BAB I
MASA EMBRIONAL KELAHIRAN PMII
( 1955 - 1963 )
A. CIKAL BAKAL PMII
Ide dasar berdirinya Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) bermula dari adanya hasrat kuat para mahasiswa Nahdliyin
untuk membentuk suatu wadah (organisasi) mahasiswa yang berediologi Ahlussunnah
Waljama’ah (aswaja). Ide ini tak dapat dipisahkan dari eksistensi IPNU-IPPNU
(ikatan pelajar nahadlatul ulama - ikatan pelajar nahdlatul ulama), secara
historis, PMII mrupakan mata rantai dar departemen perguruan tinggi IPNU yang
dibentuk dalam muktamar IIII PNU di Cirebon Jawa Barat pada tanggal 27 - 31 Desember
1958. Di dalam wadah IPNU-IPPNU ini banyak terdapat mahasiswa yang menjadi
anggotanya, bahkan mayoritas fungsionaris pengurus pusat IPNU-IPPNU berpredikat
sebagai mahasiswa. Itulah sebabnya,
keinginan dikalangan mereka untuk membentuk suatu wadah khusus yang menghimpun
para mahasiswa nahdliyin. Pemikiran ini sempat terlontar pada muktamar II IPNU
tanggal 1 - 5 Januari di Pekalongan Jawa Tengah, [1])
tetapi para pucuk pimpinan IPNU sendiri tidak menanggapi secara serius. Hal ini
mungkin dikarenakan kondisi di dalam IPNU sendiri masih perlu pembenahan, yakni
banyaknya fungsionaris IPNU yang telah berstatus mahasiswa, sehingga
dikhawatirkan bila wadah khusus untuk mahasiswa ini berdiri akan mempengaruhi
perjalanan IPNU yang baru saja terbentuk, Tetapi aspirasi kalangan mahasiswa
yang tergabung dalam IPNU ini makin kuat, hal ini terbukti pada muktamar III
IPNU di Cirebon Jawa Barat, pucuk pimpinan IPNU didesak oleh para peserta
muktamar membentuk suatu wadah khusus yang akan menampung para mahasiswa
nahdliyin, namun secara fungsional dan struktur organisatoris masih tetap dalam
naungan IPNU, yakni dalam wadah departemen perguruan tinggi IPNU [2]).
Namun langkah yang diambil oleh IPNU untuk menampung aspirasi para
mahasiswa nahdliyin dengan membentuk departemen perguruan tinggi IPNU pada
kenyataannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terbukti apda
Konprensi Besar IPNU di Kaliurang Yogjakarta pada tanggal 14 - 16 Maret 1960,
Forum konprensi besar memutuskan terbentuknya suatu wadah/organisasi mahasiswa
nahdliyin yang terpisah secara struktural maupun fungsional dari IPNU-IPPNU.
B. UPAYA DIBALIK KELAHIRAN PMII
Usaha untuk mendirikan suatu wadah yang
khusus menghimpun mahasiswa nahdliyin sebenarnya sudah lama ada, hal ini dapat
dilihat dengan adanya kegiatan sekelompok mahasiswa NU yang di Jakarta. Patut
dicatat disini:
Pertama: misalnya berdirinya IMANU (ikatan mahasiswa NU)
pada bulan Desember
1955 di Jakarta. Namun
kehadirannya belum bisa diterima oleh banyak pihak, terutama oleh
kalangan sespuh NU sendiri. Sebab disamping kelahiran IPNU itu sendiri masih
baru (didirikan pada tanggal 24 Februari 1954) yang notabene mayoritas
pengurusnya mahasiswa, sehingga dikhawatirkan justru akan melumpuhkan IPNU.
Kedua: Sekelompok
mahasiswa nahdliyin yang berdomisili di
kota Surakarta Jawa Tengah yang diprakarsai
oleh H. Mustahal Ahmad, juga sempat mendirikan suatu organisasi yang diberi
nama “Keluarga Mahasiswa NU” (KMNU) Surakarta, juga pada tahun 1955. Bahkan
KMNU ini merupakan organisasi mahasiswa yang NU yang mampu bertahan sampai
lahirnya PMII pada tahun 1960 [3]).
Ketiga:
Di Bandung ada usaha
serupa dengan nama PMNU
(persatuan mahasiswa NU) dan
masih banyak lagi di kota-kota lain dimana ada perguruan tinggi yangmempunyai
gejala yang sama, tetapi ternyata pimpinan IPNU tetap membendung usaha-usaha
tersebut dengan suatu pemikiran bahwa pimpinan pusat IPNU akan lebih
mengintensifkan pada usaha-usaha mengadakan penelitian pada dua permasalahan
pokok :
1. Seberapa besar potensi mahasiswa NU
2. Sampai seberapa jauh kemampuan untuk
berdiri
sebagai
organisasi mahasiswa [4]).
Upaya yang dilakukan oleh IPNU dengan membnetuk departemen perguruan
tinggi untuk menampung aspirasi mahasiswa nahdliyin, tidak banyak berarti bagi
kemajuan dan perkembangan mahasiswa nahdliyin, haltersebut disebabkan beberapa
hal :
A. Kondisi obyektif menunjukkan bahwa
keinginan para pelajar sangat
berbeda denga keinginan, dinamika dan perilaku mahasiawa.
B. Kenyataan gerak dari departemen perguruan
tinggi IPNU itu sangat terbatas sekali. Terbukti untuk duduk sebagai anggota
PPMI persatuan perhimpunan mahasiswa indonesia), suatu konfederasi organisasi
mahasiswa ekstra universitas tidak mungkin bisa, sebab PPMI merupakan
organisasi yang hanya menampung ormas-ormas mahasiswa. Apalagi dalam MMI
(majlis mahasiswa indonesia), suatu federasi dari dewan/senat mahasiswa, juga
tak mungkin dilakukan [5])
Kesimpulan dari perdebatan mengenai hasil pengamatan ketua IPNU waktu itu
ternyata tidak berbeda jauh. Para anggota pimpinan pusat IPNU lebih condong
untuk merintis pembentukan wadah khusus bagi mahasiswa nahdliyin. Pertimbangan
yang menyertai kwsimpulan ini juga lebih kompleks. Sebab di penghujung dasa
warsa 1950 itu situasi politik dan keamanan di tanah sir kita sedang bergolak.
Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diperdebatkan dalam
rapat piminan pusat IPNU itu :
Pertama: Wadah departemen perguruan tinggi IPNU
dianggap tidak lagi memadai, tidak cukup kuat untuk mewadahi gerakan
kemahasiswaan.
Kedua : Perkembangan poltik dan keamanan di dalam
negeri menuntut pengamatan yang ekstra hati-hati, khususnya bagi para mahasiswa
Islam.
Ketiga :
Satu-satunya wadah kemahasiswaan Islam yang ada pada waktu itu ialah HMI
(himpunan mahasiswa Islam), yang tokoh-tokohnya dinilai terlalu dekat dengan
partai Masyumi, sedangkan tokoh masyumi telah melibatkan diri dalam
pemberontakan PRRI.
Sementara itu, dikalangan intern NU sendiri, waktu itu masih belum
terungkap suatu rasa percaya diri. Maksudnya para tokoh pimpinan NU masih
seolah-olah dalam lingkungan jam’iyah nahdliyin tidak ada anggota yang
berkualitas intelektual. Sehingga untuk
mengisi jabatan menteri dan anggota DPR saja, pimpinan NU terpaksa meng-NU-kan
sarjana-sarjana dari luar lingkungan nahdliyin. Padahal NU waktu itu adalah
sebuah partai besar, pemenang nomor tiga dalam pemili 1955. Kewibawaan partai
NU tidak selayaknya dihambur-hamburkan untuk memberi hadiah jabatan dan
kedudukan kepada orang diluar jema’ah.
Inilah cry yang selalu diteriakkan para mahasiswa nahdliyin pada waktu
itu. Dan merekapun merasa perlu segera melakukan langkah-langkah tertentu untuk
meyakinkan semua pihak yang berkepentingan, bahwa dalam lingkungan nahdliyin
sudah muncul banyak generasi muda yang berpendidikan perguruan tinggi. [6])
Menyadari keterbatasan dan berkat dorongan-dorongan berbagai kenyataan
obyektif serta adanya usaha mengambil langkah-langkah pertimbangan, antara lain
:
1. Didirikannya perguruan tinggi NU di
berbagai tempat, misalnya PTINU di Surakarta (sekarang Universitas NU),
Fakultas Ekonomi dan Tata Niaga serta fakultas Hukum dan Tata Praja di Bandung
(sekarang Universitas Islam Nusantara - Uninus) dan Akademi ilmu pendidikan dan
Agama Islam di Malang (sekarang Universitas Islam Malang - Unisma).
2. Adanya keinginan dari individu-individu
mahasiswa nahdliyin yang menuntut ilmu
di perguruan tinggi NU maupun pergutuan tingg negeri dan lainnya untuk segera
mengkonkritkan suatu wadah khusus bagi mahasiswa nahdliyin.
3. Adanya signal dari pucuk pimpinan LP.
Ma’arif NU sendiri untuk lebih mengkonkritkan bentuk organisasi mahasiswa
nahdliyin.
4. Adanya kenyataan praktis maupun psikologis
yang sangat bertolak belakang diantara pelajar dan mahasiswa khususnya yang
tergabung dalam IPNU, baik dari segi belajar, dinamika maupun strategi
perjuangannya, semakin mendorong terbentunya suatu wadah tersendiri. [7])
Semangat untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang khusus dilingkungan
mahasiswa nahdliyin nampak semakin menguat. Puncaknya ketika IPNU mengadakan
konprensi besar pada tanggal 14 - 17 Maret 1960, setelah sahabat Isma’il Makky
(selaku ketua departemen perguruan tinggi IPNU) dan sahabat Moh. Hartono BA
(mantan wakil pimpinan Usaha Harian Pelita Jakarta) berbicara di depan peserta
komprensi besar IPNU tersebut di Kaliurang Yogjakarta. Dari sinilah akhirnya
lahir suatu keputusan “perlunya didirikan suatu organisasi mahasiswa secara
khusus bagi mahasiswa nahdliyin [8])
yang lepas baik secara struktural organisatoris maupun adminstratif.
Untuk mempersiapkan musyawarah pembentukan suatu wadah/organisasi
mahasiswa tersebut dibentuklah 13 orang panitia sebagai sponsor pendiri organisasi
mahasiswa nahdliyin dengan limit waktu kerja satu bulan, yang diirencanakan
dilaksanaka di Surabaya [9]).
C. SITUASI DAN KONDISI POLITIK SEKITAR
KELAHIRAN PMII
Ada beberapa situasi dan kondisi yang
melatar belakangi proses kelahiran PMII saat itu, antara lain situasi politik
negara Republik Indonesia, Posisi Umat Islam Indonesia, dan Keadaan Organisasi
Mahasiswa saat itu. Namun disini penulis tidak akan mengulas semua situasi dan
kondisi politik disekitar proses kelahiran PMII tersebut, tetapi hanya akan
sedikit mengulas keadaan organisasi mahasiswa saat itu.
Yang
dimaksud dengan keadaan organisasi mahasiswa disini adalah suatu wadah
aktivitas para mahasiswa di luar kampus (ekstra universiter dan ekstra
kurikuler). Dengan wadah seperti itu aktivitas mahasiswa banyak memberikan
andil besar terhadap pasang surutnya sejarah bangsa Indonesia, khususunya
generasi muda. Andil tersebut biasanya digerakkan oleh idealisme yang
berorientasi pada situasi yang selalu menghendaki adanya perubahan kearah
perbaikan bangsanya, sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia,
Pancasila dan UUD 1945.
Generasi
muda khususnya para mahasiswa merupakan kelompok terpelajar yang mendapat
perhatian dari pemerintah, lantaran menyangkut masa depan kehidupan bangsa.
Situasi dunia kemahasiswaan saat itu banyak terkait dengan kondisi politik
nasional. Sebab sejarah kemahasiswaan di Indonesia pun paralel dengan apa yang
terjadi pada dasa warsa 1950-an, kegiatan mahasiswa pada dasa warsa 1950-an
banyak berkaitan dengan persoalan-persoalan politik, sebab mahasiswa pada saat
itu lebih cendrung merupakan alat partai politik.[10])
Oleh karena itu wajar kalau organisasi mahasiswa harus terlibat dalam masalah
penyusunan kabinet.[11])
Demikian juga misalnya ketika pelaksanaan Pemilu tahun 1955, organisasi
mahasiswa Islam yang diwakili oleh HMI pada saat itu menyerukan kepada
masyarakat supaya memilih partai-partai Islam, dan khusus kepada warganya
supaya memilih salah satu partai Islam yang disenangi.[12]
Sedangkan dalam pelaksanaan sidang Dewan Konstituante 1957 di Bandung diwakili
oleh Porpisi (perserikatan organisasi-organisasi pemuda Islam Indonesia)[13]
yang dipimpin oleh EZ. Muttaqin menjadi peninjau pada pelaksanaan sidang
tersebut.
Keterlibatan
mahasiswa dalam politik praktis di imbangi pula oleh aktivitas-aktivitas di
bidang kepemudaan, baik dalam skala nasional maupun International. Porpisi dan
FPII (front pemuda Islam Indonesia) adalah dua organisasi yang telah
mengantarkan peran serta para pemuda islam Indonesia. Demikian juga kahadiran
GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia) sebelumnya telah memainkan peranan
penting dalam hubungannya dengan BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik
Indonesia) yang dipimpin oleh Khairul Saleh.[14]
Dalam pertemuan Kongres Pemuda Islam sedunia (International Assembly of Muslem
Youth) pada tahun 1955 di Karachi Pakistan, pemuda Islam Indonesia diwakili
oleh PORPISI.
Sementara
PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) dan MMI (Majlis Mahasiswa
Indonesia) yaitu wadah federatif organisasi ekstra dan intra-universiter telah
memberi warna tersendiri dalam dunia kemahasiswaan. PPMI berdiri tahun 1947
yang didukung oleh organisasi-organisasi ekstra-universiter baik yang beraliran
nasionalis, agama, sosialis maupun organisasi lokal. Organisasi sangat aktif
dalam kegiatan-kegiatan politik dalam dan luar negeri. Sebagai atas PPMI, maka
mahasiswa-mahasiswa yang masih menginginkan kemurnian aktivitasnya dari politik
mereka mendirikan organisasi Intra-universiter di tiap-tiap perguruan tinggi
beruapa Sema (Senat Mahasiswa) dan Dema (Dewan Mahasiswa) yang akhirnya
berkembang menjadi MMI.[15] Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya PPMI
dan MMI juga sama saja, yaitu kedua organisasi ini tidak bisa melepaskan diri
dari soal politik. Oleh karena itu jika mengungkapkan dunia kemahasiswaan
secara organisasi pada tahun 1950-an tidak terlepas dari adanya persaingan
politik dalam dua tubuh organisasi federatif itu, bahkan persaingan tersebut
berlangsung hingga tahun 1965 disaat meletusnya G.30.S/PKI. PPMI dan MMI yang
sudah didominasi oleh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang
berhaluan Komunis kemudian tamat riwayatnya bersamaan dengan penganyangan
terhadap G.30.S/PKI.
Dinamika
kehidupan mahasiswa yang seperti itu telah mendorong sekelompok mahasiswa
nahdliyin untuk ikut berperan didalamnya, sebab dalam suasana seperti itu para
mahasiswa nahdliyin merasa tidak cukup tersalurkan aspirasinya hanya melalui
HMI. Wajar bila akhirnya para mahasiswa nahdliyin segera membentuk wadah
tersendiri, disamping alasan intern yakni IPNU sudah tidak lagi mampu mewadahi
gerakan para mahasiswa nahdliyin tersebut.
D. PROSES KELAHIRAN PMII
Seperti telah disebutkan dimuka bahwa pada puncak konfrensi besar IPNU
pada tanggal 14 - 17 Maret 1960 di
Kaliurang Yogjakarta dicetuskan suatu keputusan perlunya didirikan suatu
organisasi mahasiswa yang terlepas dari IPNU baik secara struktur organisatoris
maupun administratif. Kemudian dibentuklah panitia sponsor pendiri organisasi
mahasiswa yang terdiri dari 13 orang dengan tugas melaksanakan musyawarah
mahasiswa nahdliyin se-Indonesia, bertempat di Surabaya dengan limit waktu satu
bulan setelah keputusan itu.
Adapun ke 13 sponsor pendiri organisasi mahasiswa itu adalah sebagai
berikut :
1. Sahabat Cholid Mawardi ( Jakarta
)
2. ,,
Said Budairy ( ,, )
3. ,,
M. Sobich Ubaid ( ,, )
4. ,,
M. Makmun Syukri BA ( Bandung
)
5. ,,
H I l m a n ( ,,
)
6. ,,
H. Isma’il Makky (
Yogjakarta )
7. ,,
Munsif Nahrawi ( ,, )
8. ,,
Nuril Huda Suaidy HA ( Surakarta
)
9. ,,
Laily Mansur ( ,, )
10. ,,
Abd. Wahab Jailani (
Semarang )
11. ,,
Hisbullah Huda ( Surabaya
)
12. ,,
M. Cholid Narbuko ( Malang
)
13. ,,
Ahmad Husain ( Makasar
)
Seperti diuraikan oleh sahabat Chotbul Umam (mantan Rektor PTIQ
Jakarta), sebelum malaksanakan musyawarah mahasiswa nahdliyin, terlebih dahulu
3 dari 13 orang sponsor pendiri itu - terdiri dari :
1. Sahabat
Hisbullah Huda ( Surabaya
)
2. ,,
M. Said Budaury ( Jakarta
)
3. ,,
Makmun Syukri BA ( Bandung
)
Pada tanggal 19 Maret 1960 mereka berangkat
ke Jakarta menghadap ketua Umum partai NU yaitu KH. DR. Idham Khalid untu
meminta nasehat sebagai pegangan pokok dalam musyawarah yang akan dilaksanakan. Dan pada tanggal 24
Maret 1960 mereka diterima oleh ketua partai NU, dalam pertemuan tersebut
selain memberikan nasehat sebagai landasan pokok untuk musyawarah, beliau juga
menekankan hendaknya oraganisasi yang akan dibentuk itu benar-benar dapat
diandalkan sebagai kader partai NU, dan menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu
untuk diamalkan bagi kepentingan rakyat, bukan ilmu untuk ilmu. Yang lebih
penting lagi yaitu menjadi manusia yang cakap serta bertaqwa kepada Allah SWT.
Setelah beliau menyatakan “merestui musyawarah mahasiswa nahdliyin yang akan
diadakan di Surabayaitu” [16]).
Pesan yang disampaikan oleh ketua partai NU tersebut, terasa sekali
suasana kepercayaan NU pada organisasi mahasiswa yang akan dibentuk ini.
Bagaimana dengan organisasi yang lain ?, keadaan yang demikian ini nampaknya
dapat kita maklumi.
Keadaan waktu itu (60-an) memang sangat kondusif bagi organisasi
mahasiswa untuk bersikap politis bahkan partai minded. Meningkatnya jumlah
ormas-ormas mahasiswa disertai oleh meningkatnya peran mereka secara kualitas
dan terbukanya kesempatan untuk mobilitas sosial dibidang politik [17]).
Hal ini senada yang disampaikan oleh Rocamora (dikutip oleh Burhan D. Magenda
dalam Prisma nomor 12 Desember 1977) tentang keterkaitan/hubungan antara
organisasi mahasiswa dan partai politik. Rocamora menunjukkan bagaimana pimpinan
organisasi mahasiswa berafiliasi dengan partai politik waktu itu. Proses
regenerasi ini berjalan secara damai dan sesuai dengan prinsip-prinsip
organisasi. Gejala seperti itu juga terlihat hampir pada semua organisasi
mahasiswa, termasuk di dalamnya PMII yang baru dibentuk [18]).
Kalau PMII juga aktif dibidang politik, seperti ang disampaikan oleh
Abd, Rohim Hasan di depan forum Kongres PMII ke IV di Makasar pada tahun 1970 “mengapa
PMII mesti berpolitik ? bukankah itu akan mengganggu tugas utamanya, belajar
dan belajar ?, bukankah persoalan poltik itu nanti setelah lulus dan terjun
ditengah masyarakat ?, Ruang kuliah adalah preparasi untuk pekerjaan politik.
Gerakan-gerakan kita adalah sekaligus gerakan belajar dan gerakan politik [19]).
Lebih lanjut ia mengatakan “Mengapa PMII mesti berpolitik baik secara
praktis maupun konsepsional, belajar dan berpolitik bukanlah suatu hal yang
tabu, tetapi justru prinsip berpolitik itu adalah bersamaan dengan keberadaan
PMII itu sendiri. Hal ini ditegaskan dalam dokumen historis PMII - Gelora
Megamendung - Pokok-pokok pikiran training course II PMII pada tanggal 17 - 27
April 1965 di Megamendung Bogor Jawa Barat - yang menolak dengan tegas prisnsip
ilmu untuk ilmu. PMII dengan tegas menetapkan bahwa ilmu harus diamalkan, dalam
arti untuk kepentingan agama, bangsa dan negara. Bagi PMII organisasi tak lebih
sebagai alat perjuangan, sedang berpolitik tak lain untuk mengamalkan ilmu
pengetahuan dalam perjuangan mengabdikan diri pada agama, bangsa dan negara.
Tugas setiap warga PMIIadalah memadukan ketinggian ilmu dan kesadaran berpolitik.
Berpolitik bagi PMII (waktu itu) dan terjun dalam kegiatan partai dalam bentuk
apapun [20]).
Awal mula berdirinya PMII nampaknya lebih dimaksudkan sebagai alat untuk
memperkuat partai NU. Hal ini terlihat jelas dalam aktivitas PMII antara tahun
1960 - 1972 (sebelum PMII menyatakan diri independen) sebagian besar
program-programnya berorientasi politis. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi
:
Pertama : Adanya anggapan
bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU, sehingga
gerakan dan aktivitasnya selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan
langkah partai NU.
Kedua : Suasana kehidupan berbangsa dan bernegara
pada waktu itu sangat kondusif untuk gerakan-gerakan politk, sehingga politik
sebagai panglima betul-betul menjadi policy pemerintah orde lama. Dan PMII
sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam
konstalasi politik seperti itu [21]).
Lebih jauh Sahabat H. Mahbub
Junaidi mengatakan (sambutan pada acara Panca warsa hari lahir PMII) “Mereka
bilang mahasiswa yang baik adalah mahasiswa non partai, bahkan non politis,
yang berdiri diatas semua golongan, tidak kesana, tidak kesini, seperti seorang
mandor yang tidak berpihak. Sebaliknya kita beranggapan, justru mahasiswa
itulah yang harus berpartisipasi secara konkrit dengan kegiatan-kegiatan partai
politik [22]).
Seperti diketahui, bahwa kelahiran PMII disponsori oleh 13 orang tokoh
mahasiswa nahdliyin. Mereka berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta,
Yogjakarta, Surabaya, Malang dan Makasar (Ujung pandang), maka kedelapan kota
itulah cikal bakal berdirinya cabang-cabang PMII yang pertama kali. Adapaun
yang menjadi pucuk pimpinan PMII (sekarang PB) periode pertama ini adalah
sebagai berikut :
SUSUNAN PIMPINAN PUSAT PMII
( Periode 1960 - 1961 )
Ketua Umum :
H. Mahbub Junaidi
Ketua Satu :
Drs. H. Chalid Mawardi
Ketua Dua :
Drs. H. Sutanto Martoprasono
Sekretaris Umum : H.M. Said Budairi
Sekretaris Satu : Drs. Munsif Nahrowi
Sekretaris Dua : A. Aly Ubaid
Keuangan Satu : M. Sobich Ubaid
Keuangan Dua : Ma’sum
Departemen-departemen :
Pendidikan dan Pengajaran : MS. Hartono, BA
Penerangan dan publikasi : Aziz Marzuki
Kesejahteraan mahasiswa : Drs. H. Fahrurrozi
Kesenian dan kebudayaan : HM. Said Budairi
Keputrian :
Mahmudah Nahrowi
Luar negeri :
Nukman
Pembantu Umum : Drs. H. Isma’il Makky
:
Drs. H. Makmun Syukri
:
Hisbullah Huda, HS
:
Drs. H. Mustahal Ahmad [23])
Susunan kepengurusan pimpinan pusat PMII di atas adalah merupakan
kelanjutan dari hasil musyawarah mahasiswa nahdliyin di kota Surabaya pada
tanggal 14 - 16 April 1960 yang hanya memutuskan hal-hal sebagai berikut :
1. Berdirinya organisasi mahasiswa nahdliyin,
dan organisasi tersebut diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).
2. Penyusunan peraturan Dasar PMII yang di dalam Mukaddimahnya jelas
dinyatakan bahwa PMII merupakan kelanjutan/mata rantai dari departemen
perguruan tinggi IPNU-IPPNU.
3. Persidangan dalam musyawarah mahasiswa
nahdliyin itu (bertempat di Gedung madrasah Muallimin NU Wonokromo Surabaya)
dimulai tanggal 14-16 April 1960. Sedangkan peraturan dasar PMII dinyatakan
berlaku mulai 21 Syawal 1379 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 17 April
1960. Maka mulai dari itulah PMII dinyatakan berdiri dan tanggal 17 April 1960
dinyatakan sebagai hari jadi PMII yang akan diperingati setiap tahun dengan
istilah “Hari lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” (Harlah PMII).
4. Musyawarah juga memutuskan membentuk 3
orang formatur Yakni H. Mahbub Junaidi, sebagai Ketua Umum, A. Chalid Mawardi
sebagai Ketua Satu, dan M. Said Budairi sebagai Sekretaris Umum PP. PMII [24]).
Kelahiran PMII ini kemudian diproklamirkan
di Balai Pemuda Surabaya dalam suatu resepsi yang mendapatkan perhatian besar
dari massa mahasiswa , organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas di Surabaya serta dihadiri
juga oleh wakil-wakil partai politik.
Mengapa organisasi yang baru dibentuk itu menggunakan nama “PMII”
, dikalangan peserta musyawarah mahasiswa terlontar beberapa pemikiran yaitu :
Pertama: Seperti pola
pemikiran kalangan mahasiswa pada umumnya yang diliputi oleh pemikiran bebas.
Kedua : Berfikir taktis demi masa depan organisasi
yang akan dibentuk, karenanya untuk merekrut anggota harus memakai pendekatan
ideologi Aswaja.
Ketiga : Inisial NU tidak perlu dicantumkan dalam
nama organisasi yang akan didirikan
itu
Keempat : Manivestasi nasionalisme sebagai
semangat kebang
saan, karenanya Indonesia
harus jelas dicantumkan.
Biarpun dikalangan peserta
musyawarah tidak menampakkan persaingan yang tajam soal nama organisasi yang
kan dibentuk itu, tetapi ditetapkannya nama PMII harus melalui proses seleksi
di dalam musyawarah tsb.
Kendati mereka menyadari bahwa
organisasi yang akan mereka lahirkan itu adalah sebagai organisasi kader Partai
NU, namun mereka pada umumnya menghendaki bahwa nama “NU” tidak perlu
dicantumkan. Mereka menyepakati bahwa nama organisasi yang akan dibentuk itu
tidak terlepas dari unsur-unsur pemikiran sebagai berikut:
1.
Menunjukkan
adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa, terutama suasana pada saat itu
sedang diliputi oleh isu Nasional, yaitu semangat revolusi.
2.
Menampakkan
identitas keislaman, sekaligus sebagai penerus paham Islam Ahluss Sunnah Wal
Jama’ah
3.
Memanifestasikan
Nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama “Indonesia”
harus jelas tercantum.
Mengenai nama PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia) itu sendiri, adalah usulan dari delegasi Bandung dan
Surabaya yang mendapatkan dukungan dari utusan Surakarta. Sementara delegasi
dari Yogjakarta mengusulkan nama “Perhimpunan/Persatuan Mahasiswa
Ahlussunnah Waljama’ah” dan nama “Perhimpunan Mahasiswa Sunny”.
Sedangkan utusan dari Jakarta mengusulkan nama “IMANU” (ikatan mahasiswa
nahdlatul Ulama).
Akhirnya forum menyetujui nama “PMII”,
singkatan dari “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”, setelah melalui
beberapa perdebatan , Apakah PMII itu singkatan dari “Persatuan Mahasiswa
Islam Indonesia”, atau “Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia?”.
Ternyata permasalahannya mengerucut pada haruf
“ P ”. Kemudian atas dasar
pemikiran bahwa sifat mahasiswa itu diantaranya harus aktif, dinamis atau
bergerak (movement). Selanjutnya mendapat awalan “Per” dan akhiran “an”,
maka disepakati huruf “P”
kependekan dari “Pergerakan”.
Makna “Pergerakan” yang terkandung dalam PMII adalah Dinamika
dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan
rahmat bagi alam sekitarnya.
Dalam konteks individual,
komunitas maupun organisatoris, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan
pergerakannya menuju kondisi yang labih baik sebagai perwujudan tanggung
jawabnya memberi rahmat pada lingkungannya.
“Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa
menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan
potensi kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada didalam
kualitas ke khalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa”
yang terkandung dalam PMII adalah golongan generasi muda yang menuntut
ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri.
Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan
religius, insan akademis, insan sosial dan isan mandiri. Dari identitas
mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, tanggung jawan
intelektual, tanggung jawab sosial kemasyarakatan dan tanggung jawab individu
baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara
Pengertian “Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam
sebagai agama yang dipahami dengan paradigma ahlussunnah waljama’ah yaitu
konsep pendekatan terhadap ajaran agama Isalam secara proporsional antara Iman.
Islam dan Ihsan yang di dalam pola pikir dan pola perilakunya tercermin
sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.
Pengertian “Indonesia”
yang terkandung dalan PMII adalah masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD
1945 dengan kesadaran kesatuan dan keutuhan bangsa dan negara yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke yang di ikat dengan kesadaran wawasan Nusantara.
Secara totalitas PMII sebagai
organisasi merupakan suatu gerakan yang bertujuan melahirkan kader-kader bangsa
yang mempunyai integritas diri sebagai hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT dan
atas dasar ketaqwaannya berkiprah mewujudkan peran ketuhanannya membangun
masyarakat bangsa dan negara Indonesia menuju suatu tatanan masyarakat yang
adil dan makmur dalam ampunan dan ridlo Allah SWT [25])
Sedangkan pengertian Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah
yang menjadi paham organisasi adalah Islam sebagai universalitas yang meliputi
segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut dapat dijabarkan kedalam
tata Aqidah, Syariah, dan Tasyawuf. Dalam bidan Aqidah mengikuti paham
Al-Asya’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang syariah mengikuti salah satu mazhab
empat yaitu: Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Sedang dalam bidang Tasawuf,
mengikuti Imam Juned Al-Bagdadi dan Imam Al-Gozali. Masing-masing ketiga aspek
itu dijadikan paham organisasi PMII dengan tanpa meninggalkan wawasan dasar
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perilaku sahabat Rasul. Aspek Fiqih diupayakan
penekanannya pada proses pengambilan hukum, yaitu Ushul Fiqih dan Qoidah Fiqih,
bukan semata-mata hukum itu sendiri sebagai produknya. (lihat NDP PMII)
Dari uraian tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa nahdliyin sebenarnya dari segi cara
berfikir tidak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya, yang menghedaki
kebebasan. Sedangkan dalam bertindak cendrung anti anti kemapanan, terlebih
jika kelahiran PMII itu dihubungkan dengan tradisi keagamaan di kalangan NU,
misalnya bagi putra-putri harus berbeda/dipisah organisasi, PMII justru keluar
dari tradisi itu. Fenomena ini barangali termasuk hal yang patut mendapat
perhatian bagi perkembangan pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah
Adapun susunan pengurus pusat
PMII periode pertama ini baru tersusun secara lengkap pada bulan Mei 1960.
Seperti diketahui, bahwa PMII pada awal berdirinya merupakan organisasi
mahasiswa yang dependen dengan NU , maka PP. PMII dengan surat
tertanggal 8 Juni 1960 mengirim surat permohonan kepada PBNU untuk mengesahkan
kepengurusan PP PMII tersebut. Pada tanggal 14 Juni 1960 PBNU menyatakan bahwa
organisasi PMII dapat diterima dengan sah sebagai keluarga besar partai NU dan
diberi mandat untuk membentuk cabang-cabang di seluruh Indonesia, sedang yang menandatangani
SK tersebut adalah DR. KH. Idham Chalid selaku ketua Umum PBNU dan H. Aminuddin
Aziz selaku wakil sekretaris jendral PBNU [26]).
Musyawarah mahasiswa nahdliyin di Surabaya yang dikenal dengan nama
PMII, hanya menghasilkan peraturan dasar organisasi, maka untuk melengkapi
peraturan organisasi tersebut dibentuklsn satu panitia kecil yang diketuai oleh
sahabat M. Said Budairi dengan anggota sahabat Chalid mawardi dan sahabat
Fahrurrazi AH, untuk merumuskan peraturan rumah tangga PMII. Dalam sidang pleno
II PP PMII yang diselenggarakan dari tanggal 8 - 9 September 1960, Peraturan
rumah tangga PMII dinyatakan syah berlaku melengkapi paraturan dasar PMII yang
sudah ada sebelumnya[27])
Disamping itu, sidang pleno II PP PMII juga mengesahkan bentuk muts
(topi), selempang PMII, adapun lambang PMII diserahkan kepada pengurus harian,
yang akhirnya dipuruskan bahwa lambang PMII berbentuk perisai seperti yang ada
sekarang (rincian secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran peraturan rumah
tangga PMII). Dalam sidang ini pula dikeluarkan pokok-pokok aturan mengenai
penerimaan anggota baru [28])
sekarang dikenal dengan MAPABA.
Pada tahap-tahap awal berdirinya PMII banyak dibantu warga NU terutama
PP LP. Ma’arif NU. Sejak musyawarah mahssiswa nahdliyin di surabaya sampai
memberikan pengertian kepada Pesantren-pesantren (perlu diketahui, pada awal
berdirinya, di Pondok-pondok Pesantren dapat dibentuk PMII dengan anggota para
santri yang telah lulus madrasah Aliyah dan seang mengkaji kitab yang
tingkatannya sesuai dengan pelajaran yang diberikan di perguruan tinggi agama).
Dengan adanya kebijakan seperti ini ternyata dapat mempercepat proses
pengembangan PMII [29]).
E. REAKSI TERHADAP KELAHIRAN PMII
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa PMII
lahir atas inisiatif murni dari mahasiswa-mahasiswa nahdliyin yang tergabung
dalam Departemen Perguruan Tinggi IPNU, dengan melalui proses yang cukup
panjang, sampai pada pelaksanaan Konbes I IPNU di Kaliurang Yogjakarta yang
memutuskan akan adanya organisasi mahasiswa Nahdliyin yang terpisah secara
struktural dengan IPNU, kemudian ditunujuklah 13 orang dari peserta Konbes
untuk menjadi panitia sponsor yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
musyawarah Mahasiswa nahdliyin seluruh Indonesia. Maka pada tanggal 14-16 April
1960 di Sekolah Mu’alimat NU Wonokromo
Surabaya diselenggarakan musyawarah mahasiswa nahdliyin se Indonesia. Hadir
dalam musyawarah itu perwakilan mahasiswa nahdliyin dari Jakarta, Bandung,
Yogjakartam Semarang, Surabaya, Malang, Makasar, dan Surakarta. Serta
perwakilan dari Senat-senat mahasiswa Perguruan tinggi NU.
Kendatipun
kelahiran PMII itu murni atas inisiatif mahasiswa-mahasiswa nahdliyin, ternyata
di kemudian hari masih saja menimbulkan masalah, setidak-tidaknya bagi
organisasi mahasiswa yang sudah ada, seperti HMI sempat mengalami kegoncangan
internal, sebab para anggotanya yang berasal dari mahasiswa nahdliyin akan
keluar dari HMI, kemudian bergabung menjadi anggota PMII. Kegoncangan dalam
tubuh HMI itu dapat dilihat pada level pengurus tingkat pusat, diantaranya
Ketua Umum PP PMII Mahbub Junaidi, Fahrurrazi dan Darto Wahab di pecat dari
keanggotaan HMI. Masalahnya adalah bahwa HMI menganggap organisasinya itu sudah
menampung seluruh paham keagamaan, kemudian muncul PMII, maka tidak heran kalau
HMI menganggap kelahiran PMII itu sebagai sparatis. Walaupun menurut Tolchah
Mansoer “Mengapa PMII itu lahir?” karena HMI yang mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya organisai mahasiswa Islam sudah tidak lagi mampu berdiri diatas
semua golongan.
Misalnya
di Yogjakarta kegoncangan itu terjadi bersamaan dengan disidangkannya Syaiful
Mujab oleh Pengurus HMI Cabang Yogjakarta, yang kemudia ia dipecat dari
keanggotaan HMI.[30])
demikian juga tuduhan-tuduhan “Pemecah belah mahasiswa Islam” selalu
dialamatkan kepada Tolchah Mansoer dan Ismail Makky, dua orang mantan pengurus
HMI cabang Yogjakarta.[31])
Walaupun perlakuan HMI seperti itu, tidak
membuat PMII, khususnya Mahbub Junaidi sebagai Ketua Umum PP.PMII harus
membalas dendamnya pada saat HMI nyaris dibubarkan pemerintah menjelang
meletusnya G.30S/PKI, malah justru sebaliknya Mahbub membela HMI dari kepunahannya.
Mengingat
PMII dalam posisi disudutkan terus-menerus dengan tuduhan pemecah belah
persatuan mahasiswa Islam dan pemecatan yang dikenakan kepadanya, Mahbub
memprakarsai adanya pertemuan antara PMII dan HMI, yaitu upaya cease fire.
Pertemuan itu diadakan satu bulan setelah pengangkatan Mahbub sebagai Ketua
Umum PP.PMII. Dengan pertemuan itu diharapkan tidak perlu lagi ada ribut-ribut
dan main pecat, sebab PMII bagaimanapun sudah lahir dan tidak mungkin dicegah
lagi, apalgi yang mencegah itu hanya HMI. Oleh karena itu kahadiran PMII harus
diterima sebagaimana adanya. PMII ya PMII, HMI ya HMI, dua organisasi
kemahasiswaan ini hendaknya berdamai
seperti halnya HMI bisa sejalan dengan organisasi-organisasi yang
lainnya.
Reaksi
lainnya timbul dari kalangan para Kiai atau mereka yang berpandangan pada
tradisi keagamaan di dalam NU. Pandanga itu adalah bahwa antara putra dan putri
harus dipisahkan, tidak boleh satu wadah, seperti IPNU dan IPPNU. Sedangkan
oranisasi PMII justru menyatukan antara putra dan putri.
Reaksi
itu semakin keras ketika acara resepsi pada Kongres II PMII di Yogjakarta tahun
1963, dalam acara resepsi itu ditampilkan hiburan group musik dengan para
penyanyi perempuan. Peristiwa itu telah membuat tidak senang para Kiai dan hadirin
yang berpandangan tradisional. Akibatnya PMII mendapat teguran dari PB.NU. Akan
tetapi berkat ketulusan dan argumentasi yang baik dari PMII, akhirnya bisa
meyakinkan semua pihak, terutama para Kiai, bahkan Subchan ZE yang
menandatangani surat teguran PB.NU itu sangat mengerti dan memahami apa yang
dikehendaki PMII. Kenyataan itu terus berlanjut sampai sekarang.[32])
Kurang lebih satu tahun sejak
berdirinya PMII di Surabaya sampai dengan kongres I PMII di Tawangmangu Surakarta
Jawa Tengah, PMII masih mempunyai 13 cabang, yaitu :
1.
Cabang
Yogjakarta
2.
Cabang
Surakarta
3.
Cabang
Semarang
4.
Cabang
Bandung
5.
Cabang
Jakarta
6.
Cabang
Ciputat
7.
Cabang
Malang
8.
Cabang
Makasar / Ujungpandang
9.
Cabang
Surabaya
10. Cabang Banjarmasin
11. Cabang Padang
12. Cabang Banda Aceh
13. Cabang Cirebon
Satu tahun sejak lahir (1960-1961), Mahbub Junaidi ditunjuk sebagai
ketua umum, selama satu tahun itu, Mahbub dkk mempersiapkan konsepsi, konsolidasi,
memperkenalkan sosok organisasi yang baru dibentuk ini, baik ke dalam maupun
keluar dan mempersiapkan pelaksanaan Kongres pertama.
Kongres I PMII berlangsung pada bulan Desember 1961 di Tawangmangu
Surakarta Jawa Tengah dan memilih kembali sahabat Mahbub Junaidi sebagai Ketua
Umum PP PMII untuk periode 1961-1963, dengan susunan pengurus PP PMII sebagai
berikut:
SUSUNAN PP PMII PERIODE 1961-1963
Ketua Umum : Mahbub
Junaidi
Ketua I :
A. Chalid Mawardi
Ketua II :
M. Zamroni BA
Sekretaris Umum : M.
Said Budairi
Sekretaris I :
Chatibul Umam
Keuangan I :
Arif Amnan
Departemen-Departemen:
Dep.
Pendidikan/Pengajaran : Imam
Mawardi Zaini BA
Dep.
Penerangan/Publikasi :
Harus Al-Rasyid
Dep.
Kesenian/Kebudayaan : M.
Darto Wahab
Dep. Olah Raga :
Abdurrahman R
Dep. Kesejahteraan
Mahasiswa : Abd. Majid Thayyib
Dep. Keputrian :
Enny Suhaeni
Dep. Luar Negeri : M.
Ramlan Ahmad Arif
Pembantu Umum :
Fahrurrazy AH
:
TB.Abbas Saleh Ma’mun
Dalam usia yang relatif masih muda, PP PMII
disamping secara intensif melakukan konsolidasi kedalam untuk pembenahan dan
pengembangan organisasi, juga secara aktif terlibat dalam dunia kemehasiswaan
dan kepemudaan :
1. Bersama-sama dengan organisasi pemuda dan
mahasiswa Islam lainnya turut aktif dalam wadah
PORPISI (persatuan organisasi pemuda Islam indonesia). Dalam wadah yang
bersifat konfederatif ini PP PMII diwakili oleh Sekjen yaitu Sahabat Said
Budairi.
2. Sejalan dengan iklim politik yang berkembang
saat itu, bahwa segenap organisasi massa dan organisasi politik harus bergabung
dalam wadah Front Nasional. PB Front nasional dengan suratnya tertanggal
22 Maret 1962 Nomor : 046/0/pbfn/III/62
menyatakan menerima PB PMII bergabung dengan Front Nasional.
3. Demikian juga dalam organisasi PPMI
(Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia) suatu organisasi konfederasi
organisasi mahasiswa ekstra universitas, PMII masuk dalam jajaran persedium.
4. PMII bersama-sama dengan lima organisasi
mahasiswa lainnya menanggapi pengumuman Presiden Sukarrnoe tentang akan
dibentuknya departemen perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan pada tanggal 3
Maret 1961. PMII mengirimkan pokok-pokok pikiran tentang syarat-syarat yang
harus dipunyai oleh seorang menteri dimaksud. Usulan tersebut diterima oleh
Presiden Soekarnoe dengan baik. Terbukti dengan terpilihnya Mr. Iwa
Kusumasumantri, yang sebelumnya menjabat sebagai Rektor Universitas Pajajaran
Bandung.
5. Awal April 1961 Menteri P dan K (sekarang
Depdikbud) yakni Priyono dan komisi J DPR GR
melalui kantor berita Antara mengumumkan rencana peraturan pemerintah
mengenai larangan bagi Fak. Ekonomi dan Fak. Sosial Politik melakukan afiliasi
dibidang ilmu pengetaguan kecuali dengan perguruan tinggi dari negara sosialis.
Menanggapi rencana ini PMII mengeluarkan pernyataan “Menolak Rencana
Pemerintah Tersebut” , karena menurut anggapan PMII, rencana tersebut akan
mempengaruhi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan atkif. Kenyataannya
pemerintah membatalkan rencana tersebut.
6. Kongres PMII yang ke II di Kaliurang
Yogjakarta pada tanggal 25-29 Desember 1963 yang dihadiri 31 Cabang PMII, 18
buah cabang diantaranya merupakan cabang baru, antara lain :
1. Cabang Menado
2. Cabang Tulungangung
3. Cabang Serang
4. Cabang Jambi
5. Cabang Ambon
6. Cabang Jember
7. Cabang Purwokerto
8. Cabang Palembang
9. Cabang Medan
10. Cabang Martapura
11. Cabang Sibolga
12. Cabang Kudus
13. Cabang Bogor
14. Cabang Pematang siantar
15. Cabang Curup (Bengkulu)
16. Cabang Tasikmalaya
17. Cabang Kediri
18. Cabang Amuntai
Dalam Kongres II ini PMII mengeluarkan
pokok-pokok pikiran antara lain :
·
PenegasanYogjakarta, sebuah tekad PMII untuk selalu berpihak
kepada amanat penderitaan rakyat. Dll.
·
Tentang
perlunya penyelenggaraan Konprensi Islam Asia Afrika, Tentang perlunya
kerjasama Internasional, ukhuwah islamiyah, serta pernyataan bahwa PMII siap
melaksanakan pernyataan itu tanpa reserve.
Dalam Kongres II ini Sahabat Mahbub Junaidi
terpilih kembali sebagai Ketua Umum didampingi sahabat Harun Al-Rasyid sebagai
sekjen yang baru.
SUSUNAN PENGURUS PUSAT PMII
( Periode 1963 - 1967 )
Ketua Umum :
H. Mahbub Junaidi
Ketua Satu :
H. Chalid Mawardi
Ketua Dua :
H. Zamroni BA
Sekretaris Umum : H. Harun Al-Rasyid
Sekretaris Satu : H. Chatibul Umam BA
Sekretaris Dua : Azwar Tias
Bendahara Satu : Arif Amnan, BA
Bendahara Dua :RT.Naksabandiyah Hatar
Departemen-departemen :
Pendidikan dan Pengajatan : Abd. Rahman Saleh BA
Penerangan dan Publikasi : Abd. Hamid Jalil BA
Kesejahteraan Mahasiswa : Abd. Majid Toyib
Kesenian,Kebudayaan & Olah Raga : RS. Munara
Keputrian :
Eny Suchaeni, Bsc
Luar Negeri :
HM. Said Budairy
Pembantu Umum : Drs. H. Isma’il Makky
:
Drs. H. Fachrurrazi AH
7. Dibidang kesejahteraan anggota PP PMII
membentuk yayasan Jakmindo - sebuah yayasan kesejahteraan mahasiswa Indonesia -
bergerak dibidang sosial dengan beberapa aktivitas antara lain
·
Mendirikan
asrama-asrama mahasiswa
·
Membentuk
club-club olah raga
·
Menerbitkan
buku-buku, Majalah dan Brosur-brosur
·
Memberikan
bea siswa dan lain-lain
Yakmindo ini dipimpin oleh sahabat Abd.
Majid Toyib
8. Kegiatan-kegiatan PMII dibidang kepemudaan
dan kemahasiswaan yang berskala Internasional, antara lain :
A. HM. Said Budairi Selaku sekretaris Umum
PMII, pada bulan September 1960 mewakili PMII dalam konprensi pembentukan
panitia Internasional Furum Pemuda sedunia di Moskow (constitutuent meeting for
the youth forum). Sepulangnya dari Moskow, singgah di Mesirdalam rangka
konsolidasi dengan mahasiswa NU yang tergabung dalam KMNU (keluarga mahasiswa
NU) yang merupakan cabang istimewa PMII di luar negeri.
B. Pada bulan Juni 1961, ketua satu PP PMII
diwakili oleh sahabat Chalid Mawardi berangkat ke Moskow untuk menghadiri forum
Pemuda sedunia.
C. Sebagai anggota WAY - Indonesia (word
assembly of youth - organisasi pemuda sedunia) PMII mengirin ketua cabang PMII
Yogjakarta sahabat Munsif Nahrowi dalam kegiatan seminar pemuda sedunia di
Kuala Lumpur Malaysia pada bulan September 1962.
D. Pada bulan Oktober 1962 sekretaris Umum
PMII sahabat Harun Al-Rasyid berangkat ke Helsingky Finlandia, mewakili pemuda
Indonesia dalam rangka menghadiri festival pemuda Internasional.
Hal ini membuktikan bahwa PMII bukan organisasi “sempalan” dari
organisasi mahasiswa yang lebih dulu ada, tetapi merupakan proses lanjut dari
mahasiswa-mahasiswa nahdliyin yang tergabung dalam (departemen PT) IPNU sebagai
embrio terbentuknya suatu organisasi mahasiswa secara formal. Dalam
perkembangannya PMII banyak dibantu oleh partai NU - dan itu merupakan hal yang
wajar - sebab kerjasama antar organisasi mutlak perlu, apalagi salah satu
tujuan PMII adalah mengembangkan nilai-nilai pemahaman Islam Ahlussunnah
Waljama’ah. Kalau pada akhirnya PMII menyatakan diri sebagai organisasi
“independen” hal ini bukan berarti “habis manis sepah dibuang” - seperti yang
sering dituduhkan sementara orang - tetapi harus diartikan sebagai tindakan
membuka wawasan agar lebih terbuka kemungkinan mencari alternatif dan
pematangan diri dalam proses pendewasaannya.
BAB
II
MASA
KEBANGKITAN
( 1964 - 1968 )
A. PMII DAN KEBANGKITAN ORDE BARU
Pada tanggal 19 - 26 Desember 1964 di Jakarta pernah diadakan musyawarah
nasional generasi muda Islam yang kemudian lebih dikenal dengan “GEMUIS” .
Musyawarah yang gagasan awalnya muncul dari gerakan pemuda Ansor ini, bertujuan
untuk memperkuat ukhuwah islamiyah (kerukunan intern ummat Islam) yang pada
saat itu sedang mengalami cobaan-cobaan akibat fitnah yang dilancarkan oleh PKI
(partai komunis Indonesia). Hasil dari pertemuan tingkat nasional generasi muda
Islam ini memutuskan membentuk suatu organisasi yang bersifat konfederatif.
PMII dalam organisasi ini duduk sebagai Sekretaris Jenderal persedium pusat
yang diwakili oleh sahabat Said Budairy. Musyawarah nasional ini sebagai reaksi
atas aksi-aksi yang dilancarkan oleh antek-antek PKI khususnya CGMI
(consentrasi gabungan mahasiswa Indonesia), sebuah organisasi mahasiswa yang
berafiliasi kepada PKI, yang kian memuncak menjelang peristiwa G.30.S/PKI.
Adapun kelahiran Orde Baru dapat dikatakan sebagai langkah koreksi total
terhadap kebijakan rezim Orde Lama. Kelahiran Orde Baru sebenarnya merupakan conditionine
quonon, karena nampaknya rezim Orde Lama sudah tidak mampu lagi berdiri
secara politis apalagi secara ekonomis. Kelahiran Orde Baru ini dipercepat
dengan adanya gerakan PKI yang berusaha merebut kekuasaan melalui aksi kudeta
yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan 30 September / G.30.S/PKI.
Sebenarnya ada/tidaknya G.30.S/PKI, Orde Baru dapat dipastikan tetap
akan lahir, karena rezim Orde Lama sudah sangat salah langkah dalam mengelola
negara. Politik berdikarinya menyebabkan distopnya semua bantuan dari luar
negeri, akibatnya rakyat sangat menderita, karena laju inflasi membubung tinggi
sampai 600% dan pemangkasan nilai mata uang rupiah dilakukan berkali-kali,
tetapi hal itu tidak mampu merubah keadaan. Keadaan yang sudah kritis ini
ditambah lagi dengan tindakan rezim Orde Lama yang melakukan “politik
konfrontasi” dengan Malaysia, yang
berakibat separoh dari anggaran belanja negara tersedot untuk kepentingan
politik konfrontasi tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, PKI memanfaatkan situasi - mengail ikan di
air keruh - dengan melemparkan issu bahwa dewan Jenderal akan merebut kekuasaan
(kudeta) dari tangan Presiden Soekarnoe. Dalam keadaan seperti itu, rezim Orde
Lama dihadapkan pada keadaan yang sangat delematis, disatu pihak, jika rezim
ini menghukum dan membubarkan PKI, jelas akan berhadapan dengan pemerintahan
Komunis di Cina yang selama ini mendukung politik Soekarnoe dalam politik
konfrontasinya dengan Malaysia, tetapi dilain pihak, jika tetapmempertahankan
PKI jelas akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri, terutama rakyat yang selama
ini terus menerus difitnah oleh PKI.
[1] Sejarah singkat IPNU-IPPNU, Buku kenang-kenangan Makesta
IPNU-IPPNU, Kodya Surakarta, Tahun 1970, halaman 11
[2] Ibid Halaman 12.
[3] Wawancara dengan sahabat Drs. H. Mustahal Ahmad pada tanggal 25
Agustus 1984 di rumah beliu Jl. Imam
Bonjol 53 Surakarta Jawa Tengah.
[4] Op-cit, Halamah 2
[5] Op-cit, Halaman 3
[6] HA. Cholid Mawardi, PMII
dan Cita-cita NU, Dalam Pemikiran PMII, Dalam berbagai visi dan Persepsi,
Oleh A. Effendy Choirie dan Choirul Anam, Aula, Surabaya 1991, Halamanan 72-74.
[7] Op-Cit, Halaman 3
[8] Op-Cit, Halaman 3
[9] Fauzan Alfas, Ke-PMII-an,
Makalah Mapaba PMII Malang , 1990.
[10]) Christianto Wibisono, Sejarah Demonstrasi Mahasiswa 1966, aksi-aksi
tritura (PT. Tanjung Mas Semarang, 1980) hal. 11
[11]) Yozar, Pergolakan Mahasiswa abad ke 20, Kisah Perjuangan
anak-anak Pemberang (Sinar Harapan, Jakarta, 1981) hal. 201
[12]) Drs. Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, 1947-1975, (PT
Bina Ilmu, Surabaya, 1976) hal. 107
[13]) Ridwan Saidi, Pemuda Islam dalam dinamika politik bangsa
1925-1984, (CV.Rajawali, Jakarta, 1984) Hal. 74
[14]) Ibid
[15]) Sarlito Wirawan Sarwono, Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis
dalam gerakan protes Mahasiswa, ( Bulan Bintang, Jakarta, 1978) Hal. 84
[16] Op-Cit, Halaman 3
[17] Burhan D. Magenda, Gerakan
Mahasiswa Indonesia dan sistem Politik, Prisma Nomor 12, Desember 1977.
[18] Ibid, Halaman 10.
[19] Drs. H. Abd, Rohim Hasan, Partisipasi
PMII kepada Partai, Makalah pada kongres IV PMII di Makasar tahun 1970.
[20] Ibid, Halaman 3
[21] Wawancara dengan H. Mahbub
Junaidi pada tanggal 11 Desember 1984
[22] Pidato Ketua Umum PP PMII
dalam Panca Warsa PMII, pada tanggal 17 April 1965.
[23] Drs. H. Chotibul Umam, Sewindu
PMII, PC. PMII Ciputat Jakarta,
Tahun 1968, Halaman 9.
[24] Ibid, Halaman 2
[25] Dokumen historis - Pola
Pembinaan, Pengembangan dan Perjuangan PMII
(P4 - PMII)
[26] Ibid, Halaman 3
[27] Ibid, Halaman 10
[28] Ibid, Halaman 20
[29] Ibib, Halaman 9
[30]) Syaiful Mujab adalah perintis berdirinya PMII di UGM (Universitas
Gajah Mada) , hingga PMII berjaya di kampus ini antara tahun 1966 sampai
1968, yaitu ditandai dengan menduduki
posisi puncak Dema UGM.
[31] Otong Abdurrahman, PMII 1960-1985, Untukmu Satu Tanah Airku,
Untukmu satu Keyakinanku, PB PMII 2005,
[32]) Ibid, Halaman 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar