologi islam yang selama ini menjadikan tuhan
sebagai obyeknya merupakan usaha yang mospro (sia-sia)karena bagaimanapun juga
tuahn dalam prilakukehidupan manusia tidak mungkin dapat digambarkan, bahwa tak
dapat diketahui dengan pasti oleh siapapun. Karena itu, paradigma berfikir yang
selama ini digunakan harus berubah. Tuhan adalah dzat yang trasenden, dan
karenanya posisi dia dialam dunia tidak bisa dijangkau (baca dikopensasikan).
Maka tuhan yang semula menjadi obyek dalam telogi islam harus dijadikan sebagai
landasan aksiomatis, yakni kepastian kebenaran adaNya sudah jelas dan tidak
bisa ditolak. Kalau para ulama terdahulu memfokuskan obyek teologi islam pada
persoalan ketuhanan, sudah pada saatnya
persoalan kemanusiaan mendapat porsi dan menjadi obyek dari teologi islam. dari
sini, lanjut hanafi, konsep tauhid tidak sekedar konsep teoritis-dogmatis
murni, namun berubah menjadi”proses melakukan” yang bersentuhan dengan praktis
kehidupan manusia; membenaskan kaum miskin, menentang kesewenag-wenangan,
otoritarianisme dan status quo.
Dengan
demikian, teologi islam dituntut untuk melakukan refleksi dari bawah keatas. Ia
semestinya merupakan proyeksi realitas terhadap teks-teks normative. Bentuk
pemikiran yang dapat membawa transformasi social adalah yang berasal dari
realitasnya sendiri, bukan sesuatu yang diluarnya. Sikap seperti ini lebih dianggap
histories dan realistis dalam melihat hubungan antara pembangunan melalui upaya
transforemasi social ketimbang harus menyerah secara total dihadapan
dogma-dogma keimanan( teologi).
Agama telah
memainkan peran strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Ia adalah
jangkauan terjauh dari eksternalisasi dari manusia, dari peresapan-peresapan
makna-maknya sendiri dalam realitas. Agama berarti bahwa tatanan manusia itu
diproyeksikan kedalam totalitas kedirian. Ajaran dan keyakinan dilihat sebagai
suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tewmpat,
kebudayaan tempat agama lahir. Maka dihadapan proses transformasi social, agama
harus dipahami sebagai bentuk ekspresi dari aspek-aspek ketuhanan(ilahiyah),
yang berupa kepercayaan akan adanya Allah, ke dalam tindakan social yang
bermakna disertai Penghargaan terhadap hak-hak manusia dan perjuangan
menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan manusia. Teologi pembebasan adalah
satu bentuk ekspresi dari pemikiran tersebut.
Farid
Esack, seorang muslim dan tokoh gerakan teologi pembebasan di Amerika Selatan,
mendefinisikan teologi pembebasan sebagai sebuah kerja pembebasan agama dari
struktur social, politik dan religius, dengan ide dasar membebaskan manusia
dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan agama.
Melalui proses partisipasi individu pembebasan ini digerakkan. Asumsi dAsar
teologi pembebasan islam ini adalah Al–Qur’an dan seluruh perjuangan para nabi
dalam praksis pembebasan umatnya.
Sebagai
kunci utama untuk memahami teologi pembebasan dalam islam adalah melalui
tauhit-taqwa. Menurutnya pengakuan atas keesaan tuhan dan taqwa sebagai
instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah
(ilahiyat), dAn kedua persoalan kemanusiaan
(insaniah) secara bersamaan. dalam perilaku beragama, semestinya konsep
tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai
implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara
terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan religius-spiritual dalam
kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara
dirinya dengan perubahan realitas social.
Landasan
paradigmatic lain yang hampir serupa dengan landasan yang diajukan Farid Esack
adalah Asghar Ali Engineer, bahwa pertama,
tauhid sebagai weltanschauung didalam islam harus dimaknai tidak sekedar system
kepercayaan terhadap TuhanYang Maha Esa, namun juga dipahami sebagai unity of mankind yang tidak akan
terwujud tanpa menciptakan keadilan kebijakan dalam masyarakat. Kalau tauhid
dipahami sebatas system kepercayaan tanpa menyadari dimensi praksisnya, maka
keimanan seseorang yang percaya bahwa Alloh adalah Esa tidak memiliki arti
apa-apa. Makna ketauhitan tidak memiliki nilai sama sekali, apabila seseorang
lebih mementingkan teoritisasi metafisis tauhid yang bersifat abstrak
dibandingkan dengan aspek praksis. Aspek praksis yang ditunjukkan Al-Qur’an
adalah semangat anti status quo dan
menciptakan keadilan dan kebijakan (al-adl
wa al-ihsan).
Kedua adalah iman. Iman berasal dari
kata amn yang berarti selamat, damai,perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya
dan yaqin. Iman yang sebenarnya mengimplikasikan semua itu. Sebab gagasan atau
kata-kata tanpa dilatarbelakangi dengan iman, hanya akan berarti bagi dirinya
sendiri dan memperbudak orang lain.
Sementara dalam
pandangan Ziaul Haque, teologi pembebasan (dalam islam) berasumsi bahwa
Al-Qur’an dan ajaran-ajaran atau sabda Nabi Muhammad Saw. pada dasarnya
ditunjukkan untuk menegakkan sebuah masyarakat dimana para ahli fiqih memainkan
permainan yang pre-dominan dalam memutuskan aturan-aturan tentang
kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi dan social tertentu, dan
bahwa ulamak muslim memiliki hak untuk memerintah didalam sebuah masyarakat
muslim karena mereka adalah pewaris pengetahuan dan kebijaksanaan peninggalan
nabi.
Ide dasar
teologi pembebasan dalam islam sebagai sebuah misi berdasarkan wahyu ilahi dan
sebuah wahyu kebenaran, meskipun memiliki muatan social, tidak dipisahkan
melepaskan dIri dari keterkaitannya dengan kerangka kerja supranatural atau
metafisika karna persepsi atas realitas, kehidupan, alam, dan sejarah dalam era
feodal secara keseluruhan bersifat religius. Semua pemikiran, refleksi,
spekulasi, penalaran, perasaan dan emosi serta moralitas dibiaskan melalui
prisma agama.
Semangat teologi
pembebasan tersebut diatas dapat dikatakan sebagai upaya memahami kembali
doktrin-doktrin agama dihadapan praksis kehidupan dalam konteks tertentu.
Semangat pembebasan yang ada dalam teks-teks keagamaan dan praksis pembebasa
sebagaimana yang tercermin dalam diri nabi para nabi dimasa lalu menjadi dasar
untuk melakukan praksis pembebasan dalam konteks kekinian. Jadi ada proses untuk menginterpretasikan kembali
teks-teks atas pengalaman praksis pembebasan tersebut. Ini berarti bahwa
teologi pembebasan islam menggunakan metode hermeneutic.
Dalam teologi
pembebasan ini, hermeneutic merupakan proses interpretasi untuk membuat pesan
kitab suci atau wahyu menjadi relevan dengan zamannya, bertitik tilak dari
sebuah realitas yang menuntut kita untuk menginterpretasikan wahyu tuhan atau
pengalaman praksis kenabian secara baru, untuk mengubah realitas seperti yang
dituntutkan, dan demikian itu berulang secara terus-menerus: antara teks dan
konteks atau antara masa lampau dan sekarang. Proses interpretasi secara
terus-menerus dan berulang-ulang inilah yang disebut dengan “lingkaran
Hermeneutika” (hermeneutika circle).
Karena teologi
pembebsan merupakan upaya praksis pembebasan yang tidak terlepas dari konteks
sejarah, maka sebagai metode kedua yang dipakai adalah analisa histories (Historiko Analitic). Demikian pula
teologi pembebasan menggunakan metode analisa social (social Analityc) sebab upaya pembebasan praksis itu sendiri adalah
struktur Social: membebaskan manusia dari segala system atau struktur yang
menindas, masyarakat yang menempati posisi kelas marginal dan tereksploitasi
harus dibebaskan.
Dengan demikian, sebenarnya teologi pembebasan
islam merupakan upaya membangun dunia dengan membebaskan masyarakat dari segala
bentuk penindasan, ketidakadilan, tiran dan status
quo dibawah sinar keimanan.secara tidak langsung, proses pembangunan
praksis pembebasan berujung pada proses “sekularisasi”. Meskipun semangat
teologi ini berpijak pada paradigma antroposentris, namun bukan berarti
terlepas dari transendensi nilai ketuhanan. Menjadikan semangan antroposentris
sebagai satu-satunya paradigma pembangunan masyarakat akan berdampak pada
hilangnya religiusitas sehingga berakibat pada krisis eksitensial, seseorang
merasa asing dengan keberadaan dirinya sendiri. Karena itu Muhammed Arkoun
berpendapat, keengganan untuk mengaitkan transendensi dengan
petualangan-petulangn histories yang tunduk pada permainan dialektis dari
kekuatan ekonomis dan social merupakan nostalgia manusia kuno.
Untuk
menjembatani manusia supaya tidak terjebak dalam problematika antara yang
profan dan yang sacral atau antara spiritualisme dan materialisme, maka perlu
mendialogkan transendensi nilai dengan berbagai ritus dan kegiatan sekuler.
Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan (Peristiwa)
sejarah yang profan justru mmerupakan ungkapan dari “kegagalan” seseorang dalam
beragama (berteologi). Apabila Descartes dengan cogeto ergo sum-nya mengantarkan kemajuan Eropa yang
antroposentris-sekuler, maka teologi pembebasan tidak ingin melepaskan dimensi
religius.
HARAPAN
DAN TANTANGAN
Beberapa teologi
pembebasan islam merupakan usaha praksis pembebasan manusia dari segala system
ketidak-adilan, penindasan dan status quo,
dengan berpijak pada Al-Quan dan sejarah praksis pembebasan kenabian, namun
bukan berarti ia tidak sepi dari baju ideologis atau kepentingan, mengingat
obyek yang menjadi garapannya bersifat multi dimensional, kadang politis,
ekonomis dan bahkan cultural. Belum lagi sudut pandang teologi tersebut, baik
dalam melihat persoalan maupun dalam memberlakukan (memahami) semangat
pembebasan yang terkandung dalam wahyu Alloh atau pengalaman praksis kenabian.
Metode hermeneutic yang dijadikan pisau
analisi dalam teologi pembebasan untuk memahami konteks dan teks atau masa
lampau dan masa sekarang sehingga didapatkan pijakan pragmatis gerakan, tidak
satu-satunya metode yang dapat dimanfaatkan. Hermeneutic merupakan model
eksegese ilmiah-krisis-historis yang mengutamakan kesesuaian makna antara teks
dan konteks. Model pembacaan seperti ini tertu bertentangan dengan model
pembacaan tekstualis (formalis) yang
banyak dipakai oleh kalangan fundamentalis.
Leonard Binder
menegaskan perbedaan yang mencolok antara model eksegese yang dipakai antara
kaum fundamentalis dan liberalis, kaum fundamentalis lebih menekankan makna
tekstual, bahasa Al-Qur’an merupakan pengetahuan absolut tentang kata-katanya
sendiri. Sementara kaum liberal memandang bahwa kata Al-Qur’an itu tidak
penting. Yang penting adalah kesesuaian makana yang dikandung wahyu dengan
sebuah konteks tertentu. Oleh karena itu, meskipun teologi pembebasan
menjadikan Al-Qur’an dan pengalaman praksis pembebasan kenabian sebagai
landasan paradigmatisnya, namun besar kemungkinan tantangannya datang dari kaum
fundamentalis itu sendiri. dalam konteks Indonesia , contoh pertentangan
antara kelompok fundamentalis yang mulai mengkristal dengan gerakan-gerakan
islam yang berideologi liberal, merupakan contoh yang tidak dapat kita
pungkiri.
Kendatipun
demikian dalam beberapa kepentingan tertentu antara kelompok yang berideologi
fundamental dan liberal tidak selamanya “berantem”. Bahkan Karena kesamaan
kepentingan, keduanya dapat melakukan aliansi, meskipun tetap dalam bajunya
masing-masing. Sejauh kedua kelompok ini dapat mengapresiasikan situasi kultur,
politik dan ekonomi dengan baik, maka mereka akan mendapat tempat Dihati
masyarakat. Represi terhadap kepentingan adalah kepentingan itu sendiri,
demikian menurut Emile Durkheim.
EPILOG
Dalam perspektif
sosiologis, agama sering dianggap tidak berarti apa-apa sepanjang tidak
menunjukkan pengaruh kongkrit terhadap proses transformasi social. dalam hal
ini, teologi adalah perang konseptual yang semestinya merefleksikan agama.
Teologi pembebasan hadir dalam rangka menjawab kemandegan fungsi agama. Ia
merupakan iman yang dihayati dAlam konteks sejarah konkrit, iman yang dalam
penghyatannya dibimbing oleh Alloh, baik dalam bentuk verbal maupun dalam
bentuk tanda sejarah. Ia adalah refleksi kritis atas proses sejarah pembebasan
dalam arti iman yang muncul dari tindakan. Tujuannya adalah praksis pembebasan
manusia dari segala system yang membelenggu: ketidak-adilan,
kesewenang-wenagan, penindasan, tirasi, pro status
quo dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar